Kekuasaan Islam di Kordoba pernah mencapai puncak keemasan
di bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
Muhammad Husnil - 29 Desember 2012
DI KORDOBA, 1198, Ibnu Rusyd, ulama-cum-dokter yang di
Barat dikenal sebagai Averous dan dianggap tokoh filsuf Rasionalisme,
menghembuskan nafas penghabisan dalam kondisi mengenaskan. Banyak karyanya
dibakar. Ajaran filsafatnya menjadi barang haram. Ramalannya mulai menuju
kebenaran bahwa masa depan negaranya takkan ramah untuk orang-orang yang
tercerahkan seperti dirinya.
Di tempat yang sama dan waktu hampir bersamaan, dokter,
juru tulis, dan filsuf Yahudi Musa Ibn Maymun atau Maimonides harus angkat kaki
dari kampung halamannya. Kordoba, yang dikuasai kerajaan-kerajaan kecil dan
saling berperang, mulai menutup pintu bagi kaum Yahudi.
Bahkan ketika kaum Muwahidun berkuasa, mereka membantai
ribuan orang Yahudi. Musa Ibn Maymun pindah ke Mesir. Di sana dia mendapatkan
tempat terhormat dengan menjadi penasihat Salahuddin al-Ayubi, kelak dikenal
sebagai penakluk Yerusalem, hingga meninggal dunia pada 1204.
Seiring kematian dua filsuf besar itu, Kordoba, tempat
yang pernah menelurkan peradaban tinggi yang dikenal dengan Peradaban
Andalusia, perlahan masuk liang lahat. Padahal, dua abad sebelumnya, tepatnya
pada abad ke-9, Kordoba merupakan prototipe modernitas. Dari jendela istananya
yang megah, Hisyam dan putra sekaligus penggantinya, al-Hakam I, menyaksikan
kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya.
Yang mengagumkan dari sejarah Andalusia, tiga agama
besar: Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dan penuh toleransi –atau
dalam bahasa Spanyol disebut convivencia. Kebijakan ini lahir dari tangan
Abdurahman I, pemimpin kharismatik yang fasih bicara ihwal agama dan budaya di
mimbar-mimbar masjid serta kerap menganggit puisi dan membacakannya di depan
publik.
Selain menerbitkan harmoni sosial, kebijakan ini memberi
kesempatan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk menjadi pejabat negara.
Penerusnya, Abdurahman III, menjaganya dengan mengangkat Hasdai Ibn Shaprut,
seorang Yahudi, sebagai penasihatnya dan Racemundo, seorang uskup Katolik
Elvira, sebagai dutabesar Kordoba untuk Konstantinopel.
Pengadaptasian teknologi pembuatan kertas, yang
didapatkan dari peradaban Tiongkok, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
Perpustakaan-perpustakaan dipenuhi buku-buku berharga. Dari segi penyebaran
ilmu pengetahuan, Kordoba hampir menyamai Baitul Hikmah di Baghdad, think
thank pemerintahan Abbasiyah di Timur Tengah, yang sepanjang sejarah
melahirkan segudang ilmuwan besar.
Di bawah bimbingan para ahli Muslim di Kordoba Khalifah
al-Hakam II al-Mustansir, Gerbert dari Aurillac menerbitkan buku teks empat
halamannya yang revolusioner tentang matematika baru. Buku ini mencampakkan
cara berhitung Romawi yang rumit, seperti XXIV+XLIII=LXVII, dan menggantikannya
dengan sembilan angka Hindu dan angka nol Arab.
Peradaban Andalusia, yang kosmopolitan, menghargai
perbedaan, dan mendorong ilmu pengetahuan, menjulang tinggi. Meski diselingi
satu-dua pertempuran kecil dan upaya untuk memperluas kekuasaan, kondisi
masyarakatnya cukup stabil. Andalusia mencapai puncak keemasan pada abad ke-10
dan 11. Pada masanya ia kerap menjadi rujukan negara-negara lain.
Namun, harmoni mulai retak saat gelombang radikalisme
agama mulai menggumpal, sementara kekuatan Islam moderat perlahan tapi pasti
kian melemah. Ketika paham-paham keagamaan yang kaku merembes ke Andalusia
melalui Afrika Utara dan penguasa lebih mendengarkan saran ulama-ulama
konservatif, hampir tak ada kata ampun atas segala sesuatu yang dianggap
penyimpangan. Kristenisasi dilarang dan hukuman mati ditimpakan pada setiap
Muslim yang menjadi Kristen. Sebaliknya, tak ada hukuman sama sekali bila orang
Kristen memeluk Islam.
Orang-orang Kristen fanatik tak rida melihat
saudara-saudara seiman beralih ke Islam. Jumlah mereka kian berkurang, bahkan
tak lagi menjadi mayoritas. Sebagai reaksi putus asa, sekelompok kecil Kristen
Andalusia menentang rezim Muslim pada pertengahan abad ke-9. Para pendeta
Kristen dan orang awam juga mulai secara terbuka menghina Islam.
Satu-dua peperangan antara Islam dan Kristen pun
bergolak. Sementara kalangan Yahudi, yang sejak mula adalah minoritas, terjepit
dalam peperangan ini, bahkan tak bisa berbuat banyak ketika menjadi sasaran
kebencian Islam dan Kristen. Sejak itu, ketiga agama besar itu mulai mencopoti
batu bata bangunan toleransi yang menjadi dasar peradaban Andalusia.
Ada satu faktor lagi yang ikut meruntuhkan Andalusia:
lembeknya kelas menengah. Warga Andalusia –Kristen, Muslim, dan Yahudi– yang
mendapatkan kemudahan dan kemewahan ekonomi lebih suka memikirkan bisnis dan
keselamatan diri ketimbang menengahi berbagai kecamuk. Ketika keadaan makin
gawat, kelas menengah ini berbondong-bondong pindah ke daerah lain untuk
memulai lagi usaha mereka.
Tepat 38 tahun setelah kematian Ibnu Rusyd dan 32 tahun
setelah kematian Musa Ibn Maymun, kekuasaan Islam di Kordoba kian berkurang dan
akan berakhir dengan masuknya sang pemenang Ferdinand III dari Kastilia pada
1236. Bangunan-bangunan megah hanya tersisa beberapa, perpustakaan dan buku
menjadi barang langka kembali, dan toleransi ketiga agama besarnya menjelma
hanya menjadi catatan sejarah.