7 Agustus 2013 | 21:08
Pada bulan November 1957, upaya pemerintah Indonesia
menyelesaikan persoalan Irian Barat di Forum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menemui jalan buntu. Sidang Umum PBB ke-XII gagal menyelesaikan
persoalan Irian Barat.
Pemerintah Indonesia sangat kecewa dengan gagalnya upaya penyelesaian
damai tersebut. Dalam Sidang Kabinet diputuskan rencana pemulangan
orang-orang Belanda.
Sementara itu, di dalam negeri, pada 30 November 1957, terjadi upaya
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno. Ia digranat oleh gerombolan
DI/TII sangat menghadiri perayaan HUT Perguruan Cikini. Bung Karno
berhasil selamat. Namun, ledakan granat itu menewaskan 10 orang,
termasuk anak sekolah dan pengawal Bung Karno.
Tak lama setelah itu, Dubes keliling AS, Gordon Main, mengunjungi
Indonesia. Ia meminta persetujuan pemerintah Indonesia terkait rencana
pendirian pangkalan SEATO di Irian Barat. Namun, pemerintah dan rakyat
Indonesia menafsirkan rencana itu sebagai upaya campur tangan
imperialisme di wilayah NKRI.
Sementara itu, Central Comite (CC) Partai Komunis Indonesia
menyebarluaskan telegram berisi seruan solidaritas kepada kaum komunis
dan kaum buruh seluruh dunia untuk bersolidaritas dan mendukung
perjuangan Rakyat Indonesia dalam membebaskan Irian Barat dari
cengkeraman imperialisme Belanda.
Pada bulan Desember 1957, majalah New York Times melaporkan kerasahan
orang-orang Belanda di Indonesia. Dilaporkan bahwa mayoritas orang
Belanda yang bermukim di Indonesia tidak setuju dengan politik
pemerintah Belanda mempertahankan cengkeramannya di Irian Barat.
Dilaporkan pula, salah seorang pengusaha Belanda menganggap “tidak masuk
akal” sikap nekat pemerintah Belanda mempertahankan ‘hutan rimba Irian
Barat’, namun justru mempertaruhkan resiko semua modal Belanda di
wilayah Indonesia lainnya.
Pada tanggal 1 Desember 1957, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya
aksi mogok selama dua puluh empat jam terhadap semua perusahaan Belanda
(Bartlett, 1986:100).
Tanggal 2 Desember 1957, sebagai respon atas seruan pemerintah, kaum
buruh mulai menggelar pemogokan umum di pabrik-pabrik milik Belanda
maupun pabrik campuran milik Belanda-Indonesia. Akibatnya, pengusaha
Belanda menderita kerugian lebih dari Rp 100 juta.
Tiga hari kemudian, pemerintah Indonesia mulai menutup konsulat
Belanda di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga membekukan semua
transfer keuntungan perusahaan Belanda ke luar negeri.
Tanggal 6 Desember 1957, kantor KPM (Koninklijke Paketvaart
Maatschappij), perusahaan pelayaran Belanda, di Jalan Medan Merdeka
Timur Jakarta, diambil-alih oleh kaum buruh. Pada hari yang sama, kaum
buruh juga mengambilalih Hotel Des Indes. Motor utama aksi-aksi
nasionalisasi ini adalah SOBSI (Sentral Serikat Buruh Seluruh Indonesia)
dan KBKI (Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia).
Pada hari yang sama, Kementeria Luar Negeri Indonesia
menginstruksikan semua perusahaan Belanda di Indonesia untuk
menghentikan aktivitasnya. Tiga kapal KPM, yang rencananya berlayar ke
Indonesia, terpaksa berhenti di Singapura.
Sehari kemudian, Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI) di
Jakarta berupaya untuk menduduki dan menguasai bank-bank Belanda di
Jakarta.
Aksi-aksi perebutan perusahaan Belanda berlangsung di berbagai daerah
di Indonesia. Sementara itu, Kementerian Kehakiman RI telah
memerintahkan 5000 warga Belanda di negerinya untuk segera kembali ke
negerinya. Namun, Menteri Kehakiman juga memerintahkan agar agar kaum
buruh tidak menguasai pabrik yang sudah diambilalih dari tangan Belanda.
