Test Footer 2

Minggu, 05 April 2015

Berharap Negara Hadir Menonton Senyap (Perdebatan Dibelakang Pemutaran Senyap)

Apr 5th, 2015 | Oleh : Ignatius Mahendra Kusumawardhana


Latar Belakang
 
Pemutaran Senyap secara terbuka di Yogyakarta terselenggara tidak sampai tiga kali hingga tanggal 16 Desember 2014. Terakhir diselenggarakan oleh MAP Corner UGM serta JPP UGM. Paska itu, terjadi berbagai pembubaran pemutaran Senyap. Pembubaran tersebut terjadi pada pemutaran di AJI Yogyakarta, LPM Sintesa UGM, ISI Yogyakarta, dan Memoar. Sementara itu pemutaran Senyap di Mahkamah FH UGM yang sebelumnya sudah mendapatkan ijin dicabut ijinnya oleh pihak kampus. Hal yang serupa terjadi terhadap rencana pemutaran Senyap di UTY yang tidak mendapatkan ijin dari pihak kampus. Terakhir pada tanggal 25 Februari, pemutaran Senyap di Universitas Sanata Dharma juga dilarang oleh kepolisian. Beberapa pemutaran Senyap masih bisa berjalan namun secara tertutup atau terbatas.

Maraknya pembubaran pemutaran film Senyap diberbagai tempat di Yogyakarta, mendorong berbagai individu, organisasi serta LSM untuk mengadakan konsolidasi untuk menyikapi hal tersebut. Pada awalnya terdapat dua konsolidasi, pertama yang diinisiasi oleh AJI Yogyakarta dan kedua diinisiasi oleh KPO PRP, IHAP dan LBH Yogyakarta. Kedua konsolidasi tersebut kemudian disatukan dan menghasilkan sebuah komite bersama bernama Barisan Penyelamat Demokrasi (BPD). Berbagai kelompok serta organisasi yang tergabung di dalam BPD antara lain: KPO PRP, PEMBEBASAN, PPR, LBH, AJI, AMP, PLUSH, JPY, LPM Sintesa UGM, LPM Natas USD, IHAP, Memoar, dari beberapa panitia pemutaran Senyap, kelompok-kelompok minoritas keagamaan dan sebagainya.

Yang menyatukan BPD adalah persoalan keprihatinan terhadap pembubaran pemutaran film Senyap oleh kelompok-kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner. Termasuk juga bahwa pembubaran Senyap bukanlah satu-satunya serangan terhadap ruang demokrasi. Sebelumnya telah banyak terjadi serangan terhadap ruang demokrasi di Yogyakarta. Namun memang keprihatinan saja tidaklah cukup, perbedaan yang tajam terjadi dalam hal bagaimana merespon serangan tersebut.

Oleh karena itu untuk menyatukan berbagai kelompok tersebut maka diambil sikap bahwa setiap organisasi bebas melakukan respon apapun terkait dengan pemutaran Senyap. Namun diharapkan tetap berkoordinasi dengan BPD sehingga bisa dimungkinkan ada kerjasama ataupun timbal balik diantara organisasi.

Perbedaan pertama adalah terkait dengan perlawanan yang harus dilakukan. KPO PRP melihat bahwa respon terhadap berbagai serangan dari kelompok anti demokrasi selalu berkutat pada mengandalkan jalur-jalur legal. Ketika terjadi serangan maka respon yang standart dilakukan adalah: konferensi pers, melaporkan ke polisi, konseling, advokasi dan pengawalan proses hukum. Dan respon seperti itu terbukti gagal dan menghasilkan demoralisasi.

Oleh karena itu persoalan demokrasi, menjaga ruang demokrasi hanya bisa dilakukan oleh kekuatan rakyat itu sendiri. Sehingga tidak heran muncul dukungan terhadap perspektif bahwa rakyat harus membangun unit-unit keamanan dan pertahanan dirinya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan buruh dengan membangun laskar atau garda-gardanya sendiri.

Sementara itu kelompok moderat melihat bahwa kita dapat menggunakan nama, istilah atau ungkapan-ungkapan yang digunakan oleh kelompok-kelompok anti demokrasi. Sehingga diharapkan mereka dapat mudah memahami dan mengerti kepentingan demokrasi yang dibawah oleh BPD.

Selain itu kelompok moderat juga mengkritik perspektif pembangunan unit-unit pertahanan diri. Argumentasi mereka adalah bahwa itu membuat BPD sama saja dengan kelompok-kelompok anti demokrasi yang menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan. Termasuk kekerasan itu sendiri hanya akan menimbulkan konflik horizontal. Bahwa melawan mereka dibutuhkan strategi bukan kekerasan. Argumentasi-argumentasi itu ditambahkan dengan argumentasi bahwa kekuatan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner secara khusus banyak mempunyai backingan dari polisi, tentara maupun elit politik. Sementara kita bahkan tidak “dekat” dengan rakyat.

Kedua, semua kelompok awalnya setuju untuk menyelenggarakan pemutaran film Senyap kembali. Perbedaannya adalah terkait dengan dimana diselenggarakan pemutaran Senyap. Kelompok moderat ingin mendorong ada pemutaran Senyap yang diselenggarakan di Kantor Gubernur ataupun kantor Walikota Yogyakarta. Dengan menggunakan tempat tersebut mereka berharap ada perlindungan keamanan terhadap pemutaran Senyap. Termasuk juga menagih komitmen Negara untuk menjaga ruang demokrasi.

