September 19, 2015
SEJARAH TAHUN 1965: versi Prof. Dr. W.F. Wertheim
7 September 2013 pukul 15:22
bacaan untuk Robert Lemelsen
sutradara film “40 years of silence”
Para hadirin yang terhormat!
Sebelumnya saya minta ijin untuk mencoba memberi analisa tentang peristiwa 1965, lebih dahulu menceritakan bagaimana terjadinya bahwa saya, walaupun mata pelajaran saya sosiologi, lama-kelamaan mulai merasa sebagai pembaca suatu detective story yang mencari pemecahan suatu teka-teki.
Pada tahun 1957 saya bersama isteri saya mengajar sebagai guru besar tamu di Bogor. saya pernah bertemu dengan ketua PKI Aidit dan beberapa tokoh lain dalam pimpinan partai. Aidit menceritakan tentang kunjungannya ke RRC, saat itu; dari orang lain saya dengar bahwa Mao Zedong bertanya pada Aidit:
“Kapan kamu akan mundur ke daerah pedesaan?”
Ucapan itu saya masih ingat waktu pada tahun 1964 ketika saya menerima kunjungan tokoh terkemuka lain dari PKI, Njoto di Amsterdam, yang pada waktu itu ada di Eropa untuk menghadiri suatu konperensi di Helsinki. Saya mengingatkannya bahwa keadaan di Indonesia pada saat itu mirip pada saat keadaan di Tiongkok pada tahun 1927, sebelum kup Ciang Kaisyek. Pendapat saya ialah ada bahaya besar, bahwa militer di Indonesia juga akan merebut kekuasaan. Saya anjurkan dengan keras supaya golongan kiri di Indonesia mempersiapkan diri untuk perlawanan di bawah tanah, dan mundur ke pedesaan. Jawaban Njoto ialah: saat bagi militer untuk dapat rebut kekuasaan sudah terlambat. PKI telah terlalu kuat baik dalam badan perwira maupun dalam badan bawahan tentara dan angkatan militer yang lain. Saya tidak berhasil meyakinkan Njoto.
Pagi 1 Oktober ’65 kami dengar melalui siaran radio tentang formasi Dewan Revolusi di Jakarta. Sahabat saya, Prof. De Haas menelpon saya dan menyatakan: “Itu tentu revolusi kiri!” Saya menjawab: “Awas, menurut saya lebih masuk akal: provokasi!”.
Pada tanggal 12 Oktober kami dengar bahwa Jendral Soeharto, yang belum kenal kami namanya, telah berhasil merebut kekuasaan. De Haas telepon saya lagi, dan mengatakan: “Saya takut mungkin kemarin Anda benar!”
Seminggu sesudahnya saya mendapat kunjungan dari kepala sementara kedutaan RRC di Den Haag. Ia rupanya memandang saya sebagai ahli politik tentang Indonesia, dan ia hendak mengetahui: “bagaimana situasi politik di Indonesia yang sebenarnya sekarang” Jawaban saya ialah: “Tentu Anda sebagai orang RRC dapat mengerti keadaan! Sangat mirip kepada yang terjadi di Tiongkok pada tahun 1927 waktu Ciang Kaisyek melakukan kup kanan dengan tentaranya, dan komunis kalah di Syanghai, dan lantas di Hankau (Wuhan) dan di Canton (Guangzhou)” .
Ia tidak setuju. Di bulan Januari tahun 1966 saya menerima dari beberapa rekan yang saya kenal, yang mengajar di Cornell University di A.S., suatu ‘Laporan Sementara’ tentang peristiwa September-Oktober di Indonesia. Mereka sangat menyangsikan apakah peristiwa itu benar suatu kup komunis, seperti dikatakan oleh penguasa di Indonesia dan oleh dunia Barat.
Yang menerima laporan itu boleh memakai bahannya (begitu yang mereka tulis kepada saya), tetapi untuk sementara tidak menyebut sumbernya, karena mereka masih mencari bahan tambahan, dan meminta masukan dan informasi lagi. Dengan mempergunakan bahan dari laporan Cornell itu, saya menulis suatu karangan yang dimuat dalam mingguan Belanda “De Groene Amsterdammer” pada tanggal 19 Februari 1966, dengan judul “Indonesia berhaluan kanan”. Dalam karangan itu saya bertanya: mengapa di dunia Barat sedikit saja perhatian terhadap pembunuhan massal di Indonesia, kalau dibanding dengan tragedi lain di dunia, yang kadang-kadang jauh lebih enteng daripada yang terjadi di Indonesia baru-baru ini? Barangkali alasannya, bahwa pandangan umum seolah-olah golongan kiri sendirilah yang bersalah. bukankah mereka sendiri yang mengorganisir kup 30 September dan yang bersalah dalam pembunuhan enam orang jendral itu?
Maka dalam karangan itu saya mencoba memberi rekonstruksi peristiwa-peristiwa dan menarik kesimpulan, sedikit sekali bukti tentang golongan PKI bersalah dalam peristiwa itu. Saya juga menambahkan, tindakan menculik dan membunuhi jenderal tidak berguna untuk PKI, jadi tidak masuk akal jika mereka terlibat. lagipula hampir tidak ada persiapan dari golongan kiri untuk menghadapi situasi yang akan muncul sesudah kup. Dalam karangan itu saya juga menyebut kemiripan kepada peristiwa di Shanghai pada tahun 1927, yang juga sebenarnya ada kup dari golongan reaksioner. Kesimpulan saya dalam karangan di “Groene Amsterdammer” itu: “Terminologi resmi di Indonesia adalah masih kiri, akan tetapi jurusannya adalah kanan”.
