Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
HISTORIA.CO.ID - Sekelompok aktivis, peneliti dan pegiat HAM berikhtiar menyelenggarakan Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag, Belanda. Dua hakim internasional siap mengadili.
BUKTI-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah banyak terungkap. Komisi Nasional HAM pada 2012 yang lalu juga telah menyerahkan hasil penyelidikan pro justisia pelanggaran berat HAM peristiwa 1965 ke Kejaksaan Agung. Namun sampai hari ini belum ada kejelasan sikap pemerintah atas tragedi kemanusiaan itu.
Presiden Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden berjanji akan “menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu termasuk 1965.” Tapi harapan menipis saat Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada peringatan Hari HAM sedunia 10 Desember lalu, menyatakan pemerintah tak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu.
“Dari pertimbangan tersebut, saat diskusi film Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Den Haag pada 22 Maret 2013, kami bersepakat akan memberikan tekanan internasional kepada pemerintah Indonesia,” ujar Nursyahbani Katjasungkana, koordinator sekretariat International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), pada peluncuran situs www.1965tribunal.org, di gedung Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta (17/12).
Tekanan internasional itu berupa Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), yang akan dilaksanakan pada Oktober 2015 di Den Haag, Belanda, bertepatan dengan setengah abad peristiwa 1965. Untuk sampai ke sana, sekretariat IPT 65 bekerjasama dengan organisasi-organisasi penyintas, pegiat HAM, akademisi, peneliti, seniman, jurnalis, mahasiswa, dan berbagai tokoh masyarakat serta aktivis prodemokrasi nasional dan internasional.
Sekretariat IPT 65 di Indonesia dan Belanda akan mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumen masa lalu, materi audiovisual, pernyataan para saksi atau testimoni dan alat bukti lain yang akan dipresentasikan dalam sidang.
“Segala macam testimoni terkait masalah 65 dapat dikirim pada situs IPT, dan nanti akan ada tim yang mengolah,” ujar Saskia Eleonora Wierenga, koordinator peneliti IPT 65, yang juga penulis bukuPenghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI.
Prosedur IPT 1965 berupa sidang HAM formal, bukan sidang kriminal yang menuntut seseorang atas dakwaan melakukan perbuatan pidana. Melainkan penuntut akan mendakwa negara Indonesia agar bertanggungjawab secara moral dan hukum berdasarkan bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang tersebar luas dan sistematis pasca 1965-1966. Majelis hakim akan melakukan penghakiman dengan menguji bukti-bukti dan membangun rekam sejarah yang akurat dan sahih sebagai dasar untuk memberikan putusannya. Pembacaan putusannya akan dilaksanakan pada 2016 di Jenewa, Swiss.
Menurut Nursyahbani, yang telah bersedia menjadi hakim adalah Elizabeth Odio Bonito, mantan ketua majelis hakim pengadilan internasional Yugoslavia, dan Helen Jarvis, mantan hakim pengadilan internasional Kamboja.
IPT 65 akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan sepanjang 2015 yang diharapkan dapat membantu proses pemulihan para penyintas serta keluarganya. Pengadilan Rakyat Internasional 1965 pada akhirnya akan menciptakan iklim politik di Indonesia, dimana HAM diakui dan dihormati.
WASHINGTON DC—Dalam sidang DPR Amerika hari Rabu mengenai kebijakan
luar negeri, Senator Partai Demokrat asal dari negara bagian New Mexico
mengatakan Indonesia harus mengatasi pelanggaran HAM di masa lalu jika
ingin berperan sebagai pemimpin regional dan global.
“Indonesia
memiliki peran besar untuk bermain sebagai pemimpin regional dan global
tetapi dalam peran tersebut harus ada demokrasi inklusif, kunci untuk
ini adalah mengatasi pelanggaran HAM masa lalu. Khususnya pembunuhan
massal yang dilakukan pada tahun 1965 dan 1966,” kata Tom Udall.
Kemitraan
erat antara Amerika dan Indonesia menggugah Senator Tom Udall
menganjurkan cara penyelesaian peristiwa pembunuhan masal yang terjadi
hampir 50 tahun lalu.
“Saya mengusulkan dua hal; Pertama saya
mendesak pemerintah Indonesia yang baru untuk membentuk komisi kebenaran
dan rekonsiliasi guna menyelesaikan masalah kejahatan ini. Kedua saya
mendesak pemerintah Amerika untuk membentuk kerjasama antar lembaga dan
merilis dokumen rahasia terkait peristiwa tersebut. Amerika harus
menjelaskan apa yang diketahuinya dan mengungkap informasi yang ada,”
kata Udall.
Senator Tom Udall mengakui peristiwa 1965-1966 di Indonesia adalah sejarah yang menyakitkan.