Sementara KPO PRP dan beberapa organisasi lainnya melihat harus diselenggarakan pemutaran Senyap besar-besaran di kampus sebagai tempat strategis dengan adanya massa mahasiswa yang dapat melakukan perlawanan. Awalnya pemutaran Senyap secara besar-besaran diupayakan terselenggara di UGM. Apalagi melihat pernyataan sikap Rektor UGM yang menentang pembubaran Senyap di Fisipol UGM. Namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Kegagalan pemutaran Senyap besar-besaran di UGM menandai penurunan dalam konsolidasi BPD. Upaya untuk menyelenggarakan diskusi publik (bukan pemutaran film) terkait dengan Senyap secara setengah hati dilakukan. Karena kemudian esensi menjadi perjuangan demokrasi menjadi hilang. Upaya berikutnya adalah mencoba mendorong Mahkamah FH UGM serta LPM Natas USD untuk menyelenggarakan pemutaran Senyap secara besar-besaran, namun tidak berhasil. Kegagalannya terutama karena kegamangan panitia untuk mengkonsolidasikan kekuatan gerakan serta memilih untuk melakukan pemutaran secara tertutup dan atau terbatas.

Konteks yang Lebih Besar

Sebelum pembubaran pemutaran Senyap juga sudah sering terjadi serangan-serangan terhadap ruang demokrasi di Yogyakarta. Berbagai aksi, diskusi ataupun pertemuan diserang atau diintimidasi oleh kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner beserta polisi; Aksi hari Transgender pada 20 November 2014 diserang oleh sekelompok orang. Sementara itu aksi Aliansi Mahasiswa Papua, 6 Agustus 2014, diserang oleh gabungan polisi bersama Paksi Katon. Seminar Jagong Media Rakyat di JNM dilarang oleh polisi karena ancaman FUI. Q-Film Festival yang diselenggarakan Lembaga Indonesia Perancis juga mengalami intimidasi. Sementara itu diskusi yang diselenggarakan oleh LKiS dengan mengundang Irsyad Manji diserang oleh massa FUI dan mengakibatkan 7 orang terluka parah. Disisi yang lain juga terjadi penyerangan terhadap eks Tapol 1965. Pada tanggal 27 Oktober 2013, pertemuan tersebut diserang oleh FAKI (Front Anti Komunis Indonesia) dan “didampingi oleh polisi dan muspida”. Sehari setelahnya FAKI bersama dengan FKPPI (Forum Keluarga Putra Putri Purnawirawan Indonesia) mengintimidasi LBH Yogyakarta agar tidak memberikan pendampingan hukum untuk eks Tapol 1965 yang sebelumnya mereka serang.

Kebebasan beragama serta beribadah juga yang paling sering mengalami serangan. Pada bulan November 2013 terjadi intimidasi kepada komunitas Rausyan Fikr (komunitas yang mengkaji pemikiran Syiah). Sementara itu Bupati Sleman justru ikut dalam deklarasi anti Syiah di Masjid Kampus UGM. Pada bulan Januari 2012, Silahturahmi Nasional Gerakan Ahmadiyah dibubarkan oleh Front Umat Islam. Pengajian rutin Minggu Pahing Majelis Ta’lim Raudhatul Jannah di Dusun Sumberan dibubarkan oleh Front Jihad Islam dan Front Umat Islam. Peringatan Asyura yang diselenggarakan oleh Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia di Yogyakarta dihentikan ditengah jalan. 

Sekretaris PW Ansor DIY, Aminuddin Aziz, yang merupakan aktivis lintas iman dianiaya oleh Front Jihad Islam pada Mei 2014. Rencana perayaan Paskah Adiyuswa Sinode Gereja Kristen Jawa Gunung Kidul mendapatkan intimidasi. Ibadah rosario di rumah Direktur Galang Press diserang dan mengakibatkan beberapa orang terluka parah. Sementara itu ibadah yang dilakukan oleh jemaat Santo Fransiskus Agung Gereja Banteng diserang oleh Front Jihat Islam.

Demikian penyerangan Kopassus ke LP Cebongan juga menandai meningkatnya rasialisme di Yogyakarta. Sebagai bagian dari pembenaran terhadap penyerangan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Kopassus di LP Cebongan maka rasialisme dikembangkan. Secara khusus terhadap orang-orang yang diidentikan berasal dari bagian Indonesia Timur. Berbagai kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner dimobilisasi. Paska itu berkembang stigma bahwa orang Indonesia Timur (secara umum juga orang luar Yogyakarta) membuat kekacauan dari maraknya premanisme hingga macetnya jalan-jalan di Yogyakarta. Bersamaan dengan itu intimidasi juga terjadi kepada berbagai pihak yang menyinggung Kopassus dalam kasus Cebongan. Bahkan jurnalis diintimidasi agar membuat berita yang mendukung Kopassus.

Serangan terhadap ruang demokrasi tersebut juga termasuk kasus-kasus kriminalisasi terhadap rakyat dan aktivis rakyat. Istri seorang buruh, Ervani, dikriminalisasi karena mengeluh di FB terhadap mutasi sewenang-wenang yang dialami suaminya. Sementara itu Aji Kusumo, seorang aktivis dikriminalisasi karena menolak pembangunan Apartemen Utara. Aktivis PPLP dan seorang petani, Tukijo juga dikriminalisasi dan dipenjarakan selama 3 tahun karena penolakan terhadap perusahaan tambang pasir besi, PT JMI. 

