Test Footer 2

Kamis, 02 Februari 2017

Syeh Siti Jenar dan Ahangkara

Ki Bagus Mertabrata, ahli waris ilmu Manunggaling Kawula Gusti, memulai wejangannya dengan menceritakan asal-muasal Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar bernama kecil Ali Hasan atau biasa dipanggil San Ali. San Ali adalah anak seorang datu dari Malaka bernama Datu Shaleh yang tinggal dan menyebarkan agama Rasul di Cirebon. San Ali menghabiskan masa remajanya di Pesantren Amparan Jati pimpinan Syekh Datu Kahfi, seorang penyebar agama Rasul lainnya di Cirebon. Pada usia lima belas tahun, San Ali keluar dari Pesantren Amparan Jati untuk belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala pada seorang pertapa Siwa Sogata.
“Apakah di Pesantren Amparan Jati tidak diajarkan Kasunyatan Catur Wipala, Ki Bagus?” Suradipa yang belum pernah mendengar riwayat Syekh Siti Jenar penasaran.
“Pesantren Amparan Jati hanya mengajarkan kitab-kitab dari Atas Angin, Dimas. Sedangkan ajaran Kasunyatan seperti Catur Wipala hanya diajarkan para pertapa dan pujangga Siwa Sogata kepada yang menghendakinya di pedalaman Jawa,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan wajah berbinar.
“Untuk apa Kanjeng Siti Jenar belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala? Bukankah Syekh Datu Kahfi juga terkenal waskita dan linuwih?” tanya Gagak Cemeng.
Ki Bagus Mertabrata menjelaskan bahwa San Ali dihantui pertanyaan yang diajukan gurunya tentang kembalinya “aku”, “engkau”, dan “dia” ketika pribadi yang ditunjuk ketiga kata ganti tersebut mati. Atas anjuran gurunya, San Ali keluar dari Pesantren Amparan Jati agar mengetahui rahasia kembalinya “aku”, “engkau”, dan “dia” dengan cara mendalami ajaran Kasunyatan Catur Wipala peninggalan Raja Majapahit Batara Kertawijaya.
“Tapi, mengapa pilihannya jatuh pada ajaran Kasunyatan Catur Wipala, Ki?” kejar Gagak Cemeng.
“Mungkin Syekh Datu Kahfi menyadari bahwa ajaran Kasunyatan Catur Wipala bisa menjelaskan tentang kembalinya ‘aku’, ‘engkau’, dan ‘dia’.”
“Apa Ki Bagus berkenan menjelaskan ajaran kasunyatan dalam Catur Wipala?”
Ki Bagus Mertabrata menjelaskan bahwa ajaran Kasunyatan Catur Wipala terdiri dari empat tahap keadaan. Yang pertama Nishprha, yaitu keadaan ketika manusia sudah tidak menginginkan sesuatu. Yang kedua Nirhana (fana’), yaitu keadaan ketika manusia merasa tidak memiliki badan sehingga segala tujuan musnah tanpa bekas. Yang ketiga Niskala, yaitu keadaan ketika manusia menyatu dan lebur dengan Hyang Maha Agung yang bersifat Suwung, Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, dan Tak Tertandingi.
“Keadaan Niskala itu seperti seekor kodok yang terselimuti liangnya dan seekor kodok yang menyelimuti liangnya. Keadaan seperti ini yang disebut lebur,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan mata terpejam, seolah tengah menembus alam gaib. “Sedangkan yang keempat adalah Nirasraya, yaitu ketika keadaan Niskala melebur ke dalam Parama Laukita (fana’ fil fana’). Dalam keadaan ini, tidak lagi ada kodok maupun liang. Tidak ada lagi ‘aku’, apalagi ‘engkau’ dan ‘dia’. Keadaan ini tidak berciri dan melampaui ‘aku’, ‘engkau’, dan ‘dia’. Semuanya telah kembali, lebur, dan menyatu dalam Hyang Mahaluhur.”
“Setelah tamat belajar ajaran Kasunyatan Catur Wipala, San Ali berlayar menuju tanah Arab untuk belajar ajaran Rasul lebih dalam sembari berdagang. Dalam perjalanan ke tanah Arab itu San Ali mendapat julukan Syekh Abdul Jalil,” lanjut Ki Marlapa, ahli waris ilmu Manunggaling Kawula Gusti lainnya.
“Ajaran apa yang didapat Kanjeng Abdul Jalil selama berada di Arab sana, Ki Marlapa?” tanya Suradipa tak sabar.
“Di tanah Arab, Kanjeng Abdul Jalil bertemu berbagai jenis ajaran Rasul yang diajarkan pandita-pandita besar. Salah satunya adalah ajaran dari seorang pandita bernama Abdul Karim Al-Jilli, yang memberikan pengajaran tentang Manusia Sempurna dan Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan keberadaan),” Ki Marlapa menjelaskan dengan lirih.
