09.58
Kriminalisasi sebagaimana kita pahami adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakan hukum namun sebenarnya tidak. Ada motif lain dibaliknya, atau ada udang di balik batu, yang semata-mata hanyalah untuk merugikan tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan dari masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan. Motif “Kriminalisasi” pada dasarnya adalah untuk merugikan korban secara tidak sah atau tidak patut. Motif ini bisa beragam, mulai dari sekedar merusak reputasi korban, menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum. Berbagai kriminalisasi terjadi menimpa masyarakat dimana pelakunya beraneka ragam, institusi kepolisian, Kementerian, Pengusaha, tokoh masyarakat, institusi agama, lembaga politik dan sebagainya. Korban kriminalisasi dan payung hukum yang digunakan juga beragam. Namun, grafik kriminalisasi ini meningkat, dan menjadi pola yang digunakan guna membungkam kebebasan berpendapat, ekspresi, kebebasan beragama-berkeyakinan, dan perjuangan untuk pemenuhan hak atas kesejahteraan sosial.
Sebagai contoh, kriminalisasi terhadap masyarakat
adat dalam sengketa tanah adat dengan perusahaan tambang terjadi di Sinjai,
Sulawesi Selatan terhadap Pak Bachtiar bin Sabang. Bachtiar Sabang di pidanakan
dengan menggunakan pasal 78 UU Hutan dan kemudian UU Pencegahan dan
Pemberantasan Hutan.
Sastrawan Saut Situmorang yang menginisiasi Aliansi
Anti Pembodohan guna mengkritik dan melawan penerbitan 33 penyair dimana Denny
JA termasuk di dalammnya, di kriminalisasikan karena komentar facebooknya oleh
Fatin Hamama. Saut Situmorang dikriminalisasi dengan menggunakan pasal
pencemaran nama baik UU ITE.
23 buruh, 2 pengacara LBH Jakarta, dan 1 Mahasiswa
dikriminalisasi paska pembubaran aksi buruh di depan Istana pada 30 Oktober
2015 saat menyuarakan penolakan terhadap Peratuan Pemerintah No. 78/2015
tentang Pengupahan. Meski ke 27 orang tersebut disiksa saat penangkapan, tapi
pihak kepolisian tetap mengkriminalisasi mereka dengan menggunakan Kepolisian
menerapkan pasal karet melawan penguasa yang tertera pada Pasal 216 juncto
Pasal 218 KUHP.
Lagi soal buruh, Saiful Anam dan Eko, di laporkan ke
polisi oleh Direktur perusahaan tempat mereka bekerja, PT. Nanbu Bekasi,
setelah membuat status facebook yang mengungkapkan praktek buruh kontrak yang
terjadi di perusahaan tersebut. Sebelum pemolisian tersebut, Serikat Bumi
Manusia yang merupakan serikat dimana Saiful dan Eko menjadi pengurusnya memang
tengah mengadvokasi diskriminasi terhadap buruh kontrak.
Lain halnya
petani di Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Para petani yang tergabung dalam
Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) ini di kriminalisasi karena
melaporkan ancaman, intimidasi dan represifitas yang dilakukan oleh TNI AL dan
Preman PT. Wongsorejo yang menuduh para petani tersebut merusak Gardu yang baru
saja dibangun. Meski mendapatkan represifitas, polisi sebaliknya,
mengkriminalisasi mereka dengan mengunakan pasal 170 ayat (1) KUHP dimana
dinyatakan bahwa telah terjadi pengeroyokan terhadap orang/pekerja PT.
Wongsorejo.
Di Ternate,
Adlun fiqri, di kriminalisasi dengan menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 11
tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan tuduhan
mencemarkan nama baik salah satu oknum Polantas dan Institusi kepolisian. Hal
tersebut terjadi setelah Adlun yang ditilang oleh Polantas dari Polres Ternate.
