Test Footer 2

Rabu, 20 November 2013

Maaf, Sarwo Edhie Bukan Pahlawan Bangsa!

  • OPINI


Tanggal 10 November lalu, Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo menyampaikan ke media massa, bahwa Presiden SBY sudah menyetujui usulan pengangkatan Letnan Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo sebagai Pahlawan Nasional.
Kabar tersebut kontan menuai badai protes. Soe Tjen Marching, seorang warga Indonesia di London, Inggris, menggalang petisi online untuk membatalkan pemberian gelar pahlawan kepada Sarwo Edhie. Hingga 19 Oktober 2013, petisi itu sudah didukung oleh 5.282 orang.
Alasan penolakan pun cukup beragam. Sebagian besar menganganggap Sarwo Edhie bertanggung-jawab atas pembantaian massal pasca peristiwa G30S/1965. Sementara yang lain menganggap keputusan Presiden SBY menyetujui pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan sangat berbau nepotisme. Maklum, Sarwo Edhie adalah mertua Presiden SBY.
Alasan yang belakangan ini juga ada benarnya. Kalau mau jujur melihat sejarah, peranan Sarwo Edhie dalam panggung perjuangan bangsa nyaris tidak terlihat. Dia bukan tokoh yang berjibaku dalam perjuangan anti-kolonial dan pendirian Republik. Namanya juga tidak pernah didengunkan saat perjuangan bersenjata melawan kolonialisme Belanda antara tahun 1945-1949.
Sementara banyak tokoh yang terang-terangan berkontribusi besar bagi perjuangan anti-kolonial dan berdirinya Republik Indonesia, seperti Tan Malaka dan Mr. Amir Sjarifoeddin, belum diangkat sebagai pahlawan. Tan Malaka adalah pejuang anti-kolonial sejak tahun 1920-an. Dia juga adalah pengagas pertama Republik Indonesia melalui risalahnya Naar de Republiek Indonesia (1925).
Begitupula dengan Mr. Amir Sjarifoeddin. Dia berjasa besar dalam mengorganisir Kongres Pemuda tahun 1928. Dia juga aktif dalam gerakan anti-kolonial melalui Gerindo. Di jaman fasisme Jepang, dia memimpin perjuangan bawah tanah. Pasca kemerdekaan, Amir sempat menjabat Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan Perdana Menteri Republik Indonesia.
Nama Sarwo Edhie baru muncul pasca peristiwa G30S 1965. Saat itu, dia bersama Soeharto tampil sebagai tokoh utama penumpasan G30S. Tak hanya itu, dia pula yang memimpin pembantaian terhadap jutaan orang yang dituding PKI dan simpatisannya. Saat itu dia menjabat Komandan Pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Namun, setelah Orde Baru runtuh, berbagai fakta mengenai peristiwa G30S 1965 mulai terkuak. Saya kira, kita tidak bisa mengabaikan fakta-fakta baru tersebut. Termasuk arsip-arsip rahasia yang baru dibuka di AS, yang memperlihatkan adanya persekongkolan antara Angkatan Darat/Soeharto dan imperialisme AS untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Karena itu, tugas besar bangsa ini sekarang adalah mendalami temuan-temuan baru tersebut dan berlapang dada untuk melakukan koreksi terhadap sejarah yang sudah ‘dipelintir’ oleh rezim Orde Baru.
Pembantaian Massal
Saya kira, salah satu alasan terkuat untuk menolak pengangkatan Sarwo Edhie sebagai pahlawan adalah peranan aktifnya dalam memimpin pembantaian massal terhadap jutaan orang rakyat Indonesia karena dugaan terlibat sebagai anggota PKI atau simpatisan.
Fakta-fakta mengenai hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Sejarahwan John Roosa, yang tahun 2007 lalu menulis buku berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), mengungkap keterlibatan Sarwo Edhie selaku komandan RPKAD dalam pembantaian massal di Jawa Tengah. Menurut John Roosa, dari tanggal 3 Oktober hingga 18 Oktober 1965, keadaan Jawa Tengah tenang-tenang saja. Pembantaian baru dimulai setelah kedatangan RPKAD tanggal 18 Oktober 1965 di Ibukota Jawa Tengah, Semarang.
