Test Footer 2

Sabtu, 11 Juli 2015

Deklarasi Masyarakat Sipil


Mengingat bahwa langkah rekonsiliasi yang terwacanakan hingga hari ini tidak sejalan dengan semangat untuk mewujudkan keadilan korban pelanggaran HAM masa lalu. Maka kami, para pegiat HAM dan individu-individu yang memiliki perhatian luas pada penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia dengan ini mempertanyakan pembentukan Komite Pengungkap Kebenaran untuk Penanganan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang berada di bawah Menkopolhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM yang didukung penuh oleh Polri, TNI dan BIN, dengan catatan-catatan sebagai berikut:

Deklarasi Masyarakat Sipil
Dukung Keadilan Hakiki
Bagi Para Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

Bahwa penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu merupakan bagian dari amanat reformasi, sebagaimana yang ditegaskan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Adalah mutlak bagi negara untuk mengambil langkah-langkah hukum dalam menjamin adanya proses "pengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau."

Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Kedua adalah konstitusi yang telah membangun kultur keadaban hak asasi manusia yang lebih baik melalui ruang pemenuhan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia kepada siapapun.

Menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memberikan mandat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menjalankan mandatnya melakukan penyelidikan kepada kasus-kasus yang diduga kuat memenuhi definisi pelanggaran HAM yang Berat.

Menegaskan bahwa adanya kewajiban Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan dan penuntutan atas temuan penyelidikan Komnas HAM pada kasus-kasus yang diduga kuat memenuhi definisi pelanggaran HAM yang Berat guna menggelar suatu pengadilan HAM adhoc sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Menegaskan bahwa rencana pembentukan Tim Pengungkap Kebenaran Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu oleh Pemerintah saat ini tidak sejalan dengan kewajiban untuk mewujudkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.

Menegaskan bahwa langkah rekonsiliasi bukan sekadar prosesi seremonial maaf memaafkan, melainkan mampu memperkuat kapasitas dan komitmen Pemerintah pada keadilan. Khususnya keadilan bagi setiap orang yang menjadi korban. Rekonsiliasi adalah proses yang didahului dengan agenda pengungkapan kebenaran dan pengakuan atas keberadaan korban di Indonesia.

Mengingat bahwa langkah rekonsiliasi yang terwacanakan hingga hari ini tidak sejalan dengan semangat untuk mewujudkan keadilan korban pelanggaran HAM masa lalu. Maka kami, para pegiat HAM dan individu-individu yang memiliki perhatian luas pada penghormatan, perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia dengan ini mempertanyakan pembentukan Komite Pengungkap Kebenaran untuk Penanganan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu yang berada di bawah Menkopolhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM yang didukung penuh oleh Polri, TNI dan BIN, dengan catatan-catatan sebagai berikut:

Pertama, tanpa adanya akuntabilitas, maka model rekonsiliasi ini akan mengerdilkan martabat para korban dan keluarga yang telah berjuang, menghabiskan waktu dan tenaga untuk melakukan advokasi puluhan tahun lamanya.

Kedua, rekonsiliasi nir akuntabilitas ini juga telah mencederai akal sehat publik yang selama ini memberikan dukungan kepada Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan khususnya dukungan diberikan kepada TNI, Polri, BIN dan instansi-instansi negara terkait untuk menjadi lembaga-lembaga negara yang professional dan tunduk pada hukum bukan menjadi lembaga mediasi.

Ketiga, pendekatan rekonsiliasi bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu bukanlah kewenangan Jaksa Agung dan Komnas HAM. Sebagai lembaga penegak hukum menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kedua lembaga ini justru berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntaskan proses penyelesaian yuridis pelanggaran HAM yang berat masa lalu, bukan proses rekonsiliasi yang bukan wewenang kedua lembaga ini menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Keempat, langkah yang diambil Kejaksaan Agung dan Komnas HAM tidak sesuai dengan sistem penegakan hukum HAM di Indonesia dan berpotensi atas penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur antara lain oleh Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menegaskan bahwa terdapat aturan yang harus diikuti terkait dengan (a) Larangan melampaui wewenang, (b) Larangan mencampuradukkan wewenang, (c) Larangan bertindak sewenang-wenang.

Kelima, mengingat tidak semua pelanggaran HAM dapat didekati dengan cara rekonsiliasi, maka Presiden Joko Widodo sebagai pengampu eksekutif harus membangun momentum dan kebulatan kemauan politik untuk mau menggunakan pendekatan akuntabilitas yudisial sebagai wujud imparsialitas negara dari segala bentuk intervensi politik otoritarianisme masa lalu.

Keenam, kami meyakini bahwa Presiden Joko Widodo memiliki kapasitas untuk menunda langkah rekonsiliasi yang menurut kami nir pertanggungjawaban ini dan tetap mendorong Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti 7 (tujuh) berkas pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu hasil penyelidikan Komnas HAM dengan cara-cara transparan, menjunjung akuntabilitas dan taat asas hukum serta memulihkan luka-luka bangsa.

Jakarta, 9 Juli 2015

HS. Dillon, Hendardi, Amiruddin Al-Rahab, Sandyawan, Robertus Robet, Dolorosa Sinaga, Franz Magnis-Suseno, Fadillah Agus, Enny Suprapto, Haris Azhar, Martin Aleida, Galuh Wandita

0 komentar:

Posting Komentar