Test Footer 2

Jumat, 26 Februari 2016

Hendro Sangkoyo : Tentang SDE dan Gerilya Pemulihan Krisis

by Yusni Aziz on February 26, 2016 

Sore itu, di sebuah kafe di kawasan Kemang, ia tidak datang sendirian. Di belakangnya saya lihat dua orang mengikutinya secara perlahan, mengimbangi derap langkahnya yang penuh kehati-hatian. Saya spontan berdiri setelah melihatnya, dan tersenyum lebar. “Halo pak Yoyok”, sambut saya yang dibalas hangat jabat tangannya. Ia kemudian memperkenalkan saya ke kedua rekannya. Dinar, seorang ahli biologi yang saat itu tengah hamil besar, dan Sanca, suaminya, seorang peneliti yang juga aktivis seni rupa.

Mereka bertiga adalah sebagian dari pengurus Sekolah Ekonomika Demokratika (SED), atau juga disebut School of Democratic Economics (SDE). Sekolah yang kiprahnya membuat tim RUANG penasaran, dan kami rasa sangat patut untuk diketahui oleh para sahabat.

Hendro Sangkoyo, atau biasa dipanggil Yoyok, merupakan salah satu pendiri sekolah tersebut. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur ITB, ia melanjutkan studi tentang Perencanaan Wilayah dan Kota dan Kajian Asia Tenggara, dan kemudian menyambungnya dengan Planning Theory and Comparative Politics di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Sebelum pendirian SED di tahun 2007, ia sempat mengajar di Institut Teknologi Indonesia, menjadi peneliti dan pengajar tamu di Royal Melbourne Institute of Technology, Universitas Melbourne, dan Cornell. Setelah semuanya telah memesan makanan dan minum, pembicaraan pun kami mulai.


Yusni Aziz (YA): Sebelum pertemuan ini, kami sudah berusaha mencari informasi tentang SED di internet. Namun sangat minim sekali data yang kami dapatkan. Apa pak Yoyok bisa menceritakan lebih jauh mengenai sekolah ini?

Hendro Sangkoyo (HS): Ide awalnya muncul sekitar 20 tahun yang lalu, dari rangkaian perjalanan pribadi untuk belajar memahami krisis di kepulauan Indonesia. Ceritanya di mana-mana seperti ini. Di Kalimantan Barat, seorang tetua yang bertahun-tahun merintis gerakan akar-rumput di situ mengajak ikut keluyuran belajar. Suatu ketika saya berdiskusi mendalam dengan sekitar seratus anak muda Dayak, mendengarkan tuturan mereka tentang perubahan di kampung halaman mereka; kapan terakhir kali mereka masuk sungai; kenapa tidak ke sana lagi, dan sebagainya. Ternyata, sungai-sungai yang melekat dengan sejarah sosial dan pembentukan permukiman mereka pelan-pelan terpenggal oleh kegiatan pembalakan, ditimbun untuk jalan-kayu gelondongan, banyak anak sungai akhirnya mati tersumbat. Ruang hidup di pedalaman pulau raksasa itu memang sejak 1970-an diperlakukan sebagai lansekap operasional / operational landscape[1] dari proses perluasan industri dan wilayah perkotaan – suatu aksi membongkar dan mengeruk hasil alam yang seringkali kita tak acuhkan.