“Ini
adalah sejarah menyakitkan mengingat pada tanggal 1 Oktober 1965, enam
jenderal Indonesia tewas, yang menurut pakar dibunuh oleh personel
militer tetapi Partai Komunis Indonesia yang dituduh menyebabkan
kematian tersebut untuk membenarkan pembunuhan massal. Beberapa bulan
kemudian menjadi periode mengerikan bagi masyarakat Indonesia dimana CIA
telah menyebutnya periode terburuk pembunuhan massal terhadap ratusan
ribu orang pada abad ke-20. Ribuan lainnya banyak yang mati di penjara,
kelaparan, disiksa, diperkosa dan dihilangkan secara paksa di seluruh
Indonesia,” papar Udall.
Tom Udall mengatakan orang-orang yang
menjadi sasaran kekejaman itu adalah yang diduga terkait dengan PKI dari
berbagai kalangan termasuk, perempuan, guru, intelektual, dan yang
lainnya yang tidak bersenjata. Mereka dibunuh tanpa proses hukum.
Senator Udall juga menjelaskan mengapa penyelesaian peristiwa masa lalu
ini penting.
“Mereka yang selamat dan dari keturunan korban terus
terpinggirkan, banyak diantara pelaku pembunuhan masih hidup bebas tanpa
hukuman dan sangat sedikit warga Amerika yang menyadari sejarah ini,
atau tindakan pemerintahnya selama ini. Peristiwa ini menuntut perhatian
dan keteguhan kita karena Amerika dan Indonesia bekerja sama untuk
membangun kemitraan yang kuat di Asia Pasifik,” lanjut Udall.
Tom
Udall mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Indonesia pada era
1965-1966 penting demi demokrasi dan perdamaian yang stabil.
Penyelesaian yang dianjurkannya adalah dukungan bagi kemajuan demokrasi
Indonesia dan kemitraan Amerika-Indonesia.
Sikap naif bisa muncul di mana saja, bahkan di kampus seperti Universitas Brawijaya Malang, yang baru-baru ini melarang pemutaran film Senyap-atau The Look of Silence. Hal ini amat disesalkan. Tak selayaknya perguruan tinggi menjadi tertutup terhadap karya sinematografi yang bermutu hanya karena ada yang memprotesnya.
Pemimpin Universitas Brawijaya tak mengizinkan pemutaran film Senyap di fakultas ilmu budaya dengan alasan klise: menjaga ketenangan kampus demi kegiatan belajar-mengajar. Tapi kampus ini sebenarnya sedang mematikan daya nalar mahasiswanya sembari melestarikan mitos "bahaya laten komunisme". Sebab, Senyap sebenarnya jauh dari upaya "penyebaran ajaran komunisme".
Film itu mengisahkan keluarga korban pembantaian massal, yang terjadi pada era seputar peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto pada 1965. Bagi sebagian kalangan, angle yang diambil Senyap mungkin dianggap sensitif. Selalu muncul pertanyaan di kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama, termasuk ketika Oppenheimer membuat film sebelumnya, Jagal: mengapa "pembantaian" terhadap para ulama oleh Partai Komunis Indonesia tidak pernah dipersoalkan? Padahal film garapan Joshua Oppenheimer ini hanya satu dari sekian banyak sudut pandang tentang Peristiwa 1965.
Sudut pandang dan materi dalam film Senyap, tentu saja, belum tentu seluruhnya benar. Kampus sebenarnya merupakan tempat yang paling tepat untuk mendiskusikan tragedi kemanusiaan itu dari berbagai perspektif. Mahasiswa berkesempatan saling menguji pikiran dan pendapat. Keterbukaan warga akademis akan menghidupkan toleransi di kalangan mahasiswa, sekaligus menghargai perbedaan.
Larangan pemutaran film Senyap di Universitas Brawijaya menunjukkan semakin sempitnya pemikiran di kalangan terdidik. Sebab, pada saat yang sama, kita menyaksikan tumbuhnya intoleransi di kampus lain. Aneka seminar menentang pluralisme, misalnya, digelar di sejumlah kampus-yang anehnya justru tidak pernah mendapatkan masalah dalam hal perizinan. Kecenderungan ini sangat memprihatinkan, terutama karena muncul dari perguruan tinggi.
Petinggi Universitas Brawijaya semestinya tidak perlu terlalu khawatir akan pemutaran film yang dianggap kontroversial seperti Senyap. Film ini justru bisa memantik pemikiran mahasiswa, sehingga terbuka kemungkinan kelak mereka membuat film dokumenter lain yang bisa saja senada atau, sebaliknya, bertentangan sama sekali. Pemimpin kampus juga tak seharusnya mengikuti paranoia militer tentang "ajaran terlarang komunisme".
