Test Footer 2

Minggu, 21 Februari 2016

Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka

Sejarawan Belanda ini kepincut menelusuri riwayat hidup Tan Malaka. Separuh lebih umurnya digunakan untuk meneliti pejuang revolusioner Indonesia itu.
Oleh: Bonnie Triyana
Harry A. Poeze dan istrinya, Henny Poeze.  Foto: Bonnie Triyana©Historia, 2014.
SEBUAH foto kuno suasana Hindia Belanda berukuran besar terpajang di lorong pintu masuk rumah yang terletak di wilayah Castricum, utara Belanda. Begitu masuk ke dalam ruangan tamu, tamu disambut ribuan buku tersusun rapi dalam rak yang berdiri menempel pada tembok.
“Semua buku di sini berbahasa Belanda, tentang sejarah, politik dan sastra. Kalau tentang Indonesia ada di lantai dua,” kata Harry A. Poeze, empunya rumah yang telah ditempatinya sejak periode 1970-an itu.
Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze.
Perjumpaan Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey.
“Saya tertarik dengan Tan Malaka saat saya mahasiswa ikut mata kuliah Sejarah Indonesia dan saya harus menulis skripsi mengenai sejarah Indonesia. Saya baca sejumlah buku mengenai sejarah perlawanan Indonesia terhadap imperialisme Belanda dan seringkali temukan nama Tan Malaka, tapi disebut riwayat hidupnya penuh teka-teki dan belum diketahui,” ujar Harry yang diterima masuk di Universiteit van Amsterdam pada 1964.
Mulai saat itulah Harry menekuni sosok Tan Malaka untuk skripsi sarjananya dan berhasil diselesaikan pada 1972. Dalam skripsinya itu Harry memokuskan kisah Tan Malaka semasa hidup di Belanda mulai 1913-1919 dan saat Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Skripsinya kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Penerbit Grafiti Pers, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik1897-1925.
Selesai menulis skripsi, Harry tak berhenti mencari tahu siapa Tan Malaka. Dia melanjutkan lagi penelusuran riwayat hidup Tan Malaka untuk disertasi doktornya di universitas yang sama. Selama empat tahun (1972-1976), Harry menelisik ke masa lalu kehidupan Tan Malaka sampai dengan periode kemerdekaan 1945. Pada 1999 penerbit Grafiti Pers menerbitkan buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 yang naskahnya diterjemahkan dari disertasi Harry.
Pencarian tentang siapa Tan Malaka membawanya berkeliling ke banyak negeri, mulai Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina sampai Indonesia. Tan memang seorang aktivis politik dengan rekam jejak internasional. Pekerjaannya sebagai perwakilan Komintern untuk Asia (Organisasi komunisme internasional) mengharuskannya berkeliling ke berbagai negeri, membantu mengorganisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kolonialisme.
Hasil dari riset selama 40 tahun lebih itu, selain tentu saja buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun kemarin baru diluncurkan, adalah bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka. Salah satu koleksi yang diperoleh Harry berasal dari arsip Komintern di Moskow, Rusia. Berkat ketekunannya, Harry berhasil memecahkan beberapa kode rahasia yang kerap digunakan Tan Malaka saat berkorespondensi dengan kawan-kawan seperjuangannya.
Banyak surat-surat pribadi Tan Malaka yang berhasil Harry dapatkan. Beberapa di antaranya adalah surat-surat Tan Malaka ke Komintern dengan menggunakan berbagai macam bahasa. “Tan Malaka pandai berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan banyak lagi bahasa,” kata Harry.
Kunjungan Harry untuk meneliti Tan Malaka ke Indonesia baru dilakukan pada 1980. Dalam kesempatan itu, Harry menemui banyak kawan dan lawan politik Tan Malaka untuk diwawancarai. Sampai hari ini hubungan Harry dengan keluarga besar Tan Malaka terjalin dengan sangat baik.
Selain dikenal sebagai sejarawan, tak banyak orang tahu kalau Harry pernah berkarier sebagai politikus. Setahun sebelum Harry merampungkan kuliah sarjananya, dia terpilih sebagai anggota dewan kota Castricum dari Partai Buruh (Partij voor de Arbeid, PVDA). Selama 11 tahun (1971–1982) pria kelahiran Loppersum, 20 Oktober 1947 itu mengabdikan dirinya sebagai politikus di dewan kota Castricum, termasuk sebagaiwethouder atau asisten walikota Castrium.
“Saya memang anggota Partij van de Arbeid sejak 1965. Ideologi saya sosial-demokrat, cocok dengan pendapat politik saya, sosialisme dengan demokrasi. Saya selalu menentang fanatisme dan ideologi yang absolut,” ujar ayah dua anak itu.
Kekaguman dan keseriusannya menekuni riwayat hidup Tan Malaka mendorong Harry untuk memecahkan misteri kematian tokoh berjuluk bapak republik itu. Jerih payahnya berbuah manis. Pada 2007, dia berhasil menemukan lokasi yang diperkirakan jadi kuburan Tan Malaka.
Harry pun sukses mengungkap kisah hari-hari terakhir Tan Malaka sebelum dia dieksekusi mati. Sejumlah nama pelaku eksekusi dan pemberi perintah pembunuhan sudah dikantonginya. Salah satunya adalah Brigjen. Soekotjo, yang pernah menjabat sebagai walikota Surabaya di era Orde Baru.
Didorong rasa ingin tahu yang tinggi, Harry pun bergerak menemui berbagai pihak agar jenazah Tan Malaka yang dikubur di Selopanggung, Kediri itu digali untuk dites DNA. Sejak 2009 upaya untuk mengindentifikasi DNA Tan Malaka telah dilakukan oleh tim dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hasilnya memang tak sempurna karena kondisi jasad yang sudah terlalu rusak. Namun berbagai petunjuk yang memperkuat dugaan bahwa pria yang terkubur di sana adalah jasad Tan Malaka cukup jelas, semisal posisi tangan yang terikat ke belakang dan berbagai kesaksian yang berhasil Harry peroleh.
Harry berharap pemerintah Indonesia bersedia untuk memakamkan kembali jasad Tan Malaka secara layak di makam pahlawan. “Saya masih menunggu (keputusan) pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” pungkas Harry menyimpan harap.
http://historia.id/persona/empat-puluh-tahun-mencari-tan-malaka

0 komentar:

Posting Komentar