Pada tahun 2007, menjelang pembukaan SDE, kawan-kawan yang ikut merintis awal pendiriannya mempertimbangkan berbagai bentuk organisasi dominan sampai akhir abad kedua puluh, seringkali di bawah rubrik “masyarakat sipil”, tidak jarang yang cukup miskin imajinasi sosialnya. Karena moda energetikanya, acapkali gerakan warga terpelajar ini lebih repot dengan urusan manajerial dalam diri dan jaringannya, atau menjadi birokratis seperti komponen-komponen hirarkis dari alur perakitan di pabrik, seperti taylorism.[2]
Untuk menghindari salah paham, perlu dikatakan bahwa menghimpun kesepakatan untuk bertindak menjawab krisis secara kompak (“pengorganisasian”) itu tak tergantikan pentingnya. Tak kalah pentingnya adalah bagaimana membuka ruang-tutur tandingan buat orang biasa untuk mengemukakan dan mempertukarkan pengetahuan akan lintasan perubahan yang dialaminya. Dalam hal ruang bertutur tandingan tersebut, imajinasi rhizomatic learning dari Deleuze dan Guattari atau berbagai pengalaman menyejarah di negara dunia ketiga juga tidak bisa diabaikan. Rizoma artinya perambatan horizontal dari organisme bawah tanah, seperti akar pohon beringin atau sulur-suluran. Dari permukaan nampak tunggal, tetapi di bawahnya jauh lebih rumit. Proses belajar dengan pemahaman macam ini penting, karena membuka ruang bagi semua orang untuk dapat membalik krisis dengan model belajar yang non-hirarkis dan tidak menunggu siapa-siapa. Sebaliknya, kapan sebuah tindakan kolektif harus dilakukan belum tentu perlu mengacu pada tuntutan kemendesakan atau jadwal-jadwal acara dari “organisasi pendamping”, patronnya, atau kantor-kantor pengurus publik.
SDE mengajak menyuburkan ruang bertutur tandingan yang berdimensi kemanusiaan dan ekologis, arena bagi warga biasa untuk mengemukakan cerita-cerita perubahan yang selama ini didominasi oleh representasi sempit bahkan distortif oleh jejaring pembentukan pengetahuan yang mengasingkan pengalaman kolektif. Kata kunci utamanya adalah krisis. Ruang ini akan menjadi arena perlawanan terhadap proses yang membuat krisis ini semakin dalam dan belum pernah mengalami pembalikan. Demikian pula, arena tersebut memungkinkan banyak orang berperan dalam tindakan menyembuhkan/memulihkan kerusakan yang terus meluas.


YA: Krisis seperti apa yang dimaksud bapak ?

HS: Sebuah krisis berskala global yang sejarahnya bisa ditarik jauh ke masa revolusi industri, saat terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan mentah. Di masa awal itu Karl Marx misalnya telah mengenali ada gap yang membesar antara dua jenis metabolisme. Pertama, metabolisme untuk kepentingan reproduksi yang instruksinya genetik. Misalnya, kalau kamu makan 10 hari sekali juga tidak akan makin sehat dan sejahtera. Kebutuhanmu kan tetap. Nah, yang kedua ini biang keroknya – teknometabolisme. Dia melayani bukan cuma reproduksi, juga akumulasi dari sistem pendukung kehidupan rakitan/jadi-jadian. Misalnya, kebutuhan akan kota yang lebih fancy meskipun tidak pernah mengatasi masalahnya sendiri—jalan macet memunculkan layanan helikopter bagi yang mampu. Kebutuhan rakitan yang dipicu oleh sektor pasokan tersebut tidak ada batasnya, ad infinitum.


Pertumbuhan kota tanpa batas menjadi sumber meningkatnya krisis sosial ekologis. Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Fairmont%2c-Raffles%2c-dan-Target-Wisman-di-Indonesia
Pertumbuhan kota tanpa batas menjadi sumber meningkatnya krisis sosial ekologis.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Fairmont%2c-Raffles%2c-dan-Target-Wisman-di-Indonesia

Metabolisme yang pertama bersifat tetap, namun teknometabolisme memperbesar gap di antara metabolisme masyarakat manusia dengan metabolisme reproduksi sistem kehidupan di biosfera. Pembesaran gap itu disebut sebagai metabolic rift, sobekan metabolis, atau ecological rift.
SED mengajukan penglihatan bahwa harus ada imperatif untuk membalik logika pemburukan krisis ini. Kami ajukan agenda belajar tandingan yang ujung tombaknya bersisi tiga. Pertama, harus ada rasionalitas tandingan dari konsumsi ruang, bahan dan energi—termasuk penggunaan tenaga dan waktu kerja orang untuk melayani reproduksinya sendiri. Misalnya, sekarang anak-anak di kampung yang tidak punya pekerjaan layak bersedia menyabung nyawa dengan waktu kerja lebih dari 12 jam sebagai TKI atau TKW di pinggiran kota bahkan di seberang lautan. Berapa juta hektar wilayah daratan pulau yang dikuasai untuk industri ekstraktif? Harus ada rasionalitas tandingan. Apa tandingannya?

