Test Footer 2

Jumat, 14 Februari 2014

Mendiskusikan Tan Malaka Tanpa Mendiskusikan Bolshevisme

Bumi Rakyat 1917 | 13 Februari 2014
Lebih dari seratus orang membanjiri peluncuran dan diskusi bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi indonesia (TMGKRI) pada Rabu, 12 Februari 2014. Ruang kelas Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB) di Malang itu tak lagi cukup untuk menampung para peserta. Meskipun kursi kuliah telah dilipat, disingkirkan, dan para peserta duduk lesehan agar bisa memberi lebih banyak ruang, tetap saja jumlah peserta membludak hingga keluar pintu dan menyisakan belasan orang yang tidak bisa masuk ruangan. Ini menunjukkan bahwa ketertarikan terhadap Tan Malaka dan perannya dalam sejarah terus tumbuh besar meskipun sebelumnya terjadi insiden pembubaran diskusi serupa di Perpustakaan CO2 Surabaya oleh aparat dan FPI.

Harry A Poeze memberikan presentasi mengenai Tan Malaka di FIB, UB.
Harry A. Poeze, penulis buku tersebut hadir sebagai pembicara utama dan membahas jilid ke-4 TMGKRI yang baru selesai diterjemahkan Hersri Setiawan itu. Selama enam puluh menit lebih Poeze mengupas perjalanan hidup Tan Malaka, mulai dari kelahirannya, latar belakang, masa menempuh studi di Belanda, pecahnya Revolusi Oktober dan ketertarikan Tan Malaka terhadap Komunisme, kembalinya ke Indonesia, persentuhan dengan ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia) dan Sarekat Islam (SI), perannya dalam PKI dan Sekolah Rakyat, Pemberontakan 1926, masa pelarian, hingga kembali ke Indonesia serta perseteruannya dengan kelompok Stalinis dan berakhirnya nyawanya di tangan pasukan pemerintah negara yang kemerdekaannya turut ia perjuangkan sejak lama. Menutup penyampaian diskusinya, Poeze menambahkan bahwa penggalian makam dan tes DNA semakin membuktikan kebenaran keberadaan jenazah Tan Malaka.
Sayangnya penyampaian dan pembahasan Poeze dalam diskusi tentang Tan Malaka dan revolusi Indonesia itu lebih berat pada analisis historis dan kurang menitikberatkan (kalau tidak bisa dibilang tanpa) analisis ekonomi politik. Bisri, seorang aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dari Surabaya, melontarkan pernyataan mengapa Tan Malaka menentang pemberontakan 1926 yang dicetuskan oleh kelompok Prambanan. Menjawab itu, Poeze menyatakan bahwa Tan Malaka menganggap bahwa pemberontakan itu prematur dan akan jadi blunder yang menghancurkan PKI dan gerakan buruh di Indonesia. Selanjutnya Poeze menjelaskan posisi Tan Malaka saat itu menjabat sebagai wakil Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Timur Jauh dan khususnya Asia Tenggara dengan hak veto. Ditambahkannya pula dimana proses komunikasi antara Tan Malaka, para pimpinan PKI grup Prambanan, dan Moskow yang berjalan tidak disiplin. Keputusan dan rekomendasi Tan Malaka tidak digubris dan diteruskan oleh Alimin, para pimpinan PKI grup Prambanan bersikeras meneruskan pemberontakan meskipun restu dari Moskow juga tidak diberikan. Akhirnya sebagaimana yang diprediksi Tan Malaka, pemberontakan tersebut ditindas dengan mudah oleh rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Tak ada yang salah dari penyampaian Poeze di atas. Sayangnya tanpa disertai analisis teori Ekonomi Politik dan teori Marxis tentu tidak akan lengkap. Orang awam dengan mudah akan merespon, “Namanya juga berjuang, ya, pasti ada resiko menang atau kalah, yang penting dijalankan terlebih dahulu.”
