Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Negara-negara asing bukanlah pengamat netral. Dalam rangka mengamankan kepentingan masing-masing, mereka memainkan peran dalam peristiwa 1965
Diskusi buku "1965-Indonesia dan Dunia" di Goethe Haus, Jakarta, 30 September 2013. Foto: Agus Kurniawan.
KETIKA Gerakan 30 September 1965 pecah, Uchikowati (48 tahun) duduk di sekolah menengah pertama. Ibunya anggota Gerwani, ditahan di penjara Bulu, Semarang. Sedangkan ayahnya, bupati Cilacap, dibui di penjara Mlaten, Semarang. Pada 1967, ayahnya divonis 20 tahun penjara sebagai tahanan politik dan menghuni lembaga pemasyarakat Besi dan Permisan di Nusakambangan.
“Ketika semua orang menyebut bahwa Gerwani itu jahat,” kata Uchi, “Saya tak pernah melihat kejahatan itu pada ibu saya. Justru saya melihat ibu saya punya pekerjaan yang mulia. Bersama anggota Gerwani, ibu mendirikan taman kanak-kanak, rumah bersalin, dan pemberantasan buta huruf dengan sasaran petani dan kaum perempuan.”
Uchi menceritakan pengalaman pahit tersebut pada acara diskusi buku 1965 - Indonesia dan Dunia karya Baskara T. Wardaya dan Bernd Schafer, di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, 30 September lalu. Hadir sebagai pembicara, kedua editor buku tersebut, Bonnie Triyana, Mery Kolimon, Ratna Hapsari Rudjito, dan Uchikowati. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari seminar internasional bertajuk “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” di Goethe Haus tahun 2011.
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya, buku ini membantu melihat konteks yang lebih luas atas apa yang terjadi di seputar tragedi 1965-1966 berikut dampaknya. Buku ini memiliki dimensi yang berbeda dari yang apa kita lihat selama ini: ketegangan antara blok Barat dan Timur, Inggris yang sibuk membentuk federasi Malaysia, Australia yang ingin mendekat kepada Barat dalam menghadapi perkembangan komunis di Asia, perpecahan antara Beijing dan Moskow, dan diam-diam hasrat untuk menguasai sumberdaya alam Indonesia.
“Buku ini diharapkan bisa membantu kita melihat peristiwa 1965-1966 secara lebih jernih dan luas, baik untuk kepentingan akademik maupun advokasi,”kata Baskara.
Selain itu, dengan membaca ini, kata Mery Kolimon yang mengumpulkan cerita korban peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur, kita mengerti bahwa mereka adalah korban dari sebuah skenario besar kepentingan para penguasa dunia.
“Ibaratnya gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah,”ujar Mery, pendeta dan dosen Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, NTT.
Mery mengatakan ini bukan persaingan ideologi. Tapi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Tulisan Bradley Simpson dalam buku ini menunjukkan bukti-bukti otentik keterlibatan Amerika Serikat dan Inggris. Pembantaian terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis didukung oleh operasi-operasi rahasia Amerika dan Inggris. Kedua negara itu melihat pembasmian PKI sangat penting untuk mengembalikan Indonesia ke dalam hubungan erat dengan dunia Barat. Bagi mereka, Sukarno harus disingkirkan karena kebijakan-kebijakannya semakin pro-Tiongkok. Tulisan Jovan Cavoski menjelaskan pengaruh Tiongkok yang semakin kuat terhadap PKI dan Sukarno membuat cemas negara-negara Barat dan Uni Soviet.
“Saya sendiri memahami peristiwa 1965 sebagai teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan di atas teror itu kekuasaan Orde Baru dibangun dan berkembang lebih dari 30 tahun. Teror itu menjadi trauma kolektif. Bukan hanya korban dan keluarga korban yang mengalami trauma, tetapi seluruh bangsa. Ini yang kami temukan dalam penelitian di NTT,” kata Mery.
Bonnie Triyana, sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia, menyoroti soal pemberitaan media massa luar negeri. Dalam buku ini terdapat dua tulisan mengenai hal itu: Heinz Schutte menulis tentang pers Prancis dan Richard Tanter soal pers Australia.