Harus ada respons sosial besar-besaran dan sistematis untuk menolak perusakan syarat-syarat keselamatan manusia dan keutuhan biosfera, serta pemulihan ruang-ruang hidup. Ini bukan gagasan abstrak, melainkan sesuatu yang bisa dikerjakan siapa saja di ruang-ruang hidupnya sendiri—yang secara generik kami kodifikasi sebagai historical social-ecological entity, atau kesatuan sosial ekologis menyejarah.

Jadi, kami melihat kampung bukan sebagai penanda tempat, seperti apa yang terjadi pada Kampung Ambon atau Kampung Kebun Kacang di Jakarta sekarang, misalnya. Tetapi kampung dengan subyek sejarah di situ, beserta sejarah sosial ekologisnya. Kenapa suatu kampung berada di lembah, karena kedekatannya dengan aliran air. Jika kita paham konteks reproduksi sosial dari sebuah kesatuan semacam itu, kita bisa mengerti sistem pendukung kehidupan yang harus mati-matian dipertahankan di situ.

Kedua, apa protokol atau framework dari rasionalitas tandingan ini. Mengurus gitu ya, tapi kepengurusan yang seperti apa? Saya lihat pengurus publik saat ini begitu sempitnya melihat apa yang harus dikembangkan dan apa yang justru harus dijaga supaya tidak berubah; sistem kenegaraan untuk memelihara aset bersama terpenting yaitu ruang-ruang hidup bersama dan keselamatan warga-negara, justru sulit sekali dicari dalam kenyataan. Misalnya, apa masih bisa kita biarkan jika menteri atau presiden masih terus berbicara tentang menaikkan pertumbuhan, apalagi sudah masuk dalam klub G20, tanpa pertimbangan sama-sekali mengenai hal-hal tadi? Tunggu dulu… sektor-sektor yang difasilitasi habis-habisan di garis depan pertumbuhan itu, seperti logging, perkebunan sawit, pertambangan ekspor berskala raksasa, jelas merusak jaminan jangka panjang kehidupan di kepulauan Indonesia. Ada tidak yang merespons dengan kritis rencana menaikkan pendapatan domestik brutto yang gegabah seperti itu? Rasionalitasnya harus dikoreksi dulu, baru protokolnya.

Ujung tombak ketiga ini paling sulit, cara belajarnya. Anda arsitek, lalu saya, misalnya, insinyur teknik sipil, dia ahli ekologis, dan kita bersama melihat persoalan yang lebih besar. Belajarnya seperti apa? Bagaimana mengajak lawan-belajar, para manajer negara yang sekarang sedang dipimpin oleh Jokowi ini, untuk mulai mendengar?

Lantas agenda belajarnya apa? Apa yang kita musti pelajari? Sebagai ilustrasi, di tahun 2015 ini kami bersama berbagai regu-regu belajar lainnya menginjak tahun kedua belajar bersama dengan jejaring komunitas dengan ±50.000 warga, di lereng utara Gunung Halimun. Proses perubahan sosial-ekologis selama dua puluh lima tahun terakhir, yang dipicu oleh pembongkaran bentang alam untuk pertambangan, telah menjadi sebuah krisis yang terus memburuk, dan dampak dari cerita pembongkaran di lereng itu meluas sampai dengan kehidupan terumbu karang dan biota laut di kepulauan Seribu. Agenda belajarnya tidak mungkin ditemukan lewat pengkajian, perencanaan atau perumusan anggaran di kota. Dalam tempo kurang dari satu generasi kehidupan warga berubah dramatis. Sebutir tomat harus dibeli seharga 500 rupiah. Penghargaan pada tani-pangan dan tani pekarangan hampir hilang. Siklus kehidupan lereng gunung dihancurkan. Kesadaran akan dimensi melingkar/siklis dari waktu menghilang, juga pada warga usia muda.


Tambang Emas Pongkor, Jawa Barat. Sumber: http://warmada.staff.ugm.ac.id/Photos/tambang/images/pongkor1.jpg
Tambang Emas Pongkor di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Jawa Barat
Sumber: http://warmada.staff.ugm.ac.id/Photos/tambang/images/pongkor1.jpg

Dalam cerita seperti itu, proses belajarnya tidak bisa cepat seperti “ayo sekarang kita berubah!” Kehadiran para pelajar-tamu seperti kami hanyalah sebagai semacam tali penghubung untuk menciptakan ruang bertutur bagi banyak orang biasa, tentang bagaimana perubahan menurut pengalaman batin warga sendiri. Soalnya bukan pengelolaan pengetahuan, tapi pengelolaan proses belajar. Bagaimana melancarkan proses belajar yang rumit, yang melibatkan warga kampung dengan berbagai kecakapan dan keterbatasannya, arsitek, ahli ekonomi, etnografer, dokter, akhli kesehatan masyarakat, akhli geologi tata-lingkungan dan sebagainya—yang juga serba terbatas pengetahuannya—untuk memahami dan mencoba mengatasi krisis ini bersama-sama.