Terakhir hanya karena memindahkan pohon tumbang seorang kakek harus ditahan. Termasuk juga 4 orang aktivis dari WTT ditangkap terkait dengan penolakan mereka terhadap pembangunan bandara di Temon.

Pemutaran Senyap UIN: Perspektif Diuji Dalam Praktek

Dengan konteks dan latar belakang seperti itu memutar film Senyap di Yogyakarta secara terbuka sudah pasti akan berhadapan dengan kekuatan fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner yang dilindungi oleh aparat negara.

Sehingga pemutaran Senyap secara terbuka bukanlah sekedar menonton Senyap. Menonton Senyap secara terbuka adalah sikap menantang kekuatan anti demokrasi yang telah lama merajalela. Menonton Senyap, dengan latar belakang seperti diatas, seperti menyuarakan kelompok agama minoritas yang tempat ibadahnya diserang, kaum LGBT yang mau dihukum mati karena orientasi seksualnya, rakyat Papua yang terus dibungkam suaranya, korban Peristiwa 1965 yang berpuluh-puluh tahun terus menerus ditindas, dsb. 
Menonton Senyap berkembang maknanya melampaui apa yang terkandung dari film itu sendiri. Menonton Senyap secara terbuka bermakna sebagai sebuah bentuk perjuangan demokrasi.

Pemutaran Senyap di UIN diinisiasi oleh LPM Rhetor UIN. Mereka juga sebelumnya pernah datang di konsolidasi BPD dan mengutarakan rencananya memutar film Senyap. Namun seiring dengan menurunnya BPD demikian juga konsolidasi untuk memutar Senyap semakin lemah. Rencana awal pemutaran dilakukan pada tanggal 26 Februari namun diundur menjadi 11 Maret 2015. Beberapa hari mendekati waktu pelaksanaan, semakin banyak intimidasi dan pelarangan bermunculan.

Oleh karena itu upaya dilakukan untuk meyakinkan panitia bahwa yang dibutuhkan adalah segera mengkonsolidasikan kekuatan gerakan. Pertama konsolidasi tersebut bermakna menggalang kekuatan riil bukan hanya pernyataan sikap atau memberikan stempel logo organisasi sebagai bentuk dukungan. Konsolidasi tersebut bermakna dorongan untuk mobilisasi massa sebanyak-banyaknya dari berbagai organisasi gerakan maupun diluar gerakan. Kedua konsolidasi serta mobilisasi massa tersebut juga merupakan satu-satunya jaminan keamanan dan terselenggaranya pemutaran Senyap.

Konsolidasi dihadiri oleh LPM Rhetor, KPO PRP, PPR, GMNI, PMII, LPM Arena, SMI, PEMBEBASAN, HMI dan berbagai organisasi lainnya. Dalam konsolidasi tersebut LPM Rhetor tetap ingin melanjutkan pemutaran Senyap. Yang kemudian didukung secara bulat oleh seluruh organisasi yang hadir. Konsolidasi tersebut menghasilkan kesepakatan untuk memobilisasi massa sebanyak-banyaknya dengan seluas-luasnya mempublikasikan agenda pemutaran Senyap serta membentuk unit keamanan. Namun seiring mendekati hari H, semakin kencangnya intimidasi, mendekati momen-momen benturan yang akan terjadi terdapat organisasi yang mengalami kebimbangan. HMI DIPO UIN yang sudah sejak awal (sebelum konsolidasi gerakan) bersedia menjadi pendukung pemutaran Senyap menyatakan mundur.

Dengan konsolidasi tersebut pemutaran Senyap di UIN berhasil diselenggarakan. Sekitar 300 orang lebih hadir menonton sementara ratusan orang baik individu maupun organisasi hadir bersolidaritas menjaga pemutaran Senyap. Keberhasilan menyelenggarakan pemutaran film Senyap mendapat respon positif dari banyak orang. Menurut Sarinah, pengelola Solidaritas.net mengatakan bahwa dalam waktu 3 hari, berita tentang pemutaran Senyap di UIN sudah dilihat sebanyak 30 ribu kali. Termasuk juga ramai muncul tagar jogjamelawan di twitter.

Kesemuanya itu menunjukan bahwa apa yang dilakukan di UIN mengekspresikan hasrat dari rakyat. Sementara sebagian orang memilih untuk menganggap bahwa “hasrat” itu sudah hilang. Bahwa rakyat sudah memilih untuk tunduk ditindas. Sehingga tidak ada pilihan selain mencari perlindungan dan mengikuti arus ketertundukan itu. Pemutaran Senyap di UIN mengekspresikan “hasrat” yang ditindas, dipendam dan dipaksa dikubur dalam-dalam. Hasrat dari mereka yang tempat ibadahnya dihancurkan, hasrat dari buruh-buruh yang dianiaya saat memperjuangkan haknya. Hasrat dari kelompok LGBT yang diskusinya diserang. Hasrat kaum perempuan yang dilecehkan. Hasrat dari rakyat Papua yang aksi-aksinya direpresi. Hasrat dari korban 1965 yang terus menerus diinjak-injak. Hasrat bahwa kita tidak bisa terus menerus menerima penindasan. Hasrat bahwa kita harus mengepalkan tangan kita dan melakukan perlawanan.


