Sejak 17 Agustus 1945 aku menjadi 
warganegara Indonesia, sebagaimana halnya dengan puluhan juta orang 
penduduk Indonesia waktu itu. Waktu itu umurku 20. Tetapi aku sendiri 
berasal dari etnik Jawa, dan begitu dilahirkan dididik untuk menjadi 
orang Jawa, dibimbing oleh mekanisme sosial etnik ke arah ideal-ideal 
Jawa, budaya dan peradaban Jawa. Kekuatan pendidikan yang dominan dan 
massal adalah melalui sastra, lisan dan tulisan, panggung, musik dan 
nyayian, yang membawakan cuplikan-cuplikan dari Mahabharata: sebuah 
bangunan raksasa yang terdiri dari cerita falsafi dan tatasusila, 
acuan-acuan religi, dan dengan sendirinya resep-resep sosial dan 
politik. Enerzi, dayacipta, pergulatan, telah dikerahkan berabad, 
melahirkan candi-candi dan mythos tentang para raja yang sukses, dan 
mendesak dewa-dewa setempat menjadi dewa-dewa kampung. 
Untuk itu 
“jutaan” manusia sepanjang sejarah etnikku terbantai. Tentu saja tidak 
angka resmi bisa ditampilkan. Yang jelas, sejalan dengan pendapat pakar 
Cornell, Ben Anderson, klimaks Mahabharata adalah “mandi darah 
saudara-saudara sendiri”. Memang pada jamannya sendiri bangsa-bangsa 
lain juga pernah mengalami peradaban dan budaya ‘kampung’ demikian. Yang
 berhasil keluar dari kungkungannya, jadilah bangsa yang merajai dunia.
Pada awal abad 17 masyarakat Belanda 
menghimpun dana untuk membiayai pelayaran-pelayaran mencari 
rempah-rempah, melintasi sejumlah samudra dan menghampiri sejumlah 
benua. Di negeriku, beberapa belas tahun kemudian, tepatnya pada 1614, 
raja Jawa yang paling kuat dan berkuasa, raja pedalaman, generasi kedua 
dan raja ketiga Mataram, Sultan Agung, justru menghancurkan negara 
bandar dagang Suarabaya, hanya karena membutuhkan pengakuan atas 
kekuasaannya. Ironi histori Jawa termaktub di sini: pada waktu Belanda 
mengelilingi dunia mencari rempah-rempah, Surabaya suatu bandar transit 
rempah-rempah yang sama untuk konsumsi internasional dihancurkan oleh 
seorang raja pedalaman Jawa, Sultan Agung.
Mataram sendiri adalah kerajaan kuat 
kedua di Jawa yang menyingkiri laut karena tidak ingin menghadapi 
kedahsyatan Portugis di laut. Sultan Agung ini juga yang gagal total 
menghalau koloni kecil Belanda di Batavia pada 1629. Kekalahan itu 
membuat Mataram kehilangan Laut Jawa, laut pelayaran internasional pada 
masanya. Untuk menghilangkan malu yang diderita, untuk memperthankan 
kewibawaan Mataram, para pujangga etnik Jawa berceloteh, bahwa pendiri 
Mataram, ayah Sultan Agung, mempersunting puteri Laut Selatan (pulau 
Jawa), Nyi Roro Kidul. Untuk menyatakan, kata Prof. H. Resink, bahwa 
Mataram masih punya keterlibatan dengan laut.
Dalam kronik etnik Jawa, Sultan yang 
satu ini diagungkan begitu tinggi dengan membuang segala faktor yang 
memalukan. Juga dalam pengajaran sejarah dalam Republik Indonesia 
sekarang. Orang akan membelalak bila mengikuti materi tertulis orang 
Barat tentang dia. Sedang pendiri Mataram, Sutawijaya, dengan dalih 
ingkar janji sebagai didendangkan oleh para pujangga etnik Jawa, marak 
jadi raja setelah membunuh ayah angkat yang membesarkannya, yang 
memberinya fasilitas sebagai seorang pangeran. Kronik yang diwariskan 
pada kami tidak pernah ada yang menyinggung tentang nurani, yang 
nampaknya memang tak terdapat dalam pembendaharaan bahasa Jawa.
Diawali dengan kekalahan Sultan Agung, 
hilangnya kekuasaan atas jalur dagang di L. Jawa, beroperasinya 
kapal-kapal meriam Barat, golongan menengah Jawa, yang senyawa dengan 
pemilikan kapal dan pedagang antar-pulau serta internasional terhalau 
dari bandar-bandar dan tergiring ke pedalaman, menjadi mundur, dan 
terjatuh dalam kekuasaan satria pedalaman dan ikut mundur.
Namun para pujangga pengabdi sistim 
kekuasaan, menyingkirkan kenyataan yang menggejala ini. Setelah Sultan 
Agung marak, Mataram ke 4 justru bersahabat dengan Belanda. Para 
pujangga tetap tidak mengambil peduli. Nyai Roro Kidul, justru dibakukan
 sebagai kekasih setiap raja Mataram, generasi demi generasi, 
dikembangkan kekuasaannya sedemikain rupa sehinggga menjadi polisi. aneh
 tapi nyata bahwa semua ini terjadi sewaktu Jawa praktis mulai memeluk 
Islam. Penyebaran agama baru ini tidak disertai peradabannya sebagaimana
 halnya dengan hindusisme, karena praktis sebagai akibat sekunder dari 
terhalaunya para pedagang Islam dari jalur laut oleh kekuatan Barat yang
 Nasrani, kelanjutan dari penghalauan atas kekuasaan Arab di Semenanjung
 Iberia. Dapat dikatakan penyebaran Islam di Jawa adalah akibat sekunder
 dari gerakan Pan-Islamisme internasional pada jamannya.