Memahami imajinasi konstruksi politik, atau political construct, yang membuat kita “jauh dari tanah”, juga penting. Misalnya, untuk ngomongin terobosan dalam pemerintah, maka makna dari institusinya itu harus kita lucuti dari konotasi kolonialnya. Kami tidak pernah memakai kata “pemerintah”, kami selalu memakai istilah “pengurus publik” untuk institusi publik. PEMDA gimana? Ya, pengurus daerah. Karena akar kata “pemerintah” itu dalam penggunaan sehari-hari adalah“perintah.” Artinya, di dalam sikap mental kita, kita/warga harus patuh pada sang perintah itu. Kalau kita gunakan kata-kunci “urus”/kepengurusan, para pegawai di berbagai kantor pengurus publik kita tempatkan pada peran utamanya, yaitu pelayan, atau jongos. Sekarang siapa kepala jongosnya? Ya, Jokowi namanya. Jadi dengan sendirinya ada satu proses demokratisasi di dalam pikiran.

Nah sekarang, siapa yang sesungguhnya mengendalikan perubahan? Pengurus publik? Perluasan kapital industrial sekarang berlangsung di bawah koordinasi dan bayang-bayang dari kapital keuangan/perbankan yang mengalami kemajuan pesat dalam proses akumulasi, terutama sejak 1980an. Hal ini juga perlu dimengerti oleh dunia pendidikan dan profesi arsitektur. Akumulasi berlebihan pada saat ini dipicu oleh kapital keuangan, yang lebih memudahkan pencaplokan ruang dan valuasi ekonomik atas infrastruktur sosial-ekologis, seperti pegunungan dan wilayah resapan air di pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Tapi, kita tidak pernah mempelajarinya selain sebagai peluang bagi profesi, bukan pertimbangan kunci untuk menetapkan persyaratan bagi penciptaan dan perluasan ruang-ruang perkotaan.

Henri Lefebvre juga mengajukan bahwa sekarang kita sebetulnya sudah memasuki era “urbanisasi berskala planeter.” Salah satu pelajar gejala ini, Neil Brenner dari laboratorium perkotaan universitas Harvard, misalnya, mendorong lebih jauh pengamatan Lefebvre, bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan proses urbanisasi/industrialisasi tersebut, wilayah-wilayah “bukan urban” berperan vital sebagai “lansekap operasional”. Warga di banyak lansekap operasional urbanisasi/industrialisasi paham mengenai gejala ini, bahkan menjadi korbannya. Wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan dibongkar untuk memasok batubara bagi pembangkitan energi dan industri di Jakarta. Sumber-sumber energi primer dari daratan dan perairan kepulauan dikeruk dan diekspor untuk mendukung kehidupan kota/industri di Jepang atau di Guangzhou.


YA: Jadi hanya ada sebagian yang menjadi kota dan sebagian lainnya operational landscape?

HS: “Urbanisasi planeter” dalam fikiran Lefebvre melahirkan bagi-kerja spasial di antara lansekap-operasional dan situs proses urbanisasi/industrialisasi. Kota selalu membesarkan selubung-selubung dari sistem pendukungnya, dalam sebuah proses tak kunjung usai yang disebut sebagai “perusakan kreatif.” Kampung-kampung kota dengan sejarah sosial panjang dalam satu generasi sejak 1980an telah berubah menjadi “segitiga emas” bagi industri properti, dengan kerumunan superblok untuk penghuni barunya. Jadi kota sendiri telah menjadi sebuah lansekap operasional di mana manusia boleh dipindah-pindahkan atau dikorbankan, karena ada kebutuhan perusakan-kreatif tanpa-batas itu tadi. Ini semua bonanza untuk dunia penciptaan arsitektur. Meskipun misalnya hal ini terjadi di masa lalu tanpa campur-tangan generasi baru arsitek yang baru muncul, tetapi seharusnya kita ikut bertanggung jawab atau ikut pening untuk mencegah proses serupa berjalan tanpa kendali.