Pemerintah sepatutnya menegaskan kembali kebebasan akademis di kampus itu. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi perlu memberikan jaminan kepada mahasiswa untuk bisa mendiskusikan apa pun yang berguna bagi kepentingan pendidikan mereka. Larangan memutar film di kampus tidak boleh terjadi lagi di masa mendatang. Tanpa sikap terbuka, kampus hanya akan menghasilkan alumnus yang naif dan alergi terhadap perbedaan. *
Usulan Resolusi Senat Amerika Serikat Mengutuk Pembunuhan Massal
1965-1966 di Indonesia dan Mendesak Pemerintah Amerika Serikat Untuk
Membuka Dokumen Rahasia Tentang Peran Amerika Serikat Dalam Pembunuhan
Massal 1965-1966.
Pada 10 Desember 2014 dalam Kongres Amerika
Serikat Senator Tom Udall mengajukan usulan Resolusi Mengenai Indonesia.
Usulan tersebut secara khusus membahas mengenai pembunuhan massal
1965-1966 terhadap orang-orang yang dituduh sebagai komunis atau
pendukungnya.
Dalam pertimbangannya resolusi ini menyebutkan
pengakuan bahwa pemerintah Amerika Serikat menyediakan bantuan keuangan,
militer, dan intelijen kepada Angkatan Darat Indonesia selama masa
pembunuhan massal tersebut dan melakukannya dengan kesadaran bahwa
pembunuhan tersebut sedang berlangsung dan tercatat dalam dokumen
rahasia Departemen Luar Negeri AS.
Pertimbangan dalam resolusi
ini juga menyebutkan bahwa bantuan AS kepada pemerintahan Suharto
berlangsung selama lebih dari 3 dasawarsa sekalipun kejahatan terhadap
kemanusiaan yang dilakukan pemerintahan Soeharto terus berlangsung.
Resolusi Mengenai Indonesia yang diajukan tersebut berisi empat butir
yang berinti pada dua hal. Pertama, mendesak pemerintahan baru Indonesia
untuk membentuk komisi rekonsiliasi dan kebenaran untuk menangani
kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut.
Kedua, resolusi ini menyerukan
kepada pemerintah Amerika Serikat sendiri untuk membuka dokumen rahasia
yang relevan dengan pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia. Usulan
resolusi ini pada butir pertamanya mengutuk pembunuhan massal 1965-1966
di Indonesia.
Senator Tom Udall dalam pidato pengantarnya
menyampaikan bahwa resolusi ini bukanlah sebuah penentangan terhadap
pemerintahan baru di Indonesia melainkan sebuah kesempatan untuk
penegakan keadilan dan rekonsiliasi.
“Sebab-sebab terjadinya pembunuhan
massal tersebut memang rumit, namun demikian kerumitan membolehkan kita
mengabaikan atau melupakan mereka yang menderita karenanya. Dan kita
juga tidak boleh berpura-pura tidak tahu adanya peran pemerintah AS
sendiri dalam masa tersebut.”
Gagasan tentang resolusi ini
tercetus setelah Senator Tom Udall mengadakan pemutaran dan diskusi film
Jagal/The Act of Killing di depan senator dan staf di Washington, DC
pada bulan Februari 2014.
Pada kesempatan tersebut sutradara film
Jagal—yang juga menyutradarai film Senyap/The Look of Silence—Joshua
Oppenheimer menyampaikan, “ “Amerika Serikat dan Indonesia tidak akan
memiliki hubungan yang etis selama pemerintah Amerika Serikat belum
menjelaskan secara terbuka dan meminta maaf atas partisipasinya dalam
pembantaian massal 1965 di Indonesia serta dalam mendukung rezim
otoriter yang dibangun sesudahnya.”
Jika film Jagal bercerita
tentang pembunuhan massal 1965-1966 di Sumatera Utara dari perspektif
korban, film Senyap bertema sama namun cerita berangkat dari perspektif
korban. Film Senyap diluncurkan pada 10 November 2014 oleh Komnas HAM RI
dan Dewan Kesenian Jakarta. Dalam rangka memperingati hari HAM sedunia,
film Senyap diputar luas lewat 450-an pemutaran komunitas di 56 kota di
seluruh Indonesia pada 10 Desember 2014, bersamaan dengan diajukannya
resolusi ini oleh Senator Tom Udall di Washington, DC, Amerika Serikat.
“Resolusi Senat ini adalah bentuk solidaritas antar manusia terlepas
dari masalah ras, etnis, agama, dan kebangsaan. Persoalan yang dihadapi
korban-korban pelanggaran HAM di Indonesia, bukan cuma masalah
korbannya, bukan cuma masalah Indonesia, tapi masalah semua manusia di
dunia” demikian Adi Rukun, tokoh utama dalam film Senyap, menanggapi
resolusi ini.
Transkrip pidato pengantar Senator Tom Udall untuk Usulan Resolusi Mengenai Indonesia Indonesia Floor Statement Senator Tom Udall
December 10, 2014
Madame President, our nation and Indonesia enjoy a strong relationship,
reflected in the U.S.-Indonesia Comprehensive Partnership of 2010. This
partnership is robust and growing. It serves both our countries, for
bilateral, regional and global cooperation. The election of President
Widodo in July is a step forward, part of a great democratic transition
over the past two decades in Indonesia. We are working together—for
economic growth, for the environment, and for our security.