Selain pers di kedua negara tersebut, menurut Bonnie, justru pers Belanda yang cukup banyak memberitakan apa yang terjadi di Indonesia, khususnya mengenai pembantaian massal dan penahanan semena-mena. Salah satu koran yang getol menulis adalah De Haagsche Courant –kemudian dimerger menjadi NRC Handelsblad. Dua wartawannya, Cees van Caspel dan Henk Kolb bersama Poncke Princen, mantan tentara Belanda yang memilih menjadi warga negara Indonesia dan bergiat sebagai pejuang hak azasi manusia, datang ke Purwodadi. Mereka mendapatkan keterangan mengenai pembunuhan massal dari Romo Wignyosumarto. Berita itu menghebohkan. Pemberitaan media massa Thailand bahkan memicu demonstrasi di depan kedutaan besar Indonesia di Bangkok.
Buku ini telah mengisi kekosongan historiografi di Indonesia.
“Selama ini kajian peristiwa 1965 lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada 1 Oktober, siapa dalangnya, dan apa yang terjadi setelahnya. Belum ada pembahasan mengenai bagaimana posisi Indonesia dalam peta politik dunia dan kaitannya dalam peristiwa 1965,” kata Bonnie.
Agama itu candu rakyat, kata Karl Marx. Menurut Marx, harapan
terhadap kehidupan di surga yang dijanjikan agama itu membuat
penganutnya terlena dalam doa, padahal itu harapan palsu. Akibatnya
pecandu agama, istilah Marx, tidak tertarik pada kehidupan duniawi
sehingga tidak produktif, malas bekerja. Marx memandang agama sebagai
bentuk protes "alam bawah sadar" terhadap kemiskinan dan berbagai
kesulitan hidup, protes yang dimanifestasikan dalam bentuk pelarian ke
arah terbentuknya kepercayaan supranaturalistik.
Pertanyaannya, apakah
itu berarti orang komunis atheis? Vladimir Lenin menginterpretasi sedikit beda, menurutnya agama
merupakan bentuk kemunduran mental. Pandangan itulah yang kemudian
mendorongnya untuk menerapkan state atheism, yaitu bukan melarang orang
beragama tetapi penyelenggaraan kehidupan bernegara tidak berlandaskan
kepercayaan kepada Tuhan. State atheism ini juga diberlakukan di
Tiongkok. Karena tidak dilarang beragama maka lantas terbentuk berbagai
kelompok komunis beragama (religious communist) yang kemudian justru
berperan besar terhadap perkembangan komunisme itu sendiri secara global
dalam konteks melawan kapitalisme. Setiap religious communism menjalankan prinsip komunisme yaitu
melepas hak milik pribadi atas harta benda secara sukarela sesuai
kemampuan, dalam porsi minimal tertentu yang ditentukan oleh ajaran
agama yang menjadi basisnya untuk kemudian didistribusikan sesuai
kebutuhan; dalam Islam ini tidak lain adalah zakat. Ya, dengan demikian
sesungguhnya pelaksanaan zakat dalam Islam itu juga melaksanakan prinsip
komunisme .
Pandangan anda bahwa komunis itu tak berTuhan adalah keliru. Tidak
semua komunis atheis, komunis tidak sama dengan tak berTuhan. Meskipun
di masa lalunya sangat ditekan oleh state atheism, Gereja Ortodoks kini
masih berdiri dan malah berfungsi politis lebih besar di Rusia ketimbang
era Soviet. Kegiatan homoseksual kini dilarang di Rusia, ini bisa
terjadi karena besarnya peran politik Gereja Ortodoks dan kuatnya
masyarakat Rusia memegang nilai anti gay atas perintah agamanya. Sejak
beberapa hari lalu hingga saya menulis ini kantor Apple di Rusia sedang
diobok habis oleh kepolisian Rusia atas tuduhan mempropagandakan gay
melalui gambar emoji yang melekat pada luncuran terbaru iOS 8.3.
Demikian pula Tiongkok. Meskipun state atheism di sana secara politik
menekan keras kehidupan beragama, Tiongkok masih dikenal sebagai pusat
agama Budha, lebih ketimbang India tanah kelahirannya atau Thailand.
