Kronologi ini disusun berdasarkan:
- Fakta-fakta lapangan
- Tanggapan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) terhadap
surat Bupati Kebumen No. 590/6774
- Cahyati, D.D., 2011. Analisis Konflik ekologi Politik di Era
Desentralisasi Sumber Daya Alam. Studi Kasus: Konflik Penambangan Pasir
Besi di Urut Sewu Kabupaten Kebumen (Skripsi). Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Program Ilmu Politik Universitas Indonesia. Depok.
- Website Tentara Nasional Indonesia: http://www.tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html.
- Laman http://bumisetrojenar.blogspot.com/
###
Tanah yang menjadi konflik di daerah Urutsewu,
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) terletak di antara muara Kali Lukulo
Desa Ayamputih di sebelah barat, sampai dengan muara Sungai Wawar Desa
Wiromartan. Secara total, daerah yang berkonflik ini memiliki panjang kurang
lebih 22,5 km dan lebar 500 meter dari bibir pantai. Warga yang terlibat dalam
konflik ini berasal dari beberapa desa sepanjang pantai Kebumen Selatan, yaitu:
Desa Ayamputih, Setrojenar, Bercong (Kecamatan Buluspesantren); Desa Entak, Kenoyojayan
Ambal Resmi, Kaibon Petangkuran, Kaibon, Sumberjati, (Kecamatan Ambal); Mirit
Petikusan, Mirit, Tlogodepok, Tlogopragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan
(Kecamatan Mirit). Kronologi konflik ditampilkan dalam tabel di bawah ini.
Waktu
Peristiwa
Keterangan
1830 - 1871
Penataan tanah “Galur Larak”
Pada masa pemerintahan Bupati Ambal R. Poerbonegoro,
dilakukan pembagian/penataan tanah dengan sistem “galur larak”, yaitu
dengan membagi tanah membujur dari utara ke selatan sampai dengan pantai laut
selatan.
1920
Blengketan Desa
Penggabungan desa-desa di Urutsewu, beberapa desa (2 –
4 desa) digabung menjadi satu. Hasil blengketan desa ini masih dipakai
sampai sekarang.
1922
Kelangsiran tanah I pasca blengketan
desa
· Pemetaan dan
pengadministrasian tanah pada masing-masing desa hasil blengketan. Meliputi
pencatatan tanah milik perorangan, tanah bengkok dan bondho desa, serta
penggabungan tanah bengkok desa menjadi satu lokasi dengan cara tukar
guling.
· Pada periode ini
batas sebelah selatan tanah milik perorangan maupun milik desa sampai dengan
pantai laut selatan (banyu asin).
1932
Klangsiran tanahII pasca blengketan
desa
· Pemetaan dan
pengadministrasian tanah yang dilakukan oleh pejabat yang disebut Mantri
Klangsir pada masa penjajahan kolonial Belanda dengan partisipasi petani
Urutsewu. Tanah yang di-klangsir berarti dipetakan berdasarkan nilai
ekonomi, sehingga menghasilkan kelas-kelas tanah, yaitu D I, D II, D III, D IV
dan D V.
· Kelangsiran atau
pemetaan kelas-kelas tanah terutama bertujuan untuk menentukan besarnya pajak
yang harus dibayar oleh masyarakat.
· Untuk menandai
tanah yang sudah diverifikasi dalam proses klangsiran itu dibuat tanda
dengan pal atau patok tanah. Khusus untuk patok yang menandai batas antara desa
dibuat lebih besar. Di luar batas ini di-klaim oleh Belanda, sehingga
masyarakat menyebutnya sebagai “Tanah Kompeni”, yakni tanah yang berada
pada jarak + 150 - 200 meter dari garis pantai. Hingga kini, pal
atau patok penanda itu masih ada. Masyarakat menyebutnya sebagai pal budheg
dan terdapat di sepanjang pesisir. Di sebelah utara dari batas patok yang
berjarak + 150 - 200 meter dari garis pantai adalah tanah milik
kaum tani di masing-masing desa. Contoh pal-budheg: kode Q222 untuk Desa
Setrojenar, Q216 untuk Desa Entak, dan Q215 untuk Desa Kaibon.
· Klaim “Tanah
Kompeni” tersebut mendapatkan penolakan/perlawanan keras dari warga, dalam
bentuk perusakan gudang garam milik Belanda oleh kelompok-kelompok tertentu.