Ada baiknya kita mengutip perkataan Lenin yang ia sampaikan dalam Pidato mengenai Pertanyaan-Pertanyaan Agraria. Lenin mengatakan bahwa syarat pertama bagi revolusi adalah strata penguasa berada dalam krisis dan tidak mampu terus berkuasa dengan cara yang lama. Tahun 1926 sudah lama meninggalkan krisis ekonomi yang muncul pasca Perang Dunia I tepatnya tahun 1917. Dunia, khususnya negara-negara Imperialis barat, termasuk Belanda sudah berhasil dalam melewati krisis dan mengonsolidasikan ulang kapitalisme. Sementara itu Uni Soviet mengalami keterisolasia akibat gagalnya revolusi-revolusi di Eropa, terutama revolusi di Jerman yang diharapkan bisa membantu ketertinggalan industri di Rusia dan menjebol isolasi. Apalagi pada tahun 1923, revolusi buruh di Tiongkok yang pecah dengan pemogokan-pemogokan serta insureksi buruh di Shanghai dan Hongkong malah berakhir dengan kegagalan tragis akibat politik Komintern yang salah. Saat itu kebijakan Komintern mengalami degenerasi dengan memakai formula teori dua tahap Menshevik dimana kaum buruh Tiongkok dipaksa membatasi revolusi mereka pada tahapan pertama atau tahapan demokratis nasional serta menyerahkan senjata pada Kuomintang sebagai pihak yang dicap borjuis nasional progresif. Akibatnya kaum buruh Tiongkok dan generasi komunis disana banyak yang meregang nyawa dibantai oleh Chiang kai Sek, sang pimpinan Kuomintang.
Syarat kedua revolusi menurut Lenin adalah pemeraman di lapisan tengah masyarakat yang berayun antara revolusi dan kontra revolusi. Massa rakyat di Indonesia (saat itu masih disebut Hindia Belanda) berada dalam kondisi stagnan dan malah menderita kemunduran. Banyak pemogokan dipukul balik dan dikalahkan akibat kemampuan kapitalisme Belanda yang sudah stabil dan menguat.
Syarat ketiga, yaitu buruh-buruh perlu siap berjuang dan berkorban untuk mengubah masyarakat. Syarat ini yang merupakan faktor penting sama sekali tidak terpenuhi di Indonesia. Jangankan kelas buruh secara keseluruhan, keanggotaan buruh di PKI pun saat itu sangatlah kecil. Bahkan mayoritas anggota PKI adalah kaum tani dan borjuasi kecil. Benarlah pandangan Tan Malaka bahwa rencana pemberontakan kelompok Prambanan tidak lebih dari tindakan avonturir, suatu putsch, aktivitas Blanquisme yang melangkahi massa khususnya massa buruh.
Dalam suatu peperangan, seorang Jenderal yang baik harus paham kekuatan sendiri, paham kekuatan musuh, dan paham kapan harus maju menyerang atau kapan perlu mundur dengan teratur untuk menghindari kehancuran total sembari mempertahankan diri dan menyusun kekuatan untuk kembali menyerang balik kelak di kemudian hari.
Pertanyaan lain yang seharusnya bisa dibahas dengan lebih menyeluruh adalah pertanyaan mengenai hubungan Tan Malaka dan Soekarno, tentang kedekatan dan perseteruan antara kedua belah pihak. Poeze hanya menjawab kurang lebih bahwa diantara mereka ada perbedaan besar yaitu politik diplomasi di pihak Soekarno-Hatta-Sjahrir-Amir dan politik perjuangan di pihak lain. Sebenarnya banyak fakta yang bisa dielaborasi lebih jauh. Mulai dari janji Soekarno pada sekutu tanggal 12 Oktober 1945 yang akan mengembalikan semua aset asing (berbeda jauh dengan politik Soekarno pada akhir 50an dan awal 60an), penangkapan semena-mena para pimpinan Persatuan Perjuangan (PP) termasuk Tan Malaka dengan restu Soekarno. Ditambah lagi program minimum PP yang perumusannya banyak dipengaruhi oleh Tan Malaka butir-butirnya sangatlah identik dengan Bolshevisme misalkan butir ke 3 yang berbunyi Lasjkar Ra’jat dimana penjelasannya kurang lebih berbunyi dipersenjatainya rakyat pekerja di Indonesia sesuai sektor kerjanya masing-masing, suatu definisi yang menyerupai laskar buruh atau garda/tentara merah pada Revolusi Oktober dan perang melawan kontrarevolusi di Uni Soviet. Kemudian butir ke-6 dan ke-7 berbunyi “Mensita dan menjelenggarakan pertanian (kebon)” dan “Mensita dan menjelenggarakan perindoestrian (pabrik, bengkel, tambang, dll.)” merupakan tuntutan/program yang sangat progresif saat itu.