Selain itu para Biksu di Tiongkok juga banyak menerapkan prinsip
religious communism sebagaimana agama lain semisal Kristen, Hindu, dan
Islam melalui sistem zakatnya. Memang, bukan di Indonesia saja kata "komunis" berkonotasi "tak
berTuhan", atau bahkan kadang "anti Tuhan", ini karena Karl Marx memang
seorang atheis tulen, dan atheismenya itu dia gunakan sebagai salah satu
dasar, selain anti kapitalisme, untuk menyusun ideologi yang disebut
Marxism itu. Memang betul komunisme merupakan tatanan politik, sosial,
ekonomi yang berbasis Marxism, tapi bukan komunisme saja yang berbasis
Marxism, sosialisme juga. Bedanya secara prinsip adalah komunisme
diterapkan dalam penyelenggaraan negara melalui state atheism, sedangkan
sebaliknya sosialisme tidak "membuang" Tuhan. Dengan demikian
sosialisme tidak lain adalah religious communism yang diterapkan pada
tingkat penyelenggaraan negara, bukan kelompok atau komunitas keagaaman
seperti yang ada di Rusia dan Tiongkok tersebut di atas yang bergerak
di bawah tekanan state atheism. Polemik G 30S PKI selalu bergulir dalam nuansa propaganda "komunis
tak berTuhan, maka pastilah biadab", itu keliru. Perbuatan amoral,
tercela, biadab, bisa dilakukan siapa saja, tak terkecuali orang
beragama. Mari kita luruskan dengan bersama-sama melapangkan dada dan
membuka pikiran. Menolak state atheism jangan atas pijakan pemahaman
yang keliru terhadap komunisme. *) Gambar oleh businessinsider.com http://indonesiana.tempo.co/read/50022/2015/09/30/sinergiandroid/komunis-tidak-identik-dengan-atheis
Rabu, 30 September 2015 | 15:00 WIB | Oleh: Asvi Warman Adam
Suasana pada peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun 1989. Monumen Pancasila Sakti dibangun di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur, di dekat sumur maut yang dijadikan tempat pembuangan mayat para perwira tinggi TNI AD korban pembunuhan pada awal Oktober 1965. Pelaku pembunuhan adalah prajurit-prajurit TNI AD menyusul peristiwa G30S yang terus menjadi kontroversi hingga sekarang. Setiap tahun di depan monumen tersebut dilaksanakan upacara bendera Hari Kesaktian Pancasila.
JAKARTA, KOMPAS - Setelah meletus Gerakan 30 September 1965, sampai sekarang telah diterbitkan ribuan tulisan serta banyak film dan program televisi.
Dari perspektif historiografi yang menonjolkan HAM, gelombang pengkajian itu dapat dibagi atas lima episode. Pada tahap pertama diperdebatkan siapa di balik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan.
Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggak keempat. Episode kelima ditandai dengan pemutaran film Jagal (2012) dan Senyap (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang.
Lima narasi, lima aspek
Pada episode pertama, yang diperdebatkan siapa dalang G30S 1965? Buku pertama mengenai peristiwa ini 40 Hari Kegagalan "G30S", 1 Oktober-10 November 1965. Buku ini terbit 27 Desember 1965 atas prakarsa Jenderal Nasution, yang menugasi beberapa pengajar sejarah Universitas Indonesia (UI).
Walaupun belum menggunakan label "G30S/PKI", buku ini sudah menyinggung keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam percobaan kudeta tersebut. Akan tetapi, pandangan yang berbeda diajukan ilmuwan AS, Ben Anderson dan Ruth McVey, yang melihat keterlibatan AD. Laporan itu, yang kemudian dikenal sebagai "Cornell Paper", terungkap keberadaannya lewat Washington Postedisi 5 Maret 1966.
Tahun 1967, Guy Pauker dari Rand Corporation yang dianggap dekat dengan CIA memberi tahu Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, tentang keberadaan Cornell Paper dan menyarankan agar ditulis buku tandingan. Soewarto kemudian mengirim Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh, seorang jaksa dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub), untuk melakukan penulisan di AS.
Dengan bantuan Guy Pauker, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh berhasil membuat buku The Coup Attempt of September 30 Movement in Indonesia. Buku ini dibagikan kepada peserta Kongres Sejarawan Asia (IAHA) di Kuala Lumpur tahun 1968. Prestasi besar ini menyebabkan Pusat Sejarah ABRI mendapat tempat yang luas di bekas kediaman Dewi Soekarno di Wisma Yaso, yang kemudian menjadi Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Bahkan, kelak, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menjadi menteri.