Lebih mengherankan lagi bahwa pada waktu
 tulisan ini dibuat, Nyai Roro Kidul telah dianggap menjadi kenyataan. 
Sebuah hotel di pantai selatan Jawa Barat menyediakan kamar khusus untuk
 Dewi Laut Selatan tersebut. Bagaimana bisa terjadi suatu negara yang 
berideologi Pancasila, dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai silanya 
yang pertama menerima kehadiran seorang dewi laut, kekasih para raja 
Mataram. Para pujangga tidak pernah teringat bahwa dengan kekuasaan 
tanpa batas Dewi Laut Selatan, Mataram tidak pernah menang dalam 
konfrontasinya dengan kekuasaan Barat yang datang dari ujung dunia.
Sejak kegagalan Sultan Agung, Jawa tetap
 terkungkung dalam peradaban dan budaya ‘kampung’, ditelan mentah-mentah
 oleh Belanda selama 3 1/2 abad. Sungguh tragi-komedi yang mengibakan. 
Sedang Belanda datang hanya dengan kekuatan sebiji sawi, bangsa 
berjumlah kecil, negeri kecil, di ujung utara dunia, setelah melintasi 
Samudera Atlantik, Hindia, Pasifik. Juga dalam perut kekuasaan Belanda, 
Jawa tetap memuliakan peradaban dan budaya ‘kampung’nya dengan klimaks 
‘kampung’nya: “mandi darah saudara-saudara sendiri”, sampai 1965-66. …. 
Dan karena sudah tidak dalam perut kekuasaan Eropa lagi, jelas 
pembantaian mencapai skala tanpa batas.
Penjajahan Belanda, atau Eropa, atas 
negeriku telah banyak meredam klimaks-klimaks ini. Tanpa penjajahan, 
negeriku akan tiada hentinya mencucukan darah putera-puterinya. 
Perebutan tempat kedua setelah Belanda dalam kekuasaan administrasi di 
Jawa dalam pertengahan abad 18, yang konon mengucurkan seperempat dari 
jumlah penduduk wilayah kerajaan Jawa. Sedang seorang pangeran yang 
mendapat tempat ketiga setelah Belanda, Mangkunegara I, baru-baru ini 
malahan diangkat menjadi pahlawan nasional. Maka itu seorang wisatawan 
mancanegara yang mempunyai pengetahuan tentang Jawa dan Indonesia akan 
mengangguk mengerti mengapa dalam tahun 80-an menjelang akhir abad 20 
ini patung para Satria Pandawa berangkat perang naik kereta perang di 
Jalan Thamrin, Jakarta. Itulah patung dalam babak klimaksnya 
Mahabharata, “mandi darah saudara-saudara sendiri”.
Dalam penjajahan selama 3 1/2 abad 
kekuatan etnikku tidak pernah menang menghadapi kekuatan Eropa, di semua
 bidang, terutama bidang militer. Para pujangga dan pengarang Jawa, 
sebagai bagian dari pemikir dan pencipta dalam rangka peradaban dan 
budaya ‘kampung’ menampilkan keunggulan Jawa, bahkan dalam menghadapi 
Belanda, Eropa, Jawa tidak pernah kalah. Cerita-cerita masturbasik yang 
dipanggungkan, juga yang tertulis, juga cerita lisan dari mulut ke 
mulut, menjadi salah satu penyebab aku selalu bertanya: mengapa etnikku 
tidak mau menghadapi kenyataan? Sedikit pengetahuan yang kudapatkan dari
 sekolah dasar dan sedikit bacaan dari literatuir Barat, mula-mula tanpa
 kusadari, makin lama makin kuat, membuat aku melepaskan diri dari 
peradaban dan budaya ‘kampung’ asal etnikku sendiri. Sekali lagi maaf. 
Di luar Jawa pernah suatu kekuatan etnik menang mutlak atas Eropa. Itu 
terjadi di Ternate pada 1575. 
Portugis diusir dari bentengnya dan 
menyerah. Karena ini tidak terjadi di Jawa, tentara yang menyerah itu 
tidak dibikin mandi darahnya sendiri, tetapi digiring ke pantai, 
diperintahkan menunggu sampai dijemput armada Portugis. Dan karena 
terjadi jauh di luar Jawa, di Maluku, tidak pernah disinggung dalam mata
 pelajaran sejarah resmi sampai 1990 ini. Mungkin perlu waktu sampai 
seorang peneliti asing menerbitkan karyanya. Atau mungkin sudah pernah 
terbit hanya aku saja yang tidak tahu.