Bentuk perlawanan yang lain adalah bahwa masyarakat tetap membuat garam di
lokasi “Tanah Kompeni” tersebut serta membuat jaringan pemasaran sendiri yang
dipusatkan di Desa Tlogopragoto.
· Fakta bahwa
masyarakat tetap menguasai dan memanfaatkan “Tanah Kompeni” adalah bahwa pada
masa itu banyak petani garam yang tinggal di daerah utara menyewa sebagian
“tanah kompeni” tersebut kepada pemilik tanah yang sebenarnya, untuk membuat
garam.
1937
Latihan Tentara Kolonial Belanda
Pesisir Urutsewu dipakai untuk latihan militer oleh
Tentara Belanda. Pada waktu ini belum ada Tentara Nasional Indonesia (TNI),
karena TNI berdiri pada 3 Juni 1947. TNI lahir dalam kancah perjuangan bangsa
Indonesia mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda yang berambisi untuk
menjajah Indonesia kembali melalui kekerasan senjata. TNI merupakan
perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR),
dan untuk memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer internasional,
dirubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Untuk menyatukan dua kekuatan
bersenjata yaitu TRI sebagai tentara regular dan badan-badan perjuangan rakyat,
maka pada tanggal 3 Juni 1947, Presiden mengesyahkan dengan resmi berdirinya
TNI. [sumber: http://www.tni.mil.id/pages-10-sejarah-tni.html;
diakses pada 23/12/2013]
1942-5
Latihan Tentara Jepang
Latihan tentara Jepang dan Laskar PETA dilakukan
di sebelah selatan pal-budheg.
1945 -
Proklamasi Kemerdekaan RI
· Tentara Jepang
meninggalkan pesisir Urutsewu
1960
Pasca Pengesahan UUPA 1960
· Pendaftaran/sertifikasi tanah
rakyat secara massal di Departemen Agraria/Dirjen Agraria, Departemen Dalam
Negeri.
· Bukti-bukti : Sertifikat tanah
warga dan perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh asisten wedono dan
kepala desa, dengan batas sebelah selatan laut/pantai.
1965 - 1969
Pasca G 30 S
· Masyarakat takut mengakui jika
memiliki sertifikat tanah pemilik sertifikat karena dituduh sebagai anggota
PKI.
· Masyarakat juga takut untuk
mengurus sertifikat
1975
Masuknya perkebunan tebu “Madukismo”
· Lahan selatan makam urutsewu
(kelas D V) dianggap tidak bertuan, sehingga sewa lahan tidak dibayarkan,
tetapi setelah ada masyarakat yang menunjukkan akta jual beli, kemudian
perusahaan mau membayar sewa.
1982
TNI Pinjam tempat ketika latihan
· Selain latihan TNI juga melakukan
Uji Coba Senjata Berat
· TNI membuat surat “pinjam tempat
ketika latihan” kepada kepala desa setempat. Belakangan “pinjam tempat” tidak
lagi dilakukan, dan hanya memberikan surat pemberitahuan ketika latihan.
1998 – 2009
TNI “pinjam” urutsewu ke Pemerintah Kabupaten Kebumen
· TNI juga pernah membuat “kontrak”
dengan pemerintah daerah ttg penggunaan tanah pesisir urutsewu untuk latihan.
Hal ini membuktikan bahwa tanah pesisir urutsewu benar-benar milik warga.
Maret-April 1998
Pemetaan tanah untuk area latihan dan ujicoba senjata
TNI AD mulai dari muara Kali Lukulo sampai muara Kali Wawar dengan lebar kurang
lebih (k.l.) 500 m dari garis pantai ke utara dan panjang k.l. 22.5 km.
· Pemetaan dilakukan secara sepihak
oleh anggota TNI yaitu Serma Hartono, NRP : 549021, kemudian dimintakan tanda
tangan kepada kepala desa.
· Istilah yang dipakai untuk menamai
area lapangan tembak dalam peta tersebut adalah “Tanah TNI-AD”, hal ini
menegaskan bahwa TNI telah mencoba melakukan klaim sepihak atas tanah rakyat.