Kemudian, pada bulan Februari tahun ’67, Mingguan Perancis “Le Monde” mengumumkan hasil wawancara dengan saya. Dalam wawancara itu saya bertanya: “Mengapa Pono dan Sjam, yang rupanya tokoh penting dalam peristiwa 65 itu, tidak diadili? Dikatakan dalam proses yang telah diadakan, misalnya proses terhadap Obrus Untung, yang ternyata mereka itu orang komunis yang terkemuka. Apa yang terjadi dengan mereka, khususnya dengan Sjam, yang agaknya seorang provokator, yang memakai nama palsu?, sangat mencolok bahwa beberapa minggu sesudah wawancara itu ada berita dari Indonesia bahwa Sjam, nama sebenarnya adalah Kamaruzzaman, ditangkap. Saya dengar kabar itu di radio Belanda, pagi jam 7.00. Dikatakan bahwa Sjam itu sebagai seorang double agent! Saya ingin dengar lagi siaran jam 8.oo, diulangi bahwa Sjam ditangkap, tetapi kali ini tidak ditambahkan bahwa ia double agent! Rupanya dari kedutaan Indonesia ada pesan supaya istilah itu jangan dipakai! Tetapi yang saya dapat dari Sinar Harapan 13 Maret ’67, di sana ada cerita tentang cara Sjam itu ditangkap. Dan judul berita itu: “Apakah Sjam double agent?” Tetapi sesudah itu di pers Indonesia istilah double agent itu tidak pernah diulangi lagi. Dalam semua proses di mana Sjam muncul sebagai saksi atau terdakwa, Sjam selamanya dilukiskan sebagai seorang komunis yang sejati, yang dekat sekali dengan ketua Aidit. Ia selalu mengaku bahwa dia yang memberi semua perintah dalam peristiwa 1 Oktober, tetapi ia selalu menambahkan bahwa yang sebenarnya memberi perintah itu Aidit yang juga ada pada hari itu di Halim, dan yang menurut Sjam dalang sebenarnya di belakang segala yang terjadi. Tentu Aidit tidak dapat membela diri dan membantah segala kebohongan dari Sjam, karena ia dibunuh dalam bulan November 1965 tanpa suatu proses, ditembak mati oleh Kolonel Jasir Hadibroto. Begitu juga pemimpin PKI lain, seperti Njoto dan Lukman, tidak dapat membela diri di pengadilan. Tentulah segala eksekusi tanpa proses itu membantu Orde Baru dalam menyembunyikan kebenaran. Sudisman diadili, tetapi dalam pembelaannya tidak mendapat kemungkinan untuk mengajukan hal-hal yang melepaskan PKI dari sejumlah tuduhan: ia dipaksa untuk mencoret bagian tentang hal itu dari pleidoinya! Waktu Sjam kedapatan sebagai double agent yang sebagai militer masuk ke dalam PKI untuk mengintai, saya mulai menduga pula bahwa Soeharto sendiri mungkin terlibat dalam permainan-munafik.
Pada tanggal 8 April 1967 di mingguan “De Nieuwe Linie” dimuat lagi wawancara dengan saya. Dalam wawancara ini saya menyebut kemungkinan bahwa “coup” dari 1 Oktober 1965 adalah satu provokasi dari kalangan perwira; dan waktu itu saya telah menambahkan bahwa Soehartolah yang paling memanfaatkan kejadian-kejadian. Saya mengatakan begini: “Aneh sekali! Kalau semua itu akan terjadi di suatu cerita detektif, segala tanda akan menuju kepada dia, Soeharto, paling tidak sebagai orang yang sebelumnya telah punya informasi. Misalnya setahun sebelum peristiwa 65, Soeharto turut menghadiri pernikahan Obrus Untung yang diadakan di Kebumen. Untung dahulu menjadi orang bawahan Soeharto di tentara. kemudian, dalam bulan Agustus tahun 65, Soeharto juga bertemu dengan Jenderal Supardjo, di Kalimantan. Dan mereka, Untung dan Supardjo, telah memainkan peranan yang utama dalam komplotan. Lebih aneh lagi, bahwa Soeharto tidak ditangkap dalam kup, dan malahan KOSTRAD tidak diduduki dan dijaga pasukan yang memberontak, walaupun letaknya di Medan Merdeka di mana banyak gedung diduduki atau dijaga. Semua militer mengetahui bahwa kalau Yani tidak di Jakarta atau sakit, Soehartolah sebagai jenderal senior yang menggantikannya. Aneh juga bahwa Soeharto bertindak secara sangat efisien untuk menindas pemberontakan, sedangkan grup Untung dan kawannya semua bingung. Wawancara itu saya akhiri dengan mengatakan:
“Tetapi sejarahpun lebih ruwet dan sukar daripada detective-story” . Begitulah pendapat saya di tahun 1967.
Tetapi pada tahun 1970 terbit buku Arnold Brackman, jurnalis A.S. yang sangat reaksioner; judulnya “The Communist Collapse in Indonesia”. Di halaman 100 Brackman menceritakan isi suatu wawancara dengan Soeharto, agaknya pada tahun 1968 atau 1969, tentang suatu pertemuan Soeharto dengan Kolonel Latief, tokoh ketiga dari pimpinan kup tahun 65. Isinya: “Dua hari sebelum 30 September anak lelaki kami, yang umurnya 3 tahun, mendapat kecelakaan di rumah. Ia ketumpahan sup panas, dan kami dengan buru-buru mengantarkannya ke rumah sakit. Banyak teman menjenguk anak saya di sana pada malam 30 September, dan saya juga berada di rumah sakit. Lucu juga kalau diingat kembali. Saya ingat Kolonel Latief datang ke rumah sakit malam itu untuk menanyakan kesehatan anak saya. Saya terharu atas keprihatinannya. Ternyata kemudian Latief adalah orang penting dalam kejadian sesudahnya. Kini menjadi jelas bagi saya malam itu Latief ke rumah sakit bukan untuk menjenguk anak saya, melainkan sebenarnya untuk mengecek saya. Ia ingin tahu seberapa parah kondisi anak saya dan ia dapat memastikan bahwa saya akan terlampau prihatin/sibuk dengan keadaan anak saya. Saya tetap di rumah sakit sampai menjelang tengah malam dan kemudian pulang ke rumah”.
Begitulah kutipan dari buku Brackman tentang wawancaranya dengan Soeharto. Bagi saya pengakuan dari Soeharto ini, bahwa ia bertemu dengan Kolonel Latief kira-kira empat jam sebelum aksi terhadap tujuh jenderal mulai, sungguh merupakan ‘rantai yang hilang’ — the missing link dalam detective story. Hal ini dengan jelas membuktikan hubungan Soeharto dengan tokoh utama dalam peristiwa tahun 1965.