Sekiranya dahulu aku terdidik suatu 
disiplin ilmu, misalnya ilmu sejarah, aku akan lakukan penelitian yang 
akan menjawab: mengapa semua ini terjadi dan terus terjadi. Tetapi aku 
seorang pengarang dan pendidikan minim, jadi bukan materi-materi 
historis yang kukaji, tetapi semangat-semangatnya, yang kumulai dengan 
tetralogi Bumi Manusia, khusus menggarap arus-arus yang datang dan pergi
 dalam periode Kebangkitan Nasional Indonesia. Dan jadilah kenyataan 
baru, kenyataan sastra, kenyataan hilir, yang asalnya adalah hulu yang 
itu juga, kenyataan historis. Kenyataan sastra yang mengandung di 
dalamnya reorientasi dan evaluasi perdaban dan budaya, yang justru tidak
 dikandung oleh kenyataan historik. Jadinya karya sastra adalah sebuah 
thesis, bayi yang memulai perkembangannya sendiri dalam bangunan-atas 
kehidupan masyarakat pembacanya. Dia sama dengan penemuan-penemuan baru 
di segala bidang, yang membawa masyarakat selangkah lebih maju.
Sengaja kuawali dengan thema Kebangkitan
 Nasional Indonesia–yang walau terbatas di bidang regional dan nasional 
namun tetap bagian dari dunia dan umat manusia–setapak demi setapak juga
 kutulis pada akar historinya, yang untuk sementara ini belum siap 
terbit, atau mungkin tidak akan bisa terbit. Dengan demikian telah 
kucoba untuk dapat menjawab: mengapa bangsaku jadi begini, jadi begitu. 
Maka juga aku tidak menulis sastra hiburan, tidak mengabdi pada status 
quo, bahkan berada di luar dan meninggalkan sistem yang berlaku. 
Akibatnya memang jelas: dianggap menganggu status quo dalam sistem yang 
berlaku. Dan karena menulis adalah kegiatan pribadi–sekalipun pribadi 
adalah juga produk seluruh masyarakat, masa sekarang dan masa 
lalunya–konsekwensinya pun harus dipikul sendirian. Dan kalau ada 
simpati datang padanya, darimana pun datanganya, bagiku itu suatu nilai 
lebih, yang sebenarnya tak pernah masuk dalam hitunganku. Untuk itu 
tentu saja kuucapkan terimakasih.
Sebelum sampai pada tetralogi, telah 
kutulis sejumlah karya yang semua bakalnya bermuara padanya. Dalam kurun
 ini pun sudah mulai permusuhan dari kalangan yang pada masa itu sedang 
giat memburu status quo. Dan mengherankan, bahwa pada mulanya 
karya-karya itu disambut dengan cukup baik, bahkan beberapa kali malah 
mendapatkan hadiah penghargaan. Terutama semasa demokrasi terpimpin 
dalam tahun-tahun akhir 50-an dan paroh pertama 60-an periode doktrin 
Trisakti–berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, 
berpribadi di bidang kebudayaan–suatu doktrin universal bagi negara 
nasionalis di manan pun berada, namun menjadi momok bagi negara-negara 
padat modal yang haus ladang usaha di seluruh muka bumi. Sejarah 
mengajarkan banyak tentang kekuasaan modal. Bangsa-bangsa merdeka diubah
 menjadi bangsa kuli, orang-orang lugu dibentuk menjadi komprador, 
pengangguran diubah menjadi pembunuh bayaran dengan sergam dan tanda 
pangkat, rimba-belantara diretas-retas dengan infrastrktur, kota-kota, 
pelabuhan, muncul dari tiada atas perintahnya, tenaga kerja disedotnya 
dari mana saja, sampai-sampai dari dusun yang tak pernah terdengar jelas
 namanya. Pemerintah dari sekian banyak negara dibuatnya hanya jadi 
pelaksana kemauannya, dan bila sudah tak dihekendakinya, dijatuhkannya. 
Itu cerita yang membosankan, yang menjadi bagian pengalaman banyak 
bangsa di dunia, dan pengalaman setiap orang yang memikul akibatnya 
bersama-sama, baik yang mendapatkan keuntungan darinya mau pun yang 
dirugikan olehnya. Dan setiap pengalaman bagi seorang pengarang menjadi 
fondasi bagi proses kreativitasnya, tak perduli pengalaman itu indrawi 
atau pun batiniah.
Apakah Indonesia dengan kemerdekaannya 
akan menyesuaikan diri dengan kekuasaan modal yang tidak berkebangsaan 
itu atau akan menentangnya seperti selama itu dibuktikan dengan revolusi
 1945? Sudah sejak tahun-tahun revolusi, Soekarno menolak tawaran 
monopoli dari Ford dengan imbalan pembangunan jalan raya 
trans-Sumatra-Jawa. Dalam perkembangan semasa kemerdekaan nasional, dia 
juga yang mengenyampingkan alternatif penyesuaian: blok kapitalis dan 
blok komunis. Bukan suatu kebetulan bila dia jugalah yang melahirkan 
istilah Dunia Ketiga. Apa pun keberatan orang tentang sejumlah 
kelemahannya, jelas ia mempunyai faktor intern keindonesiaan prima. Ia 
tak menghendaki negaranya menjadi hemesphere blok mana pun. Dan 
Indonesia semakin terperosok dalam kesulitan ekonomi. Dalam kesulitan 
ekonomi luar biasa ini aku memberikan dukunganku, dan dengan sendirinya 
ikut mendapatkan bagian dari kesulitan tersebut. Dukungan juga datang 
dari hampir semua organisasi dan gerakan, termasuk gerakan yang 
mendukung untuk menjatuhkan Soekarno. 
