Posted: 18/12/2013 in Esei
Kiri ke kanan: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Subroto, Emil Salim. Photo credit: http://www.indonesia-digest.net/3302suharto.htm
Catatan boemipoetra:
Di bawah ini adalah sebuah esei lama Goenawan Mohamad yang sudah bertahun-tahun lamanya dicari oleh Saut Situmorang, salah seorang anggota redaksi boemipoetra, tapi yang baru-baru ini saja berhasil didapatkannya via status Facebook seorang kawan bernama Tarli Nugroho. boemipoetra berterimakasih kepada bung Tarli atas pemuatan esei Goenawan Mohamad ini di status Facebooknya dan mengizinkannya untuk dibagikan ke publik.
Esei di bawah ini penting kerna isinya dengan gamblang dan jelas menunjukkan betapa bahkan sejak tahun 1971 pun, yaitu tahun penerbitan esei di majalah TEMPO, Goenawan Mohamad adalah pendukung serius dari Mafia Berkeley dan kebijakan ekonomi Neoliberal mereka! Begitu seriusnya Goenawan Mohamad membela Mafia Berkeley, kebijakan ekonomi Neoliberalnya dan pihak asing di belakang keduanya (yang sekarang kita tahu adalah Amerika Serikat) hingga eseinya di bawah terkesan begitu propagandistik dan jadi pamflet murahan!
Dengan “berisik”nya saat ini penghujatan atas Goenawan Mohamad sebagai tokoh Manifes Kebudayaan yang sangat terlibat atas kekerasan budaya di Indonesia pasca-1965 (dan pembelaan dirinya yang sok ngonteks-sejarah tapi sangat anti-historis itu), maka eseinya di bawah ini adalah sampah sejarah yang akan terus mengotori wajah “budayawan”nya yang pretensius itu!
=========
oleh Goenawan Mohamad
Seorang anakmuda Amerika jang pintar menulis sebuah artikel – dan mendjadi dikenal disini. Dialah David Ransom, pengarang The Mafia Berkeley and the Indonesian Massacre. Jang dimuat dimadjalah Rampart bulan Oktober 1970. Dengan semangat “Kiri Baru” jang menjala-njala, tulisan itu mentjoba “membongkar” besarnja tjampur-tangan kaum imperialis Amerika (dan sudah tentu CIA) dalam perkembangan Indonesia dibawah Presiden Soeharto – chususnya jang menjangkut hubungan kaum teknokrat dengan penguasa militer sekarang.
Dinegeri ini sudah tentu tulisan itu menimbulkan rasa marah. Tapi ada djuga jang menganggapnja sebagai sesuatu jang tidak serius: gedjala penjakit kekiri-kirian, mode dikalangan intelektuil Barat kini. Meskipun demikian dilain pihak Ransom ternjata djuga dapat sambutan. Koran mingguan Srikandi djauh sebelum dijabut izin terbitnja pernah menterdjemahkan tulisan itu. Beberapa hari jang lalu harian Merdeka djuga kembali menjebut-njebutnya – ketika tadjukrentjana B.M. Diah melanjarkan serangan frontal kepada kaum teknokrat Pemerintah sehabis pengangkatan Menteri-menteri baru, chususnya kepada Widjojo Nitisastra.
***
Apakah “komplotan” itu? Djend. Yani almarhum bersama perwira-perwira tinggi lainnja menjiapkan sebuah renjana kalau Presiden Sukarno meninggal mendadak. Djend. Suwarto, bersama SESKOAD dan para teknokrat, ikut menjiapkan rentjana itu. Jang ditjemaskan para djendral adalah PKI. Dan mengingat besarnja dukungan kepada Sukarno & PKI, orang militer dan penasihatnja tahu bahwa “banjak darah akan mengalir bila saat bentrokan tiba”.
Saat bentrokan memang tiba: 30 September 1965, ketika Let. Kol. Untung mengadakan kup, jang menurut Ransom merupakan “peristiwa intern Angkatan Darat” dimana PKI tidak terlibat. Untung kalah. Maka rentjana militer bersama para sardjana jang disebut sebagai “the Berkeley Mafia” itupun bisa berdjalan, terutama setelah djatuhnja Sukarno dan naiknja Soeharto. Kabinet Pembangunan dibentuk, dan Sumitro, Widjojo, Emil Salim, Subroto, Ali Wardhana, Sadli, Barli Halim serta Soedjatmoko memegang djabatan-djabatan tinggi.