Tentu Latief, yang pergi ke R.S. Gatot Subroto, yaitu Rumah Sakit Militer, tiga atau empat jam sebelum serangan terhadap rumah-rumah tujuh jenderal mulai, maksudnya untuk menceritakan pada Soeharto tentang rencana mereka. tetapi sukar membuktikan itu selama Soeharto berkuasa, dan Latief dalam situasi orang tahanan. Satu hal yang kurang jelas, mengapa Soeharto menceritakan pada Brackman tentang pertemuan ini? Agaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan Latief ke rumah sakit. Oleh karena itu Soeharto merasa perlu memberi alasan kunjungan itu, bahwa: Latief mau memeriksa, apakah Soeharto begitu sibuk/prihatin oleh karena keadaan, sehingga ia tak mungkin bertindak pada esok harinya!
Pengakuan Soeharto itu membuat saya mendapat kesempatan untuk mengumumkan karangan di mingguan “Vrij Nederland” pada tanggal 29 Agustus 1970, dengan judul “De schakel die ontbrak: Wat deed Soeharto in de nacht van de staatsgreep? ” (Rantai yang hilang: apa yang diperbuat Soeharto pada malam kup?). Dalam karangan itu saya menguraikan segala petunjuk bahwa Soeharto benar terlibat di dalam peristiwa tahun 65. Karangan ini dimuat satu hari sebelum Soeharto datang ke Belanda untuk kunjungan resmi — kunjungan yang gagal sama sekali. Karangan yang serupa itu juga saya umumkan dalam bahasa Inggris di majalah ilmiah “Journal of Contemporary Asia” tahun 1979, dengan judul: “Soeharto and the Untung Coup: The Missing Link”.
Waktu saya mengumumkan dua karangan itu, saya belum mengetahui bahwa dalam wawancara lain, sebelum bulan Agustus 1970 itu, Soeharto sekali lagi menyebut pertemuannya dengan Kolonel Latief itu — tetapi kali ini dengan nada yang sangat berlainan. Wawancara itu dimuat dalam mingguan Jerman Barat, “Der Spiegel”, tanggal 27 Juni, halaman 98. Wartawan Jerman itu bertanya: “Mengapa tuan Soeharto tidak termasuk daftar jenderal-jenderal yang harus dibunuh?” Jawaban Soeharto yaitu: “Pada jam 11.00 malam Kolonel Latief, seorang dari komplotan kup itu, datang ke rumah sakit untuk membunuh saya, tetapi nampak akhirnya ia tidak melaksanakan rencananya karena tidak berani melakukannya di tempat umum.”
Masa, heran seolah-olah Kolonel Latief ada rencana untuk membunuh Soeharto, 4 jam sebelum aksi terhadap tujuh jenderal yang lain akan di mulai, yang tentu berakibat seluruh komplotan akan gagal! Kebohongan Soeharto itu suatu bukti lagi bahwa Soeharto mau menyembunyikan sesuatu, dan cari akal untuk luput dari persangkaan ia terlibat dalam kup! Sedangkan tokoh lain dari komplotan, Obrus Untung, Jenderal Supardjo dan Mayor Sudjono sudah lama mendapat hukuman mati dan dieksekusi, Kolonel Latief selama lebih dari 10 tahun tidak diadili. Alasan yang disebut oleh pemerintah, yaitu bahwa ia ‘sakit-sakitan’ dan tidak dapat menghadiri sidang pengadilan. Memang benar bahwa ia kena luka berat di kaki waktu tertangkap; tetapi kawannya di penjara mengatakan, bahwa ia sudah lama dapat menghadap di sidang sebagai saksi atau terdakwa.
Akhirnya, pada tahun 1978 sidang dalam perkara Latief mulai. Dalam eksepsinya dari tanggal 5 Mei 1978, Latief telah memberi keterangan, bahwa ia bersama keluarganya berkunjung di rumah Soeharto dengan dihadiri Ibu Tien, dua hari sebelum tanggal 30 September; ia juga menceritakan bahwa ia mengunjungi Soeharto pada malam 30 September di Rumah Sakit Militer. Ia menerangkan bahwa ia, Obrus Untung dan Jenderal Supardjo, yang baru pulang dari Kalimantan, bertiga pimpinan militer dari aksi keesokan harinya, berkumpul di rumahnya pada jam 8.00 untuk berunding. Mereka memutuskan malam itu juga menemui Soeharto, untuk memperoleh dukungannya dalam rencana. Latief mengusulkan supaya mereka bertiga menghadap Soeharto, tetapi Untung tidak berani, dan mereka akhirnya mengutus Latief oleh karena ia yang paling dekat dengan Soeharto. Untung dan Supardjo masih punya urusan lain yang penting. Latief telah menjadi bawahan Soeharto dari ketika Jogya diduduki Belanda, tahun 1949. Malahan, menurut keterangan Latief dalam eksepsinya, waktu serangan ke Jogya pada tanggal 1 Maret 1949, Jogya diduduki pasukan Republik selama 6 jam, bukan Soeharto yang sebenarnya masuk Jogya melainkan Latief sendiri! Waktu Latief pulang ke komandonya di pegunungan bersama grupnya, Soeharto bersama ajudannya sedang makan soto! Pada waktu komando Mandala yang dibawah komando Soeharto, Latief menjadi kepala intelijen dari Komando di Makasar.
Dalam eksepsinya Latief dengan terang menjelaskan, bahwa waktu ia bertemu dengan Soeharto di rumah sakit, ia menceritakan padanya seluruh rencana untuk malam itu. Ia minta pengadilan supaya Soeharto dan istrinya akan dipanggil sebagai saksi. Putusan pengadilan: tidak, karena kesaksiannya tak akan ‘relevan’. Dalam pledoinya yang tertulis Latief mengulangi lebih jelas lagi tentang pembicaraannya di rumah sakit. Dia menerangkan: “Setelah saya lapor kepada Jenderal Soeharto mengenai Dewan Jenderal dan lapor pula mengenai Gerakan, Jenderal Soeharto menyetujuinya, dan tidak pernah mengeluarkan perintah melarang” (hal. 128). Pledoi dan eksepsi Latief kami punya seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Dalam pers Indonesia segala keterangannya tentang pertemuan dengan Soeharto itu sama sekali tidak diumumkan dan tidak diperhatikan. Mengapa begitu? Bagi saya dari awal jelas, bahwa keterangan yang lebih sempurna lagi disimpan di suatu tempat diluar Indonesia, dengan pesan supaya langsung diumumkan kalau Latief akan dibunuh! Soeharto agaknya takut kalau kebenaran tentang pertemuan dengan Latief akan diumumkan! Dalam otobiografinya ia bohong sekali lagi: ia menceritakan bahwa ia bukan bertemu dengan Latief di rumah sakit, melainkan hanya lihat dari ruangan di mana anaknya dirawat dan di mana ia berjaga bersama Ibu Tien, bahwa Latief jalan di koridor melalui kamar itu!