Sejarawan Baskara T Wardaya, yang mengutip Robert Cribb dalam The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies From Java and Bali (Monash University, 1990), menulis: “..mengapa pembunuhan di Jawa Tengah dimulai pada pekan ketiga Oktober, kemudian di Jawa Timur pada bulan November, lalu Bali pada bulan Desember 1965–semuanya terjadi setelah hadirnya RPKAD yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Sarwo Edhie.”
Malahan, Franz Magnis-Suseno dalam risalah berjudul Indonesia 1965-1966 Dalam Pengalaman Saya menulis: “Di pertengahan Oktober 1965 mulai tahap kedua, tahap paling mengerikan. Di Jogjakarta dan Jawa Tengah pembersihan-pembersihan dilakukan oleh RPKAD, tidak ada pembunuhan dari pihak non-militer.”
Dan faktanya memang begitu. Telegram Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, tanggal 4 November 1965, turut membenarkan hal tersebut. Menurut Telegram tersebut, pasukan RPKAD di daerah komando Jawa Tengah memberikan pelatihan dan senjata kepada para pemuda muslim. Sementara para pemimpin Angkatan Darat menangkapi para pemimpin tingkat atas PKI untuk diinterogasi, yang kelas teri ditangkap, dipenjara, atau dieksekusi secara sistematis. [1]
Jadi jelas, dari ketiga penjelasan di atas, pembantaian massal yang sangat massif di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali terjadi setelah ada dorongan dari pihak militer, yakni RPKAD. Jelas pula bahwa Sarwo Edhie merupakan orang paling bertanggung-jawab karena komando berada di tangan dia selaku Komandan.
Membunuh satu orang saja sudah kejahatan terhadap kemanuisaan. Apalagi, jika membantai jutaan orang. Sila kedua Pancasila jelas-jelas bicara kemanusiaan: peri-kemanusiaan. Kita tentu tidak mau, sejarah mencatat bahwa kita punya pahlawan penjahat kemanusiaan.
Penggulingan Soekarno Dan Keterlibatan AS
Saya kira, tidak ada yang bisa membantah, bahwa ujung dari peristiwa G30S adalah penggulingan pemerintahan Soekarno. Saat itu pemerintahan Soekarno mengambil jalan politik yang anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Tentu saja, negara-negara imperialis, terutama AS dan Inggris, sangat tidak senang.
Bradley Simpson, dosen sejarah di Universitas Princeton, Amerika Serikat, telah mengorek-orek arsip-arsip rahasia AS yang baru dibuka ke publik, seperti telegram (rahasia) Kedubes AS, memo sejumlah pejabat AS, kabel infomasi CIA, airgram Kedubes AS, dan lain-lain, dan menemukan fakta mengenai keterlibatan AS memprovokasi terjadinya peristiwa G30S 1965 dan kemudian mengolahnya untuk mendorong peralihan politik di Indonesia.
Dalam makalah Brad Simpson yang berjudul Amerika Serikat dan Dimensi Internasional dari Pembunuhan Massal di Indonesia (2011),  saya menangkap setidaknya ada dua kepentingan besar AS di Indonesia saat itu. Pertama, AS berkepentingan mengubah haluan politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia dan, kalau memungkinkan, memperluasnya.
Untuk mencapai dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih sejalan dengan kepentingan barat.
Dengan demikian, jika kita melihat peran Sarwo Edhie dalam panggung politik di tahun 1965 itu, dia beririsan atau satu perahu dengan kepentingan AS untuk menghabisi PKI, menggulingkan Soekarno, dan menciptakan pemerintahan pro-barat di Indonesia.
Dalam konteks menggulingkan Soekarno, peranan Sarwo Edhie bukan hanya dalam pembantaian massal, tetapi juga dalam menggerakkan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa, yang dibelakangnya ada donatur-donatur dari barat dan Jepang.
Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menggelar Rapat Umum di halaman FK-UI. Rapat umum itu dihadiri oleh Sarwo Edhie dan beberapa staffnya. Rapat itulah yang melahirkan istilah Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).
