Test Footer 2

Jumat, 01 Juli 2016

Pengembaraan Cerita Panji

Oleh: Idha Saraswati* | 1 Juli 2016

 Tpeng Panji Asmorobangun yang dipamerkan Tempo Doeloe Malang (Koleksi Foto: Dwi Cahyono/ ppanji.org)

Dibandingkan kisah Mahabharata maupun Ramayana, cerita Panji boleh jadi kurang dikenal masyarakat. Namun, sejumlah bentuk kesenian yang saat ini masih eksis ternyata mengambil inspirasi dari cerita Panji.

Jejak cerita Panji itu bisa dilihat di relief candi, pementasan wayang, hingga dongeng anak-anak suku Jawa, seperti Ande-ande Lumut, Timun Mas dan Keong Mas. Di sejumlah wilayah di Yogyakarta, saat ini masih ada ritual adat untuk menyampaikan rasa syukur maupun menolak malapetaka yang alurnya mengambil inspirasi dari cerita Panji. Meski begitu, tak semua pelaku seni maupun ritual tersebut memahami benang merah yang menghubungkan aktivitas mereka dengan cerita Panji.

Tak sekadar eksis, Lydia Kieven, peneliti budaya Panji dari Jerman, bahkan melihat gejala kebangkitan budaya Panji dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. “Sepertinya sejak 2014 semakin banyak orang bicara tentang Panji,” katanya, saat berbicara dalam diskusi bersama para pelaku budaya Panji di Yogyakarta, Sabtu (25/6) di Joglo Bebana, Bantul.

Lydia menyebut rencana dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) untuk mendaftarkan Cerita Panji ke UNESCO, organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan, sebagai warisan memori dunia (memory of the world) menjadi salah satu penanda kebangkitan itu. Dalam upaya memuluskan pendaftaran itu, sejumlah pihak yang selama ini punya perhatian ke budaya Panji menyiapkan berbagai kegiatan mulai dari menggelar seminar, pementasan hingga pendokumentasian. 
Ini terutama dilakukan oleh para pegiat dan pemerhati cerita Panji di Provinsi Jawa Timur. Di luar itu, sejumlah pemerintah daerah di Jawa Timur kini giat mengangkat budaya Panji sebagai ikon budaya dan pariwisata setempat.

Budaya Panji bisa didefinisikan sebagai beragam bentuk ekspresi seni yang menggunakan cerita Panji sebagai isinya. Dalam bukunya “Memahami Budaya Panji”, Henri Nurcahyo menyebut bahwa dalam pemahaman umum, cerita Panji berkisar pada kisah percintaan Panji Asmarabangun atau Inu Kertapati atau Panji Kudawenengpati, putra mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, puteri Raja Panjalu. Bersatunya kedua tokoh sentral dalam cerita tersebut menjadi lambang penyatuan dua kerajaan, sekaligus penyelamatan dua kerajaan itu dari ancaman kehancuran. Dalam perkembangannya kemudian, ada banyak varian cerita Panji dengan alur cerita yang mirip.

Cerita Panji dikenal sebagai cerita yang berkembang di luar istana, dan diperkirakan muncul sebelum era Kerajaan Majapahit. Tak jelas siapa penulisnya. Selain itu, belum ada kesepakatan soal kapan tepatnya kisah ini bermula. Namun, cerita ini dipandang mencapai puncak perkembangannya di era Majapahit.

Dalam buku terbitan 2015 itu, Henri menyebut bahwa cerita Panji disajikan dalam beragam bentuk pertunjukan rakyat, misalnya wayang topeng di Malang, wayang beber di Pacitan, wayang gedog di Kediri, reog di Ponorogo, dan sebagainya. Cerita Panji juga muncul di relief candi, seni rupa, sastra lisan dan sastra tulis.

Lydia mengaku pertama kali menemukan cerita Panji yang terukir sebagai relief candi di Gunung Penanggungan, Jawa Timur, pada 1996 silam. Itu menjadi titik mula pencariannya terhadap cerita Panji. Selama meneliti, ia menemukan relief yang diduga mengandung cerita Panji di sekitar 20 candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Relief candi-candi di Jawa Tengah itu menunjukkan jejak pengembaraan cerita Panji ke wilayah yang lebih luas. Faktanya hari ini, cerita Panji dikenal tidak hanya di Jawa Timur, melainkan juga di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera hingga ke negara tetangga seperti Thailand, Vietnam hingga Kamboja.