Siapa yang sudi percaya? Juga aneh sekali bahwa Soeharto, menurut keterangannya sendiri, jam 12 malam waktu keluar dari rumah sakit, bukan langsung mencoba memberikan tanda untuk waspada kepada jenderal-jenderal kawannya yang dalam tempo tiga atau empat jam kemudian akan ditimpa nasib malang, melainkan terus pulang ke rumah untuk tidur! Hal yang menarik yaitu, bahwa Kolonel Latief beberapa waktu silam telah meminta pada Soeharto supaya hukumannya dikurangi.
Dalam Far Eastern Economic Review dari 2 Agustus tahun ini (1990) diberitahukan, bahwa memoirenya disimpan di satu bank — entah di mana. Jadi, telah agak pasti, bahwa Soeharto terlibat dalam peristiwa 65 dengan berat. Menurut pasal 4 dari Keputusan Kepala Kopkamtib bertanggal 18 Oktober tahun 1968, dalam Golongan A yang paling berat termasuk semua orang yang terlibat dengan langsung, di antaranya dalam grup itu, juga semua orang yang mempunyai pengetahuan lebih dahulu terhadap rencana kup dan yang lalai dalam melapor kepada yang berwenang. Jadi, Soeharto pada malam itu seharusnya mesti melapor paling tidak kepada Jenderal Yani! Dan tentu juga kepada Jenderal Nasution. Artinya, bahwa Soeharto jauh lebih jelas terlibat dalam peristiwa 1 Oktober ’65 daripada semua korbannya, yang selama 10 tahun atau 14 tahun ditahan di penjara atau di kamp konsentrasi seperti di pulau Buru, dengan alasan bahwa mereka terlibat ‘tidak langsung’ dalam peristiwa G30S!
Jadi, sekarang telah jelas, bahwa Soeharto terlibat oleh karena mempunyai informasi lebih dahulu. Lebih sukar membuktikan, bahwa ia juga aktip dalam suatu provokasi. Soeharto tentu bukan satu-satunya orang yang punya informasi lebih dahulu. Terang, bahwa Kamaruzzaman (Sjam) memainkan peran penting sekali dalam provokasi. Ia militer, agaknya dalam Kodam V Jakarta. Tetapi siapa atasannya yang mendorongnya untuk mempersiapkan kup bersama tiga perwira tinggi itu, dengan maksud untuk mengkonfrontir baik PKI maupun Soekarno? Sekarang saya akan coba memberi analisa yang sedikit mendalam. Memang ada orang lain yang punya pengetahuan lebih dahulu.
Barangkali Soekarno sendiri punya sedikit pengetahuan lebih dahulu.
Tetapi tentu ia tidak ingin pembunuhan jenderal yang dituduh membangun Dewan Jenderal. Barangkali maksudnya hanya untuk menuntut pertanggung-jawaban mereka. Setelah ia dengar, bahwa ada beberapa jenderal yang mati, ia memberi perintah supaya seluruh aksi itu berhenti. Mungkin juga, bahwa tiga perwira tinggi itu, Untung, Latief dan Supardjo, bukan menghendaki pembunuhan, melainkan hanya menuntut pertanggungjawaban mereka. Juga tidak jelas mengapa Aidit, ketua PKI, dijemput dari rumahnya pada malam itu dan diantarkan ke Halim. Rupanya pada saat itu ia punya kepercayaan kepada Sjam. Tetapi kami sama sekali tidak tahu peranan Aidit sesudah ia disembunyikan di rumah seorang bintara di Halim; menurut segala kesaksian ia tidak muncul dalam perundingan-perundingan dan pertemuan-pertemuan , lagi pula tidak bertemu dengan Presiden Soekarno yang juga dibawa ke Halim.
Oleh karena ia dibunuh tanpa proses, kami tidak punya keterangan dari dia sendiri — kami hanya punya keterangan dari Sjam yang berbohong, seolah-olah semua yang ia perbuat terjadi atas perintah Aidit.
Misalnya dalam proses Latief di tahun 1978 Sjam ‘mengaku’, bahwa bukan Latief melainkan dia yang memberi perintah untuk membunuh jenderal-jenderal yang masih hidup waktu dibawa ke Lubang Buaya, tetapi ia tambahkan seolah-olah pembunuhan itu juga atas perintah Aidit. Jadi seluruh perbuatan Sjam dimaksud untuk memburukkan nama PKI. Dan suatu alasan mengapa Latief tidak dapat hukuman mati, ialah oleh karena ia mungkir bahwa dia yang perintahkan membunuhi jenderal, dan Sjam dalam proses itu mengakui bahwa ia sendiri yang memerintahkannya. Tetapi segala ‘jasanya’ kepada grup Soeharto tidak berguna untuk dia pribadi: beberapa tahun silam ia dieksekusi bersama pembantunya Pono dan Bono.
Agak jelas bahwa pada malam 30 September, dua-duanya, Soekarno dan Aidit yakin bahwa Dewan Jenderal sebenarnya ada, dan bahwa Dewan itu berencana untuk merebut kekuasaan pada tanggal 5 Oktober 1965. Begitu juga grup Untung, Latief dan Supardjo memang yakin bahwa Dewan Jenderal itu memang ada. Dalam prosesnya pada tahun 1967 Sudisman turut menjelaskan, bahwa ia masih yakin tentang eksistensi Dewan Jenderal itu dan rencana mereka.
