Irwansyah | Harian Indoprogress
lustrasi gambar oleh Dolorosa Sinaga
SETIAP menjelang dan memasuki bulan September, percakapan publik di berbagai media massa di Indonesia dipanaskan oleh perdebatan soal sejarah politik masa lalu yang penuh darah dan air mata rakyat, terutama terkait ‘malapeta 1965’. Kita sebagai bangsa terus terikat pada rantai peristiwa yang dikenang luas masyarakat berjangkar pada peristiwa penculikan sejumlah jenderal Angkatan Darat oleh sebuah gerakan politik yang bermanuver pada September 1965. Semenjak September tahun itu, kita terus disandera oleh Malapeta yang mengikuti pemusnahan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta segala hal yang dapat diasosiasikan dengannya – mulai dari pemusnahan manusia dan organisasi hingga pemusnahan ideologi dan pengetahuan.
Malapetaka kemanusiaan itu berupa pembantaian massal lebih dari ratusan ribu warga negara karena dianggap komunis atau bersimpati kepada komunis. Pembantaian massal yang masih disusul dengan intimidasi, diskriminasi, hingga pelabelan (stigmatisasi) tanpa akhir pada para penyintas (termasuk keluarganya) sebagai ancaman negara dan masyarakat. Dari kebanyakan buku sejarah dan berbagai pemberitaan hingga saat ini, kita dijelaskan bahwa alasan pembantaian itu pada intinya adalah sebagai ‘hal (keji) yang perlu dilakukan untuk membasmi bahaya komunis’ dan ‘reaksi balik dari kekejaman kaum komunis pada masa sebelumnya’.
Mengenai bagaimana cara kita menyelesaikan ‘bahaya komunis’ dan ‘kekejaman komunis’ ternyata tidak pernah menjadi soal yang jelas dipahami sejak September 50 tahun lalu itu. Nyatanya ‘malapetaka 1965’ tersebut justru membukakan jalan lebar bagi deretan panjang pelanggaran HAM lain yang dilakukan secara sistematik dan terlembaga oleh rezim Orde Baru (Orba). Rezim politik yang merebut kekuasaan dan mempertahankannya selama 32 tahun sejak Suharto mengambil alih kekuasaan dari Sukarno pada tahun1966. Dampak mendalam dari berbagai pelanggaran HAM sejak masa Orba tersebut terus terwarisi dalam kondisi dan sistem politik Indonesia hingga saat ini.
Bagaimana sesungguhnya perkembangan soal yang hingga saat ini terus diperdebatkan itu? Jawaban yang paling mudah adalah bahwa dalam kondisi politik Indonesia saat ini, setelah 17 tahun sejak lengsernya Suharto, penyelesaian atas persoalan HAM masa lalu selalu gagal dilakukan. Kita rasanya perlu mengajukan pertanyaan naif: mengapa kita tidak mampu meniadakan warisan persoalan sejarah kelam persoalan HAM masa lalu yang terus membebani hingga saat ini? Padahal dalam ruang politik saat ini lebih mungkin bagi masyarakat untuk menggugat dan mempersoalkan berbagai pelanggaran HAM oleh rezim otoriter Orba.
Tampaknya pendekatan yang mendominasi upaya penuntasan pelanggaran HAM masa lalu adalah pendekatan kelembagaan (institusionalisme dengan akar paradigma liberal) dan pendekatan normatif Hak Asasi Manusia. Secara sederhana kita melihat konsentrasi utama dari perjuangan untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu nyaris berkutat penuh pada upaya mencari solusi kelembagaan dan peraturan negara. Tentu saja kita mendukung harapan mulia untuk mendorong penuntasan pelanggaran HAM masa lalu yang berkekuatan hukum dan mengikat. Namun bila kita mencermati apa yang terjadi selama era ‘reformasi’ hingga saat ini, justru yang tampak adalah kebuntuan penyelesaian di setiap pemerintahan pasca Suharto terjadi di wilayah hukum dan kelembagaan. Menyadari persoalan yang kita temui di tingkat permukaan adalah kebuntuan hukum dan kelembagaan, seharusnya membuat kita mempertanyakan secara kritis kenyataan material dan struktural yang melandasinya.
Orientasi dari pendekatan dominan ini akhirnya bertumpu pada gerakan moral mencari pemimpin yang punya niat baik dan mau menunjukkan kemauan politik menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Kita tentu tidak lupa orientasi tersebut menjadi salah satu tema politik yang vital pada momen pemilu 2014 lalu. Faktanya sejak masa pemilu itu kita sudah melihat malapetaka 1965 telah dijadikan rambu-rambu yang membatasi persaingan antar elit oligarki yang berkompetisi. Tidak mengherankan bila pemerintahan Jokowi saat ini pun mendaur ulang pola kebijakan pemerintahan sebelumnya untuk melanjutkan impunitas (pembiaran). Pada saat yang bersamaan, mobilisasi histeria anti komunis oleh sejumlah tokoh masyarakat dan kalangan pro militerisme kembali digencarkan di tingkat masyarakat. Jadi di satu sisi kita melihat solusi negara dan elit politik atas persoalan pelanggaran HAM masa lalu telah mengalami kebuntuan. Akan tetapi di sisi lain elit politik terus merasa perlu menjaga agenda anti komunis tetap berlanjut di masyarakat.