This
is progress, and to be encouraged. Indonesia has a major role to play,
as a regional and global leader. But, in that role, it must be an
inclusive democracy. Key to this is to address past human rights abuses,
specifically the mass murders committed in 1965 to 1966.
Next
year is the 50th anniversary of these killings. I rise
today—International Human Rights Day—to introduce a resolution
concerning these events, which Indonesia’s own Human Rights Commission
has labeled a crime against humanity. But, let me be clear. This is not a
censure of the people of Indonesia or Indonesia’s new government. It is
an opportunity for justice and for reconciliation. The events took
place decades ago. The reasons behind them are complex. But, that cannot
justify ignoring the past or forgetting those who suffered under it.
Nor can we ignore our own government’s role during that time.
My
resolution proposes two things. First, I urge Indonesia’s new government
to create a truth and reconciliation commission to address these
crimes. Second, I urge our own government to establish an interagency
working group and to release relevant classified documents. We should
make clear what was known to us, and we should make this information
available.
It is a painful history to recall. On October 1, 1965,
six Indonesian Army generals were killed. According to scholars, these
generals were killed by military personnel. But their deaths were blamed
on Indonesia’s Communist Party, which was used to justify mass murders.
The next few months were horrific for the Indonesian people. The C.I.A.
has called it one of the worst periods of mass murders in the twentieth
century. Hundreds of thousands were killed. Many others were
imprisoned, tortured, raped, starved, and disappeared across the
country. These individuals were targeted for their alleged association
with Communism, but they came from all walks of life, including women’s
groups, teachers, intellectuals, and others. Most were unarmed, and none
had due process of law.
The U.S. provided financial and military
assistance during this time and later, according to documents released
by the State Department, and General Suharto consolidated his power,
ruling from 1967 until 1998.
Some may ask. Why is this
resolution needed? Why now? Here’s why. The survivors, and descendants
of victims, continue to be marginalized. Many of the killers continue to
live with impunity. Very few Americans are aware of these historical
events, or our own government’s actions during this time. These events
demand our attention and resolution, as we work together to build a
strong Asia Pacific region.
I am proud to serve on the Senate
Foreign Relations Committee. An important goal is the development of
peaceful, stable democracies—democracies that provide security and hope
to their own people, and economic opportunity with businesses in my
state and across the U.S.
Indonesia is the world’s third largest
democracy. Its population is diverse. It has the largest Muslim majority
population in the world. It has faced many challenges, and continues to
move forward.
A strong U.S.-Indonesia relationship benefits both
our countries. I offer this resolution in support of that relationship,
and Indonesia’s continued progress as a growing democracy and a vital
U.S. ally.
Pada tahun 2010 aku berkesempatan mengikuti salah satu sessi workshop film dokumenter bersama Tomy W Taslim di sebuah rumah belajar tepi jalan Merden Purwanegara. Pada saat itu aku mengajukan pendapat bahwa sebuah film dokumenter sejatinya memiliki tugas kewajiban untuk dapat dan berani membunyikanyang dibungkam dan menyuarakan yang dibisukan... Beberapa tahun kemudian, saat mengetahui kabar kelahiran sebuah film dokumenter karya Joshua Oppenheimer yang dibuat bersama sutradara anonimus Indonesia; hati ini terperanjat.
Hari ini aku menonton sekaligus 2 sekuel film dokumenter Joshua, The Act of Killing dan The Look of Silence; bersama belasan teman dan kolega. Gerimis Desember melembab basah di tempat-tempat rendah. Tak banyak orang yang merubung tempat kami menonton karena memang urung dipublikasikan secara konvensional dan terbuka, selain secara virtual di medsos saja. Tokh tak mengurangi kekhidmatan menyaksikan film yang kami proyeksikan ke dinding. Ke dua film dokumenter Joshua ini, Jagal dan Senyap, jadi terasa istimewa bukan saja karena serentak diputar di lebih dari 133 tempat di berbagai kota dalam kerangka peringatan Hari HAM se Dunia. Melainkan juga karena film ini berhasil menyingkap apa yang selama lebih dari setengah abad dirahasiakan sebagai borok kebusukan oleh negara. Tetapi secara lugas justru dibuka sendiri secara terang-terangan oleh para pelaku sekaligus korbannya. Ke 2 film dokumenter ini memang mengangkat tema yang sama yakni pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh pendukung PKI di tahun antara 1965-1966 dan bahkan juga tahun-tahun berikutnya; meskipun jutaan orang korbannya tak mengerti ihwal kesalahan apa yang sesungguhnya terjadi di elite partainya. Barangkali memang ada kesalahan sejarah dalam tubuh atau bagian kepala partai politik bernama PKI; di masa lalu itu. Tetapi kesalahan sejarah seperti ini justru menjadi kesesatan tambahan lagi manakala terjadi pembantaian terbengis untuk menghukuminya. Sebelum berurutan lahir 2 film dokumenter Joshua ini, aku juga pernah menyimak film dokumenter mengenai tema yang sama dan dibuat oleh Lembaga Pembebasan yakni Kado Buat Rakyat Indonesia.