Yohana Ilyasa, salah satu peserta bedah buku sekaligus pengelola Toko Buku Buruh Membaca, melontarkan mengenai Tan Malaka dan titik temunya dengan gagasan-gagasan Trotsky
Yohana Ilyasa, penanya dari Toko Buku Buruh Membaca, kemudian melontarkan pertanyaan bagaimana hubungan Tan Malaka dengan gagasan-gagasan Trotskyisme, mengingat pandangan Tan Malaka yang internasionalis, ingin mendorong revolusi sosial dan sosialisme secara internasional, bertolakbelakang dengan teori Sosialisme di Satu Negeri yang dirumuskan Stalin. Terhadap ini sekali lagi Poeze lebih menekankan pada analisis historis. Bagaimana Trotsky diusir dari Rusia, semua pihak yang mengkritik Stalin dicap sebagai Trotskyis, penggunaan Trotskyis sebagai cap peyoratif kepada Tan Malaka yang menentang pemberontakan 1926, dan bagaimana Tan Malaka menolak konfrontasi langsung dengan Stalinisme di lapangan teori sambil menghindar dan menggunakan buku-buku dari Rusia yang anti-Trotskyisme untuk menepis tudingan Trotskyis yang dilekatkan pada dirinya. Poeze menutup jawabannya dengan mengatakan bahwa Tan Malaka bukan dan tidak pernah mengaku sebagai seorang Trotskyis.
Hal ini merupakan suatu hal yang agak aneh bilamana kita tidak hanya menangkap pernyataan Poeze namun juga menelusuri tulisan-tulisan Poeze baik dari empat jilid TMGKRI maupun buku biografi Tan Malaka pra 1945. Dalam jilid pertama TMGKRI misalnya Poeze menulis bahwa saat menghadapi perdebatan dengan Wikana dan Aidit, khususnya saat Aidit menanyakan mengenai program pembangunan lima tahun Stalin, Tan Malaka menjawab bahwa rencana itu merupakan rencana Trotsky yang dicuri Stalin. Bagaimana Tan Malaka bisa tahu hal ini kalau ia tidak mengikuti perseteruan antara Stalin yang saat itu berpihak pada Bukharin yang mendukung pertumbuhan ekonomi kura-kura dan mempertahankan Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) dengan Trotsky dan para pendukungnya yang menuntut perlunya melakukan industrialisasi di Rusia melalui pembangunan lima tahun dan disertai program kolektivisasi sukarela? Apalagi menurut buku biografi Tan Malaka yang juga ditulis Poeze namun rentang waktunya pra-1945 menyebutkan bahwa pembukaan sekolah rakyat dan kongres PKI disertai pemasangan potret Lenin dan Trotsky.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Tan Malaka lebih berpegang pada teori Bolshevisme dan bukannya Trotskyisme. Ini dengan garis bawah bahwa hingga kemenangan revolusi buruh di Rusia, posisi Lenin dan Trotsky tidak jauh berbeda. Hal ini bisa dilihat dari teori Lenin yang dituangkan dalam Tesis April dan teori Trotsky di Revolusi Permanen, yang sampai pada kesimpulan yang sama bahwa revolusi di Rusia sebagai negara dengan industri terbelakang tidak hanya berhenti ke tahapan demokratis nasional namun diteruskan ke revolusi sosial serta mengambil alih kekuasaan negara melalui penggulingan demokrasi borjuis parlementer dan penyerahan kekuasaan ke soviet (Dewan-Dewan Pekerja). Masalah keterbelakangan industri di Rusia bisa ditolong dengan membantu revolusi-revolusi di negara industri maju,  khususnya Jerman yang saat itu berada dalam prospek tinggi revolusi sosial, yang bilamana menang akan membantu negara buruh dengan industri terbelakang.
Bisa jadi Poeze memandang bahwa Trotskyisme, sebagai suatu aliran Marxis, di sisi lain lebih banyak diformulasikan dalam analisisnya terhadap Uni Soviet (pasca kegagalan revolusi-revolusi di Eropa dan keterisolasiannya serta penguasaannya oleh kaum birokrasi) yang merupakan Negara Buruh yang terdegenerasi. Sementara Tan Malaka dalam pernyataan-pernyataannya masih mengacu ke Uni Soviet sebagai negara sosialis (tanpa analisis lebih lanjut). Kemudian juga taktik entrisme ke partai buruh serta taktik front persatuan juga sangatlah berbeda dengan pandangan dan kebijakan yang diambil Tan Malaka pasca proklamasi. Persatuan Perjuangan pun secara esensial sangatlah berbeda dengan teori Front Persatuan atau United Front yang dianut Lenin dan Trotsky. Sayangnya mengenai benar tidakkah pertimbangan ini yang dipakai Poeze sejauh ini hanyalah asumsi penulis belaka.
Memang berbeda dengan Max Lane seorang peneliti yang juga banyak menulis tentang revolusi Indonesia dan juga sekaligus seorang Marxis, sampai sekarang Poeze tidak pernah menyatakan dirinya sebagai seorang Marxis atau bukan. Namun perannya dalam melakukan penelitian, menggali bukti, menghimpun dokumen, serta menulis sejarah tentang Revolusi Indonesia tak bisa dipungkiri sangatlah besar. Apalagi kegiatan demikian sudah dilakukannya semenjak tahun 1980 dimana kekuasaan rezim fasis Orde Baru pimpinan Soeharto berdiri dengan kokoh dan memberangus semua hal yang (dianggap) berhubungan dengan Marxisme dan perjuangan kelas. Apabila di masa depan kelak bisa diadakan pendiskusian dengan Harry A. Poeze dengan partisipasi pembicara dari kaum Marxis di Indonesia yang tidak hanya bisa memberikan pemaparan melalui perspektif Marxisme namun juga menyampaikan relevansi teori Tan Malaka dengan perjuangan sosialisme saat ini, tentu akan bisa memberikan sumbangsih tidak hanya dalam bentuk pengetahuan sejarah namun juga warisan untuk perjuangan kelas buruh demi menumbangkan kapitalisme dan imperialisme.
Sumber http://bumirakyat.wordpress.com/2014/02/13/mendiskusikan-tan-malaka-tanpa-mendiskusikan-bolshevisme/

0 komentar:

Posting Komentar