Keberhasilan pemutaran Senyap di UIN juga menjadi bukti (penegas) dari berbagai perdebatan yang muncul sebelumnya.

Berharap “Negara Hadir”

Tesis yang paling sering digunakan sekarang oleh para intelektual dan aktivis LSM adalah “Negara Tidak Hadir” atau hadir atau absen atau ijin sakit, dsb. Dengan argumentasi seperti itu mereka pertama menempatkan negara sebagai lembaga yang netral diantara rakyat (kelompok minoritas, LGBT, buruh, petani, perempuan, penonton Senyap, rakyat Papua, dsb, dsb) berseberangan dengan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner. Dengan begitu maka kedua negara dianggap bisa diajak atau didorong untuk terlibat membela rakyat dalam berhadap-hadapan dengan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner.

Dengan tesis itu maka yang harus dilakukan adalah mencari strategi dan taktik agar mendorong Negara (polisi atau “penegak hukum”) untuk melindungi pemutaran film senyap. Strategi dan taktik itu antara lain mencoba memutar Senyap di kantor Gubernur atau Kantor Walikota Yogyakarta.

Namun faktanya Negara selalu hadir dalam setiap penyerangan ruang-ruang demokrasi. Bahkan media massa yang dikuasai oleh para pemilih modal itu mengatakannya dengan jujur. Dalam kasus penyerangan pertemuan eks Tapol di Sleman, Tempo menggambarkannya seperti ini: “Penyerangan itu terjadi Ahad pagi tadi sekitar pukul 10.55 WIB. Sedikitnya ada 20 anggota FAKI Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipimpin Burhanudin, didampingi (penekanan dari saya) polisi dan Muspika Godean, mendatangi padepokan Santi Dharma.” Sementara itu polisi bersama dengan Paksi Katon kompak membuat barikade menghalangi dan kemudian menyerang aksi Aliansi Mahasiswa Papua.

Dalam pemutaran Senyap di AJI disebutkan bahwa “Rombongan Kapolsek Umbulharjo AKP Nanang dan Kasat Intelkam Polresta Yogyakarta Kompol Sigit Hariyadi datang ke kantor AJI Yogyakarta. Mereka mendesak pemutaran film dibatalkan (penekanan dari saya) karena beredarnya ancaman pembubaran itu.” Sementara itu Senyap di Sintesa Fisipol UGM “Pihak kepolisian dan Dekanat memberi instruksi untuk menyudahi acara (penekanan dari saya) ini karena mendapat kabar ada gerakan massa yang coba masuk kesini.” Polisi juga hadir mendiamkan saat Memoar tempat pemutaran Senyap diobrak-abrik.

Hubungan antara kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner dengan para elit politik juga bisa kita lihat di Yogyakarta. Paksi Katon berada dibawah Gubernur DIY yang juga Raja Kraton, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Mereka dibentuk untuk menjadi ”penjaga kebudayaan dimana kebudayaan sebagai salah satu pilar keistimewaan”. Paksi Katon juga mendapatkan pelatihan dari tentara. Sementara itu Ketua Paksi Katon sendiri, Suhud adalah mantan Ketua Front Anti Komunis Indonesia (FAKI). Sekarang FAKI dikomandoi oleh Burhan “Kampak” yang beraliansi dengan FUI dalam upaya menyerang pemutaran Senyap di UIN. FAKI sendiri memiliki kedekatan dengan Partai Golkar. FAKI bersama dengan Paksi Katon termasuk yang dimobilisasi untuk mendukung Kopassus dalam kasus Cebongan.

Terkait dengan pembubaran Senyap di ISI, Kapolres Bantul, Surawan ketika ditanya tentang jaminan konstitusi terkait kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat bahwa: baik yang pro maupun yang kontra semua punya hak. Kelompok milisi sipil reaksioner dan fundamentalis kanan tersebut memiliki hak untuk mengancam dan membubarkan pemutaran senyap. Tapi apakah itu berarti bahwa para penyelenggara Senyap memiliki hak untuk bertahan dan melawan upaya pembubaran?

Dengan melihat pemutaran Senyap di UIN maka jelas bahwa polisi melindungi hak mengancam, membubarkan dan mementungi dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Sementara hak kita untuk bertahan dan melawan akan dijawab dengan represi oleh polisi.

Dalam pemutaran Senyap di UIN polisi pada awalnya ikut melarang. Namun menghadapi perlawanan yang besar dari mahasiswa dan aktivis pro demokrasi pelarangan tersebut tidak diteruskan. Menjelang berakhirnya acara, polisi menawarkan “tukar guling” untuk menyelamatkan muka mereka dan FUI. 

Dengan alasan menenangkan ratusan massa FUI yang berkumpul di Amplaz (Ambarukmo Plaza, sebuah mall yang berjarak sekitar 1 km dari UIN), polisi meminta panitia bersedia menyerahkan beberapa mahasiswa untuk dibawa dan dimintai keterangan. Tentu saja panitia dan berbagai organisasi yang mendukung menolak tawaran dari polisi. Kami memilih membiarkan polisi kebingungan mencari cara menyelamatkan mukanya sementara seluruh panitia, organisasi dan peserta sudah dipastikan selamat pulang ke tempat masing-masing. Polisi kemudian masuk ke dalam kampus, ke Gedung Student Center dan melakukan penyisiran mencari panitia.

