This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Sabtu, 29 November 2014
Joshua Oppenheimer: Selama TAP MPRS Masih Ada, Selama itu Pula Negara Mempertahankan Cerita Resminya Mengenai G30S
Rabu, 26 November 2014
26 November 2014; Kau di mana [?]
Batalkan Kenaikan Harga BBM! Tolak Politik Upah Murah!
Lawan Represifitas Aparat! Hentikan Liberalisasi Ekonomi!
“Mengapa Harus Membatalkan Kenaikan Harga BBM? “
- Sebenarnya selama ini tidak pernah ada subsidi terhadap harga BBM, karena harga BBM sudah sangat jauh di atas biaya produksi-seharusnya dengan keuntungan 10%, harga BBM hanya Rp 1700.
- Penggunaan BBM selama ini justru digunakan untuk aktivitas produktif; ada sekitar 76,3 juta sepeda motor di Indonesia, sementara mobil penumpang hanya sekitar 10,4 juta, dan sebagian besar digunakan untuk hilir mudikmencari nafkah, bukan untuk hura-hura.
- Kenaikan harga BBM justru mempermudah SPBU yang dikuasai oleh Swasta (terutama Internasional) merajalela—karena harga BBM menjadi sama dengan harga internasional. Sudah ada ijin untuk 80 ribu SPBU Asing yang siap beroperasi di Indonesia pasca kenaikan harga BBM ini.
- Persoalan lainnya adalah selama ini pengelolaan tambang minyak sebagian besar dikelola oleh swasta (terutama internasional) sehingga hanya 25 % saja hasil minyak bumi yang menjadi “hak” negara, sehingga kebutuhan dalam negeri selalu kurang dan harus membeli ke swasta dengan harga sangat mahal.
- Pemerintah mengatakan dana BBM akan dialihkan ke infrastuktur-jalan raya, rel kereta api, pelabuhan, bandara dll---kenyataannya selama ini semua pembangunan infrastruktur tidak membuat rakyat semakin sejahtera, melainkan hanya untuk memfasilitasi para pemodal dalam melakukan usahanya.
- Tanpa harus menjadi Presiden atau menteri, atau pengamat ekonomi, kenaikan harga BBM jelas memicu kenaikan berbagai macam harga kebutuhan hidup lainnya, dan rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya---sekarang kita sudah merasakan hidup makin sulit karena kenaikan harga BBM kemarin.
- KIS-KIP atau kartu lainnya, selain hanya untuk sebagian kecil rakyat, juga tidak cukup untuk mengatasi kenaikan hargaharga kebutuhan hidup.
- Sementara rakyat dipaksa untuk semakin “berhemat”, di sisi lain, tidak ada pengurangan yang signifikan untuk fasilitasgaji para Pejabat-Pejabat Negara (mereka tetap hidup sangat kaya; mobil mewah, rumah mewah, makanan mewah, ke rumah sakit pun bisa ke luar negeri, menyekolahkan anak-anak ke luar negeri, bahkan jalan-jalan pun ke luar negeri).
- Juga tidak ada usaha pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan Indonesia—yang selama ini hanya dinikmati sebagian kecil orang, menjadi lebih merata. 10 orang terkaya di Indonesia, total kekayaannya mencapai 620 Trilyun atau sama dengan total upah untuk 1 juta buruh DKI selama dua puluh tahun (dengan UMP 2015 sebesar 2,7 juta)
- Buruh adalah bagian dari kelompok masyarakat yang karena kerjanya, membuat kita semua bisa menggunakan baju,celana, listrik, alat elektronik, tranportasi, obat, rumah dan lain sebagainya—pendek kata, tanpa kerja buruh, dunia mati.
- Selama puluhan tahun, buruh Indonesia hanya diperas tenaganya, dan tak pernah mendapatkan kejahteraan yang memadai---sama dengan rakyat miskin non buruh formal. Ini membuat selama puluhan tahun, kerja buruh (yang menghasilkan barang-jasa) justru sebagian besar dinikmati oleh pengusaha dan tentu saja pemerintah.
- Sehingga anak-anak buruh dan keluarga buruh tidak bisa berkembang sebagai manusia yang seutuhnya—tinggal dikontrakan kumuh, makan kurang gizi, tak berkembang pengetahuan, dan bentuk bentuk ketertinggalan lainnya.
- Alasan bahwa pengusaha akan bangkrut, adalah alasan untuk menakut-nakuti buruh—dan sekaligus mencari dukungan masyarakat---agar buruh tidak menuntut kenaikan upah yang cukup memadai, karena belum ada bukti bahwa mayoritas perusahaan bangkrut karena kenaikan upah, dan misalnya perusahaan bangkrut harusnya pemerintah bisa menalangi dengan memberikan suntikan modal atau jenis-jenis bantuan lainnya, tanpa harus mengorbakan buruh.
- Saat ini, tuntutan buruh secara umum adalah kenaikan upah 30 %, walaupun Pemerintah sudah menetapkan kenaikan upah di bawah 30 %. Tuntutan kenaikan upah 30 % barulah sebatas untuk bertahan hidup sebelum BBM dinaikkan, belum untuk menjadi sejahtera. Oleh karenanya peningkatan upah harus segaris lurus dengan pembatalan kenaikan harga BBM.
“Bagaimana Memenangkan Tuntutan?”
- Persatuan rakyat adalah kunci. Selama ini gerakan penolakan kenaikan harga BBM masih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan gerakan buruh yang bergolak di beberapa daerah dalam menuntut upah belum banyak mengangkat penolakan terhadap kenaikan harga BBM. Begitu juga rakyat di kampung-kampung, belum bergerak sama sekali. Padahal kenaikan harga BBM dan Upah Murah, justru akan semakin memiskinkan rakyat di setiap sektor baik buruh,tani, nelayan, kaum miskin kota, maupun pelajar-mahasiswa. Sedangkan gerakan mahasiswa mendapat kesulitan dalam memperluas perlawanan karena sering diadu-domba dengan pihak-pihak yang mengatasnamakan ‘rakyat’. Sehingga yang dibutuhkan untuk memenangkan perjuangan adalah bersatunya Buruh, Pemuda-Mahasiswa, Miskin kota, dan Tani.
- Pergerakan inipun tidak bisa lagi bergerak secara lokal, tanpa pergerakan dan perlawanan secara nasional yang lebih massif dan lebih kuat. Perlawanan yang massif secara nasional—apalagi jika sudah menyatu kekuatan mahasiswa, buruh dan rakyat miskin—akan sanggup menghadapi upaya untuk membenturkan aksi mahasiswa dengan rakyat, sekaligus sanggup menghadapi tindakan respresif aparat yang semakin hari semakin keras.
- Sebagai awal untuk menyatukan kekuatan secara nasional, kita akan BERGERAK SERENTAK, Pada Hari Rabu, 26 November 2014, yang akan meliputi 15 Propinsi dan 60 kota.
- Perlawanan Serentak Nasional akan menjadi bagian dalam persiapan menuju Pemogokan Umum Rakyat—di mana buruh akan menghentikan produksi di pabrik-pabrik, mahasiswa akan mogok belajar, kaum miskin kota akan mogok berativitas; Intinya sebuah pemogokan besar-besaran! Karena tanpa desakan yang sangat kuat, mustahil kenaikan harga BBM bisa dibatalkan, mustahil kenaikan upah minimal 30 % bisa didapatkan. Intinya, mustahil ada perubahan,jika rakyat tidak bergerak dengan gelora perlawanan yang pantang menyerah.
- Untuk Mahasiswa-Kaum Buruh-Kaum Miskin Kota di JABOTABEK, dan untuk siapapun yang sudah bosan dengan kemiskinan, sudah bosan dengan tipuan elit, sudah muak dengan ketidakadilan, marah dengan kenaikan harga BBM, marah dengan pendapatan yang selalu kurang.
"Datang dan Berkumpul bersama kami dalam “Rapat Akbar Perlawanan Rakyat “ Hari Rabu, 26 November 2014; Jam 13.00 di depan Universitas Indonesia, Salemba. Satukan kekuatan Mahasiswa-Buruh-Rakyat Miskin-- menghadapi REJIM PENINDAS RAKYAT"
“Jangan Ragu, Jangan Takut! Yakinlah Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! “
Namun itu, karena setiap orang yang ‘tak waras’ selalu berkata “kalau kamu jadi presiden juga akan menaikkan harga BBM” seraya mendukung kebijakan sesat pemerintah, maka kami perlu memberikan solusi yang mampu membatalkan kenaikan harga BBM.