Dalam kunjungan ke AS, Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh membawa berbagai dokumen, termasuk berkas perkara Mahmilub terhadap Heru Atmojo yang melampirkan visum et repertumjenazah enam jenderal yang jadi korban G30S. Dokumen ini sempat terbaca oleh Ben Anderson, yang selanjutnya menulis artikel menggemparkan bahwa tak benar terjadi pencungkilan mata dan penyiletan kemaluan para jenderal. Episode kedua narasi G30S adalah sosialisasi versi tunggal penguasa oleh Nugroho Notosusanto melalui penerbitan buku Sejarah Nasional Indonesia tahun 1975, terutama jilid 6 yang melegitimasi rezim Orde Baru. Nugroho juga memprakarsai pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI yang disutradarai Arifin C Noer, 1984. Film itu wajib tayang di layar televisi setiap malam tanggal 30 September.
Sejak 1967 dilakukan desukarnoisasi dalam sejarah Indonesia. Berhentinya Soeharto sebagai presiden Mei 1998 menandai episode ketiga narasi G30S. Korban mulai bersuara. Sejarah lisan pun dikerjakan, yang menonjol di antaranya 1965: Tahun yang Tidak Pernah Berakhir. Persatuan Purnawirawan AURI juga menerbitkan Menguak Kabut Halim.
Episode keempat narasi G30S ditandai penerbitan buku John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, tahun 2008. Bila semula yang diperdebatkan siapa dalang kudeta 1965, kini fokusnya beralih: siapa dalang pembantaian 1965. Roosa dalam bukunya yang kini bisa diunduh di internet menganggap aksi G30S itu dijadikan dalih melakukan pembunuhan massal. Film Jagal (The Act of Killing) karya Joshua Oppenheimer menandai episode kelima narasi G30S. Bila sebelumnya para korban berbicara, kini pelaku bersaksi. Film ini meraih penghargaan dalam berbagai festival film di mancanegara dan dinominasikan sebagai film dokumenter terbaik Piala Oscar 2014.
Gambaran secara hidup pembantaian terhadap masyarakat Sumatera Utara pasca-G30S itu mendekonstruksi narasi yang disosialisasikan Orde Baru. Pada 10 Desember 2014, film Senyap (The Look of Silence) melengkapi film Jagal yang beredar sebelumnya. Bila diperhatikan, karya yang beredar pada episode ketiga, yakni sejak Era Reformasi, terlihat bahwa G30S itu mencakup lima aspek.
Pertama, peristiwa yang terjadi 1 Oktober 1965 yang menyebabkan tewasnya enam jenderal. Kedua, pembunuhan massal setelah peristiwa itu, yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Ketiga, pembuangan paksa terhadap lebih dari 10.000 orang ke Pulau Buru, 1969-1979.
Bila ketiga hal itu lebih bersifat kekerasan fisik, dua unsur berikutnya lebih bersifat kekerasan mental, yakni, keempat, dicabutnya kewarganegaraan ribuan pemuda Indonesia yang sedang belajar di mancanegara tahun 1966. Kelima, stigma dan diskriminasi yang diberlakukan terhadap korban dan keluarganya. Isi instruksi Mendagri tahun 1981 antara lain melarang anak-anak korban menjadi PNS dan anggota ABRI.
Rekonsiliasi nasional
Selama 50 tahun studi G30S telah berkembang pesat dengan dibukanya berbagai arsip di AS, Inggris, Australia, Rusia, Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Bermunculan pula para peneliti mengenai tema ini di sejumlah negara, seperti di Belanda, Jepang, dan terutama Australia, selain—tentu saja—dari Indonesia sendiri. Areal kajian tak saja mencakup Jawa dan Sumatera, tetapi sudah meluas sampai Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Kemajuan kajian mengenai G30S 1965 semoga membantu terciptanya rekonsiliasi nasional seperti diamanatkan Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan, Agustus 2015. Sebelum tercapai rekonsiliasi, tentu perlu pengungkapan kebenaran yang akan terbantu oleh berbagai kajian selama 50 tahun ini.
Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2015, di halaman 7 dengan judul "50 Tahun Studi G30S 1965".