Apa yang saya ungkapkan diatas mayoritas merupakan peristiwa yang terjadi di Yogyakarta. Kita hanya cukup membuka mata kita dan menganalisanya secara jujur bahwa kesimpulan yang sama akan diulang diberbagai peristiwa dan tempat lainnya. Di Bekasi, Bupati, polisi dan tentara bergandeng tangan bersama para preman dan milisi sipil reaksioner, rapat di hotel untuk membahas bagaimana menghadang Mogok Nasional buruh. Di Batam, APINDO Batam membentuk milisi sipil reaksioner, bernama Garda Bima Sakti, untuk menghancurkan gerakan buruh. Milisi sipil tersebut dilatih oleh TNI, tepatnya Batalion Infantri 134/ TS.

Kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner ini memiliki hubungan yang erat dengan negara. Untuk menghadapi gelombang perlawanan mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998-99, Panglima TNI, Wiranto mengumpulkan preman dan kelompok fundamentalis kanan untuk membentuk KAMRA serta PAM SWAKARSA. Demikian adalah polisi dan BIN yang membentuk dan memiliki tradisi untuk mendanai Front Pembela Islam, dengan fungsi “sebagai ‘alat’ oleh polisi, agar petugas keamanan itu tidak menerika kritik terkait pelanggaran HAM.” Dalam kerusuhan saat Referendum Timor Leste, kerusuhan SARA, yang melibatkan berbagai kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner serta peristiwa pemboman yang marak di tahun 2000-an tedapat keterlibatan atau indikasi keterlibatan aparat negara. Kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner tersebut dibentuk dengan tujuan untuk menghadapi perlawanan rakyat, memecah belah klas buruh dan rakyat agar mudah ditindas, membuat kekacauan sehingga rakyat menjadi “terpaksa” membutuhkan perlindungan Negara. Termasuk juga untuk membersihkan tangan Negara dari “pekerjaan-pekerjaan kotor”.

Kesemuanya hal diatas menegaskan tesis dasar bahwa negara bukanlah sebuah institusi yang netral. Negara juga bukanlah seorang “pelancong” yang kadang bisa hadir dan kadang kala tidak hadir. Berbagai produk hukum dirancang serta disahkan untuk melindungi klas yang berkuasa. Semua pejabat tinggi di Indonesia, presiden, menteri, legislatif, judikatif, jenderal-jenderal polisi dan tentara memiliki kekayaan yang membuatnya lebih dekat dengan posisi para pemilik modal ketimbang rakyat pada umumnya.

Secara politik, Rejim Militer Soeharto berdiri diatas dasar pembantaian tahun 1965. Mereka mendapatkan jabatannya, kekayaannya serta status sosial didalam masyarakat dengan memanipulasi sejarah. Dari menghancurkan kekuatan klas buruh dan rakyat, serta menjadikan klas buruh dan rakyat sebagai “massa mengambang”. Mereka yang paling mendapatkan keuntungan dari terus dimanipulasinya sejarah dan apa yang terjadi pada tahun 1965 dan selama Rejim Militer Soeharto berkuasa. Walau Reformasi 1998 berhasil menggulingkan Soeharto dan membuka sedikit banyak ruang demokrasi namun hingga kini mereka masih merupakan kekuatan politik yang dominan. Mereka adalah Partai Golkar dan pembelahannya–entah itu Gerindra, Hanura, Nasdem, dsb–serta Angkatan Darat.

Sementara kekuatan politik elit diluar orde baru tidak pernah secara konsisten memperjuangkan demokrasi. Oposisinya terhadap Rejim Militer Soeharto hanyalah sebatas kritik dan berharap Soeharto tidak dicalonkan kembali sebagai presiden. Bahkan ketika gelombang rakyat sedemikian besar menuntut “Reformasi Total” mereka justru ketakutan terhadap kekuatan rakyat dan berupaya meredamnya dengan membuat konsesi-konsesi pada sisa-sisa Rejim Militer Soeharto, dihasilkanlah Deklarasi Ciganjur.

Sehingga tidak mengherankan tidak ada elit-elit politik yang mendukung pemutaran Senyap atau bahkan menontonnya secara terbuka. Satu-satunya dukungan mungkin hanya surat dari Tjahyo Kumolo yang menyatakan tidak bisa hadir dalam pemutaran Senyap di TIM Jakarta pada 10 November 2014. Tapi toh setelah itu pembubaran demi pembubaran tetap terjadi.

Matinya Intelektual Kampus

Pada Rejim Militer Soeharto, kampus menjadi bagian untuk memperkuat manipulasi sejarah dan doktrinnya. Terdapat prosedur khusus atau Litsus untuk memeriksa apakah dosen atau pegawai kampus “bersih lingkungan” atau terlibat Komunis. Ribuan buku dilarang terbit, terutama buku-buku yang menjelaskan versi sejarah 1965 yang berbeda dari versi resmi Rejim Militer Soeharto. Civitas akademika wajib untuk mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Tentunya Pancasila versi dari Rejim Militer Soeharto. Ide-ide yang dipaksakan dalam P4 adalah masyarakat Indonesia yang statis, dimana rakyat Indonesia harus bekerja sama mendorong pembangunan. Serta menekankan peran angkatan bersenjata dalam menjaga tatanan dan tidak mengijinkan adanya ruang untuk perubahan. Doktrinasi tersebut diperkuat dengan kebijakan NKK/ BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus) yang melarang aktivitas politik apapun didalam kampus. Jika itu belum cukup maka militer dapat masuk kedalam kampus. Salah satunya melalui Resimen Mahasiswa yang memiliki hubungan langsung dengan komandan militer setempat.