Dalam masa ini LEKRA mengangkat 
aku jadi anggota plenonya. Orang bilang organisasi ini adalah organisasi
 mantel PKI. Sampai sekarang pun aku masih heran, mengapa apa saja yang 
bersangkutan dengan PKI dicap sebagai sesuatu yang jahat. Yang jelas 
partai ini kontestan pemilihan umum yang tampil sebagai salah satu 
pemenang, bukan partai bandit tanpa idealisme. Artinya partai itu bukan 
kekuatan yang sudah berkuasa dan menerapkan sistim kekuasaannya. 
Perlu 
kukedepankan soal kekuasaan, karena yang ini cenderung membuat orang 
jadi bandit, apalagi kalau puluhan tahun dipegangnya, dan tanpa pernah 
berkenalan dengan semangat Verlichting, Aufklärung, masih terkungkung 
dalam peradaban dan budaya ‘kampung’.
Puluhan tahun sebagai warganegara 
Indonesia dengan tanah airnya yang berupa jajaran gunungapi dan 
penduduknya yang berupa sebaran gungapi lainnya, setiap waktu bisa 
meletus tanpa pemberitahuan, membuat bawahsadar penuh sesak dengan 
pengalaman indrawi dan batini.
Dalam penahanan selama 14 tahun 2 bulan,
 terampas dari semua dan segala, semua pengalaman yang telah lalu aku 
renungkan dari bawah larsa militer yang menginjakku. Semua menjadi lebih
 jelas, bahwa semua itu hanya pengalaman alamiah belaka, suatu lingkaran
 setan histori dari peradaban dan budaya ‘kampung’ tanpa reorientasi ke 
dalam atau pun ke luar. Sedang kelahiran apa pun yang dinamakan Orde 
Baru ini tidak lain dari ulangan kejadian sejarah pada dasawarsa kedua 
abad 13, dimythoskan oleh pujangga Jawa beberapa abad kemudian sebagai 
legenda Gandring.
Seorang pemuda, digambarkan sebagai 
berandalan, memesan keris pada seorang empu keris bernama Gandring. 
Pemesan itu, Ken Arok, membunuhnya sebelum keris itu usai. Tentu saja 
semua dilakukan dengan rahasia. Senjata tajam itu secara rahasia pula 
dipinjamkan pada Kebo Ijo, yang ke mana-mana pamer dengan keris 
pinjaman, dan bertingkah seakan miliknya sendiri. Pada suatu kesempatan 
Ken Arok mencurinya dan dengannya ia membunuh penguasa Singasari. Kebo 
Ijo dihukum mati dan Ken Arok menggantikan Tunggul Ametung sebagai 
penguasa. Empu Gandring, sebelum menghembuskan nafas penghabisan, sempat
 menyatakan kutukan: “Arok, anak dan cucunya, 7 raja, akan terbunuh oleh
 keris itu!” Memang sejarah membuktikan beberapa raja terbunuh, tidak 
sampai 7, namun pola dari kedua dasawarsa abad 13 tersebut terjadi dan 
terjadi tanpa tercatat, dalam berbagai varian. Dan dalam abad 20 ini, 
masih tetap di Jawa, Empu Gandring tersebut menitis dalam di;-Soekarno, 
sang pandai Pancasila.
Anak desa Pangkur ini (sampai abad 20 di
 Jawa hanya ada satu desa dengan nama ini, Kecamatan Pangkur, Kabupaten 
Ngawi) tidak pernah diberitakan mendapatkan pendidikan standard 
semasanya. Yang diberitakan adalah ia putera Brahma, Ciwa, dan Wisnu 
sekaligus. Yang jelas ia anak cerdik, pemberani, dan pandai. Mungkin 
karena pendidikan standardnya minim, boleh jadi malah nihil, dengan 
lindungan para dewa utama, dengan kekuasaan di tangan, telah menutup 
babak Hindu Jawa dan mengawali babak Jawa Hindu. Candi makam terbesar di
 Jawa Timur, Kagenengan, adalah candi makamnya, sekalipun sekarang sudah
 tak ada sosok bentuknya lagi.
Ken Arok abad ke 13 datang padaku waktu 
aku dalam pengasingan di Buru. Tanpa Buru barang tentu ia takkan temukan
 aku, dan dia akan tinggal terkerangkeng dalam legenda. Para dewa utama 
abad 13 itu masih tetap dewa utama abad 20, penguasa modal, teknologi, 
informasi. Hanya, waktu kutulis kisah Arok dan Dedes dalam pengasingan 
di Buru, penampilannya aku persolek dengan tafsiran baru agar dapat 
keluar dari kerangkeng legenda.
Tentu saja akan ada yang tidak setuju 
dengan pikiran ini. Dan memang aku tak mengharapkan persetujuan siapa 
pun. Sebaliknya siapa pun dapat pikirannya masing-masing, apalagi kalau 
yang bersangkutan tidak pernah diperlakukan seperti diriku, khususnya 10
 tahun dibuang dan kerjapaksa di Buru. Seorang sesama tapol–sudah tak 
teringat olehku siapa namanya–mengajukan pertanyaan: apakah siklus Arok 
tidak bisa digantikan dengan gambaran lain? Bisa, dan setiap orang bisa 
membuatnya untuk dirinya sendiri bila punya perhatian, kepentingan dan 
kemauan, asal tidak melupakan pola peradaban dan budaya ‘kampung’ yang 
itu-itu juga, lingkaran setan, yang hanya bisa diputuskan oleh 
reevaluasi atasnya, Verlichting, Aufklärung, yang menghasilkan 
kreativitas yang menjebol plafonnya sendiri.
