Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Meiliana mengikuti persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (24/7/2018). ANTARA FOTO/Septianda Perdana
Tak ada polisi yang berjaga ketika kengerian itu terjadi, demikian kata salah satu saksi mata yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016. Satuan Brigade Mobil baru datang pagi keesokan harinya.
"Pak, tolong kejadian di Tanjungbalai ditangani," kata Tito Karnavian, Kapolri, kepada Komisaris Besar Jenderal Syafruddin.
Namun semua sudah terlambat. Seisi vihara sudah hancur. Dupa berserakan di mana-mana, pun dengan patung dewa yang bagian bawahnya sudah entah ke mana.
Malam itu tercatat tiga vihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, dirusak dan dibakar. Bukan cuma itu, tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibikin gosong.
Berawal dari keluhan
Semua berawal dari keluhan Meiliana ketika sedang belanja di warung Kasini, Jumat 22 Juli 2016 pukul tujuh pagi. Kepada pemilik warung, ka Uo, Meiliana mengeluh soal volume speaker masjid yang menurutnya terlalu keras. Meiliana adalah seorang keturunan Tionghoa beragama Buddha.Masjid yang ia maksud adalah Al-Maksum, lokasinya persis ada di depan rumah yang disewa Meiliana di Jalan Karya Kelurahan Tanjungbalai Selatan I. Meiliana sudah delapan tahun tinggal di tempat itu.
Ada dua versi keluhan Meiliana ini. Pertama menurut Meiliana sendiri, dan kedua berdasarkan keterangan ka Uo. Versi Meiliana, ia mengatakan kepada ka Uo: "ka Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar, sekarang kok agak besar?" Kak Uo menjawab: "Iya, ya." Sementara menurut Uo sendiri, Meiliana awalnya bilang: "Bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali."
Mendengar keluhan itu ka Uo menjawab: "Ya, nanti aku sampaikan ke ayahku." Ayah Uo adalah Kasidi, yang tidak lain merupakan pengurus masjid.
Kak Uo tidak menyampaikannya langsung ke ayahnya. Ia lebih memilih bicara ke Hermayanti, adiknya, pada 23 Juli 2016. Adiknya yang kemudian menyampaikan ke ayah. Kata ka Uo ke Hermayanti: "Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid." Embel-embel "orang Cina" turut disampaikan ke Kasidi.
Kasidi mengkonfirmasi permintaan itu ke Uo. Uo membenarkannya. Sejak dari sini pernyataan Meiliana telah menyimpang dari apa yang benar-benar ia katakan.
29 Juli 2016. Kasidi memberitahu apa yang ia dengar dari sang anak ke Haris Tua Marpaung (Lobe), Zul Sambas dan Dailami. Ketiganya adalah pengurus masjid. Tidak butuh waktu lama, bakda Magrib keempat orang ini dan seseorang bernama Rifai mendatangi rumah Meiliana meminta klarifikasi.
Lagi-lagi ada dua versi dari pertemuan ini. Meiliana mengatakan dia tak pernah melarang azan. Sementara versi satunya lagi–dari Lobe–menyebut Meiliana memang keberatan dengan "suara azan di masjid".
Pukul 19.15, Fahrur Razman Sambas, Kepala Lingkungan I Tanjungbalai Kota I, melaporkan hal ini ke lurah. Lurah kemudian meminta Bhabinkamtibmas dan Babinsa untuk turut serta hadir ke kantornya. Di sana Meiliana mengaku dia memang keberatan, tapi bukan oleh azan itu sendiri melainkan karena suaranya yang dianggap terlampau bising.
Di luar, sekitar pukul 21.15, ternyata sudah berkumpul massa. Satu orang tak dikenal tiba-tiba masuk mencoba memukul Meiliana.
Kabar berkembang cepat. Muncul berita sumir di tengah-tengah warga kalau "seorang Cina mengamuk ke kelurahan," "Cina larang-larang azan", dan sejenisnya. Rudi Bakti, seorang warga, bahkan berorasi menggunakan pengeras suara di depan Polsek. Tingkahnya membikin informasi makin cepat tersebar. Dia juga menghidupkan sirene pengeras suara di Bundaran PLN.
"Hari ini kita jangan diinjak kaum Cina, adanya pelarangan azan yang berkumandang di masjid," katanya berulang-ulang. Setelah warga berkumpul, mereka dimobilisasi. Rumah Meiliana dirusak.
Setelah itu Rudi dan massa bergerak ke vihara karena gagal menghancurkan rumah Meiliana yang dijaga warga setempat. Mereka melanjutkan aksi brutalnya.