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam catatan sejarah bangsa ini masih menjadi momok yang menakutkan. Doktrin dan stigma yang disematkan oleh rezim Orde Baru pada partai sempalan dari Sarekat Islam ini sampai sekarang masih mengakar kuat di pikiran masyarakat. Segala macam buku sejarah maupun buku pelajaran masih saja menceritakan kisah-kisah kekejaman partai ini.
Ketika Orde Baru tumbang, tak serta merta catatan hitam PKI versi pemerintah ikut tumbang. Semua itu tetap tersimpan di ingatan banyak orang. Yang menarik, isu PKI ini sempat dijadikan isu sensitif oleh salah satu pasangan capres dan cawapres dalam menjatuhkan lawan politiknya. PKI yang juga memiliki jasa bagi kemerdekaan bangsa ini menjadi sasaran empuk oleh mereka yang hanya mengenal sejarah PKI versi pemerintah Orba.
Isu mengenai PKI ini jugalah yang membuat seorang sineas muda asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, mengangkat kembali sejarah pasca tumbangnya partai ini. Banyak kisah yang tak tersampaikan kepada masyarakat bahwa ada ratusan ribu, bahkan jutaan, nyawa tak berdosa menjadi tumbal awal mulanya berdirinya rezim Suharto.
Rakyat biasa yang pekerjaan sehari-hari sebagai petani menjadi korban pembunuhan massal. Seperti peristiwa holocaust Nazi di Jerman, begitu jugalah yang terjadi di Indonesia.
Perbedaan antara Nazi dan Orba adalah cara membunuh yang digunakan. Bila Nazi menggunakan berbagai macam alat seperti kamar gas, senjata, maupun alat eksperimen, Suharto menggunakan rakyat sipil untuk menjalankan aksinya.
Dengan mengerahkan berbagai macam kalangan baik intelektual, rohaniawan, maupun rakyat jelata, Suharto mampu memobilisasi mereka semua untuk membasmi dan membantai orang-orang, baik anggota PKI maupun simpatisan PKI. Dengan dalil bahwa darah orang-orang ini halal, sesuai perintah agama, serta sebuah tindakan yang nasionalis. Masyarakat yang tersulut ini begitu bangga melakukan kekejian tanpa merasa bersalah, bahkan di antara mereka ada yang riang gembira melakukan pembunuhan secara massal tersebut.
Melalui dua film yang dibuatnya, Jagal dan Senyap, Joshua ingin menyampaikan sebuah kekejian yang hilang dari buku sejarah bangsa ini, bahwa ada begitu banyak nyawa yang menjadi korban dari sebuah pergulatan politik. Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai dua film yang dibuatnya serta motivasi apa yang menggerakkan dirinya mengisahkan peristiwa tragedi 65 ini, berikut petikan wawancara Citizen Daily dengan Joshua Oppenheimer:
Apa motivasi awal Anda ingin membuat film tentang Indonesia, khususnya daerah Sumatera Utara?
Pada mulanya saya datang ke Indonesia atas undangan serikat buruh pangan internasional untuk membuat film mengenai serikat buruh perkebunan di Sumatera. Saya datang pada 2001, tiga tahun sesudah reformasi.
Saya mengira akan memfilmkan situasi Indonesia yang sedang berubah dan serikat buruh independen yang bersemangat mengubah keadaan. Kenyataannya tidak demikian.
Sesudah reformasi itu buruh masih hidup dalam penderitaan dan ketakutan, organisasi mereka menemui banyak sekali kesulitan. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan bahwa kekerasan dan pembunuhan massal akan terjadi lagi kalau mereka menuntut perbaikan hidup seperti yang pernah dilakukan oleh paman, ayah, ibu, dan kakek-nenek mereka yang dulu tergabung dalam serikat buruh dan tani.
Saya berusaha memfilmkan akar persoalan ini dengan mewawancari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965, tetapi selalu diganggu oleh aparat kemanan, militer, intel, atau orang-orang (preman-Red) yang disewa perusahaan. Keluarga korban dan penyintas pun merasa waswas karena kini mereka juga jadi diawasi oleh aparat keamanan. Mereka diintimidasi agar tidak bicara kepada saya.
Para penyintas mendesak saya, “Sebelum kamu menyerah dan pulang, cobalah filmkan para pelaku. Mereka mungkin akan menceritakan bagaimana mereka membunuh saudara-saudara kami.”