Nah sekarang, bagaimana kita membayangkan arsitektur dan urbanisme yang mengandung unsur terobosan untuk mengatasi krisis, dan mampu menyuburkan daya cipta gila-gilaan dari anak muda yang sedang belajar arsitektur itu?


YA: Lantas apakah bapak pernah terlibat dalam penggodokan kurikulum studi arsitektur dan apa ada yang harus diubah?

HS: Bukan hanya menghimbau, tetapi sejak dulu mencoba mengintervensi langsung, meski bisa dibilang gagal. Saya mengemukakan tantangan, apakah kearifan dan pengetahuan pokok yang harus disiapkan untuk menghadapi krisis yang membesar dengan cepat ini? Bagaimana pembentukan pengetahuannya? Mungkin mahasiswa semester pertama tidak perlu mengkaji banyak teori. Lihat dulu kenyataan, lalu berpikir sendiri, apa yang sebenarnya berlangsung dulu dan sekarang, bagaimana duduk-perkaranya, dan apa yang harus dilakukan?

Setiap daerah di kepulauan kita mencatat lintasan pembangkitan dan pemburukan krisisnya sendiri-sendiri, menurut kekhasan sejarah sosial-ekologis di situ. Oleh karenanya terobosan atau pemecahan masalah yang muncul dari profesi-profesi keteknikan juga harus “membumi”, bertumpu pada pemahaman yang baik atas lintasan perubahan di situ. Kalau sekarang ini, kita seperti cowok atau cewek panggilan saja. Persis seperti itu. Karena kita tidak mau membicarakan apalagi menjawab masalah krisis yang besar atau genting, kita mirip dengan seseorang yang hanya mencari kesenangan dari daya cipta kita… aku, aku, aku.

Misalnya, keterkaitan arsitektur dengan pengurusan perubahan. Apakah aturan yang memperbolehkan pencaplokan lahan/land grab besar-besaran menjadi gosip politik sehari-hari di antara kita? Menurut berbagai data resmi, sekitar 5,1 juta hektar lahan sawit di Indonesia itu dikuasai oleh 29 orang saja lho! Dari sebuah riset kecil, kami menemukan bahwa ada lima instrumen hukum/perundang-undangan yang secara tidak langsung memperbolehkan monopoli penggunaan dan pencaplokan ruang-ruang daratan hingga 100 tahun lamanya. Saya tidak heran melihat pendidikan kita miskin sekali. Seluruh imajinasi kita tentang pembentukan pengetahuan, konteks zaman, basis krisis, daya dobrak itu miskin. Belum lagi membicarakan cara belajar yang  dikelola oleh kanal-kanal pendidikan resmi.


Pencakupan hutan untuk lahan kelapa sawit di Kalimantan. ©Rhett A. Butler
Pencakupan hutan untuk lahan kelapa sawit di Kalimantan. ©Rhett A. Butler

YA: Saya ingin mengaitkan dengan metode penataan kota. Pak Yoyok pernah mengatakan, dalam sebuah wawancara, bahwa modernisme perlu dikritisi lebih lanjut. Lantas apakah sudah terpikirkan alternatif tandingan terhadap modernisme yang dipakai pemerintah kita dalam mengembangkan kota Indonesia?

HS: Saya tidak yakin sebetulnya bahwa beberapa generasi pengurus publik kita selama ini secara kolektif mengerti dan secara sadar memilih ideologi modernisasi. Daya pukau modernisasi itu sendiri sudah lama rontok di negeri-negeri industri maju. Eropa, ujung depan dari modernisasi sendiri, sekarang harus memeriksa jati-diri kolektifnya dan pencapaian pencerahan dari masa lampaunya. Ketika proporsi warga dari negara bekas jajahan di ruang-ruang hidupnya di Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Latin yang menetap atau mencoba peruntungan di negara-negara maju membesar, rasisme tumbuh sebagai persoalan kelas.