Apa Solusinya? Jangka Pendek:
1. Pangkas biaya-biaya perjalanan pejabat negara; pangkas gaji dan tunjangan pejabat negara!
2. Terapkan pajak progresif yang ketat bagi para pengusaha dan orang kaya!
3. Berantas korupsi dan sita harta-harta koruptor bagi pemasukan negara!
4. Tunda pembayaran hutang luar negeri!
Jangka Menengah dan Panjang:
1. Hentikan liberalisasi ekonomi!
2. Nasionalisasi sektor migas serta aset-aset vital lainnya dibawah kontrol rakyat bagi kemandirian nasional dan kesejahteraan rakyat!
3. Hapus hutang luar negeri!
Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI):
SGBN, FPBI, KSN, SBTPI, SBMI, GSPB, Frontjak, FBLP, RTP, GKRI, SPRI, Aliansi Mahasiswa Indonesia (LMND, Semar UI,Formasi IISIP, GUNADARMA, UHAMKA, UIN, UP, UNAS, PARAMADINA, UBK, TRISAKTI, APP, UNISMA, UNTIRTA, KP FMK,PEMBEBASAN, FORMAD, FMN, SMI, KANITA IISIP), SGMK, KPOP, KPRI, Rekan Indonesia, SeBumi, PRP, PPI, PPR, KPO-PRP, Politik Rakyat.
https://www.facebook.com/notes/10152604343431925/
Senin, 24 November 2014
Celakanya membenarkan cara berfikir ini: Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif!
24 November 2014 pukul 13:23
Bagaimana Ceritanya BBM dan Energi lainnya tidak Penting?
Kenyataannya, perubahan harga atas Energi (Utamanya BBM) dipastikan akan mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam penghidupan Rakyat.
Setidaknya, Pencabutan subsidi dan Kenaikan harga BBM pasti akan mempengaruhi:
- Jumlah dan nilai upah
- Biaya jasa transportasi
- Biaya Produksi
- Harga barang dan kebutuhan Pokok
- Biaya Kesehatan: Terkait dengan kenaikan biaya produksinya akibat naiknya harga BBM, karena biaya produksi obat-obatan, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya di produksi menggunakan energy, ditambah biaya distribusi (relasinya dengan ongkos transportasi)
- Biaya Pendidikan: Sama dengan Kesehatan, Seluruh kebutuhan sarana prasarana, perlengkapan, alat dan bahan kegiatan belajar-mengajar (KBM), sampai pada seragam sekolah diproduksi menggunakan energy dan membutuhkan biaya distribusi.
- Dll.
Problemnya adalah, Bukan sama sekali seperti Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah bahwa: Produksi minyak nasional turun, sedangkan kebutuhan konsumsi naik, Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit), Alokasi anggaran untuk sector lain lebih rendah (menggunakan logika perbandingan), harga minyak dunia naik/turun, dan alasan-alasan lainnya.
Produksi minyak Turun?
Indonesia tidak produksi kok, hanya terlibat dalam proses lifting (Pengangkatan) dari jatah pembeliannya terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan tersebut. Kemudian diolah menjadi minyak jadi dengan menitipkan lagi (Mengolah di Industri milik swasta) untuk menjadi minyak jadi.
Jadi, klaim pemerintah soal Produksi minyak nasional tersebut adalah bukan hasil eksploitasi yang dilakukan oleh Indonesia melalui perusahaan Negara, melainkan jatah pembelian terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan.
Kebutuhan Konsumsi Naik?
Perkara kebutuhan Konsumsi naik, ini adalah perkembangan yang “Niscaya” seiring perkembangan yang ada didalam negeri, baik perkembangan atas pertumbuhan penduduk, kebutuhan produksi dan seterusnya. Namun, alasan Pemerintah ini seolah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemampuan hitung atas perkembangan seperti diatas (Sekedar Asumsi sekalipun). Lantas kenapa dalam menghitung pertumbuhan secara manipulative sangat lihai?
Keterangan:
Lihat saja bagaimana pemerintah dalam permainan angka menghitung pertumbuhan ekonomi PDB secara makro (Termasuk menghitung omzet perusahaan swasta yang bukan samasekali milik Indonesia), menghitung penurunan angka kemiskinan dan klasifikasi golongan (miskin, hampir miskin, menengah dan, kaya).
Padahal, pemerintah menghitung pertumbuhan tersebut hanya dengan melihat:
- Pendapatan Per-Kapita sebesar Rp. 210.000-280.000 (Miskin),
- Pendapatan Rp. 280-400.000 (Hampir Miskin) dan,
- Pendapatan Rp. 400.000-Seterusnya (Menengah dan Kaya).
*Perhitungan yang sangat tidak manusiawi bukan?
Jadi, naiknya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri yang “diluar prediksi” pemerintah tersebut justeru semakin menunjukkan bahwa Pemerintah memang tidak pernah memiliki data dan analisis komprehensif (Menyeluruh) yang Objektif atas keadaan Umum Indonesia.
Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit)?
Alasan ini semakin lucu, dengan Alasan ini Pemerintah berusaha membodohi rakyat bahwa Pemerintah Hanya sebagai pengelola Anggaran dan bukan pemegang Kewenangan dalam menyusun dan Menetapkannya. Lantas siapakah yang menyusun dan menetapkannya, sehingga Pemerintah “se-Olah” begitu panic ketika menerima Dokumen APBN yang akan dikelolanya tidak sesuai dengan kebutuhan.
Problem sesungguhnya, bukan pada bagaimana pengalokasiannya (pembagian alokasi untuk setiap sector) semata. Tapi disinilah tempatnya untuk meletakkan Politik yang tepat dalam mengatur Anggaran (belanja dan pendapatan) berdasarkan perspektif dan Orientasi yang tepat pula.
Berbicara Subsidi dan anggaran untuk BBM, Pemerintah tidak seharusnya mengarahkan Rakyat pada pikiran distribusi semata (proses jual-beli minyak oleh Pemerintah kepada Rakyat, kemudian terfokus pada harga), kecuali pemerintah memang tetap ingin menjebak Rakyat dengan segala pembodohan agar tidak memahami dimana problem pokoknya.
Pemerintah harusnya dalam berbicara “Politik Anggaran (Red: Politik Logistik Kata Ir. H. Joko Widodo)” untuk BBM dan Energi lainnya, paling pertama dan utama harus meletakkan perspektifnya lebih pada bagaimana Negara harus berdaulat atas produksi dan distribusinya atas minyak dan energy lainnya, kemudian bagaimana mampu melakukan produksi secara mandiri.
Artinya bahwa, Pemerintah harusnya berusaha keras membangun Industri Nasional (Untuk produksi minyak misalnya), mulai dari Eksplorasi, Eksploitasi, Lifting dan, Proses produksi lainnya sampai pada proses Distribusi.
Benar bahwa dalam aspek ini, kendalanya adalah Modal dan teknologi. Maka inilah bagian yang harus dipikirkan dan diselesaikan lebih utama oleh Pemerintah, bagaiamana untuk mengalokasikan modal produksi, termasuk mendapatkan teknologinya (terutama teknologi mesin). Kenyataannya Indonesia memiliki bahan bakunya kok, yang selama ini dikeruk habis-habisan oleh perusahaan swasta milik kapitalisme monopoli (Imperialisme) dan borjuasi komprador (Perpanjangan tangannya) didalam negeri. Kekayaan Alam Indonesia telah menyediakan segalanya, sebagai Syarat untuk bisa membangun Industri nasional dan melakukan produksi secara mandiri.
Masalahnya adalah, Pemerintah sangat tergantung pada Modal Asing beserta teknologinya, yang didapatkan melalui mekanisme utang, hibah dan Investasi. Ditengah ketidak mampuannya memecahkan problem tersebut, Pemerintah justeru kemudian MENGUNDANG Kapitalisme monopoli Internasional untuk melakukan Investasi dan membuka Industri (Tambang minyak contohnya) di Indonesia, kemudian mengeruk seluruh cadangan minyak yang terkandung dalam perut bumi Nusantara ini. Sementara Negara hanya mendapatkan sebagin kecilnya saja dari hubungan produski tersebut.
Dilain sisi Pemerintah bahkan memberikan jaminan yang sedemikian rupa untuk kelansungan serta keamanan produksi dan distribusi (pasar dan harga) bagi perusahaan Imperialisme dan Borjuasi komprador didalam Negeri. Mulai dari jaminan keringanan pajak(berbagai jenis pajak), keringanan biaya Eksport-Import (Alat kerja dan hasil Produksi)bahkan, sampai pada jaminan refitalisasi yang juga ditanggung oleh Pemerintah menggunakan uang Negara (Refitalisasi: Peremajaan dan pengadaan alat kerja baru_Mesin dan lain sebagainya), jaminan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan lain-lain.
Celakanya, Pemerintah bahkan memberikan perlindungan atas jaminan tersebut secara vulgar melalui Undang-undang. Sementara Imperialisme terus meraup keuntungan berlimpah, baik dari proses produksi, hasil distribusi sampai pada keuntungan jual mesin dan alat kerja lainnya untuk peremajaan dan pengadaan baru yang di Import dari luar Negeri yang sesungguhnya adalah produksi dari Imperialisme itu sendiri.
Kesimpulannya adalah, tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi minyak dalam Negeri, bukanlah karena kian berkurangnya produksi dan cadangan minyak bumi Indonesia semata, juga bukan karena rendahnya alokasi anggaran yang menyebabkan deficit, apalagi dengan alasan yang menuduh Rakyat terlalu Konsumtif dan Boros menggunakan BBM,“Seolah Rakyat beli Minyak untuk Menyiram pekarangan rumah dan atau untuk ngepel laintai saja!”
Problem pokoknya adalah:
Karena Adanya kontrol oleh Imperialisme di indonesia yang melakukan monopoli (Penguasaan secara luas) atas produksi minyak dan Dominasi atas pasar dan harga (Distribusi) Minyak.
Sumber https://www.facebook.com/notes/1558536181045666/
Minggu, 23 November 2014
Bukan Menaikan Harga BBM, Tapi Melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 !
Jokowi menjelaskan, kenaikan harga BBM tidak bisa dihindarkan. Menurutnya, alokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM terlalu besar dan cenderung boros. Ia mencatat, dalam lima tahun terakhir, alokasi subsidi BBM mencapai Rp714 triliun. Sementara, pada periode yang sama, alokasi untuk pembangunan infrastruktur hanya Rp574 triliun dan sektor kesehatan sebesar Rp220 triliun.
Jokowi menyakinkan bahwa besarnya alokasi subsidi BBM menyebabkan pemerintah tidak punya ruang fiskal untuk menjalankan programnya, terutama yang terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, Jokowi menyebut agenda pemangkasan subsidi BBM ini sebagai bentuk ‘pengalihan subsidi dari aktivitas konsumtif menjadi aktivitas produktif’. Maksudnya, anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru.
Benarkah demikian? Mengkambing-hitamkan subsidi BBM sebagai pemborosan dan mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai programnya pembangunannya adalah sebuah penyesatan. Yang dilupakan, subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Ironisnya lagi, ada pos belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang justru tidak pernah disentuh: pertama, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawai, yang cukup tinggi; dan kedua, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.
Taruhlah soal pembayaran utang. Di APBN 2015 ini porsi pembayaran bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanja APBN kita. Dan untuk diketahui, sepanjang tahun 2005-2011, porsi pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK tidak pernah menyinggung persoalan beban utang luar negeri ini. Padahal, tidak semua dari komponen utang luar negeri itu adalah utang sah. Tidak sedikit dari jumlah utang itu yang masuk kategori utang ilegal (illegal debt), utang najis (oudius debt), dan utang tidak sah (illegitimate debt).
Dengan demikian, kalau saja pemerintahan Jokowi-JK berani melakukan proses audit terhadap utang itu dan menegosiasikan ulang dengan para kreditur, maka pemerintah akan punya sedikit ruang fiskal. Lagi pula, soal utang luar negeri ini bukan hanya soal beban kewajiban membayar pinjaman dan beban bunganya, tetapi terkait dengan proyek neokolonialisme di Indonesia. Untuk diketahui, utang luar negeri telah menjadi alat bagi para kreditur, yang notabene negara-negara kapitalis maju dan perwakilan kepentingan korporasi multinasional, untuk menjerat leher negeri dunia ketiga dan mendikte kebijakan ekonomi-politiknya.
Selama ini pemerintah melihat persoalan subsidi BBM hanya sebagai bahan bakar untuk sektor transportasi saja. Mereka lupa bahwa subsidi BBM juga berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas produksi, seperti industri, pertanian, nelayan, dan usaha kecil (UKM dan industri rumah tangga). Subsidi BBM berkontribusi dalam meringangkan biaya produksi dan distribusi. Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, maka aktivitas produksi tersebut akan mengalami gangguan akibat kenaikan biaya produksi dan distribusi. Alhasil, jika terjadi kenaikan BBM, sektor-sektor produksi tersebut akan tergencet dan berpotensi gulung tikar.
Wacana pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti untuk infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru, perlu diberondong pertanyaan kritis. Pasalnya, wacana ini juga sangat getol disuarakan oleh Bank Dunia. Dan, sebagaimana ditegaskan oleh petinggi Bank Dunia sendiri, investor asing berharap kenaikan harga BBM segera dilakukan pemerintah sehingga dana subsidi bisa dialihkan ke sektor infrastruktur. Tentu saja, pembangunan infrastruktur yang dimaksud bertujuan untuk melayani proses akumulasi kapital. Apalagi, pada saat berpidato di Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi mengundang para investor asing untuk ambil-bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Malahan, untuk menarik minat para investor asing tersebut, Jokowi menjanjikan kemudahan dalam perizinan dan pembebasan lahan. Artinya, penggusuran dan penyingkiran rakyat dari lahan penghidupannya akan dilakukan oleh rezim Jokowi-JK untuk memastikan kapital asing merasa nyaman mengakumulasi keuntungan di Indonesia.
Yang harus diingat oleh Jokowi-JK, kenaikan harga BBM akan menggerus pendapatan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg, penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin (1 galon setara dengan 1,9 liter). Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, pendapatan harian mereka tentu akan sangat tergerus. Apalagi kalau pendapatan harian mayoritas rakyat Indonesia dihitung hanya US $ 2/hari, tentu kehidupan mereka makin sulit. Belum lagi efek berantai yang dipicu oleh kenaikan harga BBM, seperti kenaikan biaya transportasi, kenaikan harga barang kebutuhan, kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya produksi yang memicu efisiensi (PHK), dan lain-lain. Singkat cerita, kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ekonomi cukup mendalam dan berjangka panjang kepada rakyat Indonesia.
Nah, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, Jokowi-JK menerbitkan tiga ‘kartu sakti’, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan semacam ini, yang di Amerika Latin sana disebut ‘kebijakan sosial neoliberal’, dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang dibatasi pula. Kebijakan ini hanya menarget mereka yang paling miskin atau yang paling rentan. Kalau kita lihat, kebijakan semacam ini tak ubahnya pekerjaan “palang merah” di medan perang. Memang ia berhasil menolong banyak korban di medan perang, tetapi tidak semua korban, dan tetap saja tidak bisa menghentikan berjatuhannya korban akibat perang.
Yang juga sering disampaikan ke kita, bahwa kita jangan lagi berharap banyak dan bergantung pada BBM. Menurut mereka, cadangan minyak terbukti (proved reserves) kita menipis, yakni hanya sekitar 3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia, sedangkan cadangan minyak potensial kita hanya 3,857 miliar barel. Jadi totalnya hanya 7,5 miliar barel saja dan diperkirakan akan habis dalam hitungan belasan tahun kedepan.
Kemudian, produksi minyak mentah (lifting) kita juga terus menurun. Pada tahun 2004, lifting minyak kita masih 1,4 juta barel/hari. Jumlah itu terus menurun. Pada tahun 2012, lifting minyak kita tinggal 890.000 barel/hari. Alhasil, sejak tahun 2004 lalu, Indonesia berubah predikat dari negeri “pengekspor” menjadi “pengimpor” minyak.
Kenapa bisa demikian? Cadangan minyak terbukti kita memang menipis, tetapi bukan berarti cadangan minyak kita sudah habis. Banyak ahli perminyakan, termasuk petinggi Pertamina, yang menegaskan bahwa cadangan minyak kita sebetulnya masih banyak. Seketaris SKK Migas, Gde Pradyana, memperkirakan negeri ini masih memiliki potensi cadangan minyak baru sebesar 43,7 miliar barel.
Hanya saja, untuk membuktikan potensi tersebut menjadi cadangan minyak terbukti dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang intensif. Sementara kegiatan eksplorasi ini butuh dana yang sangat besar. Konon, satu sumur saja membutuhkan biaya mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun. Itupun resiko kegagalannya sangat besar alias menemukan sumur kosong (dry hole). Nah, di sinilah letak masalahnya: pemerintah sangat lemah dalam mendorong dan menyediakan anggaran untuk eksplorasi. Bayangkan, alokasi APBN untuk kegiatan eksplorasi hanya 0,07 %.
Sejak Orde baru hingga sekarang, pemerintah kita bertindak tak ubahnya hanya sebagai penerima rente. Untuk diketahui, Pertamina harus menyerahkan 93% keuntungannya kepada pemerintah sebagai dividen. Akibatnya, pertamina mengalami kendala finansial untuk eksplorasi. Menurut kami, kedepan separuh dari keuntungan minyak dikembalikan ke kegiatan migas sebagai investasi. Selain itu, pemerintah perlu menciptakan petroleum fund untuk menopang kegiatan eksplorasi di masa depan.
Persoalan lainnya adalah kegiatan eksplorasi dan produksi minyak Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur tua. Perlu pengayaan teknik dan teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur tua ini. Dalam konteks ini, selain dengan melakukan pengembangan teknik sendiri, pemerintah mestinya bisa mendorong konsep alih-teknologi dengan kontraktor asing.
Dan satu persoalan terbesar yang tidak pernah disinggung-singgung pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi-JK, adalah dominannya penguasaan korporasi asing terhadap ladang-ladang migas Indonesia. Data Indonesian Resource Studies (IRESS) mengungkapkan bahwa Pertamina hanya memproduksi minyak sebesar 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh korporasi asing. Sementara data Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%).
Pengelolaan gas kita juga bernasib sama. Hampir 90% produksi gas Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron, Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil. Sementara untuk batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai 70%. Inilah yang menyebabkan kita tidak pernah berdaulat di bidang energi. Bagi kami, tanpa mengoreksi dominasi kepemilikan dan penguasaan asing ini, kita jangan bermimpi terlalu tinggi untuk bisa mewujudkan swasembada energi.
Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK enggan, atau mungkin sengaja, tidak menyentuh akar persoalan tersebut. Dan, untuk diketahui, salah satu pangkal dari semua masalah karut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia itu bermuasal dari pengesahan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. UU ini merupakan hasil kongkalikong antara rezim Megawati kala itu dengan kekuatan asing, khususnya IMF dengan Letter of Intent (LoI)-nya. UU inilah yang membentangkan karpet merah kepada modal asing untuk menguasai bisnis migas Indonesia dari hulu hingga ke hilir.
Dan sejak awal kami pun sudah mencium indikasi kuat, bahwa pencabutan subsidi BBM di Indonesia sangat terkait dengan agenda liberalisasi di sektor hilir migas kita. Untuk diketahui, sejak Orde Baru hingga tahun 2000-an, korporasi asing sudah sukses berjaya di sektor hulu. Sekarang ini mereka sangat ngiler untuk menguasai sektor hilir migas kita.
Dan, seturut dengan pengesahan UU migas di tahun 2001 itu, SPBU asing pun mulai menjalar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, untuk sementara, SPBU asing itu tidak bisa berkembang pesat dan berekspansi ke daerah-daerah karena kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Sebagaimana kita ketahui, harga jual BBM di SPBU Pertamina lebih murah ketimbang di SPBU asing. Karena itulah, sejak saat itu berdengun keraslah tuntutan pencabutan subsidi BBM sebagai prasyarat membawa harga jual BBM di Indonesia sesuai mekanisme pasar.
Sayang, upaya membawa harga BBM ke mekanisme pasar ini sempat terjegal di tahun 2004, saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar adalah inkonstitusional. Alhasil, dalih lain pun mesti dicari. Muncullah argumentasi: subsidi BBM menyebabkan defisit APBN dan alokasi subsidi BBM salah sasaran. Dua argumentansi inilah yang senantiasa dipergunakan pemerintah, baik rezim SBY maupun rezim Jokowi-JK saat ini, untuk menghalalkan penghapusan subsidi BBM. Dan, ingat juga, bahwa yang paling getol mendesak pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi BBM adalah lembaga-lembaga imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF. Malahan, kenaikan harga BBM jenis premium sebesar Rp 8.500 sekarang ini persis seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia.
Tak mengherankan, yang paling bertepuk tangan dengan senyum sumringah dalam kenaikan harga BBM ini adalah SPBU asing dan korporasi asing yang berniat berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia. Sementara SPBU Pertamina, yang notabene perusahaan milik negara, harus mengelus dada ketika sebagian besar pelanggannya beralih ke SPBU asing.
Karena itu, terkait dengan kenaikan harga BBM ini, kita patut mengajukan satu pertanyaan penting kepada pemerintahan Jokowi-JK: masih adakah komitmen mereka untuk memperjuangkan cita-cita Trisakti sebagaimana didengunkannya semasa kampanye pemilu kemarin? Kalau memang masih ada, maka tidak ada pilihan lain selain membatalkan kenaikan harga BBM.
Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan liberalisasi migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir. Sebagai tahap awal, pemerintahan baru ini harus mencabut UU migas tahun 2001. Selanjutnya, mereka harus mengembalikan tata-kelola migas Indonesia sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Bagi kami, yang mendesak dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah mengembalikan kedaulatan dan kontrol bangsa ini terhadap semua kekayaan alam dan aset nasionalnya.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20141123/bukan-menaikan-harga-bbm-tapi-melaksanakan-pasal-33-uud-1945.html#ixzz3JuLfB9M8
Jumat, 14 November 2014
90 Tahun Manifesto Komunis
- Kamis, 13 November 2014 | Leon Trotsky (30 Oktober 1937)
- Sungguh sulit dipercaya kalau 10 tahun lagi Manifesto Partai Komunis akan berumur 100 tahun! Pamflet tersebut, yang menunjukkan kejeniusan yang lebih besar daripada sosok manapun di dunia literatur, bahkan masih mengejutkan kita hari ini dengan kesegarannya. Bagian-bagian terpenting dari pamflet tersebut seakan-akan ditulis kemarin. Jelas sekali, para penulisnya yang muda (Marx berumur 29 tahun, Engels berumur 27 tahun) mampu melihat lebih jauh ke depan dibandingkan siapa pun sebelum mereka, dan mungkin siapa pun setelah mereka.
- Semenjak pendahuluan yang mereka tulis bersama untuk edisi tahun
1872, Marx dan Engels menyatakan bahwa kendati beberapa kalimat sekunder
di dalam Manifesto telah menjadi kuno, mereka merasa mereka tidak punya
lagi hak untuk mengubah teks ini karena Manifesto Komunis telah menjadi
sebuah dokumen bersejarah, selama periode 25 tahun semenjak
diterbitkannya. Enam puluh lima tahun telah berlalu sejak itu. Sejumlah
kalimat di dalam Manifesto telah surut bahkan lebih jauh lagi ke masa
lalu. Kita akan mencoba menjabarkan secara singkat di dalam pendahuluan
ini gagasan-gagasan di dalam Manifesto Komunis yang masih memiliki
kekuatan penuhnya hari ini dan gagasan-gagasan yang membutuhkan
perubahan penting atau penekanan.
1. Konsepsi materialis atas sejarah, yang ditemukan oleh Marx dan digunakan dengan sangat berhasil di dalam Manifesto Komunis, telah sepenuhnya teruji oleh peristiwa-peristiwa dan berhasil menahan pukulan-pukulan kritik yang keras. Hari ini ia adalah salah satu instrumen pemikiran manusia yang paling berharga. Semua interpretasi proses sejarah lain telah kehilangan semua makna ilmiahnya. Kita dapat menyatakan dengan kepastian bahwa di masa sekarang kita tidak akan bisa menjadi seorang militan revolusioner, atau bahkan seorang pengamat politik yang handal, tanpa menyerap interpretasi materialis atas sejarah.
2. Bab pertama dari Manifesto Komunis dibuka dengan kalimat berikut ini: “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.” Postulat ini, kesimpulan terpenting yang ditarik dari interpretasi materialis atas sejarah, segera menjadi sebuah isu di dalam perjuangan kelas. Orang-orang munafik yang reaksioner, para doktriner liberal, dan para demokrat idealis segera melemparkan serangan-serangan yang penuh racun ke teori ini, yakni teori yang membantah pemahaman lama yang mengatakan bahwa kekuatan pendorong sejarah adalah perjuangan kepentingan-kepentingan material untuk “kesejahteraan bersama”, “persatuan nasional”, dan “kebenaran moral yang abadi”. Mereka kemudian diikuti oleh rekrut-rekrut baru dari jajaran gerakan buruh itu sendiri, oleh kaum revisionis, yakni orang-orang yang ingin mengkaji (“mengubah”) Marxisme dalam semangat kolaborasi kelas dan konsiliasi kelas. Akhirnya, di masa kita sendiri, jalan yang sama telah diikuti dalam prakteknyaoleh para epigon terkutuk dari Komunis Internasional[1] (kaum “Stalinis”): kebijakan Front Rakyat atau Front Popular[2] mengalir sepenuhnya dari penyangkalan terhadap hukum-hukum perjuangan kelas. Sementara, epos imperialisme, yang membawa semua kontradiksi-kontradiksi sosial ke tensi tertingginya, justru adalah fakta yang memberikan Manifesto Komunis kejayaan teoritisnya yang tertinggi.
3. Anatomi kapitalisme, sebagai sebuah tahapan tertentu dalam perkembangan ekonomi masyarakat, dijelaskan sepenuhnya oleh Marx dalam Kapital (1867). Tetapi bahkan di dalam Manifesto Komunis garis-garis utama dari analisa Kapital sudah terpatri dengan tegas: pembayaran kemampuan kerja (labourpower) yang sesuai dengan biaya produksinya; apropriasi nilai surplus oleh kaum kapitalis; kompetisi sebagai hukum dasar relasi-relasi sosial; kehancuran kelas-kelas menengah, yakni kelas borjuis kecil perkotaan dan kaum tani; konsentrasi kekayaan di tangan segelintir pemilik properti yang semakin kecil jumlahnya, di satu kutub, dan pertumbuhan kaum proletariat dalam jumlah, di kutub yang lain; persiapan prakondisi-prakondisi material dan politik untuk rejim sosialis.
4. Proposisi di dalam Manifesto Komunis yang mengatakan bahwa kapitalisme cenderung menurunkan taraf hidup kaum buruh, dan bahkan mengubahnya menjadi fakir miskin, telah diserang habis-habisan. Para pendeta, para profesor, para jurnalis, para teoretikus Sosial Demokratik, dan para pemimpin serikat buruh menentang apa-yang-disebut “teori pemiskinan”. Mereka selalu menemukan tanda-tanda adanya peningkatan kesejahteraan rakyat pekerja, dengan mencampur aduk buruh aristokrat dan proletariat, atau melihat tendensi sementara sebagai sesuatu yang permanen. Sementara, bahkan perkembangan kapitalisme yang paing kuat di dunia, yakni kapitalisme Amerika Serikat, telah mengubah jutaan buruh menjadi fakir miskin yang dihidupi oleh bantuan sosial dari pemerintahan federal dan pemerintahan kota, atau derma pribadi.
5. Bertentangan dengan Manifesto Komunis, yang menggambarkan krisis-krisis komersial dan industrial sebagai serangkaian bencana yang semakin hari menjadi semakin ekstensif, kaum revisionis bersumpah bahwa perkembangan trust-trust[3] akan menjamin kontrol terhadap pasar, dan perlahan-lahan akan mengarah pada penghilangan krisis. Akhir abad yang lalu dan awal dari abad sekarang ini pada kenyataannya ditandai oleh sebuah perkembangan kapitalisme yang begitu kuat sehingga membuat krisis-krisis tampak seperti kemacetan “aksidental”. Tetapi epos ini telah berlalu dan tidak akan kembali lagi. Pada analisa terakhir, kebenaran ternyata ada di sisi Marx dalam masalah ini juga.
6. “Badan eksekutif negara modern tidak lain adalah sebuah komite untuk mengelola urusan-urusan bersama seluruh kaum borjuasi.” Formula yang ringkas ini, yang dilihat oleh para pemimpin Sosial Demokrasi sebagai sebuah paradoks jurnalistik, mengandung satu-satunya teori ilmiah mengenai negara. Demokrasi yang dibangun oleh kaum borjuasi bukanlah, seperti pikir Bernstein dan Kautsky, sebuah karung kosong yang bisa diisi dengan konten kelas apa pun. Demokrasi borjuis hanya dapat melayani kelas borjuasi. Sebuah pemerintahan “Front Rakyat”, entah itu dipimpin oleh Blum[4] atau Chautemps[5], Caballero[6] atau Negrin[7], hanyalah “sebuah komite untuk mengelola masalah-masalah bersama seluruh kaum borjuasi.” Bila “komite” ini tidak becus mengelola, kaum borjuasi akan memecatnya.
7. “Setiap perjuangan kelas adalah perjuangan politik.” “Mengorganisasi kaum proletariat sebagai sebuah kelas [adalah] sebagai konsekuensinya mengorganisasinya ke dalam sebuah partai politik.” Aktivis serikat buruh, di satu pihak, dan kaum anarko-sindikalis, di pihak lain, sejak lama telah menjauhi – dan bahkan sekarang mencoba menjauhi – pemahaman akan hukum historis ini. Serikat-buruhisme “murni” sekarang telah menderita sebuah pukulan yang meremukkan di tempat perlindungan utamanya: Amerika Serikat. Anarko-sindikalisme telah menderita kekalahan telak di benteng pertahanan terakhirnya – Spanyol. Di sini juga Manifesto terbukti benar
8.Kaum proletariat tidak dapat merebut kekuasaan di dalam kerangka legalitas yang dibentuk oleh kaum borjuasi. “Kaum Komunis menyatakan secara terbuka bahwa cita-cita mereka hanya bisa dicapai dengan penumbangan paksa terhadap semua kondisi-kondisi sosial yang ada.” Reformisme mencoba menjelaskan postulat dari Manifesto Komunis ini dengan alasan bahwa gerakan pada saat itu belumlah matang, dan demokrasi masih belum berkembang secara memadai. Nasib Italia, Jerman dan banyak negeri “demokrasi” lainnya membuktikan bahwa “ketidakmatangan” adalah ciri-ciri unik dari gagasan reformis itu sendiri.
9. Untuk membentuk masyarakat sosialis, kelas buruh harus mengonsentrasikan ke dalam tangannya sebuah kekuatan yang demikian besar sehingga mampu meremukkan semua rintangan politik yang menghalangi jalannya ke sistem yang baru itu. “Kelas proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa” – inilah kediktatoran. Pada saat yang sama ini adalah satu-satunya demokrasi proletarian yang sejati. Cakupan dan kedalaman dari demokrasi proletarian ini bergantung pada kondisi-kondisi historis yang konkret. Semakin banyak negara yang mengambil jalan revolusi sosialis, maka semakin bebas dan semakin fleksibel bentuk yang akan diambil oleh kediktatoran proletariat ini, dan semakin luas dan dalam demokrasi buruh ini.
10. Perkembangan internasional dari kapitalisme telah mengkodratkan karakter internasional dari revolusi proletarian. “Aksi yang tersatukan, dari negeri-negeri beradab yang terutama setidaknya, adalah salah satu prakondisi untuk emansipasi kaum proletariat.” Perkembangan kapitalisme selanjutnya telah mengikat erat semua bagian dari planet kita, yang “beradab” dan yang “tidak beradab”, sehingga masalah revolusi sosialis telah sepenuhnya dan secara menentukan mengambil karakter internasional. Birokrasi Soviet mencoba melikuidasi Manifesto Komunis sehubungan dengan masalah fundamental ini. Degenerasi Bonapartis dari negara Soviet adalah sebuah ilustrasi yang mencolok mata dari kekeliruan teori sosialisme di satu negeri.
11. “Ketika, dalam perjalanan perkembangannya, perbedaan-perbedaan kelas telah menghilang, dan semua produksi telah dipusatkan ke dalam tangan sebuah perserikatan luas dari seluruh bangsa, pemerintahan publik akan kehilangan karakter politiknya.” Dalam kata lain, negara akan melayu. Masyarakat akan tetap ada, tetapi bebas dari belenggu negara. Ini tidak lain adalah sosialisme. Teori yang sebaliknya: menguatnya penindasan negara yang menyeramkan di Uni Soviet adalah bukti yang jelas bahwa masyarakat Uni Soviet sedang bergerak menjauhi sosialisme.
12. “Kaum buruh tidak memiliki tanah air.” Kata-kata dari Manifesto Komunis ini sering kali dianggap oleh kaum filistin hanya sebagai sebuah frase agitasi yang pintar. Pada kenyataannya kata-kata ini menyediakan kepada kaum proletariat satu-satunya panduan untuk menjawab masalah “tanah air” kapitalis. Pelanggaran terhadap panduan ini[8] oleh Internasional Kedua[9] tidak hanya menyebabkan empat tahun kehancuran di Eropa[10], tetapi juga stagnasi kebudayaan dunia. Menimbang peperangan baru yang akan datang[11], yang kedatangannya telah dibuka jalannya oleh pengkhianatan Internasional Ketiga, Manifesto Komunis bahkan sekarang masih merupakan panduan yang paling dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan “tanah air” kapitalis.
Dengan ini, kita melihat bagaimana karya bersama dan singkat dari dua penulis ini [Marx dan Engels] terus menyediakan panduan-panduan penting untuk masalah-masalah perjuangan emansipasi yang paling penting dan paling mendesak. Buku lain mana yang dapat dibandingkan dengan Manifesto Komunis? Tetapi ini tidak berarti bahwa setelah 90 tahun perkembangan kekuatan-kekuatan produksi yang tanpa preseden dan perjuangan-perjuangan sosial yang luas, Manifesto Komunis tidak membutuhkan koreksi atau tambahan. Program dan prognosis diuji dan diperbaiki melalui pengalaman, yang merupakan standar ukuran tertinggi untuk penalaran manusia. Manifesto Komunis, juga, membutuhkan koreksi dan tambahan. Akan tetapi, seperti yang telah dibuktikan oleh pengalaman sejarah, koreksi-koreksi dan tambahan-tambahan ini hanya dapat dibuat secara berhasil dengan menggunakan metode yang menjadi fondasi Manifesto Komunis itu sendiri. Kita akan mencoba menjabarkan ini dalam beberapa contoh yang paling penting.
1. Marx mengajarkan bahwa tidak ada sistem sosial yang akan angkat kaki dari arena sejarah sebelum sistem sosial ini menghabiskan seluruh potensi kreativitasnya. Manifesto Komunis mengkritik kapitalisme karena ia menghambat perkembangan kekuatan-kekuatan produksi. Akan tetapi, selama periode itu, dan juga pada dekade-dekade selanjutnya, penghambatan ini hanya bersifat relatif. Bila saja pada paruh kedua abad ke-19 kita bisa mengorganisasi ekonomi secara sosialis, maka tempo pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih cepat. Tetapi postulat teoritis yang tak terbantahkan ini tidak menihilkan fakta bahwa kekuatan-kekuatan produksi terus berkembang dalam skala dunia, sampai pada perang dunia [Perang Dunia I]. Hanya pada 20 tahun terakhir, kendati pencapaian sains dan teknologi yang paling modern, kita mulai saksikan epos stagnasi dan bahkan kemunduran ekonomi dunia. Umat manusia mulai menghabiskan kapital yang telah diakumulasinya, sementara perang yang akan datang [Perang Dunia II] mengancam menghancurkan fondasi-fondasi peradaban manusia untuk bertahun-tahun ke depan. Pengarang Manifesto Komunis berpikir bahwa kapitalisme akan dirubuhkan jauh sebelum rejim kapitalis yang relatif reaksioner ini berubah menjadi sebuah rejim yang sungguh-sungguh reaksioner. Perubahan ini mengambil bentuk finalnya di depan mata generasi hari ini, dan mengubah epos kita menjadi epos peperangan, revolusi, dan fasisme.
2. Kekeliruan Marx dan Engels dalam penanggalan historis mengalir, di satu pihak, dari menaksir terlalu rendah kemungkinan-kemungkinan laten dalam kapitalisme, dan, di pihak lain, menaksir terlalu tinggi kematangan revolusioner kaum proletariat. Revolusi 1848[12] tidak berubah menjadi sebuah revolusi sosialis seperti yang diperkirakan oleh Manifesto Komunis, tetapi membuka jalan bagi Jerman untuk perkembangan kapitalis yang luas di masa depan. Komune Paris[13] membuktikan bahwa kaum proletariat, tanpa memiliki kepemimpinan dari sebuah partai revolusioner yang tertempa, tidak dapat merebut kekuasaan dari kaum borjuasi. Sementara, periode kemakmuran kapitalis yang berkepanjangan yang menyusul setelah Komune Paris bukannya membawa edukasi bagi kaum pelopor revolusioner, tetapi justru membawa degenerasi borjuis di antara aristokrasi buruh, yang pada gilirannya menjadi hambatan terutama terhadap revolusi proletariat. Para pengarang Manifesto Komunis tidak mungkin bisa memprediksi “dialektika” ini.
3. Bagi Manifesto Komunis, kapitalisme adalah kerajaan kompetisi bebas. Sementara ia berbicara mengenai konsentrasi kapital yang terus menguat, Manifesto Komunis tidak menarik kesimpulan yang diperlukan mengenai monopoli, yang telah menjadi bentuk kapitalisme yang dominan di epos kita hari ini dan prakondisi yang paling penting bagi ekonomi sosialis. Hanya setelah itu, di dalam Kapital, Marx menjabarkan tendensi transformasi persaingan bebas menjadi monopoli. Lenin-lah yang kemudian memberikan karakterisasi ilmiah terhadap kapitalisme monopoli di dalam bukunya Imperialisme [Imperialisme, Tahapan Tertinggi Kapitalisme].
4. Mendasarkan diri mereka dari contoh “Revolusi Industri” di Inggris, para pengarang Manifesto Komunis menggambarkan proses likuidasi kelas-kelas menengah (pengrajin, pedagang kecil, dan kaum tani) dan proletarianisasi penuh kelas-kelas ini dengan terlalu unilateral. Pada kenyataannya, kekuatan-kekuatan dasar kompetisi sangatlah jauh dari menuntaskan kerja yang progresif dan juga barbar ini. Kapitalisme telah menghancurkan kaum borjuis kecil dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada kemampuannya untuk mengubah mereka menjadi kaum proletar. Lebih lanjut lagi, negara borjuis sejak lama telah mengimplementasi secara sadar kebijakan untuk mempertahankan secara artifisial strata borjuis kecil. Di kutub yang berlawanan, pertumbuhan teknologi dan rasionalisasi industri skala besar menciptakan situasi pengangguran kronik dan menghalangi proletarianisasi kaum borjuis kecil. Pada saat yang sama, perkembangan kapitalisme telah mempercepat secara ekstrem pertumbuhan pasukan teknisi, administrator, pekerja komersial, dalam kata lain apa yang disebut “kelas menengah baru”. Sebagai akibatnya, kelas-kelas menengah ini, yang menurut Manifesto Komunis akan melenyap, membentuk sekitar setengah dari populasi bahkan di Jerman yang sangat terindustrialisasi. Akan tetapi, mempertahankan secara artifisial strata borjuis-kecil yang sudah usang ini sama sekali tidak melunakkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang ada. Sebaliknya, ini justru menanam kebencian yang besar di antara strata borjuis kecil, dan bersama-sama dengan pasukan pengangguran permanen [lumpenproletar] mereka adalah ekspresi yang paling gelap dari kebusukan kapitalisme.
5. Ditulis dengan memperkirakan tibanya sebuah epos revolusi, Manifesto Komunis mengandung (pada akhir Bab II) 10 tuntutan yang disesuaikan untuk periode transisi langsung dari kapitalisme ke sosialisme. Di pendahuluan mereka untuk edisi 1872, Marx dan Engels menyatakan bahwa sebagian tuntutan ini sudah usang dan hanya memiliki signifikansi yang sekunder. Kaum reformis menggunakan kata-kata Marx dan Engels ini untuk mengartikan bahwa tuntutan transisional revolusioner telah selamanya digantikan oleh “program minimum” Sosial Demokratik, yang seperti kita ketahui dengan baik tidak melampaui batas-batas demokrasi borjuasi. Pada kenyataannya, para pengarang Manifesto Komunis ini mengindikasikan dengan cukup jelas koreksi utama dari program transisional mereka, yakni, “kelas buruh tidak dapat begitu saja mengambil kendali mesin negara yang sudah ada [baca: mesin negara borjuasi – Pent.] dan menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri.” Dalam kata lain, koreksi ini diarahkan untuk melawan fetisisme terhadap demokrasi borjuasi. Marx kemudian mempertentangkan negara kapitalis dengan negara tipe Komune [Paris]. “Tipe” ini kemudian mengambil bentuk soviet[14] yang lebih jelas. Hari ini tidak akan bisa ada sebuah program revolusioner tanpa soviet dan tanpa kontrol buruh. Sepuluh tuntutan Manifesto Komunis, yang tanpanya “usang” di dalam epos aktivitas parlementer yang damai, hari ini telah sepenuhnya memperoleh kembali signifikansi riil mereka. “Program minimum” Sosial Demokratik, di pihak lain, telah menjadi usang dan menyedihkan.
6. Mendasarkan ekspektasi mereka bahwa “Revolusi borjuis Jerman [pada 1848] ... akan menjadi sebuah pembukaan untuk revolusi proletariat yang akan segera menyusulnya,” Manifesto Komunis berbicara mengenai kondisi-kondisi peradaban Eropa yang jauh lebih maju dibandingkan dengan apa yang ada di Inggris pada abad ke-17 dan di Prancis pada abad ke-18, dan perkembangan kaum proletariat yang jauh lebih besar. Kekeliruan prognosis ini bukan hanya pada penanggalan. Revolusi 1848 mengungkapkan dalam waktu beberapa bulan bahwa justru di bawah kondisi-kondisi yang lebih maju ini semua kelas borjuasi tidak mampu menuntaskan revolusi. Kelas borjuasi besar dan menengah terlalu terikat pada para tuan tanah, dan mereka takut terhadap massa rakyat; kelas borjuis kecil terlalu terpecah-pecah dan kepemimpinannya terlalu tergantung pada borjuasi besar. Seperti yang telah dibuktikan oleh seluruh perkembangan di Eropa dan Asia yang selanjutnya, revolusi borjuis dalam dirinya sendiri sudah tidak bisa lagi dituntaskan. Penghapusan seluruh sampah feodal dari masyarakat hanya mungkin terjadi bila kaum proletariat, yang bebas dari pengaruh partai-partai borjuis, dapat memimpin kaum tani dan membangun kediktatoran revolusioner. Dengan ini maka revolusi borjuis menjadi terjalin dengan tahapan pertama revolusi sosialis, dan selanjutnya menjadi bagian di dalamnya. Revolusi nasional dengan demikian menjadi sebuah mata rantai dari revolusi dunia. Transformasi fondasi ekonomi dan semua relasi-relasi sosial mengambil karakter yang permanen (tak terinterupsi).
Bagi partai-partai revolusioner di negeri-negeri terbelakang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, sebuah pemahaman yang jelas mengenai hubungan organik antara revolusi demokratik dan kediktatoran proletariat – dan oleh karenanya, revolusi sosialis internasional – adalah masalah hidup-mati.
7. Manifesto Komunis menjelaskan bagaimana kapitalisme menarik negeri-negeri terbelakang dan barbar ke dalam pusarannya. Akan tetapi Manifesto Komunis tidak berbicara mengenai perjuangan kemerdekaan negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial. Sejauh Marx dan Engels mempertimbangkan revolusi sosial “di negeri-negeri beradab yang utama setidaknya” sebagai sesuatu yang akan terjadi dalam waktu beberapa tahun ke depan, masalah kolonial akan terpecahkan secara otomatis bagi mereka, bukan sebagai konsekuensi dari gerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa yang terjajah ini tetapi sebagai konsekuensi dari kemenangan kelas proletariat di pusat-pusat kapitalisme. Masalah strategi revolusioner di negeri-negeri kolonial dan semi-kolonial oleh karenanya tidak disentuh sama sekali oleh Manifesto Komunis. Namun masalah ini menuntut solusi tersendiri. Contohnya, cukup jelas bahwa “tanah air nasional” telah menjadi hambatan sejarah yang paling beracun di negeri-negeri kapitalis maju, akan tetapi masalah “tanah air nasional” masih merupakan sebuah faktor yang secara relatif progresif di negeri-negeri terbelakang yang terdorong untuk berjuang demi kemerdekaan mereka.
“Kaum Komunis dimana pun mendukung setiap gerakan revolusioner yang melawan tatanan sosial dan politik yang ada,” tulis Manifesto Komunis. Gerakan ras-ras berwarna dalam melawan penindas imperialis mereka adalah salah satu gerakan yang paling penting dan kuat dalam melawan tatanan yang ada dan oleh karenanya menuntut dukungan yang penuh, tanpa kondisi, dan tak terbatas dari kaum proletariat kulit putih. Lenin adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam mengembangkan strategi revolusioner bagi bangsa-bangsa atau nasionalitas-nasionalitas tertindas.
8. Bagian yang paling tua dan usang dari Manifesto Komunis – bukan dalam hal metode tetapi dalam hal materi – adalah kritiknya terhadap literatur-literatur “sosialis” pada paruh pertama abad ke-19 (Bab III) dan definisi posisi kaum Komunis dalam hubungannya dengan berbagai partai-partai oposisi (Bab IV). Gerakan-gerakan dan partai-partai yang dijabarkan di Manifesto Komunis sudah tersapu habis oleh revolusi 1848 atau kontra-revolusi yang menyusulnya, sehingga kita hanya dapat mencari nama mereka sekarang di kamus sejarah. Akan tetapi, di dalam bagian ini, Manifesto Komunis mungkin lebih dekat dengan kita sekarang dibandingkan pada generasi sebelumnya. Selama epos memekarnya Internasional Kedua, ketika Marxisme tampaknya mendominasi, gagasan-gagasan sosialisme pra-Marxis dapat dianggap telah terkubur dalam-dalam di masa lalu. Sekarang ini telah berubah. Bangkrutnya Sosial Demokrasi dan Komunis Internasional di setiap langkah telah menyebabkan kemunduran ideologi yang mengerikan. Pikiran yang uzur tampaknya telah menjadi kekanak-kanakan. Guna mencari formula yang dapat menjawab semua pertanyaan, para nabi dari epos kemunduran ini menemukan kembali doktrin-doktrin yang telah lama dikubur oleh sosialisme ilmiah.
Mengenai masalah partai-partai oposisi, dalam ranah inilah dekade-dekade yang sudah lewat ini telah memperkenalkan perubahan-perubahan yang paling dalam. Partai-partai yang lama bukan hanya telah disingkirkan oleh partai-partai yang baru, tetapi karakter partai-partai ini dan relasi di antara mereka juga telah berubah secara radikal di bawah kondisi-kondisi epos imperialisme. Manifesto Komunis oleh karenanya harus disuplemen dengan dokumen-dokumen terpenting dari empat kongres pertama Komunis Internasional, karya-karya utama Bolshevisme, dan keputusan-keputusan dari konferensi-konferensi Internasional Keempat[15].
Kita telah mengatakan di atas bahwa menurut Marx tidak ada tatanan sosial yang akan meninggalkan arena sejarah sebelum menghabiskan potensi-potensi yang laten di dalamnya. Akan tetapi, bahkan sebuah tatanan sosial yang usang tidak akan meninggalkan panggung sejarah tanpa perlawanan. Perubahan rejim sosial mensyaratkan bentuk perjuangan kelas yang paling keras, yakni revolusi. Bila kaum proletariat, untuk satu alasan atau lainnya, terbukti tidak mampu menumbangkan tatanan borjuasi yang sudah uzur ini dengan sebuah pukulan yang tegas, maka kapital finans dalam usahanya untuk mempertahankan kekuasaannya yang tidak stabil akan menggunakan kaum borjuis kecil yang sudah hancur dan terdemoralisasi olehnya dan mengubahnya menjadi pasukan fasis. Degenerasi borjuis dari Sosial Demokrasi dan degenerasi fasis dari kaum borjuis kecil adalah dua hal yang saling terkait sebagai sebab dan akibat.
Di periode sekarang ini, Internasional Ketiga menipu dan meremukkan semangat rakyat pekerja di semua negeri, dan ia melakukan kerja ini dengan jauh lebih ceroboh dibandingkan dengan Internasional Kedua. Dengan membantai kaum pelopor proletariat Spanyol, para agen-agen bayaran Moskow tidak hanya membuka jalan bagi fasisme tetapi mereka juga membantu kerja kaum fasis. Krisis revolusi internasional yang berkepanjangan, yang semakin berubah menjadi krisis peradaban manusia, pada akhirnya dapat direduksi ke krisis kepemimpinan revolusioner.
Sebagai pewaris tradisi yang maha besar, dimana Manifesto Komunis adalah mata rantai terpenting dari tradisi ini, Internasional Keempat sedang mendidik kader-kader baru untuk menghadapi tugas-tugas lama. Teori adalah realitas yang digeneralisasi. Di dalam sebuah sikap yang jujur terhadap teori revolusioner terekspresikan sebuah keinginan yang penuh semangat untuk membangun kembali realitas sosial. Di bagian selatan Benua Hitam [Afrika], para kamerad kita adalah yang pertama menerjemahkan Manifesto Komunis ke dalam bahasa Afrikaan, dan ini adalah ilustrasi yang jelas bahwa pemikiran Marxis terus menyala hari ini hanya di bawah panji Internasional Keempat. Masa depan adalah miliknya. Ketika ulang tahun ke-100 Manifesto Komunis dirayakan, Internasional Keempat akan sudah menjadi kekuatan revolusioner yang menentukan di planet ini.[16]***
Ditulis: 30 Oktober, 1937
Pertama kali Diterbitkan: Dalam bahasa Afrikaan di Afrika Selatan untuk edisi pertama Manifesto Komunis dalam bahasa tersebut. Dalam bahasa Inggris di The New International [New York], Vol.IV No.2, Februari 1938, hal.53-55, 63.
Diterjemahkan oleh: Ted Sprague (8 November 2014). Sumber “NinetyYears of theCommunist Manifesto” dari Trotsky Internet Archive.
[1] Komunis Internasional (1919-1943), disebut juga Internasional Ketiga. Setelah kemenangan Revolusi Rusia pada tahun 1917 dan sementara republik Soviet masih berjuang dalam Perang Sipil, Bolshevik menyerukan kepada kaum revolusioner sedunia untuk datang ke Moskow dan membentuk sebuah organisasi internasional baru dari kaum komunis yang revolusioner. Tujuan dari Komunis Internasional adalah menyebarkan revolusi sosialis ke seluruh dunia. Setelah Uni Soviet sendiri mulai mengalami degenerasi, yakni setelah kematian Lenin dan pengasingan Trotsky, Komunis Internasional mulai mengalami degenerasi. Komunis Internasional akhirnya dibubarkan oleh Stalin pada tahun 1943 untuk berkompromi dengan kekuatan Sekutu.
[2]Front Rakyat atau Front Popular adalah taktik yang diusung oleh kaum Stalinis di sejumlah negeri (Spanyol terutama, juga di Indonesia dimana PKI menyerukan dukungan terhadap kaum borjuasi nasionalis “progresif” di bawah Soekarno, lalu juga selama periode fasisme), dimana kelas buruh didorong untuk melakukan aliansi kelas dengan kelas borjuasi “progresif” dengan alasan bahwa tahapan revolusi saat ini adalah revolusi borjuis, atau demi menghadang fasisme. Kebijakan Front Popular ini secara praktek berarti mengebiri kemandirian kelas proletariat dan menjadi penghambat kemenangan revolusi sosialis.
[3]Trust adalah sebuah perusahaan monopoli besar yang menguasai berbagai cabang industri dari hulu hingga hilir.
[4]Leon Blum (1872-1950) adalah seorang politisi Prancis dari Partai Sosialis. Pada saat kenaikan Hitler dan Nazi Jerman, dia membentuk Front Popular dengan partai-partai kiri dan sentris lainnya pada bulan Mei 1936. Buruh Prancis menyambut kemenangan Front Popular dengan pemogokan dan pendudukan pabrik-pabrik mereka karena mereka melihat bahwa revolusi sudah mulai bergulir, tetapi Leon Blum menyuruh para buruh untuk kembali bekerja karena ia tidak percaya bahwa buruh bisa menang; dan akhirnya gerakan buruh Prancis dipatahkan oleh para pemimpin reformis.
[5]Camille Chautemps (1885-1963) adalah politisi dari partai Radikal (sebuah partai borjuis liberal) di Prancis. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Prancis pada 1930, 1933-34, dan 1937-38. Pada 1937 dia menggantikan Leon Blum sebagai kepala pemerintahan Front Popular.
[6]Francisco Largo Caballero (1869-1946) adalah seorang politisi dan aktivis serikat buruh dari Spanyol. Dia memimpin Partai Buruh Sosialis Spanyol (PSOE) dan Serikat Buruh Umum (UGT). Pada 1936-37 dia menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Spanyol Kedua (Pemerintahan Front Popular) selama Perang Sipil Spanyol.
[7]Juan Negrin (1892-1965) adalah pemimpin Partai Buruh Sosial Spanyol (PSOE). Dia menggantikan Caballero sebagai Perdana Menteri Republik Spanyol Kedua pada 1937-39, sebelum pemerintahannya ditumbangkan oleh Franco dan kaum fasis.
[8]Pada 1914, para pemimpin Sosial Demokrasi dari Internasional Kedua menyatakan dukungan mereka terhadap Perang Dunia Pertama dengan dalih bahwa tugas kaum buruh adalah membela tanah air mereka.
[9]Internasional Kedua dibentuk pada 1881 oleh partai-partai buruh massa Eropa. Organisasi internasional ini mendasarkan dirinya pada gagasan Marxisme. Akan tetapi dalam perjalanannya, banyak para pemimpin Internasional Kedua mulai mengadopsi gagasan reformisme. Pada 1914, mayoritas seksi Internasionale Kedua mendukung Perang Dunia Pertama, dan ini menandai kehancuran organisasi tersebut.
[10]Akibat keputusan dari para pemimpin Sosial Demokrasi dari Internasional kedua untuk mendukung tiap-tiap negeri kapitalis mereka sendiri, meledaklah Perang Dunia Pertama dari 1914-1918.
[11]Prognosis Leon Trotsky terbukti benar. Dua tahun setelah ditulisnya artikel ini, Perang Dunia Kedua meledak pada tahun 1939.
[12]Revolusi 1848 adalah serangkaian gejolak politik yang berlangsung di Eropa Barat pada 1848. Ia adalah periode gelombang revolusioner yang paling luas di dalam sejarah Eropa, tetapi dalam waktu satu tahun revolusi ini dipatahkan dan kekuatan reaksioner merebut kendali. Revolusi ini menyentuh terutama Prancis, Jerman, Belanda, Polandia, Italia, dan Kerajaan Austria. Marx dan Engels menulis banyak mengenai Revolusi 1848 ini, seperti dalam karya-karya utama ini: “Revolusi dan Kontra-revolusi di Jerman” dan “Brumaire XVIII Louis Bonaparte”.
[13]Komune Paris adalah revolusi pekerja pertama yang berhasil merebut kekuasaan walaupun hanya untuk sementara. Komune Paris berdiri dari 28 Maret hingga 28 Mei 1871. Setelah kekalahan Prancis dalam perang Franco-Prusia, Pemerintahan Pertahanan Nasional mengakhiri perang melawan Jerman dengan syarat-syarat yang kejam, salah satunya pendudukan Paris yang secara heroik telah bertahan selama enam bulan melawan pengepungan oleh tentara Jerman. Rakyat pekerja Paris sangat marah terhadap pendudukan ini dan menolak untuk bekerja sama dengan tentara Jerman. Pada tanggal 18 Maret, pemerintahan Prancis yang baru, dipimpin oleh Thiers, setelah mendapatkan izin dari Jerman, mengirim tentara ke Paris untuk merebut persenjataan di dalam kota, serta untuk memastikan agar rakyat pekerja Paris tidak dipersenjatai dan melawan Jerman. Rakyat pekerja Paris melawan. Akibatnya Pemerintahan “Pertahanan Nasional” Prancis menyatakan perang terhadap kota Paris. Pada tanggal 26 Maret 1871, dewan kota atau Komune Paris dibentuk yang terdiri dari para pekerja dan prajurit yang terpilih. Kurang dari tiga bulan setelah anggota-anggota Komune Paris dipilih, kota Paris diserang dengan kekuatan penuh oleh tentara pemerintah Perancis. Tiga puluh ribu pekerja tanpa senjata dibantai, ribuan orang ditembaki dijalan-jalan kota Paris. Ribuan lainnya ditangkap dan 7.000 pekerja diasingkan dari Prancis selamanya.
[14]Soviet berarti “dewan” dalam bahasa Rusia. Dewan ini terbentuk pada masa revolusi sebagai organ perlawanan dan kekuasaan kaum buruh, tani, dan tentara. Soviet adalah organ demokrasi paling luas dari rakyat tertindas, dengan demokrasi langsung yang partisipatoris. Terbentuk pertama kalinya pada Revolusi 1905, soviet lalu muncul kembali pada Revolusi Februari 1917, dan akhirnya di bawah kepemimpinan Bolshevik berhasil merebut kekuasaan pada Revolusi Oktober.
[15]Internasional Keempat adalah organisasi komunis internasional yang diluncurkan oleh Trotsky setelah kebangkrutan dan degenerasi total dari Komunis Internasional (Internasional Ketiga), terutama ketika Komintern tidak bisa menghadang kemenangan fasisme di Jerman dan tidak bisa belajar dari kekeliruan besar mereka ini. Pada 1933 Trotsky menyerukan perlunya membentuk sebuah Internasional yang baru, dan baru pada 1938 Internasional Keempat resmi dideklarasi. Akan tetapi setelah kematian Trotsky pada 1940, para pemimpin penerus Internasional Keempat ternyata tidak mampu membangun organisasi ini pasca Perang Dunia II. Mereka berayun-ayun dari oportunisme ke ultra-kiri-isme, terus mencari jalan pintas dan dengan demikian menghancurkan Internasional Keempat. Internasional Keempat mengalami perpecahan demi perpecahan dan akhirnya bisa dikatakan hari ini ia sudah bukan lagi Internasional Keempatnya Trotsky.
[16]Kematian Leon Trotsky pada 1940 merupakan pukulan telak bagi Internasional Keempat. Tanpa kepemimpinan politiknya, organisasi Internasional Keempat yang masih muda ini tidak mampu menahan badai yang menerpanya. Kader-kader muda Internasional Keempat tidak sempat dididik dengan baik oleh Trotsky karena pembunuhan terhadapnya oleh agen Stalinis. Oleh karenanya, para pemimpin penerus Trotsky tidak mampu memberikan arahan yang dibutuhkan oleh Internasional Keempat setelah berakhirnya Perang Dunia II. Situasi-situasi baru pasca Perang Dunia II menyebabkan kebingungan yang besar di dalam gerakan revolusioner, terutama dengan menguatnya Stalinisme dan reformisme. Akhirnya Internasional Keempat secara organisasional ambruk pada 1950an, dengan berbagai krisis internal dan perpecahan. Hari ini secara organisasi Internasional Keempatnya Leon Trotsky sudah tidak ada lagi, walaupun ada beberapa organisasi yang mengklaim sebagai Internasional Keempat. [Penerjemah]
http://militanindonesia.org/teori-4/lainlain/8515-90-tahun-manifesto-komunis.html