Soeharto Dalang G30S ? Pada tahun 1970 saya juga masih berpendapat bahwa Dewan Jenderal itu benar ada. Begitu juga pendapat PKI, misalnya dalam otokritik mereka. Tetapi lama kelamaan saya mulai sangsikan, apakah dewan itu benar ada dan aktif pada tahun 1965. Sudah tentu, kalau peristiwa 65 memang suatu provokasi, bagaimana mungkin apa yang dinamakan Dewan Jenderal itu menjadi dalangnya: terlalu aneh kalau orang mengorbankan diri sendiri dengan tujuan politik! Apalagi telah ada cukup tanda, bahwa Jenderal Yani agak taat kepada Soekarno.
Pikiran saya berubah sewaktu saya baca sekali lagi keterangan bekas Mayor Rudhito dalam proses Untung. Ia memberi suatu keterangan tentang suatu pita (tape recorder) yang ia dengar, dan catatan tentang isinya yang ia terima pada tanggal 26 September 1965 di muka gedung Front Nasional tentang Dewan Jenderal. Ia menerima bukti itu dari empat orang, yaitu: Muchlis Bratanata, dan Nawawi Nasution, dua-duanya dari N.U. dan Sumantri Singamenggala dan Agus Herman Simatoepang, dua-duanya dari IPKI. Mereka itu mengajak Rudhito untuk membantu pelaksanaan rencana Dewan Jenderal.
Di tape itu dapat didengar pembicaraan dalam suatu pertemuan yang diadakan pada tanggal 21 September di gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rudhito ingat bahwa ia mendengar suara dari Jenderal Mayor S. Parman, satu dari 6 jenderal yang lantas dibunuh pada tanggal 1 Oktober pagi. Parman menyebut, menurut pita dan catatan yang Rudhito dengar dan baca, suatu daftar orang yang harus diangkat sebagai menteri: di antara mereka juga sejumlah jenderal yang kemudian diserang dan diculik pada tanggal 1 Oktober. Nasution disebut sebagai calon perdana menteri; Suprapto akan menjadi menteri dalam negeri, Yani diusulkan sebagai menteri hankam, Harjono menteri luar negeri, Sutojo menteri kehakiman dan Parman sendiri akan menjadi jaksa agung. Ada juga nama lain yang disebut, di antaranya Jenderal Sukendro.
Rupanya tape itu tidak ditunjukkan sebagai bahan bukti pada sidang Obrus Untung; juga di sidang lain tidak muncul. Menurut Rudhito dan terdakwa Untung tape itu juga diserahkan kepada Jenderal Supardjo, yang pada tanggal 29 September baru tiba di Jakarta dari Kalimantan. Supardjo rupanya terus memberikan dokumen itu pada Presiden Soekarno; dan menurut Rudhito dukumen itu juga ada di tangan kejaksaan Agung dan KOTRAR.
Kesimpulan saya: kemungkinan besar bahwa tape (yang tidak pernah muncul!) dan teks itu yang diberikan pada Rudhito, suatu pelancungan atau pemalsuan. Maksudnya dan akibatnya ialah, sehingga grup Untung, pimpinan PKI dan Presiden Soekarno diyakinkan dan percaya, bahwa komplotan Dewan Jenderal yang telah seringkali disebut sebagai kabar angin, sebenarnya ada dengan rencana untuk merebut kekuasaan dari Soekarno dan kabinetnya.
Dengan tipu muslihat ini, yang sebenarnya suatu provokasi, baik Soekarno maupun pimpinan PKI, termasuk Aidit, didorong supaya meneruskan usahanya agar aksi Dewan Jenderal itu pada tanggal 5 Oktober 1965 dapat dihalangi! Jadi sekarang timbul pertanyaan, golongan mana yang sebagai dalang merencanakan seluruh provokasi itu, dengan mengorbankan jiwa enam atau tujuh jenderal?
Bagi saya, pada saat ini, sulit memberi jawaban. Saya sudah lanjut usia. Saya harap dalam ruangan ini barangkali orang Indonesia dapat meneruskan penyelidikan itu untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang masih ada.
Tentu mudah menyangka bahwa rencana itu tercipta di kalangan militer dan bahwa Kamaruzzaman — Sjam telah memainkan suatu peranan yang berarti dalam hal ini. Sangat mungkin juga, bahwa beberapa perwira agak tinggi dari angkatan udara, seperti barangkali Obrus Heru Atmodjo, dan sudah tentu Mayor Sujono yang sebagai saksi dan sebagai terdakwa seringkali memberi keterangan yang tidak masuk akal dan saling bertentangan, pastilah sangat aktif dalam merencanakan seluruh aksi. Sujonolah yang memperkenalkan Untung dan Latief dengan Sjam dan dua pembantuanya, Pono dan Bono.
Juga ada kesaksian bahwa yang sebenarnya memberi perintah pada Gathut Sukrisno untuk membunuh jenderal-jenderal dan kapten Tendean yang masih hidup di Lubang Buaya, bukan Sjam melainkan Sujono. Begitu juga pendapat Dr. Holtzappel yang telah menulis suatu analisa penting tentang peristiwa 1965 dalam “Journal of Contemporary Asia” pada tahun 1979. Pembunuhan yang sengaja itu juga tentu merupakan bagian dari seluruh provokasi terhadap PKI. Menurut Holtzappel, sebagai dalang dalam Angkatan Bersenjata barangkali harus dianggap Jenderal Sukendro, pernah kepala military intelligence, dan kolonel Supardjo, Sekretaris KOTRAR yang pernah menjadi pembantu dari Sukendro.
Presiden Soekarno agaknya sangat benar dalam analisa pendeknya, waktu ia membela diri dimuka MPRS dengan keterangan tertulis ‘Nawaksara’ pada tanggal 10 Januari 1967 terhadap tuduhan-tuduhan. Kesimpulannya ialah: “1) keblingernya pimpinan PKI, 2) kelihaian subversi Nekolim, dan 3) memang adanya oknum-oknum yang tidak benar”.