Ilustrasi lain tentang ilusi modernisasi adalah keyakinan dan petuah bahwa “negara-negara sedang berkembang” seperti Indonesia akan mampu untuk menempuh lintasan modernisasi ekologis/ecological modernization. Memang sekarang kita harus main bongkar, memacu industri keruk. Tapi ketika nilai uang dari produksi dan konsumsi telah mencapai tingkat yang memadai, kita akan menjadi jauh lebih pembersih dan ramah pada alam dan manusia. Salah satu penjelasan formal dari kepercayaan tersebut adalah kurva-lingkungan hidup dari Kuznets, yang menunjukkan korelasi di antara pendapatan dengan moda transaksi dengan alam.[3] Dulu Jerman dan Inggris berkembang lewat industrialisasi yang jorok sekali. Tetapi, ketika GDP-nya sudah menembus angka tertentu, sistem produksi barang di situ menjadi “bersih.” Apa yang tidak dituturkan di sini adalah bahwa dalam rerantai-pasokan barang industrial, komponen-komponen industri yang paling buruk, mencemari, atau paling rendah nilai-tukar yang diciptakannya pindah lokasi ke negara-negara yang jauh lebih lunak regulasi lingkungan hidupnya.

Lalu tepat sepuluh tahun lalu, Mathias Wackernagel dan William Rees mengembangkan kerangka tuturan telapak-ekologis/ecological footprint.[4] Telapak ekologis Tokyo di tahun 2009 sudah lima kali lipat luas seluruh kepulauan Jepang. Ke mana dia dibebankan atau dipindahkan? Antara lain juga ke kita di sini. Pasar industri otomotifnya, ekstraksi logam dasarnya, .
Ironi dalam tuturan modernitas, misalnya, bisa dipelajari dari salah satu pulau terkering di Indonesia timur, yaitu pulau Adonara. Begitu kecilnya lubang lesung yang mereka pakai menumbuk menunjukkan sangat terbatasnya produksi bulir-buliran di situ. Kalau di sekitar April hujan turun, mereka bisa menyimpan jagung. Jika tidak ada hujan, mereka kemungkinan harus membeli sumber zat tepung untuk setahun. Ketika mereka melakukan proses reproduksi di tingkat keluarga, mereka dilatih untuk bersabar, seperti melakukan hibernasi. Tingkat konsumsinya pelan, dan anak-anak dilatih untuk puas dalam berkonsumsi serba terbatas. Sejarah ruang waktu dari sejarah ekologis dan sosial di situ tidak mungkin kita plot pada angan-angan tentang trajektori perubahan menjadi “yang modern.” Kontras sekali dengan citra modernitas di kota-kota besar yang konsumsinya dan penggunaan energinya besar sekali. Kalau warga kepulauan diminta untuk berbagi impian tentang konsumsi ruang, waktu, bahan dan energi seperti di simpul-simpul perkotaan kita, artinya sistem pengurusan publik kita bisa dikatakan buta krisis. Kita bahkan tidak perduli untuk menghancurkan rumah kita sendiri, dengan mempercepat transformasi dalam konsumsi sosial, seperti aksi bunuh diri besar-besaran.

Kembali ke pendidikan, apakah mereka mau kembali berada di tengah atau sedang minggir teratur, decentering? Melakukan divestasi dan melayani pasar saja?


YA: Jadi, SED juga mempelajari sistem hidup beberapa kepulauan Indonesia untuk diolah lebih lanjut guna mencari tandingan terhadap krisis?

HS: Ada satu interaksi yang terus menerus dan tidak ada habisnya untuk ikut dalam proses pembentukan pengetahuan tandingan dan bertindak, bolak-balik. Ada tiga sektor belajar. Pertama, Regu Belajar orang biasa. Bisa sebuah kampung/KSEM, atau beberapa guru-besar, atau jejaring aktivis akar-rumput, misalnya.

Sektor belajar kedua mencakup berbagai regu, badan pendidikan atau riset. Yang paling susah berubah adalah mereka yang mendapat manfaat terbesar dari status quo ini. Misalnya, semua disiplin yang menyangkut penataan keuangan dan ruang binaan. Profesi arsitektur sudah barang tentu secara umum masuk dalam golongan ini secara umum, karena dia terkait erat dengan proses pembesaran lansekap operasional itu tadi.

Yang ketiga adalah gugus belajar pengurus publik, misalnya pengurus lokal seperti kepala desa atau pemimpin komunitas. Kami bisa bergerak dengan siapa saja, tanpa mau sok jago. Pengetahuan itu seharusnya tidak seperti imajinasi korporasi yang bisa dikuasai, bahkan harus dilengkapi dengan copyright.