Kalimat ini yang menjadi motivasi bagi saya. Ada sebuah cerita penting dari masa lalu yang disembunyikan yang menjadi sumber dari berbagai masalah kemanusiaan hari ini; mengenai kematian kebudayaan, gagalnya demokrasi, korupsi, dan kekerasan yang terus-menerus menggejala ketika normalitas kehidupan bermasyarakat dibangun di atas kebohongan dan teror.
Secara pribadi, sebagai keturunan penyintas Holocaust, ketika saya mewawancarai para pembunuh massal yang dengan bangga membualkan kejahatannya, saya merasa sedang berada di Jerman, hari ini, dengan Nazi yang masih berkuasa dan menang.
Jika kejahatan terhadap kemanusiaan bisa diceritakan sebagai sebuah perjuangan heroik, jika para pembunuh massal menang dan menulis sejarah —seperti kata-kata klise, “Sejarah ditulis oleh para pemenang”—kita harus melihat ulang dunia kita. Kita harus menilai ulang apa arti menjadi manusia.
Dan ini bukanlah masalah Indonesia semata, ini adalah juga masalah Amerika Serikat, Inggris, dan negara lain. Ini adalah masalah umat manusia.
Kalau dilihat dari sudut pandang dan cerita yang Anda angkat, ini sangat berbeda dengan mayoritas sineas muda di Indonesia yang selalu mengangkat tema tentang Indonesia dari segi sejarah yang tak terlalu tabu untuk difilmkan. Anda membuat film yang berbeda. Apa alasannya?
Indonesia adalah bangsa yang punya sejarah yang panjang dan kaya. Ada banyak bagian dalam sejarah Indonesia yang cukup menarik untuk dijadikan film. Hanya saja persoalannya, bagi saya, sejarah pembantaian 1965 yang dianggap tabu itu justru adalah yang punya dampak penting dan kuat sampai hari ini.
Pembantaian 1965, justru karena disembunyikan dan ditabukan, menjadi sangat relevan dalam mengkritisi Indonesia hari ini. Dan ini sangat penting kalau kita mau merancang sesuatu untuk masa depan.
Ada kejadian luar biasa besar dan penting dengan dampak sangat besar pada Indonesia hari ini, tetapi justru disembunyikan dan digelapkan; dan ini menggandakan kekuatan alasannya. Pertama karena hal tersebut penting, kedua bagaimana mungkin hal tersebut justru digelapkan.
Bagaimana proses dan cara bekerjanya penggelapan itu, bagaimana cara bertutur (story telling) yang mengiringi proses penggelapan ini. Dan semakin Anda menelisik proses itu, semakin kita bisa melihat berbagai kepentingan di belakangnya.
Kesimpulan dari film Jagal mungkin tidak mengenakkan; bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku itu daripada yang ingin kita bayangkan. Ini adalah pil pahit yang harus ditelan kalau kita mau bergerak ke arah perubahan.
Film Senyap memberikan harapan kesembuhan itu walaupun redup. Kita bisa berubah kalau kita mau melihat diri dengan lebih jujur.
Bicara tentang tragedi 1965, apa pandangan Anda mengenai peristiwa ini?
Indonesia selalu berada di dalam percaturan perebutan kekuasaan dunia karena dunia punya kepentingan yang besar pada wilayah yang kaya dan padat penduduk ini. Pembantaian massal 1965 adalah salah satu titik puncak dari pergulatan kepentingan politik dunia; antara negara-negara Barat yang ingin menguasai kembali sumber daya Indonesia setelah meninggalkan zaman kolonial dengan bangsa Indonesia yang sedang mencari jalannya sendiri.
Pembantaian massal 1965 meninggalkan bekas yang mendalam pada Indonesia hari ini. Di atas pembantaian dan kuburan massal inilah rezim impunitas, yang tidak pernah meminta pertanggungjawaban para pelakunya, dibangun.
Ketika impunitas menggejala, ketidakadilan merajalela. Warga negara tidak pernah benar-benar setara di depan hukum. Mereka yang membunuh ratusan manusia tak bersalah, mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu sampai satu juta orang, mereka yang merampas hak dan masa depan jutaan keluarga, tidak pernah dihukum.
Tanpa kesetaraan di depan hukum, demokrasi kehilangan tonggaknya.
Apa yang ingin Anda sampaikan dari film Jagal dan Senyap?
Pada Jagal dan Senyap kita bisa melihat bagaimana kekerasan ekstrem merusak sendi-sendi kemanusiaan dan memporakporandakan kehidupan. Setiap peristiwa kekerasan massal menciptakan trauma bagi pelaku dan terutama bagi para korbannya.
Setelah semua kehancuran itu, di atas puing-puing itu, yang tersisa adalah pertanyaan bagi semuanya, bagaimana kita memaknai ini semua?