Tentu saja Orde Baru akan menanggapi 
dengan klisenya: itu pembelaan untuk PKI. Itu hak Orde Baru untuk 
membela diri. Yang jelas, pada masanya partai ini sah, legal, salah satu
 kontestan pemenang dalam pemilu, dan karenanya juga mempunyai beberapa 
orang menteri dalam kabinet. Dia takkan mengkup kemenangannya sendiri. 
Kup cenderung dilakukan oleh partai yang kalah dalam pemilu, bahkan 
tidak ikut pemilu.
Dr. J. Krom pernah menyatakan, bahwa 
petualangan Arok sebelum berkuasa merupakan “schelman roman”. Betul. 
Juga betul, bahwa dalam konsep kekuasaan a la Jawa, dan mungkin juga 
pada bangsa dari etnis-etnis lain di dunia dengan peradaban dan budaya 
‘kampung’nya, hanya kekuasaan adikodrati saja yang memungkinkan sesuatu 
bisa terjadi, maka maraknya seseorang di singgasana kekuasaan hanya 
terjadi dengan ridlanya. Ini satu lagi acuan ideal-ideal dan peradaban 
Jawa tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah ridla Tuhan dan kalau sudah 
dicapai, jadilah ia orang kedua sesudah Tuhan. Dengan kekuasaan, semua 
kejahatan akan terbasuh, bahkan dibenarkan, halal. Selanjutnya menyusul 
tulisan dan ucapan dari mereka yang ikut mendapatkan keuntungan darinya.
Pernah didongengkan padaku semasa kecil,
 juga dari bacaan, bahwa yang jahat akan dikalahkan oleh yang baik. Yang
 tidak pernah didongengkan: yang baik dengan sendirinya juga akan 
dikalahkan oleh yang jahat. Suatu mata rantai yang sambung-menyambung. 
Kalau rangkaian itu tidak ada, tak tahu lagi orang mana yang baik dan 
mana yang jahat. Suatu lingkaran setan yang tak habis-habisnya.
Sebagai pengarang tentu saja dilontarkan
 padaku pertanyaan yang tidak kalah klisenya: apakah akan menulis 
tentang masa sekarang? Kan sudah banyak menulis tentang masa lewat yang 
sudah jadi sejarah? Lagi pula yang sekarang toh juga sejarah, sejarah 
kontemporer?
Memang banyak dan akan semakin banyak 
sarjana menerbitkan penelitiannya tentang berbagai aspek Orde Baru. 
Mereka banyak membantu kita dalam memahami banyak hal. tetapi sebagai 
pribadi dan pengarang yang ikut memikul beban perubahan, aku 
memandangnya dengan timbangan nasional. Era Soekarno dengan Trisaktinya 
tak lain sebuah thesis. Orde Baru antithesis. maka itu bagiku memang 
belum bisa ditulis, suatu proses yang belum bisa ditulis secara sastra, 
belum merupakan suatu keutuhan proses nasional, karena memang masih 
menuju pada sinthesisnya.
Masih di Buru, seorang wartawan 
Indonesia yang bertingkah-laku sebagai jaksa, mengajukan pertanyaan, 
apakah aku tidak menaruh dendam terhadap Orde Baru? Ini adalah proses 
nasional, bukan urusan dendam pribadi. Apa yang kami ceritakan cuma 
pencerminan tingkat peradaban dan budaya kita sendiri. Kemajuan dan 
keanekaragaman teknologi, statistik pembangunan ataupun hutang luar 
negeri, peningkatan infrastrukutr perhubungan dari warisan kolonial, 
perusakan hutan dan paket banjir tahunan, semua menduduki tempat sebagai
 rias antithesis dalam proses nasional. Semasa kolonial, Belanda 
mengekspor pembunuh bayaran berbedil, berseragam dan dengan 
pangkat-pangkat militer, untuk menaklukkan dan mengendalikan luar Jawa 
dan Madura. Baru pada 1904, dan sporadis sebelum itu, Belanda 
mengirimkan orang Jawa tanpa bedil ke luar Jawa-Madura, tapi dengan 
pacul. Nampaknya kenal betul peta demografis dan geografis Indonesia 
sehingga dapat menarik kesimpulan klasik yang bisa diambil 
keuntungannya. Dan Belanda nampaknya juga tahu, para penggantinya tidak 
akan dapat berbuat lain kecuali meneruskannya; bukan lagi menduduki 
tempat sebagai ria thesis atau pun antithesis, nampaknya sebagai kodrat 
yang terbawa oleh kelahiran Indonesia.
Satu ironi lagi: Indonesia, yang secara 
politis dan administratif dipersatukan oleh Soekarno tanpa pertumpahan 
darah–sebuah fenomena khusus dalam sejarah umat manusia–harus 
dipertahankan persatuan dan kesatuannya dengan tradisi kolonial, yaitu 
dua macam export dari Jawa: pembunuh bayaran berbedil dan orang Jawa 
berpacul. Dengan tradisi seperti itu, Indonesia mempunyai cacat genetik 
yang parah. Semaoen–penasihat pribadi Presiden Soekarno–pernah 
memberikan terapi untuk cacat genetik itu: pindahkan ibukota keluar dari
 Jawa, ke Palangkaraya, di Kalimantan Tengah. Tetapi Semaoen almarhum 
sudah tidak sempat mengalami apa yang terjadi dengan hutan-hutan di 
Kalimantan sekarang. 