Nyi Gadung Melati, saudara seperguruan Ki Bagus Mertabrata dan Ki Marlapa, melanjutkan cerita tentang kembalinya Syekh Abdul Jalil ke Nusantara. Datang dari Arab, Syekh Abdul Jalil lantas mendirikan pesantren di Lemahbang, Cirebon. Tak lama kemudian, para wali meminta Syekh Abdul Jalil menjadi anggota Majelis Wali yang bertugas di Brang Kulon (Jawa belahan barat), melanjutkan syiar Syekh Datu Kahfi yang telah wafat. Sejak mendirikan pesantren di Lemahbang, Syekh Abdul Jalil lebih dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemahbang. Di Pesantren Lemahbang, Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu Kasampurnan, yang lebih menitikberatkan pada laku batin daripada syariat. Hal itu membuat anggota Majelis Wali lainnya menyebutnya sebagai orang yang Anggubel Sarengat Miyak Warana (merusak syariat karena mengajarkan rahasia tertinggi ketuhanan secara terbuka).
“Jadi, benarkah Kanjeng Siti Jenar telah merusak syariat seperti yang disampaikan Majelis Wali saat itu, Nyi?” tanya Gagak Cemeng.
“Bagi Kanjeng Siti Jenar, agama itu sebagian berisi perlambang atau perumpamaan. Kita diminta untuk menyeberangi perlambang-perlambang itu agar bisa memahami intisari ajaran agama,” Nyi Gadung Melati berusaha menjelaskan pada Gagak Cemeng.
“Dalam Al-Quran ada kalimat yang mengatakan: ‘Jadikanlah pelajaran pada kejadian itu, hai orang-orang yang berpikiran tajam’ (QS. 59:2). Jika kita berpikiran tajam seperti yang dimaksud dalam kitab, maka tidak mungkin kita terus-menerus terjebak dalam perlambang-perlambang. Hyang Agung dalam kitab yang sama juga mengatakan bahwa perumpamaan yang dibuat hanya bisa dipahami mereka yang berilmu (QS. 29:43). Artinya, tidak semua yang belajar kitab mengerti perumpamaan atau perlambang di dalamnya. Perbedaan menangkap makna ini yang membuat Kanjeng Siti Jenar dan para wali lainnya berbeda pendapat, yang berujung pada wafatnya Kanjeng Siti Jenar,” Ki Bagus Mertabrata menjelaskan dengan sabar.
“Dengan alasan tersebut, Kanjeng Siti Jenar mengabaikan syariat?” Gagak Cemeng berusaha mendapat jawaban.
“Syariat itu jalan lahir, Dimas. Menurut guru kami, Ki Ageng Pengging, yang juga murid Kanjeng Siti Jenar, selain syariat sebagai jalan lahir, manusia juga harus menjalani laku batin. Kitab agama Rasul juga menyebut bahwa jalan batin itu yang membuat Hyang Agung akan selalu melimpahkan kedamaian dan kesejukan kepada manusia.”
“Bukankah shalat juga laku lahir sekaligus laku batin, Ki?” tanya Gagak Cemeng lagi.
“Shalat akan menjadi laku batin bagi mereka yang mengerti dan mau menyeberangi perlambang di dalamnya. Kalau masih terjebak dalam perlambang, shalat hanya akan menjadi laku lahir,” jawab Ki Marlapa. “Perintah shalat adalah perintah mengingat Hyang Agung, Dimas. Sedangkan perintah mengingat adalah tindakan yang harus dilakukan pada saat berdiri, duduk, dan berbaring (QS. 3:191). Jadi, yang penting adalah mengingat, eling, sebab Hyang Agung selalu bersama kita di mana pun kita berada (QS. 2:115).”
“Lalu, apa yang dimaksud Kanjeng Siti Jenar bahwa dunia adalah kematian dan kita ini orang-orang mati?” kali ini Suradipa yang bertanya.
“Kalau Dimas belajar agama Rasul, ada kalimat Kanjeng Rasul yang mengatakan bahwa manusia hidup di bumi sesungguhnya tidur dan bangun ketika mati. Al-Quran juga menyebutkan bahwa kau itu orang mati dan mereka pun orang mati (QS. 39:30).” Telunjuk Ki Marlapa menuding dadanya sendiri, lalu menuding orang-orang lainnya.
“Apa maksud kalimat itu, Ki?” kejar Suradipa.
“Menurut Kanjeng Siti Jenar, hidup sejati itu tidak merasakan kematian. Dalam kehidupan sejati yang ada hanya keselamatan dan kebahagiaan. Sedangkan kita ini dalam keadaan mati karena masih merasakan lapar, haus, sakit, gelisah, bahkan tidak jarang marah, kecewa, tersesat, dan lain-lain.”
“Bukankah rasa lapar, haus, sakit, gelisah, dan lain-lain itu justru hanya bisa dirasakan oleh yang hidup?”
“Tidak, Dimas. Sang Hidup tidak merasakan lapar, haus, sakit, dan gelisah. Tubuh kita yang terdiri dari daging, tulang, dan sumsum, ini adalah perangkap bagi Sang Hidup. Perangkap itu yang merasakan lapar, haus, sakit, dan gelisah. Sedangkan Sang Hidup tidak merasakan itu semua, sebab yang ada hanyalah kebahagiaan dan kedamaian.”
(Cuplikan dari novel sejarah AHANGKARA: Sengketa Kekuasaan dan Agama).
.
-----------------------------------
AHANGKARA adalah sebuah novel sejarah yang mengisahkan peristiwa sirnanya Kerajaan Majapahit dari bumi Nusantara dan perang intelijen dalam peristiwa-peristiwa besar terkait peralihan kekuasaan dan agama di tanah Jawa pada abad 16 Masehi.
---------------------------------
Penulis: Makinuddin Samin 

0 komentar:

Posting Komentar