Para pelaku, kita lihat di kedua film tersebut berusaha memaknai kekerasan itu dengan propagandanya, sebuah alasan untuk meyakinkan diri bahwa apa yang diperbuatnya itu perlu dan benar. Di seberangnya para korban melihat kekerasan itu sebagai sebuah kejahatan dan mereka tidak punya kesalahan apa pun sehingga tidak pantas diperlakukan sedemikian keji.
Di sini kedua pernyataan menjadi kontradiktif, dan acuan mengenai salah dan benar menjadi hilang. Lebih dari sekadar siapa salah dan siapa benar, siapa perlu dihukum dan siapa perlu direhabilitasi, saya melihat yang pertama kali adalah yang menjadi korban adalah kebenaran. Itu sebabnya rekonsiliasi, pertama kali, adalah pengungkapan kebenaran, ketika semua cerita disampaikan tanpa rasa takut, ketika dengan pikiran jernih kita bisa kembali melihat acuan mana yang benar dan mana yang salah dengan terang benderang.
Kedua film saya bukanlah semata-mata film tentang Indonesia karena kekerasan massal bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan hanya terjadi pada tahun 1965, melainkan juga di Serbia, Rwanda, Jerman, Suriah, di abad yang lalu dan juga masih terjadi di abad ini. Ada sebuah pertanyaan yang bukan hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga pada umat manusia.
Kadang kita bisa mencegah kekerasan terjadi meluas, tetapi ketika kekerasan massal itu sudah terjadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membenahinya dan menjamin bahwa kekerasan massal itu tidak akan terjadi lagi? Satu hal yang kita tahu, kita tidak bisa menjamin kekerasan massal tidak berulang, kalau kita belum membenahi dan menyelesaikan persoalan kekerasan massal di masa lalu.
Kelihatannya, dari situasi dunia saat ini, dengan perang dan konflik bersenjata masih terjadi hari ini di berbagai tempat, kita masih perlu waktu panjang untuk mendapatkan jawaban yang baik. Yang perlu kita ingat, jawaban yang baik hanya datang ketika kita bertanya, dan seperti Adi Rukun, saat yang tepat untuk bertanya adalah sekarang.
Apakah menurut Anda, upaya rekonsiliasi itu bisa dilaksanakan, mengingat masih ada Tap MPRS 1966 yang membuat mereka yang dituduh komunis masih dianggap aib bagi bangsa ini?
Rekonsiliasi adalah sebuah jalan yang berat. Rekonsiliasi tidak pernah berjalan mulus. Ada ketidakenakan, kegelisahan, dan ketakutan yang harus dihadapi. Rekonsiliasi adalah jalan yang berat, tetapi bukan jalan yang tak mungkin.
TAP MPRS tahun 1966 yang melarang disebarluaskannya ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu adalah juga salah satu penghalang terjadinya rekonsiliasi. Dalam arti, selama TAP MPRS itu masih ada, selama itu pula negara mempertahankan cerita resminya mengenai G30S, mengenai pembunuhan massal yang dianggap sepatutnya, dan mengenai asumsi dasar yang mendasari propaganda Orba merendahkan nilai-nilai kemanusiaan bahwa pembantaian massal semuanya dilakukan pada komunis. Bahwa komunis adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya penculikan dan pembunuhan perwira tinggi dalam G30S, bahwa komunis pasti orang yang bermoral, dan oleh karenanya pembantaian massal 1965, bukan hanya wajar, tetapi juga diperlukan.
TAP MPRS tahun 1966 adalah tonggak kekacaubalauan cerita resmi versi pemerintah. Kalau pemerintah mau berubah, bukan hanya sikap dan hukum saja yang perlu diubah, tetapi juga cara bagaimana Indonesia menceritakan sejarahnya sendiri. Tanpa perubahan pemahaman mengenai sejarah, tanpa upaya memaknai peristiwa dalam sejarah, juga bagaimana menafsir sejarah itu ke dalam hukum dan kebijakan, rekonsiliasi hanya akan menjadi ajang maaf-maafan, yang bahkan tidak menyebutkan maaf untuk kesalahan dan kejahatan yang mana.
Memelihara cerita resmi dan tafsir tunggal atas sejarah—lebih buruk lagi, cerita dan tafsir yang dibuat oleh rezim pembantai massal—adalah menolak rekonsiliasi. Ketika antikomunisme masih dijadikan propaganda, yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, melainkan rekonfirmasi pada rezim lama.
Bagaimana pandangan tentang Presiden Jokowi? Yang seperti kita ketahui kita masa kampanye pilpres kemarin ada tuduhan kalau dia sebagai antek dari Komunis?
Pada Jokowi ada harapan. Jokowi menulis dalam janji kampanyenya sebuah komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dari masa lalu, termasuk tragedi 1965, dan menghapus segala bentuk impunitas. Ini yang membedakan ia dari pesaingnya, Jenderal Prabowo yang justru sibuk menangkis tuduhan sebagai pelanggar HAM.