Salah satu bagian dari perjuangan atau jika tidak, salah satu akibat dari keberhasilan Reformasi 1998 adalah pada kebebasan akademik. Kampus menjadi relatif bebas dari intervensi militer, berbagai organisasi mahasiswa bisa melakukan aktivitas politik didalam kampus, termasuk juga berbagai diskusi politik dan mata kuliah dengan tema-tema yang kritis dapat dilangsungkan. Dengan kebebasan akademik tersebut makan ilmu pengetahuan dapat berkembang.

Namun lambat laun dengan privatisasi kampus, universitas semakin lama semakin jauh dari kepentingan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebebasan akademik yang melandasinya. Kepentingan dari dunia universitas semakin lama hanyalah untuk akumulasi modal serta mengejar karir semata.
Intelektual kampus menerapkan swa-sensor terhadap pemutaran Senyap.

Pemutaran Senyap oleh Mahkamah FH UGM yang sebelumnya telah mendapatkan ijin kemudian dibatalkan pada hari H dengan alasan “menjaga keamanan kampus dari oknum-oknum tertentu di luar sana.” Sementara itu di Universitas Sanata Dharma, hal yang serupa terjadi, pemutaran Senyap dilarang oleh Rektor.

Di UGM pembubaran Senyap, yang diselenggarakan oleh LPM Sintesa, oleh Front Umat Islam mendapatkan respon dari Rektor UGM. Rektor UGM dan jajarannya menyatakan akan mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan pembubaran Senyap. Pernyataan sikap yang memunculkan antusiasme besar di aliansi Barisan Penyelamat Demokrasi saat itu. Oleh karena itu bersama dengan kawan-kawan LPM Sintesa UGM, BPD mengupayakan agar ada kerjasama dengan Rektor UGM dan Fisipol UGM untuk menyelenggarakan pemutaran Senyap secara besar-besaran.

Namun apa yang indah dalam pernyataan belum tentu indah dalam tindakan. Upaya sudah dilakukan untuk mengajak pihak UGM baik Rektorat maupun Fakultas Fisipol mengkonsolidasikan kekuatan dan melawan kelompok-kelompok anti demokrasi. Sebenarnya itu hanya merupakan upaya untuk memanifestasikan apa yang dikatakan oleh Rektor UGM di dalam pernyataan sikapnya. Namun dengan gaya khas birokrat, Dekan Fisipol UGM memberikan jawaban: kita diminta menunggu hingga para dosen, dekanat serta pimpinan universitas selesai berunding. Dan ketika mereka menemukan format acara yang tepat maka kita akan diijinkan bergabung.

Hal yang sama terulang lagi di UIN. Rektorat UIN yang sebelumnya mengijinkan pemutaran Senyap ternyata pada saat hari-H ikut memberangus kebebasan akademik dengan melarang pemutaran Senyap.


Tidak sekalipun kaum intelektual kampus itu secara serius mempertahankan kebebasan akademik serta ruang demokrasi di dalam kampus. Seketika bahaya mengancam, mereka melupakan semua seminar nasional dan internasional, diskusi, menjadi narasumber di media massa ternama tentang demokrasi, toleransi, kebebasan beragama, dsb. Bahkan diantara mereka yang paling maju pun hanya bisa menghasilkan pernyataan sikap tanpa tindakan nyata.

Demokrasi, kebebasan akademik, ilmu pengetahuan, tolerasi, kebebasan beragama bagi mereka adalah tema-tema untuk disertasi, buku, proposal pengajuan dana hibah ataupun topik-topik yang akan mereka bicarakan di seminar nasional dan internasional, di media massa ternama atau forum-forum berkelas lainnya. Tidak terkait dengan kepentingan mengkonsolidasikan kekuatan klas buruh dan rakyat untuk memperjuangkannya. Dan bukan sebuah nafas bagi pembebasan klas buruh dan rakyat tertindas.

Berhadapan Dengan Kelompok Fundamentalis Kanan dan Milisi Sipil Reaksioner

Dalam perdebatan di BPD berulang kali kelompok moderat mengemukakan bahwa kita harus melawan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner tersebut dengan strategi. Strategi…strategi….dan strategi, namun ketika menilik lebih dalam strategi yang dimaksud oleh kelompok moderat sebenarnya hanya pertama, bersembunyi dibalik para elit-elit politik dan kedua mencari cara melawan tapi tidak dengan perlawanan.

Dalam beberapa kesempatan kelompok-kelompok moderat tersebut justru menyeberang mendukung kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner entah itu disadari atau tidak disadari. Seperti aktivis-aktivis yang justru dibalik slogan damai dan anti kekerasan menyamakan perlawanan yang ingin dibangun oleh gerakan rakyat dengan kelompok fundamentalis. Sama-sama menggunakan kekerasan, sama-sama membuat konflik horizontal serta sama-sama tidak mau menggunakan otak tapi otot.

 Strategi Lama Menghasilkan Demoralisasi

Apa kongkritnya strategi perlawanan yang dimaksud oleh kelompok moderat tersebut? Garis yang mendasari strateginya adalah mengharapkan Negara untuk melindungi demokrasi.