Arti istilah Nekolim pada masa itu ialah: neokolonialisme, kolonialisme dan imperialisme. Tentu maksudnya Soekarno bahwa ada dalang sebenarnya yang dari luar negeri. Bagaimana dengan Amerika Serikat, dan CIA? Sudah dari awal tahun 50an AS campur tangan dengan politik Indonesia. dimulai dengan Mutual Security Act dari tahun 1952, yang dahulu ditandatangani oleh menteri luar negeri Subardjo dari kabinet-Sukiman, dan yang lantas dibatalkan. Juga ada campurtangan AS sewaktu pemberontakan Dewan Banteng dan Permesta, dan sesudahnya waktu didirikan PRRI, pada tahun 57-58.
Peter Dale Scott, yang dulu menjadi diplomat dan sekarang guru besar di Universitas California, menulis beberapa karangan penting tentang campurtangan AS pada tahun 60an: dulu karangannya diumumkan pada tahun 1975, dan lantas di “Pacific Affairs” tahun 1985: “The U.S. and the Overthrow of Soekarno”. (Ada terjemahan dalam bahasa Belanda yang diterbitkan oleh Indonesia Media).
Pada tahun 1990 ini seorang ahli sejarah yang saya tidak kenal namanya Brands, menulis seolah-olah sejak permulaan tahun 65 USA sama sekali tidak campur tangan lagi dalam politik Indonesia; beliau dengar ini dari tokoh CIA – masa dapat dipercaya? Sekarang kita sudah tahu dengan pasti bahwa dari awal Oktober 65 baik kedutaan AS maupun CIA sangat campur tangan, misalnya dengan memberi daftar berisi nama 5000 tokoh PKI dan organisasi kiri lain pada KOSTRAD supaya mereka ditangkap; diplomat dan staf CIA tidak perduli kalau korbannya juga akan dibunuh!
Tetapi bagaimana sebelum 1 Oktober? Ada suatu keterangan dari ahli sejarah Amerika yang termasyur: Gabriel Kolko. Ia menulis dalam buku yang diumumkan pada tahun 1988 (yang judulnya “Confronting the Third: U.S.Foreign Policy 1945-1980”), bahwa semua bahan dari kedutaan AS di Jakarta dan dari State Department (yaitu kementerian Luar Negeri) untuk tiga bulan sebelum 1 Oktober tahun 1965 sama sekali ditutup, dan tidak boleh diselidiki oleh siapa pun juga. Dalam suatu keterangan yang ia tambah pada tanggal 13 Agustus 1990 ia mengatakan, bahwa ia tidak kenal suatu masa mana pun juga di kurun 1945 sampai 1968 yang ditutup dengan rahasia yang demikian untuk menyembunyikan informasi yang sangat penting. Hal itu sangat aneh, dan menimbulkan persangkaan bahwa ada kejadian yang sangat rahasia yang harus ditutupi. Semoga penyelidikan yang sekarang akan dijalankan oleh Congress di Washington tentang daftar yang dibuat sesudah 1 Oktober 1965 oleh suatu tokoh dari kedutaan AS di Jakarta, tuan Martens, akan memberi kesempatan untuk anggota Congress supaya menuntut informasi tentang periode tiga bulan itu, dan supaya arsip itu akan di- ‘declassified’, jadi akan dibuka untuk diselidiki oleh ahli sejarah dan dunia keilmuan umumnya. Kolko juga memberitahu bahwa Jenderal Sukendro pada tanggal 5 November 1965 minta pertolongan yang tersembunyi dari AS, untuk menerima pesenjataan kecil dan alat komunikasi yang akan dipakai oleh pemuda Islam (Ansor) dan nasionalis untuk menghantam PKI. Kedutaan AS setuju akan mengirim barang-barang itu, yang disembunyikan sebagai obat-obatan (Kolko, hal. 181), dan teks kawat-kawat dari Kedutaan AS ke Washington dari 5/11, 7/11, … dan11/11-65.
Tetapi kita harus sadar bahwa selain dari CIA badan A.S. masih ada badan intelijen negara lain, yang 25 tahun yang silam mungkin berkepentingan dalam menjatuhkan rezim Soekarno: misalnya Pemerintah Inggris, yang pada masa itu masih terlibat dalam pertentangan antara Indonesia dan negeri baru yang didirikan oleh Inggris: Malaysia. Dan lagi negara Jepang mungkin juga harus diperhatikan sebagai calon dalang kejadian itu. Heran, bahwa pada tanggal 2 Oktober 1965 hanya ada satu surat kabar di luar negeri yang tahu, siapa Jenderal Soeharto dan dapat mengumumkan biografinya: Asahi Shimbun. Lagi pula Jepang mendapat manfaat dalam kerjasama dengan Orde Baru.
Mengapa masih penting untuk menyelidiki sejarah peristiwa tahun 1965?
Saya akan baca pendapat saya yang baru-baru ini saya umumkan dalam pendahuluan saya untuk buku kecil yang berisi sajak dari Magusig O. Bungai. Judul kumpulan sajak itu ialah “Sansana Anak Naga dan Tahun-Tahun Pembunuhan”. Dalam sajaknya Hutan pun bukan lagi di mana rahasia bisa berlindung, Magusig O. Bungai menulis tentang pembunuhan massal antas perintah Stalin: 50 tahun berlalu 50 tahun hutan Katyn menutup rahasia 15.000 prajurit Polandia dimasakre di tengah rimba 50 tahun kemudian waktu memaksa kekuasaan terkuat membuka suara menuturkan kebenaran.
Menurut saya penting sekali bahwa Magusig mendorong anak- anak negerinya agar mencari kebenaran. Ahli sejarah Abdurachman Suriomihardjo dalam “Editor” 2 Juni 1990 menulis, bahwa “pembukaan dokumen yang semula rahasia itu sangat membantu rekonstruksi sejarah”. Akan tetapi duduknya perkara masakre di Indonesia 25 tahun yang lalu agak berlainan dari pembunuhan Katyn yang menimpa 15.000 orang perwira Polandia. Kelainannya ialah oleh karena masakre di Indonesia itu pada hakikatnya tidak ada rahasianya sama sekali.
Pembunuhan massal di Indonesia atas tanggung jawab Jenderal Soeharto bukanlah suatu rahasia. Si penanggungjawab ini justru terus-menerus bangga akan perbuatannya. Terhadap masakre benar-besaran pada tahun-tahun pembunuhan sesudah 1965, Soeharto tidak pernah memperlihatkan penyesalannya atas pelanggaran hak azasi manusia yang luar biasa itu. Sebaliknya, ia selalu memamerkan dengan bangga tindakannya yang durjana itu.