Sebaliknya, Menteri Kehakiman menuntut agar perusahaan tersebut
diserahkan ke militer (TNI).
Pada tanggal 7 Desember 1957, seiring dengan menghebatnya aksi-aksi
nasionalisasi di Indonesa, Panglima Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik,
Felix Sump, menerima radiogram dari Kepala Operasi AL Laksamana Arleigh
Burke tentang perintah pengerahan pasukan AL Amerika Serikat ke perairan
Indonesia karena “situasi kritis di Indonesia”. Sejurus dengan itu,
atas permintaan Belanda, NATO (Fakta Pertahanan Atlantik Utara)
menggelar Sidang Darurat untuk mendengar dan membahas laporan dari
Indonesia.
9 Desember 1957, pers-pers di Indonesia memuat keputusan Perdana
Menteri Juanda, bahwa semua perusahaan pertanian Belanda, juga campuran
Belanda-Indonesia, termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah
perkebunan, sejak itu berada di bawah pengawasan pemerintah RI.
Pemerintah juga mengambilalih pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan
Belanda, termasuk KPM dan KLM, Bank-Bank Belanda, Perusahaan Niaga,
kantor-kantor, perusahaan gula, stasiun listrik, perusahaan gas, dan
lain-lain.
Pada tanggal 10 Desember 1957, Menteri Pertahanan secara resmi
menginstruksikan menguasai perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda.
Padahal, perusahaan-perusahaan ini diambilalih dan dikuasai oleh kaum
buruh Indonesia. Inilah titik balik dari aksi nasionalisasi tahun 1957.
Pertengahan Desember 1957, Serikat Buruh Belanda menyatakan mendukung
perjuangan rakyat Indonesia dan menuntut agar penjajah meninggalkan
Irian Barat.
Kemudian, 15 Desember 1957, UU Keadaan Bahaya ditandatangani. UU ini
merupakan upaya militer untuk menghentikan aksi-aksi kaum buruh dan
sekaligus merebut kendali atas perusahan asing yang direbut dengan darah
dan keringat oleh kaum buruh.
Puncaknya adalah berlakunya Keadaan Bahaya (SOB) pada tahun 1958.
Namun, aksi-aksi nasionalisasi oleh kaum buruh masih terus berlanjut
hingga tahun 1958. Tahun 1958, Indonesia juga memutuskan hubungan
diplomatik dengan Kerajaan Belanda.
Januari 1958, kubu negara-negara sosialis dan negara-negara
Asia-Afrika menyatakan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia
terkait pengembalian Irian Barat.
Pada Februari 1958, pihak imperialis berhasil menyulut pemberontakan
separatis PRRI. Imperialisme AS menyuplai dana, senjata, dan amunisi
kepada para pemberontak. Selain itu, AS juga mengirimkan barisan kapal
perang dari Armada ke-7 untuk daerah pemberontakan. Alasannya: untuk
membantu pengungsian pegawai perusahaan minyak AS, Caltex.
Tanggal 3 Desember 1958, Parlemen Indonesia menyetujui Undang-Undang
Nasionalisasi terhadap semua perusahaan Belanda di wilayah Indonesia.
Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1958
yang menyatakan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi
menjadi milik pemerintah RI.
Tercatat, dari sejak 1957 hingga 1960, sebanyak 700-an perusahaan
Belanda di Indonesia berhasil dinasionalisasi. Jumlah itu mencakup 70%
perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia jaman itu. Sementara itu
Prof Dr R.Z Leirissa dalam
Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia mencatat:
sejak terjadinya gelombang nasionalisasi, kepemilikan dari 90% produksi
perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai
perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan
pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa (Robison, 1986:72).
Rudi Hartono; disarikan dari berbagai sumber: Kronik Irian Barat (Koesalah Subagyo Toer), Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia (Frof Leirissa), dll).
http://www.berdikarionline.com/kronik-nasionalisasi-perusahaan-asing-tahun-1957/