Seluruh kronologi itu disaripatikan dari laporan penelitian berjudul Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina.
Meiliana dipenjara
Masih menurut laporan Siswo, Irsyad dan Ali, sebetulnya tak ada masyarakat yang mau melaporkan Meiliana ke polisi. Pun awalnya Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjungbalai enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama kepadanya. Tapi lembaga lain seperti FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah mendesak.MUI kalah suara. Pada Januari 2017 mereka mengeluarkan fatwa yang isinya adalah apa yang dilakukan Meiliana masuk dalam kategori penistaan terhadap agama Islam.
Kejadian-kejadian ini berlangsung bersamaan dengan aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, atas dugaan pasal yang sama.
Polisi, dalam hal ini Polda Medan, akhirnya menetapkan status tersangka kepada Meiliana pada Maret 2017. Pasal yang dikenakan adalah pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana tentang penistaan agama, sama seperti Ahok.
Sidang-sidang pun berlanjut, tak jarang dengan kehadiran massa.
Meiliana hanya bisa menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dari Pengadilan Negeri Medan akhirnya memutusnya bersalah dan menghukumnya dengan kurungan 1,5 tahun penjara pada Selasa (21/8/2018) kemarin.
Hendardi, ketua Setara Institute, mengatakan sedari awal proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trial. "Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Hendardi kepada Tirto.
Bagaimanapun palu telak diketok. Meiliana tetap harus menjalankan hukuman meski telah berkali-kali meminta maaf. Padahal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saja mengatakan kritik suara azan yang terlalu keras "bukan ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu".
Seharusnya, kata Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Robikin Emhas seperti dikutip dari Antara, kritik suara azan harus dilihat sebagai kritik yang konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS
Sumber: Tirto
___________________
ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), "kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras", pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.
Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada "orang melarang Adzan" merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)
Beberapa orang mendatangi rumah Meliana, mempertanyakan kebenaran issu "ada yang melarang Adzan" langsung ke rumah Meliana, orang-orang semakin ramai, rumah Meliana dilempari, dirusak dan dibakar. Tidak hanya itu saja, massa yang marah juga membakar puluhan rumah termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.
Kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwa ibu Meliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia"
Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama, karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri, hal ini juga panjang lebar telah diterangkan pak Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.
Meliana divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, SH., MH dan dua anggota Majelis Hakim yaitu: Saryana, SH., MH dan Erintuah Damanik, SH., MH., dengan putusan Meliana terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Karena itu, mari kita sejenak membayangkan bahwa Meliana adalah ibu kita, kakak perempuan kita, anak perempuan kita, apakah benar Meliana berani mengucapkan apa yang dituduhkan padanya tersebut didepan orang banyak yang sedang marah? Meliana perempuan yang tidak berdaya dari kelompok yang minoritas, suaminya hanya bekerja serabutan menjaga sarang burung walet milik orang lain yang sekarang kehilangan pekerjaannya tersebut karena perkara ini, anaknya trauma berat karena massa marah yang mendatangi rumah mereka. Saya kuatir Meliana dipenjara 10 tahun pun tidak mengobati kebencian kita terhadap perbedaan2 agama, namun sebaliknya akan membuka ruang-ruang hukum untuk memperkarakan perbedaan-perbedaan agama dan pahamnya.
Mari kita hentikan perdebatan di ruang medsos ini, tidak perlu lagi saling menyalahkan, jangan sampai menambah suasana yang tidak harmonis, mari kita percaya kepada penegak hukum, meskipun hasilnya tidak memuaskan kita. Toh dari awal kita semua sudah tahu bahwa memperjuangkan keadilan adalah proses yang terus menerus, bukan hanya di ruang sidang, bahkan sejak dari ruang pikir kita masing-masing.
Membela kepentingan hukum Meliana sebaiknya tidak didasarkan pada perbedaan atau persamaan agama, tapi karena setiap kita akan membutuhkan pembelaan pada waktunya, dan karena setiap kita menyadari bahwa hukum bisa salah dalam penerapannya, karena kita semua manusia, yang tidak mungkin luput melakukan kesalahan.
Josua Rumahorbo
Jimmi Sibuea
Kamal Pane
Radinal M Panggabean
Puji Aprilia Marpaung
Gracia F Tambun
1. Penerapan pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dg pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tdk setuju dengan UU ini tapi faktanya UU ini masih berlaku. Mengapa Pasal 1? Karena disitulah substansi penodaan agama, yaitu "….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".