Beberapa hal yang umumnya dilakukan konferensi pers, yang berisikan harapan agar Negara hadir, melaporkan kepada kepolisian dan mengawal jalannya proses litigasi di kepolisian. Semua proses tersebut akan ditambah dengan pendampingan atau konseling untuk mereka yang menjadi korban.

Hampir semua proses hukum terkait dengan penyerangan ruang demokrasi di Yogyakarta berhenti begitu saja. Kasus Irsyad Manji berhenti ditengah jalan walau sudah diambil alih oleh Kepolisian Daerah Yogyakarta. Demikian juga dengan kasus penyerangan pertemuan eks Tapol di Sleman. Termasuk juga kasus penyerangan aksi hari Transgender. Bahkan yang dilaporkan ke Presiden Jokowi saja tidak ada hasilnya hingga sekarang, yaitu pembubaran pemutaran Senyap di Fisipol UGM.

Konseling atau pendampingan kemudian hanyalah berarti meminta para korban menerima fakta bahwa dirinya menjadi korban. Dan agar korban terus menerus menerima bahwa ruang-ruang demokrasi bagi dirinya semakin tertutup. Pada akhirnya konseling tersebut hanya akan meyakinkan korban bahwa tidak ada gunanya melawan, karena tidak ada ruang bagi si korban sebagai seorang LGBT, sebagai seorang yang memiliki agama dan keyakinan minoritas, tidak ada ruang bagi suku, agama serta ras minoritas, tidak ada ruang bagi korban 1965 selain bersembunyi didalam “lemari”. Disitulah demoralisasi muncul.

Namun bukan saja korban yang bisa menjadi demoralisasi, keseluruhan gerakan juga menjadi terdemoralisasi. Ketika kita terkurung pada harapan agar Negara atau kepolisian bisa menegakan hukum dan menjaga demokrasi kita mengabaikan perspektif mendasar bahwa pertama negara bukanlah institusi netral dan kedua, tidak pernah ada sejarah elit-elit politik konsisten memperjuangkan demokrasi.

Semakin lama semakin nyata, Negara dan para elit-elit politik tidak kunjung hadir. Sehingga gerakan justru terus menerus mencari-cari strategi, taktik, metode yang disesuaikan dengan ruang demokrasi yang semakin sempit. Disesuaikan dengan apa yang sudah “ditetapkan” oleh kelompok fundamentalis kanan, milisi sipil reaksioner dan para elit-elit politik. 

Perjuangan direduksi menjadi mencari-cari ruang untuk ekspresi diri semata.
Salah satunya terlihat dari usulan agar aliansi, yang kemudian menjadi BPD, menggunakan bahasa atau istilah yang bisa diterima oleh kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Sebagai nama aliansi maupun tuntutan serta isu yang diangkat. Seperti menggunakan istilah “NKRI”, “Pancasila”, “Nasionalisme”, dsb, dsb.

Namun pertama sebenarnya itu hanya berarti melawan istilah dengan istilah (yang dimaknai) lain. Sama sekali tidak merubah akar dari penindasan tersebut. Penindasan (dalam hal ini penyerangan terhadap ruang demokrasi) berakar dari kepentingan ekonomi politik klas borjuis. Yang pertama adalah sejalan dengan semakin masifnya kebijakan neoliberal maka penyerangan terhadap ruang demokrasi akan dilancarkan untuk melindungi kebijakan neoliberal tersebut. Termasuk didalamnya kepentingan dari klas borjuis untuk terus memecah belah klas buruh dan rakyat berdasarkan atas suku, agama, ras, orientasi seksual, dsb. Dan kedua, para elit-elit politik dan jenderal-jenderal bisa berkuasa, kaya raya, dihormati dan memiliki jabatan terkait dengan Rejim Militer Soeharto dan kejahatan yang dilakukannya. Terbukanya ruang demokrasi (termasuk pengadilan HAM dan membuka ingatan sejarah) berarti akan juga menghancurkan kekuasaan para elit politik dan jenderal itu sendiri.

Kedua, istilah-istilah yang digunakan oleh kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner justru membatasi konsolidasi kekuatan demokratik itu sendiri. Penggunaan istilah “nasionalisme” atau “NKRI” tentunya akan membatasi keterlibatan dan perjuangan dari kawan-kawan Papua yang menuntut hak demokratis untuk menentukan nasib sendiri. Istilah-istilah yang digunakan oleh kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner itu juga telah bertahun-tahun digunakan untuk menindas klas buruh dan rakyat. Atas nama (kesaktian) “Pancasila”, jutaan orang dibantai dan Bung Karno digulingkan oleh jenderal-jenderal Angkatan Darat. Demikian pula atas nama NKRI, rakyat di Aceh, Papua dan Timor Leste ditindas bertahun-tahun.

Membangun Unit Pertahanan Diri

Satu hal yang juga ditolak oleh kelompok moderat adalah upaya untuk mengorganisasikan unit-unit pertahanan diri. Tidak heran, karena usaha ini bertentangan dengan tesis mereka bahwa Negara-lah yang harus bertanggung jawab melindungi klas buruh dan rakyat dari serangan kelompok fundamentalis kanan serta milisi sipil reaksioner.

Alasan penolakan tersebut bahwa itu berarti gerakan memicu konflik horizontal. Kita menjadi sama dengan kelompok milisi sipil reaksioner dan fundamentalis kanan karena menggunakan kekerasan. Serta akan memicu kekerasan selanjutnya.