Mengunyah masalah ini dalam sastra sudah pasti 
membutuhkan waktu lama dan belum tentu memuaskan pengarang mau pun 
pembacanya. Dan kondisi peradaban dan budaya ‘kampung’ akan menempatkan 
pengarangnya jadi sasaran kekuasaan yang merasa terancam kemapanannya. 
Tentu saja yang dimaksud adalah para pengarang yang coba-coba membuat 
penilaian dan penilaian kembali peradaban dan budaya ‘kampung’ yang 
telah memapankan selapisan golongan atas dalam masyarakatnya. Juga para 
cendikiawan, juga kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat yang telah 
cerah, tetapi terutama adalah para pengarangnya, karena profesinya tidak
 terikat pada sesuatu disiplin ilmu. Kepeduliannya pada pengekspresian 
kesedaran dan bawahsadarnya pribadi, para penguasa–artinya pembesar, 
bukan pemimpin–sibuk membuat kordon penyelamat kemapanannya. 
Pengarang 
dengan demikian, sebagai pribadi yang hanya punya dirinya sendiri, 
mendapatkan tekanan terberat. Namun apa pun perlakuan yang ditimpakan 
padanya, pengalaman pribadinya adalah juga pengalaman bangsanya, dan 
pengalaman bangsanya adalah juga pengalaman pribadinya. Sebagian, kecil 
atau besar atau seluruhnya, akan membuncah dalam tulisan-tulisannya dan 
akan kembali pada bangsanya dalam bentuk kenyataan baru, kenyataan 
sastra. Hakikat fiksi karenanya adalah juga hakikat sejarah.
Apabila sebagai pengarang harus 
kutangguhkan begitu banyak ketidakadilan di tanahair sendiri, 
penganiayaan lahir-batin, perampasan kebebasan dari penghidupan, hak dan
 milik, penghinaan dan tuduhan, bahkan juga perampasan hak untuk membela
 diri melalui mass-media mau pun pengadilan, aku hanya bisa mengangguk 
mengerti. Sayang sekali kekuasaan tak bisa merampas harga diri, 
kebanggaan diri, dan segala sesuatu yang hidup dalam batin siapa pun.
Kekuatiran akan terganggunya kemapanan, 
yang sejak masa kolonial dikenal sebagai “rust en orde” dan 
diindonesiamerdekakan menjadi “keamanan dan ketertiban” tidak jarang 
melahirkan tuduhan-tuduhan menggelikan.
Baik sebelum mau pun selama di Buru 
dakwaan yang terus-menerus disemburkan Orde Baru adalah: hendak mengubah
 Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45, tanpa pernah mengajukan 
pembuktian. Biasanya diucapkan di depan appel atau sewaktu santiaji 
alias indoktrinasi. Salah satu sila dari Pancasila adalah Kemanusiaan 
Yang Adil dan Beradab. Untuk ukuran kemanusiaan, tanpa tambahan adil dan
 beradab pun, perlakuan mereka terhadap kami cukup memuakkan, bahkan 
menjijikkan. Dakwaan merubah UUD? Pernah sekali waktu seorang perwira 
aku dengar bersumbar: Timor Timur? Uh, dalam dua hari bisa kami atasi. 
Dan benar, Timor Timur kemudian dicaplok, bagian timur P. Timor yang tak
 pernah diklaim oleh para pendiri Republik yang menyusun UUD 45 itu. 
Dari dua dakwaan itu tanpa ragu membuat aku membikin kesimpulan: apa 
yang dituduhkan itu justru apa yang mereka lakukan atau ingin lakukan. 
Karena sejumlah kejadian cocok dengan kesimpulan, kadang aku cenderung 
untuk menilainya sebagai rumus. Tapi kemudian kuperlunak menjadi: apa 
yang terucapkan sebagai X adalah minus X.
Dalam percakapan pribadi beberapa 
pejabat menyayangkan keanggotaanku pada LEKRA. Jadi menurut gambaran 
orde Baru, LEKRA adalah organisasi kejahatan. Sampai sekarang pun aku 
tak pernah menyesal menerima pengangkatan sebagai anggota pleno LEKRA, 
kemudian diangkat jadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan salah seorang 
pendiri Akedemi Multatuli, semua disponsori LEKRA. Malahan aku bangga 
mendapat kehormatan sebesar itu, yang takkan diperoleh oleh setiap 
orang, dan tidak mengurangi kebanggaanku sekiranya benar ia organisasi 
mantel PKI. Semua itu sudah lewat, tetapi belum menjadi sejarah, karena 
sebagai proses belum menjadi kebulatan sinthetik. Pada waktu aku masih 
di Buru ternyata orang pertama LEKRA dan orang pertama Lembaga Sastra 
sudah lama bebas. Sekiranya aku bukan pengarang, boleh jadi semua 
perlakuan yang menjijikkan itu tidak akan aku alami. Tetapi pada segi 
lain, semua yang aku alami merupakan bagian dari fondasi kepengaranganku
 untuk masa-masa mendatang, sekiranya umur masih memungkinkan dan 
kesehatan fisik mau pun mental masih bisa diandalkan.