YA: Lantas pemilihan lokasi belajarnya berdasarkan apa?

HS: Dengan berbagai keterbatasan dan beberapa pertimbangan lain, siasat belajar yang kami pilih tidak sepenuhnya berbeda topologinya dari imajinasi moda belajar rhizomatik yang disinggung tadi. Lansekap belajar utama kami adalah Asia Timur, terutama kepulauan Indonesia. Lokasi belajar bukan hasil pilihan acak, karena permintaan selalu muncul dari garis depan krisis.
Selain riset mandiri kami sendiri, kegiatan kolaboratif kami umumnya berdasarkan undangan belajar bersama. Kami juga belajar bersama dan dari mitra belajar di tempat-tempat lain di Asia daratan, Sebaliknya, berbagi catatan tentang bagaimana menghadapi dinamika krisis di Indonesia juga menjadi penting untuk kawan-kawan di wilayah Bumi lainnya.
Nah, baru-baru ini kami juga sedang belajar bersama teman-teman Maluku. Mungkin Sanca bisa menceritakannya.

Sanca (SP): Bulan Februari kemarin kami diajak teman-teman untuk melihat persoalan di Maluku. Lokasi belajarnya di kampung orang gunung yang sederhana sekali gaya-hidupnya. Mereka hidup tanpa memakai baju, berbalut kain kepala merah. Mereka biasanya berburu dan meramu tanaman. Persoalan pertama yaitu pola hidup berburu dan meramu mereka terbatasi dengan hadirnya taman nasional. Mereka selalu dituduh sebagai perusak. Padahal mereka sudah di sana terlebih dahulu.

Kami melanjutkan ke pulau Buru, tempat tahanan politik dahulu. Di zaman Soekarno, pulau Buru sudah dilihat sebagai pulau yang cocok untuk transmigrasi karena penduduknya masih sedikit dan dataran rendahnya baik untuk pertanian. Namun ide itu tidak jadi dilaksanakan, karena yang dikirim malah para tapol. Setelah itu baru masuk transmigran dari Jawa dan Madura yang menggarap sawahnya sendiri. Saat ini, persoalannya datang dari tambang emas. Aneh, tetapi tambang emas yang kita temukan selalu di tempat-tempat sumber kehidupan seperti sawah, atau di hulu, sumber air. Tambang emasnya gila-gilaan, hingga mengundang kedatangan puluhan ribu penambang luar.

Persoalan lain muncul dari penggunaan merkuri yang berdampak pada pencemaran padi dan ikan-ikan. Kasus bayi cacat juga sudah ada.


Perkampungan ilegal penambang emas di Pulau Buru. Sumber: http://beritaenam.com/view.php?id=20151127045736
Perkampungan ilegal penambang emas di Pulau Buru. Sumber: http://beritaenam.com/view.php?id=20151127045736

YA: Jadi, sebelumnya dilakukan pemetaan terhadap krisis yang terjadi, kemudian belajar bersama masyarakat untuk mencoba menandingi itu?

SP: Iya. Akhirnya, dengan beberapa teman dari pulau Seram, kami mencoba jenis ekonomi yang cocok untuk warga setempat. Melihat keadaan alam dan kemampuan mereka bertani, kami mencoba menanam kopi. Pada tahun 1970-an, masyarakat setempat pernah mendapat bibit kopi dari pemerintah sebagai alternatif dari cengkeh. Ketika harga cengkeh jatuh, mereka mulai menanam kopi. Namun, ketika harga cengkeh naik lagi, kopi mulai ditebang. Akhirnya, kami berdialog dengan keluarga setempat, belajar untuk memilah kopi dan semuanya dimulai dari nol.


YA: Dalam satu kawasan perkampungan?

SP: Operasinya di seluruh pulau Seram. Teman-teman Regu Belajar kesulitan karena transportasi yang kurang memadai. Sehingga, mereka terbiasa membawa motor dari satu ujung ke ujung lain. Kadang motornya dipanggul jika melewati sungai yang tidak ada jembatannya.


YA: Jadi sekarang perkembangannya seperti apa?

SP: Itu mereka sendiri yang atur, jadi tidak ada target. Yang penting mereka dapat memahami logika perubahan sosial ekologis. Itulah yang kami pelajari bersama untuk mencari jalan keluar atau proses belajar berikutnya.