Serentak dengan itu, sedjumlah ahli ekonomi Amerika melalui Development Advisory Service (DAS) dari Universitas Harvard diperbantukan kedalam perentjanaan ekonomi Indonesia. Maka lengkaplah pintu terbuka: Indonesia, kata Ransom kembali “kedalam pelukan imperialis”. Modal asing masuk, sesuai dengan strategi 20 tahun Ford Foundation. Sementara itu petani dan rakjat didesa terus ditindas oleh kaum militer.
“Tidak ada lagi pembitjaraan tentang landreorm dan tentang mempersendjatai rakjat”, tulis Ransom, jang entah dari mana sumbernja kemudian bertjerita: “Tapi sikap diam itu tjukup berbitjara. Kini didesa-desa Djawa dimana PKI pernah kuat sebelum pembasmian besar-besaran terdjadi, tuantanah dan para perwira takut keluar malam. Mereka jang mentjoba, kadang-kadang dipagi hari kedapatan sudah terpotong lehernja. Dan para djendralpun berbisik tentang PKI malam”.
***
Malang sekali, anak muda jang berpretensi revolusioner ini ternjata masih mengidap dibawah sadarnja sikap kaum reaksioner jang paling reaksioner di Barat: memandang orang-orang Indonesia, negeri kulit berwarna dan terkebelakang ini, begitu matjam kerbau-kerbau jang mudah ditjotjok hidungnja oleh tuan-tuan pintar di Amerika.
Demikianlah Ransom misalnja bertjerita bagaimana pimpinan KAMI menerima buku petundjuk organisasi mahasiswa dari kedutaan Amerika dibawah Marshall Green jang konon “punja reputasi sebagai dalang penggulingan Syngman Rhee oleh mahasiswa-mahasiswa Korea”. Ransom djuga mengutip utjapan seseorang jang tak disebut namanja tentang bagaimana Prof. Sadli “betul-betul tidak tahu menjusun undang-undang penanaman modal”. Iapun menjatakan bahwa keputusan Soeharto untuk mengangkat Team Ahli Ekonominja konon merupakan hasil gagasan seorang pedjabat Ford Foundation. Seolah-olah belum tjukup, setjara samar Ransom djuga mengungkapkan bahwa Repelita lahir berkat otak-ahli-ahli ekonomi Amerika. Dan kembali kemasa sebelum 1965, Ransom malah menjebut bagaimana Atase Militer Amerika waktu itu memperkenalkan permainan golf kepada djendral-djendral Indonesia.
Sebagai seorang jang berlagak revolusioner Ransom memang tidak menjukai politik perekonomian Indonesia sekarang – sebagaimana djuga para pengagumnja disini. Tentu sadja itu bukan sesuatu jang tidak patut. Malah lebih menarik dan lebih bermanfaat kiranja apabila perdebatan dilakukan tentang politik perekonomian itu, setjara terbuka, taruhlah misalnja mengenai persoalan modal asing. Hanja ada satu hal jang perlu ditambahkan: dalam perdebatan sematjam itu wadjar djika orang mengharapkan sesuatu jang mungkin bisa disebut sebagai tanggungdjawab moral. Sebab jang mendjadi taruhan bukanlah kesimpulan-kesimpulan akademis dan kemenangan suatu faham. Jang mendjadi taruhan ialah nasib dan masadepan berpuluh-puluh rakjat Indonesia jang miskin.
Sangat mudah bagi seseorang buat berlagak revolusioner dengan model rambut gondrong dan teriakan amarah, sementara dengan amannja ia tak terganggu oleh masa depan jang belum pasti dan masa kini jang serba kekurangan. Kaum Kiri Baru di Barat banjak jang berhati mulia, berperikemanusiaan jang luhur hanja mereka tak punja risiko jang menghantui sebagian besar rakjat Indonesia kini. Seperti Wertheim mereka bisa menjatakan tjinta pada Indonesia, rakjatnja dan kebudajaannja. Tapi djika seperti Wertheim mereka lebih menjukai Indonesia untuk memilih djalan dan faham mereka, adakah mereka djuga akan menanggung beban seperti jang ditanggung rakjat Indonesia? Saja kira disitulah masalah tanggungdjawab moral muntjul: sesuatu jang lajak ditanjakan djuga kepada orang jang menjatakan diri tjemas pada modal-asing, tapi sementara itu djuga hidup dari modal-asing, seorang jang menjatakan bentji kapitalisme tapi sementara itu hidup sebagai seorang kapitalis.
***
Sumber: Majalah TEMPO No. 30/Th. I, 25 September 1971
https://boemipoetra.wordpress.com/2013/12/18/dari-kisah-the-berkeley-mafia/
0 komentar:
Posting Komentar