Pada kenyataannya, aksi-aksi mahasiswa itu digerakkan oleh militer dan didanai oleh AS dan sekutunya. Maulwi Saelan, seorang ajudan Bung Karno saat itu, dalam bukunya Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 1945 Sampai Kudeta 1966, menulis bahwa jaket yang digunakan oleh mahasiwa/pelajar saat demonstrasi menentang Soekarno adalah pemberian AS.
Selain itu, seperti diungkapkan oleh Professor Aiko Kurasawa, seorang peneliti soal sejarah Indonesia asal Jepang, bahwa Kedubes AS memberikan uang sebesar 50 juta dollar AS kepada Adam Malik. Lalu, Adam Malik menyerahkan uang tersebut ke Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Saat itu, KAP Gestapu dipimpin oleh Subchan Z.E. (NU) dan Harry Tjan Silalahi (Katolik).
Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan Dewi Soekarno kepada Professor Aiko, pemerintah Jepang juga memberikan sejumlah dana kepada Sofjan Wanandi, yang saat itu menjadi aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), untuk menggoyang pemerintahan Soekarno.
Selain terlibat menggalang aksi-aksi mahasiswa anti-Soekarno, Sarwo Edhie juga bertindak tanpa mematuhi hukum resmi menggerakkan RPKAD untuk menangkapi Menteri-Menteri pro-Soekarno. Termasuk penangkapan Waperdam I, Soebandrio. Tak hanya itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sarwo Edhi mengerahkan RPKAD untuk mengepung istana negara. Beruntung Soekarno berhasil dievakuasi ke Bogor. Tetapi, situasi ini telah dipakai Soeharto dan antek-anteknya untuk menekan Presiden Soekarno agar meneken Surat Perintah 11 Maret 1966. Ini jelas cara-cara barbarian dalam politik.
Pada tahun 1967, Sarwo Edhie dipindahkan ke Sumatera dan menjadi Panglima Kodam di sana. Di sana pun ia melanjutkan proyeknya melemahkan Soekarno dengan melarang keberadaan PNI di daerah tersebut.
Turut Mendirikan Orba
Tak diragukan lagi, Sarwo Edhie berjasa besar dalam mendirikan kediktatoran militer Orba yang berkuasa 32 tahun. Tak hanya membantu Soeharto dalam melibas PKI dan menggulingkan Soekarno, Sarwo Edhie turut menyusun tiang-tiang kekuasan Orba.
Kita tahu, sejarah kelam Indonesia di abad modern dimulai ketika Orde Baru berkuasa. Begitu memegang tampuk kekuasaan, rezim Orba mengundang kembali modal asing untuk mengeruk kekayaan alam Indonesia sebebas-bebasnya.
Tak hanya itu, rezim Orba menopang kekuasaannya selama 32 tahun dengan represi, pemberangusan hak berserikat dan menyatakan pendapat, penghancuran partai politik dan organisasi massa, pembungkaman pers, dan lain-lain.
Saya kira, berbagai persoalan besar yang dialami bangsa Indonesia hari ini, seperti hilanganya kedaulatan ekonomi dan politik, maraknya praktek korupsi, dominasi modal asing di segala bidang perekonomian, ketimpangan ekonomi, dan lain-lain, adalah sebagian merupakan warisan rezim Orde Baru.
Rezim Orde Baru, termasuk orang-orang yang menjadi arsiteknya, telah menghianati cita-cita Kemerdekaan. Orde Baru telah mengembalikan Indonesia sebagai budak dari negara-negara imperialis, terutam AS dan negara-negara barat. Kita sekarang kembali menjadi negara jajahan!
Pertanyaannya kemudian, pantaskah seorang penjahat kemanusiaan, yang atas perintah negeri-negeri imperialis, membantai jutaan rakyat Indonesia dijadikan pahlawan? Pantaskah orang yang mengembalikan ‘neokolonialisme’ di bumi Indonesia diangkat sebagai pahlawan? Silahkan dijawab dengan akal sehat.
Timur Subangun, kontributor Berdikari Online
——————————————
[1] Telegram 1326, dari Kedubes AS di Jakarta ke Kemenlu AS, 4 November 1965, POL 23-9 INDON, NA.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/maaf-sarwo-edhie-bukan-pahlawan-bangsa/#ixzz3yvYyWITE 

0 komentar:

Posting Komentar