· Hasil pemetaan dimintakan
tandatangan dari kepala desa di kawasan Urutsewu, dengan alasan minta ijin
penggunaan tanah milik untuk latihan sehingga kepala desa bersedia
menandatangani. Artinya, tandatangan ini tidak dapat dipakai sebagai bukti
mutasi kepemilikan.
· Peta area latihan ini tidak bisa
dijadikan dasar/bukti bahwa TNI memiliki tanah tersebut karena pemetaan
dilakukan secara sepihak oleh TNI dan bukan instansi yang berwenang, yaitu
Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Des
2006
Surat Kades Setrojenar Nomor 340/XII/2006 tertanggal
12 Desember 2006 perihal pernyataan resmi Kades Setrojenar tentang tanah berasengaja
· Surat ini menyatakan bahwa
walaupun sudah ada “kesepakatan tidak tertulis” antara warga Desa Setrojenar
dengan TNI-AD, yang menyetujui penggunaan tanah “berasengaja” untuk
latihan dan ujicoba senjata; Pemerintah Desa tetap berhak untuk mengelola
kawasan tersebut berdasarkan peraturan yang ada.
· Latar belakang terbitnya surat ini
adalah adanya pungutan terhadap pelaku usaha di kawasan pesisir, antara lain petani,
pengelola wisata dan penggalian pasir laut, sementara Pemerintah Desa juga
merasa berhak untuk mengambil keuntungan ekonomi dari aktifitas yang ada di
tanah berasengaja.
· Pengertian tanah berasengaja
(jw : sengaja di-bera-kan/tidak ditanami)adalah tanah yang sengaja
diberakan dan digunakan sebagai ladang penggembalaan ternak kambing, sapi
maupun kerbau.
Nov 2007
Surat Camat Buluspsantren Nomor 621.11/236 tertanggal
10 November 2007 perihal tanah TNI dari hasil musyawarah permasalahan tanah TNI
pada 8 November 2007 di pendopo Kecamatan Buluspesantren yang dihadiri oleh
Muspika, Kodim 0709/Kebumen, Sidam IV Purworejo, Dislitbang Buluspesantren,
Kepala Desa Ayamputih, Setrojenar, dan Brecong, Ketua Badan Perwakilan Desa
(BPD) 3 desa, mantan Kades (2 desa), dan warga masyarakat 3 desa.
· Pada poin 5 surat ini menyatakan
bahwa TNI tidak akan mengklaim tanah rakyat kecuali yang 500 m dari bibir
pantai. Hal ini bermasalah, karena dalam interval 500 meter dari
bibir pantai tersebut terdapat tanah rakyat yang merupakan “tanah pemajekan”
sehingga tertera di Buku C Desa dan memiliki Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang (SPPT).
· Berdasarkan kesaksian Agus
Suprapto, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Kebumen yang pernah melihat dokumen peta tanah pada kantor Badan Pertanahan
Nasional (BPN) Jateng, tidak ada tanah Hankam di Urutsewu. Hal ini sesuai
dengan pernyatan BPN Kebumen pada audiensi dengan DPRD Kabupaten Kebumen, 13
Desember 2007, bahwa sampai sekarang tidak ada tanah TNI di Urutsewu dan TNI
belum pernah mengajukan permohonan ke BPN.
· Menurut kesaksian Sugeng, Paryono,
dan Nur Hidayat (dari Setojenar), musyawarah 8 Desember 2007 pihak Dislitbang
AD hanya mensosialisasikan bahwa “menurut Undang-Undang (UU) yang ada, di
sepanjang pantai di seluruh Indonesia adalah tanah Negara atau tanah hankam,”
tanpa menyebut UU yang mengaturnya. Ini adalah pembodohan dan kebohongan
publik. Yang jelas, tidak semua pemilik tanah dalam zona 500 m dari garis
pantai dilibatkan dalam musyawarah ini; dan sampai sekarang belum sekalipun
tercapai kata sepakat dari para pemilik tanah.
2007
Pelebaran klaim “Tanah TNI” dari 500 m menjadi 1000 m
dari garis pantai.