Pada faktanya masyarakat memang bukan sebuah entitas yang tunggal. Masyarakat sudah terpecah menjadi para elit politik, para pemilik modal dan jenderal-jenderal yang berkuasa disatu sisi dengan klas buruh dan rakyat yang tertindas disisi yang lain. Agar kekuatan klas buruh dan rakyat tidak sadar dan bersatu untuk melawan mereka sebagai musuh sebenarnya maka para elit politik, pemilik modal dan jenderal-jenderal itu memecah belah klas buruh dan rakyat. Memecahnya berdasarkan atas suku, ras, agama ataupun jenis kelamin. Disitulah salah satu fungsi dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner.

Kita telah mengalami sendiri bagaimana ketika perlawanan rakyat coba ditelikung. Pada saat Reformasi 1998, kemarahan rakyat di alihkan dengan isu rasialisme. Serangan terhadap Rejim Militer Soeharto dialihkan pada etnis Tionghoa.

Menghadapi itu bukanlah dengan menghindari perlawanan terhadap kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Atau memperbesar ilusi bahwa Negara akan “hadir” menegakan hukum dan menghentikan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner.

Justru, rakyat harus mengetahui siapa musuhnya dan akar dari konflik SARA yang terus menerus dikobarkan. Sehingga yang harus dilakukan adalah propaganda untuk membongkar hubungan erat antara kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner dengan para elit politik dan pada akhirnya hubungan mereka semua dengan kekuatan Imperialis.

Namun upaya propaganda tersebut tidak akan berhasil dihadapan serangan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner. Karena mereka menyerang alat klas buruh dan rakyat untuk memperjuangkan, bahkan, kepentingan normatifnya. Mereka menyerang organisasi, pertemuan, rapat, diskusi serta aksi-aksi massa, membakar buku-buku ataupun terbitan klas buruh dan rakyat. Kepentingan dari kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner bukanlah untuk bernegosiasi dengan klas buruh dan rakyat. Mereka menjadi alat untuk menghancurkan alat perjuangan klas buruh dan rakyat.

Itu kenapa minimal dibutuhkan unit-unit pertahanan diri dari klas buruh dan rakyat itu sendiri. Unit-unit pertahanan diri tersebut bertujuan untuk memastikan serta mempertahankan alat-alat perjuangan klas buruh dan rakyat tetap ada.

Kita akan memprovokasi kekerasan dan akan jatuh korban jiwa begitu katanya. Inipun argumentasi yang memutar balikan fakta. Mereka beranggapan bahwa Negara beserta kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner itu tidak akan menyerang kita jika kita berdiam diri. Jika begitu maka kelompok moderat itu sama saja mengatakan bahwa peserta diskusi, mereka yang beribadah, mereka yang menonton Senyap, mereka-mereka yang kesemuanya dibubarkan, dipentungi-lah yang bersalah karena memprovokasi kekerasan.

Mungkin ironi bagi kelompok moderat dan para pencinta non violence bahwa justru dalam pemutaran Senyap di UIN-lah tidak ada korban, tidak ada penonton yang terluka, diintimidasi, dipentungi, diteriaki dan tidak ada yang ditangkap, dsb. Kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner itu akan semakin menjadi-jadi kebrutalan serta kebiadabannya ketika berhadapan dengan mereka yang ketakutan dan ragu-ragu. Namun tukang gertak itu ragu-ragu untuk maju selangkahpun ketika berhadapan dengan klas buruh dan rakyat yang sudah mempersiapkan diri untuk semua kemungkinan dan pertempuran yang akan terjadi.

Langkah-langkah Kedepan

Bagi mereka, kelompok moderat serta intelektual kampus, yang tidak memiliki taruhan apapun dalam berhadap-hadapan dengan kelompok fundamentalis kanan dan milisi sipil reaksioner tentu sangat mudah berputar-putar mencari istilah-istilah indah yang bisa diterima oleh semua orang. Ataupun mencari-cari bentuk perlawanan yang sekedar mengekspresikan diri dalam ruang-ruang yang sudah dibatasi oleh Negara dan kekuatan anti demokrasi. Ingin melawan tapi ragu melancarkan perlawanan tersebut hingga tuntas. Sebuah karakter dari klas menengah yang terombang-ambing antara kekuatan borjuis dan klas buruh.

Tapi bagi klas buruh dan rakyat, bagi kita kaum minoritas, LGBT, rakyat Papua, petani yang seluruh hidup dan masa depannya dipertaruhkan dengan adanya ruang demokrasi tidak bisa terus menerus menerima politik terombang-ambing dari klas menengah. Bagi kita ruang demokrasi harus terus dipertahankan dan diperjuangkan oleh klas buruh dan rakyat sendiri. Karena dengan ruang demokrasi tersebut maka akan lebih mudah bagi klas buruh dan rakyat untuk menghimpun kekuatan untuk menghancurkan kapitalisme. Untuk mempertahankan ruang-ruang demokrasi yang ada maka unit-unit pertahanan diri harus dibangun. Demikian kepeloporan, keteguhan dan ketepatan perspektif dalam perjuangan mempertahankan demokrasi sangat dibutuhkan bagi keberhasilannya. Dan itu semua sudah dibuktikan dengan keberhasilan pemutaran Senyap di UIN.

http://www.arahjuang.com/2015/04/05/berharap-negara-hadir-menonton-senyap-perdebatan-dibelakang-pemutaran-senyap/

0 komentar:

Posting Komentar