Analisa atas problem ketidakmampuan menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, menurut hemat saya, harus dipahami sebagai problem struktural konflik sosial sebagaimana dijelaskan oleh teori-teori politik terkini tentang Indonesia. Misalnya, melalui ‘tesis oligarki’ ataupun ‘warisan otoriterisme yang hadir dan berkelanjutan dalam transformasi institusi di era demokrasi’. Penjelasan sederhananya, kedua pendekatan ini mencoba memahami proses yang menyejarah dari keberlanjutan kekuatan, kebijakan dan politik anti demokratik di era paska Orba. Melakukan analisa pertarungan kepentingan ekonomi dan politik berbagai kelompok dan aliansi sosial yang memengaruhi kondisi politik dan hasil-hasilnya.
Faktanya penjelasan struktural atas konflik sosial maupun pendekatan institusionalisme historis kurang digunakan secara luas oleh kalangan akademis maupun aktivis di Indonesia. Misalnya, dalam memahami posisi kekuatan politik yang berperan signifikan dalam ‘malapetaka 1965’, seperti kalangan militer – termasuk para purnawirawan yang kini aktif secara bisnis dan politik. Secara de jure telah terjadi beberapa pembatasan atas peran sosial dan politik militer, tapi secara de facto justru kalangan militer berperan vital dan sangat berkepentingan atas reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki baik di tingkat nasional maupun lokal. Logika yang sama dapat diterapkan untuk memahami berbagai kelompok dan kekuatan sosial yang ada saat ini, terutama dalam kaitannya dengan isu penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.
Sebaliknya kita lebih sering mendengar pembahasan soal keseriusan dan kemauan politik (political will) pemerintah dari kebanyakan studi dan advokasi yang ada saat ini. Jawaban dari pembahasan semacam ini akan mengarahkan pada argumen bahwa niat baik bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk dan tidak dapat ditentukan waktunya. Atau analisa psikologis atau kepribadian pejabat pemerintah, desas desus tentang latar belakang pejabat negara, dsb.
Sementara itu soal kepentingan negara dan para elit politik yang mendominasinya tidak terlalu kita periksa. Belum lama ini dengan terang benderang pemerintahan Jokowi mengatakan bahwa Negara tidak akan meminta maaf kepada korban pembantaian pasca G30S. Statemen ini untuk menanggapi pertanyaan sejumlah kalangan terkait wacana melakukan permintaan maaf kepada keluarga PKI. Pemerintah merasa kepentingan mereka adalah mengatasi masalah ekonomi ketimbang masalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, khususnya terkait malapetaka 1965. Pembahasan mengenai pendefinisian kepentingan pemerintah yang semacam itu dipisahkan dari kepentingan ekonomi politik negara yang tercermin pada fenomena penggusuran, represi, intimidasi, hingga diskriminasi yang terus dialami rakyat pekerja. Kita seharusnya dapat melihat lebih terang hubungan antara operasi politik oligarki dan warisan kebuntuan penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Kita, terutama generasi yang tidak terlibat langsung dalam konteks “malapetaka 1965” punya kepentingan memperdebatan secara luas langkah-langkah strategis untuk membawa kita keluar dari lingkaran setan yang dibentuk oleh rambu-rambu persaingan elit politik oligarki. Langkah strategi haruslah berkaitan dengan tujuan kita yaitu mencegah terulangnya pelanggaran HAM masa lalu pada generasi pasca Orba. Kepentingan kita semakin mendesak justru ketika pejabat-pejabat publik semakin berani menggunakan retorika tidak peduli HAM dan siap melibas siapa saja yang dianggap mengganggu kepentingan negara dan modal. Tak kurang mengkhawatirkan, tidak sedikit kalangan masyarakat awam dan bahkan aktivis yang memberi toleransi terhadap retorika semacam itu.
Fondasi untuk itu tak lain adalah memerangi kesenjangan ekonomi dan politik yang bersifat structural ini. Tentu tetap perlu ada perjuangan mendorong upaya kelembagaan, termasuk perundangan dan mekanisme penegakan HAM. Akan tetapi pada akhirnya keadilan kelembagaan baru bisa dilaksanakan bila basis ekonomi ekonomi politik dari pertarungan politik juga berubah. Yakni kala kelompok yang lemah di masyarakat terorganisir solid dalam melakukan perimbangan kekuasaan mengimbangi kekuatan kalangan yang menguasai jaringan dan sumber daya ekonomi dan politik, termasuk kendali atas negara. Fondasi inilah yang lenyap sejak akhir September 50 tahun lalu.***
http://indoprogress.com/2015/09/memahami-september/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29
0 komentar:
Posting Komentar