· Pada saat proses pembebasan tanah
untuk bangunan Jalan Lintas Selatan Selatan, klaim “Tanah TNI” berkembang, dari
radius 500 m menjadi 1000m dari garis pantai, sehingga TNI (Kodam IV
Diponegoro) mempunyai alasan untuk meminta ganti rugi (surat Gubernur Jateng
kepada Pangdam IV Diponegoro, tgl 5 Oktober 2007, perihal Permohonan ulang aset
pengganti tana TNI AD dalam pembangunan Jalan Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa)
· Pelebaran/perluasan klaim tersebut
memicu perlawanan keras dari masyarakat dalam bentuk pencabutan pathok “radius
1000 m”, dan pasca pencabutan muncul ancaman dari Panglima Kodam IV Diponegoro
yang intinya: akan dilakukan pematokan ulang dan barangsiapa yang merusak
patok TNI akan diambil tindakan tegas.
· Klaim 1000 meter dari garis pantai
ternyata diakomodir dalam Draft Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
dipaparkan di DPRD kabupaten Kebumen pada 13 Desember 2007 menyebutkan
rancangan penetapan kawasan Hankam/TNI 1000 meter kali 22,5 km. Juga bunyi
pasal terkait “di kawasan Hankam tidak boleh ada kegiatan lain selaian
kegiatan pertahanan keamanan”.
2008
Kodam IV Diponegoro menyetujui penambangan pasir besi.
· Surat Kodam IV
Diponegoro, kepada PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC), nomor : B/1461/IX/2008,
tanggal 25 September 2008, tentang Persetujuan Pemanfaatan Tanah TNI AD di
Kecamatan Mirit untuk Penambangan Pasir Besi.
· Berdasarkan
surat ini nampak jelas bahwa TNI nyata-nyata telah melakukan klaim sepihak atas
tanah pesisir Urutsewu, sekaligus telah melakukan kegiatan bisnis yang
jelas-jelas tidak boleh dilakukan oleh TNI
2008
Izin eksplorasi pasir besi diberikan oleh pemerintah
kepada PT MNC
· Desa-desa yang
termasuk ke dalam area izin eksplorasi adalah Mirit Petikusan, Mirit, Tlogo
Depok, Tlogo Pragoto, Lembupurwo, dan Wiromartan. Dalam sidang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) para pamong desa yang hadir menolak
kehadiran perusahaan tambang. Hanya Desa Winomartan, melalui kepala desanya,
yang mendukung rencana penambangan sepanjang menguntungkan masyarakat setempat.
· Salah seorang
komisari PT MNC adalah pensiunan TNI-AD; sementara direkturnya (kemungkinan)
adalah mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN).
· Ijin ini
diterbitkan meskipun Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum
menetapkan kawasan urutsewu sebagai kawasan pertambangan artinya ijin ini harus
dibatalkan demi hukum.
Januari 2011
Ijin eksploitasi (Ijin Usaha Pertambangan Operasi
Produksi) diberikan kepada PT MNC
·
Pemerintah memberikan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT MNC
selama 10 tahun tanpa sosialisasi. Dalam surat izin produksi, dinyatakan bahwa
luasan lahan yang akan ditambang adalah 591,07 ha, dengan 317,48 ha diantaranya
adalah tanah milik TNI AD.
· Ijin
ini diterbitkan meskipun Perda Tata Ruang yang berlaku pada saat itu belum
menetapkan kawasan urutsewu sebagai kawasan pertambangan, artinya ijin ini
harus dibatalkan demi hukum.
16 April 2011
Warga menolak latihan uji coba senjata TNI AD
Penolakan warga ditunjukkan dengan aksi ziarah ke
makam korban yang meninggal karena ledakan bom mortir beberapa tahun yang silam
dan membuat blokade dari pohon. TNI AD membongkar blokade dari pohon yang
dibuat oleh warga. Melihat blokadenya dibongkar TNI-AD, warga kembali
memblokade jalan dengan kayu, merobohkan gerbong TNI AD, dan melempari gudang
peluru bekas yang sudah lama tidak terpakai dan dibangun diatas tanah milik
warga. Peristiwa ini direspon dengan penyerangan oleh TNI. Tentara mengejar,
menangkap, menembak dan memukul warga. Kejadian ini menyebabkan 6 petani dikriminaliasasi
(pasal pengrusakan dan penganiayaan), 13 orang luka-luka, 6 orang diantaranya
luka akibat tembakan peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya
bersarang peluru karet dan timah; 12 sepeda motor milik warga dirusak dan
beberapa barang, seperti handphone, kamera, dan data digital dirampas secara
paksa oleh tentara.