Lydia menyebut teori yang menjelaskan soal pengaruh Kerajaan Majapahit terhadap penyebaran cerita Panji ke Asia Tenggara. Namun, belakangan ia meragukan teori tersebut. Di Thailand, Myanmar, maupun Kamboja, cerita Panji menjadi populer setelah abad ke 18. Salah satu raja di Thailand juga pernah mengarang cerita berdasarkan naskah Panji dari Jawa.
 “Ada orang Thailand yang menulis tesis soal hubungan Thailand dan Jawa. Raja Thailand sangat menghormati Raja Jawa, makanya dia ambil cerita dari Jawa. Tapi saya tidak tahu apakah itu terjadi di era Majapahit atau setelahnya,” terangnya.

Cerita Panji di negara tetangga biasa disebut sebagai cerita Inau, yang diperkirakan berasal dari nama Inu Kertapati, tokoh sentral dalam Cerita Panji. Pada 2012 silam, ada festival Inau se-Asia Tenggara yang digelar di Thailand.

Setelah 20 tahun melakukan penelitian, Lydia mengaku senang sekaligus was-was melihat kebangkitan cerita Panji saat ini. Ia senang karena dengan semakin dibicarakan, cerita Panji akan makin populer sehingga makin banyak orang yang ingin tahu cerita ini. Namun, ia mengingatkan agar upaya mengangkat cerita Panji tidak melupakan nilai filosofis dan tuntutan yang terkandung di dalamnya. “Jangan sampai ini nanti hanya menjadi tontonan saja. Edukasi sangat penting,” ujarnya.

Lydia juga mengingatkan pentingnya upaya mengembangkan cerita Panji dengan melibatkan generasi muda. Jika cerita Panji sebelumnya telah menginspirasi berbagai bentuk seni pertunjukan, maka berbagai media yang saat ini ada juga bisa digunakan. Itu bisa berupa film hingga komik.

Kalanari Theatre Movement, kelompok teater kontemporer di Yogyakarta, adalah salah satu kelompok yang mencoba menggali inspirasi dari cerita Panji. Ibed Surgana Yuga dari Kalanari menuturkan, ia dan rekan-rekannya terbiasa bergerak di wilayah seni kontemporer. Mereka ingin belajar tradisi dan memulainya dengan mempelajari cerita Panji.

Ketika pertama kali menelusuri cerita tersebut, Ibed mengaku kehilangan jejak. Ia dan teman-temannya seperti menemukan cerita yang berhamburan. Pertemuan dengan Lydia Kieven membuat mereka menemukan arah. Pada 2012 mereka mementaskan “Topeng Ruwat” di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Pentas ini menggali nilai ruwatan yang terkandung dalam kisah Panji dan kebudayaan topeng yang ada di Jawa, Indramayu dan Bali.

Lalu pada 2013 Kalanari mementaskan “Panji Ambara Pasir”. Pertunjukan teater ini berkisah tentang migrasi kebudayaan yang berangkat dari studi tentang keberadaan cerita Panji yang lahir di Jawa dan kemudian berkembang ke Asia Tenggara.

Rudy Wiratama, mahasiswa Pengkajian Seni Pertunjukkan UGM yang pernah meneliti perkembangan cerita Panji di Jawa Tengah dan DIY juga melihat gejala kebangkitan cerita Panji. Di satu sisi, menurutnya saat ini jumlah dalang yang memainkan wayang gedog menurun drastis. Ini antara lain dipicu kurang populernya cerita Panji dibanding kisah Ramayana dan Mahabharata, sehingga secara ekonomi memainkan wayang gedog tak lagi menjanjikan. 
Meski begitu, ia melihat ketertarikan generasi dalang muda saat ini terhadap cerita Panji tengah bangkit.

Seperti Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji yang hidup mengembara sebelum saling menemukan satu sama lain, cerita ini pun mengembara dan terus berkembang.
_____
Idha Saraswati, Pencinta seni dan budaya. Bisa dihubungi di jatisaras@gmail.com atau juga di @idhasaras, kadang-kadang menulis di jatisaras.wordpress.com.

http://serunai.co/pratayang/2016/07/01/pengembaraan-cerita-panji/

0 komentar:

Posting Komentar