HS: Mungkin saya bisa menambahkan contoh kasus lain. Seluruh belahan utara pulau Flores sedang terancam. Pada awal tahun 1990-an sebuah penelitian dari Jepang yang menemukan bahwa wilayah tersebut sedang mengalami desertifikasi atau penggurunan. Sejak akhir 1990an wilayah tersebut Mangan untuk dikirim ke Tiongkok dengan operasi semut. Padahal tiga kabupaten ini, Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur merupakan bagian gemuk dari pulau Flores. Jadi, daerah yang sumber airnya paling banyak, dihajar selama bertahun-tahun. Padahal mereka terancam akan menjadi gurun juga.

Kami bolak-balik ke sana sebagai pelajar, atas undangan teman-teman yang selalu mengabari jika ada sesuatu yang baru atau krisis baru terjadi. Banyak yang kami temukan. Misalnya, petir di satu tanjung, pertanda alam penting untuk awal musim tanam, tidak datang lagi ketika tanjung dibongkar oleh pertambangan. Semua kami dokumentasikan. Sampai saat ini desa-desa dan institusi pengurus warga utama di situ terus berikhtiar untuk melakukan proses penyembuhan dari kehidupan warga dan ruang-ruang hidupnya.
Sesungguhnya subyek telaah dan urusan dari arsitektur adalah ruang hidup. Akal budi kita kan tidak mencipta, tetapi hanya menggubah.

Kembali ke pemerintah kita yang buta krisis. Karena krisisnya tidak terkodifikasi apalagi terukur, arah perubahan sekarang justru menjadi tawanan dari sektor pasokan. Kantor yang mana yang siap menjawab pertanyaan mengenai duduk perkara dan bangunan krisis untuk pulau Sulawesi atau pulau Taliabu misalnya?

Nah, sekarang kemanusiaan dan biosfera sedang dirusak cepat. Apa benar ada pemampatan waktu perubahan? Ada.

Agenda perlawanan dan pemulihan sekarang bertujuan mengembalikan syarat keselamatan manusia dan keselamatan biosfera dalam perubahan. Kami sebisa-bisanya menuturkan ceritanya dalam berbagai bahasa si pelajar. Kami akan bekerja sama di lapangan bersama rekan-belajar lain untuk mendengarkan dan mempelajari tuturan tandingan mengenai kekhasan lintasan krisis di situ, dari warga yang paling paham tentang ruang hidup mereka sendiri.


Saya bersama Hendro Sangkoyo, Dinar dan Sanca. ©RUANG
Saya bersama Hendro Sangkoyo, Dinar dan Sanca. ©RUANG

Catatan Kaki:
[1] Operational Landscape: Zona untuk pengerukan sumber daya, wilayah industri agrikultur, infrastruktur logistik dan komunikasi, turisme dan pembuangan limbah, yang mencakup area tepi kota, daerah terpencil yang juga termasuk “pedesaan” atau “alam terbuka”…. Hal ini merupakan bentuk pemekaran kapitalisme yang mengandalkan pencakupan dan pengoperasian sebuah wilayah dalam skala besar di luar kota untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi, siklus metabolik dan kepentingan pertumbuhan kota – (Neil Brenners. Implosions/Explosions : Towards a Study of Planetary Urbanization. 2014)
[2] Taylorism: Teori manajemen yang menganalisa dan mensintesa alur produksi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan efisiensi secara ekonomi, terutama produktivitas pekerjanya. – (Wikipedia)
[3] Environmental Kuznets Curve: Hipotesa dari sebuah hubungan antara berbagai macam indikasi dari degradasi lingkungan dan pendapatan per kapita. Di tahap awal dari pertumbuhan ekonomi, perusakan lingkungan dan polusi naik. Tetapi setelah pendapatan per kapita mencapai level tertentu, tren menjadi terbalik. Peningkatan ekonomi dalam level yang tinggi juga membawa peningkatan kualitas lingkungan. – (David I. Stern. The Environmental Kuznets Curve. 2003)
[4] Ecological Footprint: sebuah ukuran dari dampak kegiatan manusia terhadap lingkungan – (WWF)

http://membacaruang.com/hendro-sangkoyo-tentang-sde-dan-gerilya-pemulihan-krisis/

0 komentar:

Posting Komentar