Heyder Affan | Wartawan BBC Indonesia | 30 September 2015
Sejumlah lembaga kemanusiaan di berbagai kota aktif mendampingi para eks tapol 1965. Mulai menjalin rekonsiliasi "kecil-kecilan", membantu agar berani bersuara, hingga mengungkap kuburan massal orang-orang yang dicap PKI.
"Dendam itu sama dengan penyakit. Semakin dipelihara, semakin kita sakit," kalimat ini dilontarkan Gagarisman, seorang pria asal Palu, Sulawesi Tengah, yang ayahnya dibunuh setelah peristiwa G30S 1965.
Sang ayah, Abdulrahman, adalah pimpinan PKI Sulawesi Tengah. Di sebuah malam, setelah G30S, ayahnya dan tiga pimpinan PKI setempat "dijemput" oleh sekelompok orang.
Semenjak saat itulah, pria kelahiran 1960-an ini tidak pernah bersua ayahnya -hingga kini. "Ayah saya dianggap hilang," ujarnya, lirih.
Dan setelah bertahun-tahun mencari ayahnya, dia akhirnya menemukan jawabannya setelah bertemu Ahmad Bantam, pensiunan tentara.
"Ayahmu dibunuh. Saya ini yang gali lubangnya," ungkap Ahmad Bantam, sambil berisak tangis. "Saya ini orang Islam, saya tidak mau berbohong."
Pengakuan dan permintaan maaf Bantam ini melegakan Gagarisman. "Kami kemudian berpelukan, sambil bertangisan."
Gagarisman mengaku telah menerima permintaan maaf pensiunan tentara itu. Lagipula, lanjutnya, Bantam melakukannya juga karena diperintah atasannya.
Dan lebih dari itu, dia membuang jauh-jauh dendam. "Jangan jadikan persoalan masa lalu seperti bisul tidak bernanah. Dibuka saja, kemudian rekonsiliasi, saling memaafkan."
Saat ini, Gagarisman terlibat aktif dalam upaya mengungkap kebenaran pelanggaran HAM setelah G30S 1965 di Palu, Sulteng, bersama organisasi Solidaritas korban pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulteng.
Rekonsiliasi ala Syarikat Indonesia
Saya bertemu Gagarisman dalam cara temu kerja sebuah organisasi bernamaSyarikat Indonesia, SI (Masyarakat santri untuk advokasi rakyat) Indonesia di Yogyakarta, Sabtu (12/09) lalu.
Acara ini membahas tindak lanjut upaya rekonsiliasi di tingkat akar rumput yang digelar anggota SI di berbagai kota.
Adapun Syarikat Indonesia adalah organisasi yang didirikan oleh para aktivis muda Nahdlatul Ulama, NU pada tahun 2000.
Dimotori Imam Aziz, organisasi ini membangun rekonsiliasi dengan para eks tapol 1965 dengan terlebih dulu mengungkap kebenaran yang dialami mereka.
"Yang kita harapkan, para korban ini kembali menjadi sebagai warga negara yang utuh. Ini memang misi kemanusiaan," kata Ahmad Murtajib, pimpinan Syarikat Indonesia.
Dua tahun setelah berakhirnya rezim Orde Baru, para aktivis muda NU mencoba membuka komunikasi dengan eks tapol 1965 di sekitar 35 kota.
"Kita menemui satu per satu (eks tapol 1965) di banyak kota, melakukan komunikasi, silaturrahmi, untuk bisa diterima. Ini proses yang panjang," ungkap Murtajib.
Ditanya apakah keterlibatan Banser (organisasi kepemudaan di bawah NU) dalam sejumlah kasus pembunuhan ribuan simpatisan PKI pasca G30S ikut melatari upaya Syarikat menggelar rekonsiliasi, Murtajib mengatakan: "Itu diantaranya."
Namun demikian, upaya yang dibangun dirinya dan teman-temannya tidak untuk menutup sejarah gelap tersebut.
"Kita ingin menjadi baik bukan karena menutupi masa lalu, tapi membongkar semuanya. Kemudian memahami, dalam konteks apa waktu itu," tandas Murtajib.
Mereka kemudian menyebut langkah itu sebagai upaya rekonsiliasi "kecil-kecilan" alias kultural di tingkat masyarakat paling bawah.