Ketika Adlun menanyakan pelanggarannya ke salah satu oknum Polantas, yang
bersangkutan menjawab, berdasarkan UU (tidak dijelaskan UU Nomor berapa) denda
yang harus dibayar sebesar Rp 250.000. Beberapa pengendara motor yang ditilang
juga diminta untuk membayar pelanggaran yang dilakukan mereka. Oknum Polantas
tersebut mengatakan jika mereka (pengendara) mengikuti sidang maka mereka harus
bayar sebesar Rp 1.000.000, sementara kalau bayar disini (di tempat tilang)
jumlahnya hanya Rp 150.000. Praktek yang ganjil yang melanggar UU Lalulintas
tersebut kemudian direkam oleh Adlun dalam bentuk video lalu disebarluaskan ke
YouTube dan Facebook.
Pelaku kriminalisasi yang baru-baru ini hangat
terjadi adalah Menteri Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi. Menteri Yuddy melaporkan seorang Guru
Honorer, Mashudi, 38 tahun, asal Brebes, Jawa Tengah. Mashudi yang mengirimkan
sms kritik dan protes karena status guru honorer yang tak kunjung diangkat
menjadi guru tetap. Mashudi dianggap memberikan ancaman kepada Yuddy
Chrisnandi. Ia dijerat Pasal 29 dan atau Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik atau Pasal 335 dan atau Pasal 336 dan atau
Pasal 310/311 KUHP dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun.
Seorang
penterjemah di Medan, Sumatera Utara, di laporkan ke Polresta Medan oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia setelah ia menterjemahkan Kitab agama Hindu
dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penterjemah ini dikenakan pasal 156a
KUHP tentang penodaan agama. Beruntung hakim Pengadilan Tinggi memutuskan bahwa
terdakwa tidak melanggar pasal 156a KUHP karena hanya menjalankan profesinya
sebagai penerjemah.
Namun lain
halnya dengan ustad Tajul Muluk, pemimpin komunitas syiah Sampang, Madura.
Tajul Muluk dikenai pasal 156a KUHP. Ia dianggap membuat aliran tersendiri,
aliran Tajul Muluk, sesuatu yang dipaksakan, meskipun telah dibantah bahwa
tidak ada ustad Tajul muluk adalah bagian dari Syiah.
Berbagai kriminalisasi ini terjadi berulang kali dan
diadopsi oleh berbagai pihak guna meredam protes, menjatuhkan lawan, menghambat
ruang demokrasi karena masih adanya berbagai macam regulasi yang memberikan ruang
bagi kriminalisasi.
Oleh karena itu perjuangan melawan kriminalisasi
adalah bagian dari upaya merebut kembali ruang demokrasi yang di renggut
penguasa secara kesewenang-wenangan.
Maka kami mengundang rekan-rekan sebagai pembicara
dalam acara konferensi tersebut dan Kami juga meminta organisasi anda untuk
menyediakan bood,bood ini berisi gambar atau berupa data-data tentang kasus
kriminalisasi.
Kami
panitia Konferensi Rakyat Lawan Kriminalisasi Rebut Demokrasi dengan ini menyatakan untuk:
- Bebaskan kawan-kawan kami yang menjadi korban kriminalisasi.
- Hapuskan seluruh regulasi beserta pasal-pasal karet yang sering digunakan aparat untuk membungkam gerakan perlawanan rakyat.
- Kembalikan hak demokrasi yang seutuhnya kepada seluruh rakyat.
- Hapuskan regulasi hukum yang membatasi hak berdemokrasi
- Menyerukan kepada semua rakyat untuk bersatu dalam melawan segala bentuk kriminalisasi.
- Membuat wadah untuk menyatukan kekuatan bersama demi mempertahankan demokrasi.
- Penegakan hukum yang berkeadilan bukan tumpul keatas tajam kebawah.
- Berikan kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan
- Menolak segala Rancangan Undang-Undang yang tidak berpihak pada rakyat..
Jakarta, 9 April 2016
Mujiyo
Ketua
Panitia
Organisasi Pendukung
Kepanitiaan:
LBH
Jakarta, Safenet. ICTWatch, Papua Itu Kita, LBH Pers, TII, Kontras, ELSAM, SBMI, FSedar, PPR, PPRI,
Sebumi, Pembebasan, dan Geram Kriminalisasi.
http://blog.solidaritas.net/2016/04/pernyataan-sikap-panitia-konferensi_10.html?spref=fb
0 komentar:
Posting Komentar