X minus X memang membantu aku dalam 
memahami Orde Baru, yang mereka anggap akan abadi dalam kebaruannya. 
Sebagai tapol angkatan terakhir yang akan meninggalkan P. Buru, kami 
masih harus melakukan korve membuat dua macam surat pernyataan sekian 
salinan, menyatakan tidak akan menyebarkan Marxisme, Leninisme, 
Komunisme, momok yang mereka bikin-bikin sendiri untuk menjadi 
ketakutannya sendiri. Surat lain adalah pernyataan, bahwa sebagai tapol 
kami telah diperlakukan secara wajar di P. Buru. Secara hukum, 
surat-surat korve tersebut memang surat dagelan, tetapi dengannya kami 
bisa membeli nomor untuk embarkasi ke kapal yang berangkat ke Jawa. 
Betapa indahnya sekiranya surat-surat korve itu tersimpan baik dalam 
arsif negara. Kertas-kertas itu akan jadi bagian sejarah betapa sekian 
manusia Indonesia telah membuat topeng dan jubah malaikat kesucian untuk
 para penguasa dan kekuasaannya. Seorang pemimpin tidak membutuhkan 
jubah dan topeng.
Di dermaga pelabuhan Namlea, di mana 
kapal “Tanjungpandan” sudah siap mengangkut, 500 orang angkatan terakhir
 yang akan diberangkatkan pulang ke Jawa sudah meninggalkan daratan. 
Tinggal beberapa belas di antara kami, termasuk aku. Letkol Lewirisa 
komandan kamp terakhir datang padaku dan bilang tanpa ditanya tanpa 
diharapkan: “Pram, pelayaran akan langsung ke Jakarta.” Itu berarti X 
minus X, kami, rombongan beberapa belas orang tidak menuju ke Jakarta. 
Baru kami boleh naik ke kapal dan dikucilkan dari yang lain-lain.
Kamp kerja paksa yang kami tinggalkan 
semula dinamai Tefaat, tempat pemanfaatan tenaga kerja kami, sisa hidup 
kami, dengan harus membiayai hidup, perumahan, jaringan jalanan ekonomi 
dan lingkungan, membuat sawah dan ladang dari padang ilalang dan hutan, 
dan masih harus memberi makan para serdadu yang menjaga kami, masih 
ditambah dengan pembunuhan terhadap sejumlah dari kami. Menurut korve 
tulis, itu harus dinyatakan wajar. Juga mereka yang tewas dalam 
kerjapaksa untuk mendapatkan uang. Juga pembayaran pajak oleh tapol yang
 melakukan pertukangan dan kerajinan tangan. Untuk siapa dan kepada 
siapa tidak jelas. Menurut korve tulis ini juga harus dinyatakan wajar. 
Dan bangunan-bangunan, puluhan banyaknya, besar dan kecil, dengan 
peralatan rumahtangga, semua dibangun dan dibiayai oleh tapol, juga 
harus dianggap wajar bila dijual pada instansi lain tanpa ganti rugi 
pada tapol. Juga perampasan begitu saja sapi-sapinya. Dan semua ini 
memang sedang menuju pada sejarah, tapi belum sejarah. Masih panjang 
lagi daftarnya. Semua kebanditan, besar dan kecil akan terpulang pada 
bangsa ini, bangsaku, yang melahirkan suatu kekuasaan macam ini. Bukan 
maksudku mendirikan dunia utopi dengan bangsa ini, menduduki bagian 
dunia dengan tanpa cacat–bangsa-bangsa lain pun punya segi gelapnya–yang
 aku maksudkan adalah bangsa ini belum melahirkan cercah kecerahan, 
Verlichting, Aufklarung. Para brahmin tetap masih menduduki tempat 
sebagai asesori kekuasaan kasta satria, yang hidup dari dan untuk 
kekuasaan semata, karena memang tidak produktif apalagi kreatif, seperti
 sebelum datangnya kolonialisme. Tidak mengherankan bila ribuan naskah 
isinya berputar sekitar ke”hebat”an para satria dalam membunuh yang 
dianggap lawannya, dan ribuan lagi naskah yang isinya resep tentang 
hidup bahagia (dalam alam kehidupan sumpek) dan nasihat-nasihat 
berkelakuan indah dan baik (dalam alam kehidupan banditisme), tentang 
alam gaib dan teknik berhubungan dengannya (dalam suasana belum lagi 
mengenal lingkungan sendiri).
Apa yang dikatakan Letkol Lewerisa tepat
 minus X. Kami beberapa belas orang sebelum kapal sampai ke Jakarta, 
diturunkan di Tanjungperak, Surabaya, untuk disimpan di pulau penjara 
Nusa Kambangan, di selatan Jawa. Hanya karena jasa pers internasional, 
yang meributkannya, akhirnya kami sampai ke Jakarta, memasuki penjara 
baru yang lebih longgar. Dalam tahanan kota sejak akhir 1979 sampai 
1991, tanpa suatu keputusan pengadilan mana pun. Banyak terjadi korban 
tuduhan baru, yang, sebagai pengarang tentu saja memperkaya materi yang 
harus diendapkan. Setidak-tidaknya, membuat sejarah hidup pengarang 
menjadi semakin panjang.