"Ini persoalan besar yang mesti kita selesaikan. Kita tak akan bisa melangkah ke jauh depan, ketika kita masih tersandung dengan peristiwa masa lalu," jelas Murtajib.
'Semacam rekonsiliasi dengan tetangga'
Apa komentar eks tapol 1965 atas praktek rekonsiliasi yang dibangun para aktivis muda NU ini?
"Ini satu langkah maju," kata Bambang Soekotjo, mantan tapol pulau Buru dan pegiat Yayasan penelitian korban pembunuhan (YPKP) 1965/1966 cabang Pati, Jateng.
Dia mengaku telah beberapa kali diundang NU Jepara untuk mengungkap perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap dirinya.
"Semacam rekonsiliasi dengan tetangga," kata mantan aktivis CGMI di Semarang, organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI.
Dia mengharapkan praktek rekonsiliasi "kecil-kecilan" ini dapat ditindaklanjuti oleh negara. "Yaitu secara resmi, secara formal. Intinya kami ini diakui," kata Bambang.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Umum NU Slamet Effendi Yusuf mengatakan, praktek rekonsiliasi yang dilakukan oleh para aktivis muda NU tidak mengatasnamakan organisasi NU.
Ditanya apakah sikap yang ditunjukkan SI merupakan mandat NU sebagai organisasi, Slamet mengatakan SI "bukan sebuah arahan politik" NU.
Namun demikian, lanjutnya, NU tak memasalahkannya. "Rekonsiliasi di masyarakat yang alami, silakan berjalan secara alami," katanya dalam keterangan tertulis kepada BBC Indonesia, akhir pekan lalu
Bahkan, "Banyak anak eks PKI masuk Ansor, bahkan jadi Banser. Rekonsiliasi di akar rumput menjadi cultural movement, alami, sukarela," tambah Slamet Effendi.
Pasang nisan di kuburan massal Plumbon
Di Semarang, aktivis kemanusiaan dari Perkumpulan masyarakat Semarang HAM (PMS-HAM) dan didukung berbagai pihak telah memasang nisan di lokasi kuburan massal orang-orang dituduh simpatisan atau anggota PKI di Dusun Plumbon, Semarang, Jateng.
"Bukankah kita amat jahat membiarkan orang meninggal dan membiarkan meninggal tidak wajar selama berpuluh-puluh tahun," kata Yunantyo Adi, koordinator PMS-HAM sekaligus pemrakarsa acara ini saat ditemui BBC Indonesia di Semarang, Rabu (09/09) lalu.
Digelar pada 1 Juni 2015 lalu, pemasangan nisan di kuburan massal di hutan jati di Dusun Plumbon, Kecamatan Ngalihan, Semarang, itu didukung secara resmi oleh pemerintah Kota Semarang dan aparat di bawahnya.
Mereka juga berhasil meyakinkan kelompok organisasi anti Komunis agar "tidak menganggu" prosesi kemanusiaan itu.
"Kita hanya ingin membuatkan makam itu sebagai kepantasan dalam tradisi Jawa, yang mengenal tradisi keselamatan bagi kelahiran dan kematian," ungkapnya saat ditanya bagaimana dia meyakinkan pemkot Semarang agar mendukung idenya.
Yunantyo mengaku semula pihaknya ingin memakamkan ulang 24 jenazah di dalam kuburan massal itu, tetapi kemudian dibatalkan. "Tanpa izin Komnas HAM, itu tak dapat dilakukan karena dapat merusak barang bukti," jelasnya.
Selain dihadiri pejabat Pemkot Semarang, Perhutani, tokoh agama, prosesi pemasangan nisan ini juga dihadiri pimpinan Banser Jateng. "Mereka memimpinyasinan di lokasi makam bersama santri-santrinya, walau datang terlambat," tambahnya.
Sekretaris NU Kota Semarang, Merry Suwito mengatakan, pihaknya mendukung pemasangan nisan ini karena alasan kemanusiaan.
"Keluarga korban itu ingin berziarah ke kuburan nenek atau kakeknya, tetapi mereka masih sembunyi-sembunyi. Lah ini kita memberi dukungan kepada mereka. Jangan sampai mereka mau berziarah kayak zaman perang, pakai sembunyi-sembunyi," kata Merry yang juga Sekretaris Camat Ngaliyan, Semarang.
Diantara undangan, hadir pula sebagian keluarga korban yang berasal dari Kendal, Semarang dan Wonosobo.