Tentang ini telah terbukti sekali lagi baru-baru ini. Dengan adanya pengakuan pers Amerika Serikat, bahwa staf kedubes Amerika Serikat di Jakarta menyerahkan daftar nama-nama kader PKI dan ormas yang dekat dengannya kepada Angkatan Darat Indonesia agar mereka itu ditangkap dan dibunuh, tidak seorangpun juru bicara pemerintah Orde Baru yang memungkiri telah terjadinya pembantaian massal, ataupun mengucapkan penyesalan mereka terhadap peristiwa yang terjadi 25 tahun yang lalu itu. Mereka ini cukup berpuas diri dengan penegasan pengakuan: bahwa militer Indonesia sama sekali tidak perlu menerima daftar tersebut dari pihak asing, oleh karena mereka sendiri cukup mengetahui siapa-siapa kader-kader PKI! Juga di dalam otobiografinya, Soeharto sama sekali tidak menunjukkan tanda, bahwa ia menyesali terhadap jatuhnya korban rakyat sebanyak setengah atau satu juta. Justru sebaliknyalah, terhadap prajurit-prajurit pembunuh pun ia tidak mencela perbuatan mereka. Misalnya dalam hal Kolonel Jasir Hadibroto, dalam “Kompas Minggu”, 5 Oktober 1980 ia menceritakan pengakuannya kepada Soeharto, yaitu bahwa ia telah membunuh ketua PKI DN Aidit tanpa keputusan pengadilan. Dengan jalan demikian Aidit tidak bisa membela diri di depan sidang pengadilan, dan karenanya pula penguasa dengan leluasa dapat menyiarkan ‘pengakuan’ Aidit yang palsu. Kolonel ini justru dihadiahi Soeharto dengan kedudukan sebagai gubernur Lampung. Dalam hal ini tentu saja Soeharto sendirilah yang bertanggung jawab. Karena pembunuhan itu hanya terjadi sesudah Jasir Hadibroto menerima perintah dari Soeharto yang, menurut Jasir, mengatakan: “Bereskan itu semua!”.
Masih cukup banyak hal yang harus dibukakan di depan mata seluruh rakyat Indonesia. Sejarah peristiwa 1965 dan lanjutannya, seperti yang tertera didalam tulisan resmi para pendukung Orde Baru, seluruhnya harus ditinjau kembali dan dikoreksi. Misalnya tentang pembunuhan terhadap para anggota PKI atau BTI (Barisan Tani Indonesia) yang selalu dibenarkan dengan dalih, seakan-akan mereka dibunuh karena “terlibat dalam Gestapu/PKI 1965”.
Barangkali benar, ada beberapa kader PKI yang telah ikut memainkan peranan dalam peristiwa 1 Oktober 1965 itu. Tetapi bisakah ratusan ribu kaum tani di Jawa dituduh terlibat dalam peristiwa penyerangan terhadap 7 orang jenderal pada pagi-pagi buta 1 Oktober 1965 saat itu di Jakarta? Dari berita “The Washington Post” 21 Mei 1990 menjadi jelas, bahwa sejak semula Soeharto telah berketetapan hati untuk menghancur-leburkan PKI. Dalih umum yang dikemukakan oleh Mahmilub atau pengadilan semacamnya adalah bahwa semua anggota atau simpatisan PKI ‘ terlibat dalam peristiwa G30S-PKI ‘.
Dalih demikian pulalah yang dipakai pemerintah untuk membenarkan pembuangan tanpa pemeriksaan pengadilan lebih dari 10.000 orang yang dipandang sebagai simpatisan gerakan kiri ke Pulau Buru, yang pada umumnya selama 10 tahun lebih. Mereka itu dianggap sebagai ‘terlibat secara tidak langsung dalam Gestapu/PKI’ . Lalu, siapakah yang terlibat langsung? Yang betul-betul terlibat langsung adalah seorang yang paling memperoleh untung dari kejadian itu, tak lain tak bukan ialah Jenderal Soeharto sendiri. Semua bahan-bahan itu tentu sangat penting untuk meninjau kembali sejarah peristiwa 1 Oktober 1965.
Ada beberapa hal lagi yang perlu diterangkan. Di tengah-tengah terjadinya pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejumlah kader PKI yang berhasil luput dari malapetaka berhasil mendapatkan tempat berlindung di daerah pegunungan di Kabupaten Blitar Selatan. Di sini mereka hidup bersatu dengan kaum tani miskin setempat, sehingga untuk sementara mereka berhasil membangun lubang perlindungan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Akan tetapi pada 1968 tentara dengan operasi Trisula menghancurkan tempat perlindungan ini, dan menangkap serta membunuh sebagian besar mereka itu.
Pada tahun 70an ‘tokoh-tokoh Blitar Selatan’ ini dihadapkan ke muka pengadilan. Di pengadilan umumnya mereka tidak dituduh ‘ terlibat persitiwa G30S/PKI ‘. Jelas, bahwa pengadilan tidak bisa membuktikan ‘keterlibatan’ demikian. Maka merekapun lalu dituduh sebagai ‘subversi’, yang sejak 1963 juga bisa mengakibatkan jatuhnya hukuman mati bagi si terdakwa. Ini berarti, bahwa pada hakikatnya mereka dituduh subversi dan kebanyakan mereka dijatuhi hukuman mati, semata-mata karena mereka berusaha menyelamatkan diri dari pembunuhan massal yang sama sekali haram itu. Rencana pembunuhan massal ini ternyata akhirnya terbukti jelas oleh siaran pengakuan-pengakuan di dalam pers Amerika Serikat tersebut di atas.
