RABU, 11 DESEMBER 2013 | 02:48 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Soe Tjen Marching, Komposer
Setelah saya membuat petisi "Sarwo Edhie Bukan Pahlawan" di Change.org, pembahasan tentang G30S bergulir lagi. Film Joshua Oppenheimer jelas menyajikan bagaimana para jagal menghabisi manusia tak berdosa. Sejarawan Asvi Adam juga memaparkan kekejian Sarwo Edhie dalam pembunuhan massal '65.
Tapi, setelah semua usaha pengungkapan sejarah ini, tetap saja ada yang bertanya: "Lalu versi siapa yang bisa kita percaya?" Saya menyodorkan argumen berikut, yang terdiri atas lima bagian (agar mirip Pancasila).
Pertama: jika memang anggota PKI membunuh para jenderal, apa buktinya? Bukti utama yang ditampilkan oleh Soeharto adalah mayat para jenderal. Tapi mayat adalah bukti bahwa orang tersebut sudah mati, bukan bukti PKI melakukan pembunuhan.
Kedua: bagaimana mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa PKI-lah yang membunuh para jenderal, dengan begitu cepat? Kejadian 30 September banyak dikenal sebagai saat di mana enam jenderal dibunuh oleh PKI (sebenarnya terjadi pada 1 Oktober, karena telah melewati tengah malam). Versi sejarah Soeharto adalah, para jenderal disiksa dan dimutilasi sebelum dibunuh, dan perempuan Gerwani menari telanjang saat menyilet-nyilet para jenderal. Kemudian, Sim Salabim, muncullah Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober: Soeharto berhasil menemukan biang keladinya, dengan komandan Sarwo Edhie.
Apabila pembunuhan terhadap satu orang, Munir, memakan waktu investigasi bertahun-tahun dan masih saja belum terselesaikan, kenapa pembunuhan enam orang memakan waktu hanya beberapa jam untuk menyelidiki? Mengapa keputusan untuk menghukum PKI datang begitu tiba-tiba, bahkan terburu-buru? Tidakkah kita berpikir bahwa hal ini pasti soal peluang bagi sebagian orang yang ingin berkuasa?
Ketiga: mungkin sudah waktunya kita mengalah kepada Soeharto dan Sarwo Edhie. Kita anggap saja mereka berdua sesakti Batman. Tanpa proses penyidikan dan pengadilan pun, mereka langsung tahu penjahatnya. Jika memang anggota PKI membunuh para jenderal, mengapa tidak mencari pembunuh ini, diseret ke pengadilan dan dihukum selayaknya? Namun Sarwo Edhie justru sibuk dalam operasi yang menghabisi begitu nyawa orang.
Keempat: pembunuhan para jenderal berlangsung di Jakarta. Tapi mengapa pasukan harus pergi mengembara ke seluruh Indonesia, bahkan ke desa-desa kecil? Banyak dari korban adalah petani dan seniman tradisional yang belum pernah ke Jakarta atau aktif terlibat dalam politik!
Kelima: bila yang dikudeta adalah Sukarno, mengapa nasib Sukarno hampir sama dengan PKI-digulingkan dan diasingkan?
Jika seseorang dirampok dan orang ini dengan cepat menuduh sekelompok manusia, kemudian meminta agar mereka dihukum seberat-beratnya, Anda akan bertanya-tanya motif di balik tindakan ini. Terutama ketika orang ini masih belum puas dan memberi stigma terhadap anak-cucu dari kelompok manusia yang telah dihukum berat itu.
Sekarang, jika ini tentang salah satu pembunuhan massal terbesar dalam sejarah, mengapa kita tidak bisa berpikir serupa? Apakah Sarwo Edhie layak diberi gelar pahlawan?
http://www.tempo.co/read/kolom/2013/12/11/964/mengkritisi-g30s
0 komentar:
Posting Komentar