"Para keluarga korban tidak menuntut dendam, tapi cuma ingin pelurusan sejarah. Mereka mengatakan, keluarganya tidak tahu apa-apa seputar G30S, tapi dibantai," ungkap Yunantyo, mengutip keterangan salah-seorang keluarga korban.
Salah-seorang yang dibantai dan dikuburkan di lokasi itu adalah seorang guru taman kanak-kanak milik yayasan PKI. "Masyarakat desa ini mengenalnya sebagai ibu Moetiah," jelasnya.
Lebih lanjut Yunantyo mengharapkan, pemasangan nisan di Plumbon ini dapat menjadi "pintu masuk pengungkapan sejarah kelam di masa lalu."
"Saya juga berharap, apa yang kami lakukan ini dapat menular di daerah lain," kata Yunantyo yang juga berprofesi sebagai wartawan Surat kabar Suara Merdeka, Semarang.
LPH Yaphi: 'Biarlah korban yang bicara'
Di ruangan berukuran sekitar tiga meter kali 10 meter itu, tujuh orang yang berusia di atas 70 tahun itu mengungkapkan apa yang mereka alami setelah peristiwa G30S PKI 1965.
Enam orang diantaranya mengaku ditahan tanpa diadili, disiksa, dipenjara minimal dua tahun, serta mengalami stigma setelah dibebaskan. Mereka juga mengalami trauma panjang akibat penderitaan.
Saya bertatap muka dan mewawancarai satu per satu setelah dibantu oleh Lembaga Pengabdian Hukum (LPH) Yaphi, Solo, Jateng. Organisasi ini telah mendampingi sebagian korban eks tapol PKI di Solo dan beberapa kota di Jateng selama bertahun-tahun.
"Saya kasihan kepada mbak Putri (Haryati Panca Putri, Direktur LPH Yaphi) yang mendampingi kita dari nol selama bertahun-tahun. Dulu kita trauma berat, sampai akhirnya berani ngomong seperti sekarang," ungkap Martono, pria 84 tahun asal Solo.
Martono adalah korban kekerasan oleh aparat negara setelah peristiwa G30S. Dia menyebut dirinya sebagai "pelaku, korban sekaligus saksi".
"Saya lima kali dibantai. Tapi Tuhan lindungi saya. Saya masih hidup," kata pria yang mengaku bekerja sebagai teknisi dan tak pernah tertarik politik.
Dia kemudian dibebaskan, tapi dengan syarat bersedia "membuang mayat orang-orang (PKI) yang dibantai."
"Selama dua tahun, saya buang mayat. Kalau malam Minggu, kadang-kadang 20 hingga 25 mayat yang saya buang," ungkapnya seraya menyebut salah-satu lokasi pembuangannya adalah Sungai Bengawan Solo yaitu dari atas jembatan Bacem.
Martono terlihat lancar mengungkapkan pengalaman horor tersebut.
Apa komentar Anda soal ide rekonsiliasi? Tanya saya. "Pelaku dan korban damai? Enake (Enaknya)! Habis dikepruk (dihantam), disuruh damai? Apa ada hukumnya?" Martono menjawab.
Begitulah Martono. Para eks tapol lain asal Kroya, Sragen, Purwokerto, Sukoharjo, serta Boyolali siang itu juga terlihat gamblang saat mengungkap kegetiran masa lalunya.
Dalam pertemuan siang itu, pimpinan LPK Yaphi, Haryati Panca Putri memilih sedikit bicara. "Biarlah korban yang berbicara. Suara korban yang harus kita suarakan," ujar Putri.
Dia mengaku hanya mendampingi, melakukan penguatan, pendidikan dan mewujudkan hak para korban pelanggaran HAM tersebut. "Utamanya saat ini adalah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), bantuan psiko-sosial bagi korban," ungkapnya.
Dalam pertemuan dengan eks tapol '65, LPK Yaphi juga terus menggelar semacam diskusi untuk mengkritisi materi Rancangan Undang-undang Komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Upaya pengungkapan kebenaran serta ditindaklanjuti rekonsiliasi "kecil-kecilan" di tingkat akar rumput sepertinya akan terus berlanjut, di tengah ketidakjelasan sikap negara dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat atas para eks tapol '65.