Tokoh-tokoh seperti Munir, Gatot Lestaryo, Rustomo dan Djoko Untung tewas dieksekusi pada tahun 1985. Tapi pada saat ini pun masih ada empat tokoh lagi, yang semuanya berasal dari peristiwa Blitar Selatan itu, yang diancam oleh pelaksanaan eksekusi. Penting sekali bagi dunia luar agar berusaha dengan segala daya untuk menyelamatkan jiwa Ruslan Wijayasastra, Asep Suryaman, Iskandar Subekti dan Sukatno — dan lebih dari itu untuk menyelamatkan jalannya kebenaran sejarah. Untuk ini penelitian kembali sejarah tahun-tahun 1965 dan seterusnya merupakan sarana dan wahana pertolongan satu-satunya. Adalah sebuah kewajiban lagi yang penting, yaitu meneliti kembali duduk perkara Gerwani di dalam peristiwa 1 Oktober 1965.
Dari semula penguasa menuduh gadis-gadis Gerwani di Lubang Buaya berbuat paling keji dan tak tahu malu. Melalui media pers bertahun-tahun disiarkan, seolah-olah mereka dihadirkan di sana oleh PKI untuk melakukan upacara ‘harum bunga’ sambil menari-nari lenso untuk mengantar jiwa jenderal-jenderal itu, melakukan perbuatan-perbuatan tak senonoh, dibagi-bagikan pisau silet, dan lantas ikut ambil bagian dalam perbuat jahat serta menyiksa jenderal-jenderal itu sebelum mereka tewas. Sebagai akibat dari cerita-cerita demikian terbentuklah bayangan, seakan-akan Gerwani adalah perkumpulan perempuan lacur, jahat dan bengis yang harus dihinakan dan bahkan dibinasakan. Cerita-cerita demikian sebenarnya tidak terbukti. Tidak pernah ada suatu proses, di mana dakwaan demikian bisa dibenarkan. Seorang saksi dalam sidang yang, menurut Sudisman ‘terbuka tapi tertutup’ dan ‘serba umum tapi tidak umum’, bernama Jamilah dan yang mereka gunakan sebagai dasar bangunan dongengan itu, adalah soerang perempuan bayaran belaka.
Beberapa tahun yang lalu Profesor Benedict Anderson, di dalam majalah ilmiah “Indonesia”, memuat keterangan resmi dari lima dokter yang memeriksa mayat-mayat para jenderal itu sesudah diangkat dari Lubang Buaya. Jauh sebelum itu, keterangan resmi para dokter ini pun telah diumumkan oleh Soekarno di depan sidang kabinet, sengaja untuk membantah dongengan yang beredar saat itu, yang antara lain mengatakan bahwa mata para jenderal itu telah dicungkil dan bahwa kemaluan mereka dipotong-potong sebelum ditembak mati. Keterangan dokter-dokter resmi itu ringkasnya mengatakan, bahwa tidak ada tanda penyiksaan pada korban, dan tidak sebiji mata pun dicungkil sebelum mereka dibunuh. Penting sekali membersihkan Gerwani dari tuduhan yang tidak adil itu. Terutama sangat perlu, oleh karena sebelum 1965 Gerwani sangat aktif dalam membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Seperti diketahui, sejak Orde Baru berkuasa semua perjuangan untuk kepentingan perempuan melalui pergerakan yang bebas dan mandiri, dianggap oleh penguasa sebagai kegiatan yang harus diharamkan dengan mengingat kepada ‘perbuatan Gerwani’ dalam akhir tahun 1965 itu.
Ada satu tuduhan lagi yang harus dibantah. Dari sejak awal telah disiarkan cerita, bahwa seolah-olah di rumah-rumah orang PKI terdapat (kecuali cungkil mata dan kursi listrik) daftar nama-nama orang yang memusuhi komunisme, dan yang harus dibinasakan sesudah PKI memperoleh kemenangan dengan gerakannya di akhir 1965 itu. Tidak selembar daftar seperti itu bisa dipertunjukkan di pengadilan mana pun. Sekaranglah, sesudah adanya pengakuan pers Amerika Serikat itu, kita ketahui bahwa sesungguhnya daftar orang-orang yang harus dibinasakan itu memang ada. Tetapi, inilah bedanya, daftar yang ada justru bukan daftar bikinan komunis, melainkan daftar yang diberikan oleh Kedubes Amerika Serikat kepada Soeharto yang memuat ribuan nama komunis Indonesia yang harus dibunuh! Dongeng ini seperti dongeng tentang maling yang teriak “Tangkap Maling!”
Penting sekali kesadaran dibangun kembali: Bahwa sebelum 1965 PKI merupakan kekuatan yang patut dibanggakan, oleh karena banyak hal yang telah berhasil dicapai oleh partai dan gerakannya itu. Di dunia Barat sekarang timbul kecenderungan anggapan, bahwa komunisme, dan bahkan sosialisme, telah gagal sebagai ideologi. Kesimpulan seperti ini salah sama sekali! Yang gagal adalah sejumlah pemerintahan yang dikuasai oleh berbagai partai komunis. Yang terbukti gagal adalah, bahwa sistem diktatorial tanpa cukup peranan dari rakyat bawah tidak bisa bertahan dalam jangka panjang.
Jadi, untuk Indonesia, kegagalan seperti itu hanya bisa berlaku bagi rezim Soeharto. Rezim Soeharto pada hakikatnya juga merupakan suatu sistem diktatorial, dengan berbedak demokrasi yang semu belaka. Tetapi sebaliknya, baik ideologi maupun praktek, komunis di Indonesia sama sekali tidak mengalami kegagalan. Ia hanya ditimpa oleh malapetaka dan penindasan secara perkosa, yang ditolong oleh kekuatan anti-komunis luar negeri. Tentu saja ada beberapa tokoh komunis yang, dalam menghadapi keadaan baru dan sangat sulit pada tahun-tahun 60an, melakukan kesalahan penting. Dalam hal ini tentu saja sangat perlu adanya otokritik yang mendalam. Tetapi cukup alasan bagi setiap penganut ideologi kiri untuk mencamkan kata-kata penulis kumpulan puisi itu, yaitu agar ‘mulai menghargai harkat diri’ dan memulihkan perasaan bangga diri.
Terima kasih!
__________________
Makalah Prof. Wertheim ini pernah disampaikan dalam sebuah ceramah pada tanggal 23 September 1990 di Amsterdam.
Panitia Peringatan 40 Thn. Tragedi Nasional 1965 di Negeri Belanda.
http://1965tribunal.org/id/kudeta-1965-menurut-prof-wertheim/
0 komentar:
Posting Komentar