Dalam tahanan kota dengan kebebasan 
nisbiah dapat kuikuti koran dalam dan luar negeri. Tuduhan ternyata 
datang berantai dari Indonesia sendiri sampai dari bagian-bagian Asia 
Timur dan Eropa: semasa Soekarno aku melarang terbit sejumlah buku 
sesama pengarang. Aku menteror para pengarang Indonesia yang tidak 
sepikiran dengan artikelku “Yang Harus Dibabat dan Harus Dibangun”. 
Bahkan seorang tokoh sastra terkemuka, memberikan kuliah pada suatu 
universitas negeri, menyatakan telah dipecat karena ulahku. Kebetulan 
tokoh tersebut, seperti halnya sejumlah yang lain, semasa revolusi 
justru menjadi pejabat pada dinas balatentara pendudukan Belanda, 
sebagian lain, karena umurnya, barangtentu tidak menyertai revolusi.
Pecat-memecat dari sesuatu jabatan bukan
 urusanku, dan memang tidak pernah. Tuduhan-tuduhan itu hanya tabir asap
 terhadap apa yang mereka sendiri telah dan ingin lakukan. Pada 
hari-hari awal peristiwa 1965 merekalah yang menteror dan menghancurkan 
seluruh kertasku, termasuk naskah Panggil Aku Kartini Saja jilid III dan
 IV, Kumpulan Karya Kartini, Wanita Sebelum Kartini, Kumpulan Cerpen 
Bung Karno, 2 jilid terakhir trilogi Gadis Pantai, Sebuah Studi tentang 
Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Studi Percobaan tentang Sejarah Bahasa 
Indonesia. Sedang direktur Balai Pustaka menjawab atas permintaaanku 
untuk menarik kembali 2 jilid sastra Pra-Indonesia, mendapat jawaban: 
telah dibakar atas permintaan atasan.
Seorang tokoh sastra penting yang semasa
 Orla menempatkan diriku sebagai lawan, pernah menyampaikan nama-nama 
tokoh sastra penting dewasa ini yang ikut menyerbu ke rumahku pada 1965 
tersebut. Malahan sebelum menyerbu telah mendapat pesan dari tokoh 
sastra generasi lebih tua agar mengambilkan naskah Ensiklopedi Sastra 
Indonesia yang sedang aku susun.
Pada awal tahun 80-an Beb Vuyk di 
Belanda melancarkan tuduhan, LEKRA mengirimkan ‘knokploeg’ untuk 
menghajar lawan-lawannya. Di antara kurbannya adalah musikolog Bernard 
Ijzerdraat. Di Belanda isyu tentang pengiriman knokploeg nampaknya tetap
 hidup sampai menjelang akhir 1991. Waktu terakhir kali Beb Vuyk datang 
ke Indonesia dan menemui musikolog tersebut, ia mendapat sangkalan 
darinya. Namun ia tak pernah merevisi tuduhannya. Sebaliknya beberapa 
anggota LEKRA telah mereka bunuh, di antaranya adalah pematung nasional 
Trubus dalam perjalanan ke Jakarta memenuhi panggilan Presiden Soekarno.
 Sampai sekarang tidak ada yang pernah mengaku bertanggungjawab, juga 
atas pembunuhan ratusan ribu saudaranya sendiri. Memang beda dari apa 
yang dinamai kaum teroris di Utara, begitu beraksi begitu menyatakan 
dirinya yang bertanggungjawab, mereka tidak memerlukan topeng atau pun 
jubah malaikat. 
Jangankan pembunuhan massal, pencurian sekecil-kecilnya 
adalah kejahatan, dan semua itu bisa terjadi hanya karena peradaban dan 
budaya ‘kampung’, peradaban dan budaya masyarakat bangsa-bangsa yang 
terasing, merasa tidak aman dan terancam karena ulah sendiri, dan topeng
 dan jubah kesucian menjadi seragam parade yang mengasyikkan untuk 
dipanggungkan dalam drama-komik.
Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya 
tugas mengelola semua materi yang belum selesai itu dalam suatu karya 
sastra. Bukan mencerminkan atau memantulkan kejadian-kejadian, karena 
sastra tidak bertugas memotret, tetapi mengubah kenyataan-kenyataan hulu
 menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada
 yang mapan.
Apakah sikap demikian sikap subversif, 
atau kriminal? Itu pun terserah pada tuan-tuan yang berkuasa, yang 
mempunyai serdadu, polisi, dan perangkat administratif. Tindakannya tak 
lain dari apa yang tingkat peradaban budayanya bisa berikan. Sekiranya 
lebih maju dari takaran peradaban dan budayanya, semoga demikian, boleh 
jadi itu suatu isyarat positif, kutukan 7 turunan Gandring tidak akan 
berlaku sampai 2 generasi, karena babak sinthesis sedang di ambang 
pintu. Yang jelas, semua yang telah terjadi akan abadi dalam ingatan 
bangsa ini dan umat manusia sepanjang abad, tak peduli orang suka atau 
tidak. Para pengarang akan menghidupkannya lebih jelas dalam 
karya-karyanya. Para pembunuh dan terbunuh akan menjadi abadi di 
dalamnya daripada sebagai pelaku sejarah saja. Topeng dan jubah suci 
akan berserakan.
Sekali lagi, maaf.
 
Jakarta, November 1991







 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar