September 12, 2014 | http://linimasa.com/2014/09/12/senyap-yang-gaduh-a-homage-for-joshua-oppenheimer/
Malam itu di
Toronto. Ruangan terisi penuh. Film sudah diputar separuh jalan. Ada mereka
yang berdecak geram kemudian mengumpat, ada pula mereka yang menyembunyikan
wajah di balik jari-jari karena ngeri, juga mereka yang diam-diam mengusap
airmata. Lelaki itu duduk di baris paling tengah, menyaksikan dengan saksama
adegan demi adegan yang ditayangkan. Ia menyilangkan kedua lengannya. Badannya
sedikit maju, hampir menyentuh barisan kursi di hadapan. Sesekali ia terlihat
menutup mata agak lama dan menarik napas panjang. Terdengar berat.
Namanya Adi.
Adi Rukun, katanya. Empat puluh enam umurnya. Sudah lebih dari delapan kali ia
menyaksikan film ini, tapi setiap kali rasanya selalu sama. Selalu ada luapan
emosi yang sulit terbendung. Bagaimana tidak, ialah sang tokoh utama. Film ini
berporos padanya, pada keluarganya, juga pada jutaan orang lain yang kehilangan
anggota keluarga karena pembantaian 1965.
Di saat-saat
awal proses shooting film Jagal (The Act of Killing), Joshua Oppenheimer
tahu kalau dia akan membuat satu film lain yang tak kalah penting. Dan, di
tahun 2012, setelah Jagal selesai disunting namun belum dirilis,
mulailah Senyap (The Look of Silence) difilmkan. Keputusan ini diambil
Joshua karena ia merasa keselamatannya di Indonesia tidak lagi terjamin setelah
rilisnya Jagal.
Senyap (The Look of Silence)
Senyap membawa kita kembali ke tahun 1965 di Pelintahan,
Sumatera Utara. Mengisahkan tentang nasib nahas Ramli. Ketua Buruh Tani
Indonesia (BTI), yang tewas dibantai oleh Komando Aksi. Berbeda dengan
pembantaian-pembantaian lain di era itu, cerita getir tentang Ramli, yang kala
itu berusia 23 tahun, memiliki saksi-saksi dan bukti. Ada saksi yang melihat
bagaimana sadisnya ia disiksa, ada pelaku yang sukarela membukukan bagaimana ia
membunuh Ramli dan orang-orang lain di desa itu.
Sepeninggalnya,
keluarga Ramli dipaksa hidup di bawah ketakutan dan trauma. Mereka harus terus
menanggung cap buruk sebagai ‘keluarga PKI’. Bahkan anak perempuannya dijadikan
bahan olok-olok di sekolah, yang ironisnya, oleh guru-gurunya sendiri.
Sementara itu para pelaku bebas berkeliaran dan justru dielu-elukan sebagai
pahlawan. Pelaku-pelaku ini dengan begitu bangga menceritakan dengan detil
bagaimana sadisnya mereka membunuh Ramli.
Adi adalah sang
adik. Lahir tiga tahun setelah meninggalnya Ramli. Menurut Rohani, ibunya, Adi
jawaban Tuhan atas doa-doanya yang meminta mendiang Ramli bisa kembali. Ada
keingin tahuan untuk mencari sumber rasa takut. Juga ada keberanian yang begitu
besar di dalam diri Adi untuk membantu keluarganya pulih dari trauma. Meretas
senyap. Maka dimulailah perjalanan Adi, yang memiliki usaha optik keliling,
mewawancarai mereka yang terlibat dalam pembantaian Ramli.
Ada metafora
yang begitu cantik di sini. Pekerjaan Adi sebagai optician dan pelaku
yang ingin dibuatkan kacamata. Seolah menunjukkan bagaimana rasanya melihat
kehidupan dari sisi korban dan mencari jawaban langsung dari mata sang
pembunuh. Senyap tak ubahnya sebuah sajak, begitu getir tapi juga
mengalir dengan indah. Berbeda dengan Jagal, yang ketika selesai
ditonton membuat marah dan geram, Senyap dengan ending yang
sengaja dibiarkan terbuka justru mengajak kita untuk merenung. Tentang
merelakan, tentang memaafkan, tentang melawan rasa takut.
Senyap juga mengajak kita melihat bagaimana sedihnya mereka
yang kehilangan. Ibu Rohani yang menyumpahi anak-cucu para pelaku, agar mereka
hidup menderita, menyadarkan kita kalau beliau juga manusia. Beliau hanya
seorang ibu yang terus berduka karena sang anak dibantai dan tidak bisa berbuat
apa-apa untuk menyelamatkannya. Mengharapkan agar keluarga korban bisa
memaafkan pelaku lalu mereka hidup berdampingan rasanya hanya ada di cerita
dongeng. Dan sejujurnya, suatu hal yang sangat egois. Semena-mena.
Film telah usai
dan lampu pun pelan-pelan dinyalakan. Satu-persatu penonton berdiri sambil
menyeka air di sudut mata mereka. Riuh tepuk tangan mengiringi Adi yang
berjalan ke atas panggung. Tiga kali standing ovation diberikan penonton
sebagai penghormatan untuk Adi dan Joshua. Saya pun bisa merasakan ikatan
emosional yang begitu kuat ketika Joshua mendekap erat Adi. Mata mereka
berembun. Bagaimana tidak, selama proses pembuatan film ini, Adi selalu
dilibatkan. Dan baginya juga keluarga, kedatangan Joshua bagai hujan panjang
yang menghapus kemarau, orang yang telah lama ditunggu-tunggu. Membantu
menyuarakan isi hati mereka ketika mereka sama sekali tidak bisa bersuara
dihimpit rasa takut.
Mereka yang
menonton Senyap malam itu mengantri untuk bisa menyalami Adi.
Menyampaikan satu-dua kata bagaimana beraninya ia, juga turut mendoakan
keselamatan keluarganya. Adi haru. Ia merasa keluarganya begitu dihargai
sebagai manusia, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ironis memang,
di Indonesia sendiri rasanya masih banyak yang tidak peduli akan nasib para
korban pembantaian ini. Seolah semua sepakat bilang “Masa lalu, ya, masalah
lo!” PKI masih jadi topik yang enggan untuk dibicarakan. Bahkan, kita masih
terus saja memusingkan apakah Jagal dan Senyap ini “Film
Indonesia” atau “Film tentang Indonesia”. Sepertinya kebutaan dan kebodohan
massal yang sukarela.
Saya harus mengutip
William Faulkner, “The past is never dead, it’s not even past.” Kenyataan bahwa
Adi dan keluarganya harus pindah ribuan kilometer, bahwa seluruh kru Indonesia
yang terlibat proses produksi harus berlindung di balik anonimitas, bahwa
Joshua merasa ia tidak lagi aman kalau kembali ke Indonesia, merupakan bukti
kalau pembantaian 1965 belumlah bisa dibilang “masa lalu”. Kita masih di masa
lalu. Mereka yang tersakiti harus bungkam karena tak bisa bersuara. Dan mereka
yang bisa bersuara lebih memilih untuk jadi bisu. Maka senyaplah semua.
Mas Adi, Josh,
Signe.
Saya, Mas Adi,
dan Josh.
0 komentar:
Posting Komentar