Mei 2011
TNI mencabut persetujuan penambangan pasir besi
· Berdasarkan
surat dari Kodam IV Diponegoro, kepada Direktur PT. Niagatama Cemerlang, nomor
: B/6644/2011, tanggal : 19 April 2011, tentang : pemberitahuan, disampaikan
bahwa PT Mitra Niagatama Cemerlang tidak diijinkan (oleh TNI) untuk melanjutkan
survey lapangan, mengurus ijin pertambangan pasir besi di kecamatan Mirit.
· Surat ini
merupakan mekanisme “cuci tangan” yang dilakukan oleh TNI setelah mendapatkan
penolakan keras dari warga. Tetapi terbitnya surat ini sekaligus menegaskan
bahwa TNI benar-benar pernah memberikan ijin kepada PT MNC untuk menambang
pasir besi alias terbukti melakukan kegiatan bisnis.
2012
Aksi warga menolak pengesahan perda RTRW yang
menjadikan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi dan latihan dan uji
coba senjata berat
·
Penolakan dari masyarakat sangat massif, tetapi sama sekali tidak dihiraukan,
baik oleh pemerintah maupun DPRD
·
Perta RTRW menetapkan kawasan Urutsewu sebagai kawasan pertambangan pasir besi
dan latihan dan uji coba senjata berat, sekaligus sebagai kawasan pertanian dan
pariwisata.
·
Tuntutan masyarakat adalah “jadikan Urutsewu hanya sebagai kawasan pertanian
dan pariwisata”
Mei 2012
Warga mengusir PT MNC dari Kecamatan Mirit
Dengan kekuatan massa warga berhasil mengusir PT MNC
di Kecamatan Mirit, namun hingga saat ini ijin Pertambangan belum
dicabut.
Des 2013
Pemagaran tanah rakyat pada jarak 500 m dari garis
pantai di pesisir Urutsewu
Pada Desember 2013, pemagaran oleh TNI-AD sudah
merambah 2 desa di Kecamatan Mirit, yaitu Desa Tlogodepok dan Mirit
Petikusan.
Pemagaran ini telah mendapatkan penolakan keras dari
masyarakat, tetapi tetap dilanjutkan oleh TNI.
11 Februari 2014
Pertemuan dengan jajaran Pemerintahan Kabupaten
Kebumen. Warga diwakili oleh empat kepala desa, yaitu: Widodo Sunu Nugroho
(Wiromartan), Bagus Wirawan (Lembupurwo), Supardi (Mirit), dan Mukhlisin
(Kaibon Petangkuran). Pihak pemerintah Kabupaten Kabumen diwakili oleh Buyar
Winarso (bupati), Adi Pandoyo (Sekda), Frans Haedar (asisten I), kejaksaan, dan
para kepala dinas.
Hasil pertemuan ini adalah:
- Bupati menjelsakan bahwa dia sudah berusaha berkomunikasi dengan
berbagai pihak petinggi TNI, ketua DPR RI, dll., baik secara formal maupun
nonformal, tetapi belum membuahkan hasil
- Bupati sebenarnya menginginkan agar status tanah diselesaikan dulu sebelum
melakukan pemagaran, dan Bupati menyatakan bingung bagaimana cara
menghentikan pemagaran
- Bupati mengakui tidak mendapatkan surat resmi/permintaan ijin terkait
pemagaran di Urutsewu
- Bupati menjanjikan untuk mengadakan audiensi dengan gubernur Jawa Tengah
untuk memecahkan persoalan ini, dan berjanji akan memberi kabar. Namun
hingga saat ini (10 April 2014) belum ada informasi apapun.
Kesimpulan :
- Tidak terdapat sejengkalpun tanah negara di pesisir Urutsewu.
- Sejak dahulu hingga sekarang masyarakat tetap memanfaatkan tanah
pesisir Urutsewu
- TNI terbukti melakukan kegiatan bisnis, yaitu dengan adanya izin
penambangan pasir besi kepada PT MNC, dan adanya pungutan terhadap petani
dan pelaku ekonomi di kawasan pesisir Urutsewu
- Pemagaran dilakukan di atas tanah milik masyarakat tanpa izin dan
tanpa dasar yang kuat.
___
http://urutsewu.tumblr.com/post/80339549156/kronologi-konflik-tanah-di-urutsewu-kebumen-jawa