Yang kita punya sekarang barulah sebuah janji, dan itu artinya ada pekerjaan besar bagi rakyat Indonesia untuk mendesak dan mendukung Presiden Jokowi untuk memenuhi janjinya itu.
Lucunya, Jokowi pada masa kampanye bukan hanya dituduh keturunan atau antek komunis, ia juga dituduh antek Amerika Serikat. Ini menunjukkan kekacauan pikiran penuduhnya. Kita bisa melihat betapa tuduhan atau fitnah asal-asalan masih menggejala di Indonesia, dan ini bukan perkara ringan. Dari pembantaian dan kekerasaan massal 1965, kekerasan massal 1998, konflik Ambon, dan banyak kasus kekerasan lainnya kita bisa lihat betapa kekerasan yang meluas bisa disulut dari fitnah yang asal-asalan seperti ini.
Kita harus belajar berpikir dengan lebih jernih, melihat manusia terlebih dahulu sebagai manusia dengan berbagai kesamaannya, sebelum menghakiminya dengan predikat ideologi, etnis, agama, dan embel-embel lainnya.
Bagaimana juga pandangan Anda terhadap Jusuf Kalla yang merupakan pasangannya dia saat ini di pemerintahan RI?
Saya sangat kecewa dengan pemilihan Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi. Jusuf Kalla, sekalipun bukan pimpinan Pemuda Pancasila, ia sama sekali tidak keberatan hadir dalam acara Pemuda Pancasila dan memuji organisasi itu sebagai diperlukan, dan bahwa menggunakan kekerasan—berkelahi—itu perlu.
Itu menunjukkan bahwa ia masih menjadi bagian dari rezim lama dengan cara pandang lama. Ia tidak cukup banyak belajar sejarah—yang sebenarnya, bukan sejarah resmi—dan mengetahui bagaimana Pemuda Pancasila, serta organisasi massa lainnya, terlibat dalam pembantaian massal dan pelanggaran HAM berat.
Walaupun begitu, jika saya harus memilih antara Jusuf Kalla yang memuji Pemuda Pancasila dan Jenderal Prabowo; memilih the lesser evil, saya lebih memilih mendukung Jokowi dengan wakil presidennya Jusuf Kalla daripada Presiden Prabowo, siapapun wakilnya. Prabowo memang tidak masuk dalam film Jagal, tetapi segala yang digambarkan dalam film Jagal ada pada Prabowo: kekerasan, pelanggaran HAM, dan impunitas.
Saya hanya berharap bahwa Jokowi menjadi sosok yang lebih kuat dalam menerjemahkan janjinya menyelesaikan kasus HAM masa lalu dan menghapus segala bentuk impunitas. Saya berharap bahwa Jusuf Kalla akan lebih berhati-hati menghadiri acara yang diselenggarakan oleh organisasi massa yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, mengubah pandangannya mengenai sejarah di Indonesia, serta tidak memandang remeh apalagi menganjurkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik.
Menurut Anda, pantaskah toleransi di Indonesia ini menjadi contoh negara-negara lain (ucapan Obama di APEC 2014) jika kita bandingkan dengan dua film yang Anda buat juga dengan kasus-kasus intoleransi yang ada di Indonesia?
Kita harus lihat konteks ucapan Obama adalah posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Indonesia punya penduduk Muslim paling banyak di dunia, lebih dari negara manapun di Timur Tengah, sumber ajaran agama Islam itu sendiri.
Dibandingkan dengan banyak negara Timur Tengah yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia adalah contoh bagi toleransi kehidupan beragama. Tidak ada aturan khusus berpakaian, kecuali di beberapa tempat, hukum didasarkan pada konsensus masyarakat, bukan hukum agama mayoritas, Indonesia punya hari libur berbagai agama, dan seterusnya menunjukkan bahwa orang Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim lebih toleran.
Namun, Indonesia tidak boleh berhenti di situ, atau malah mundur dengan berusaha menjadi Timur Tengah yang intoleran. Memang kita melihat sekarang ada upaya ke arah itu, tetapi sebetulnya itu disuarakan oleh sedikit sekali orang Islam di Indonesia. Sayangnya, sedikit orang ini suaranya kencang sekali.
Kalau Indonesia mau menjadi negara yang lebih toleran, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi hal yang pokok melintasi sekat-sekat batas agama, aliran dalam agama, etnis, bahasa, ideologi, pandangan politik, dan pengotakan lainnya.
Apa pendapat Anda tentang PKI di Indonesia?
PKI adalah salah satu partai di Indonesia yang punya sumbangsih pada kemerdekaan dan pembangunan karakter Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Seperti partai atau kelompok politik lain di Indonesia, PKI juga punya metode, pendekatan, strategi, dan cara pandangnya sendiri yang khas mengenai seperti apa Indonesia yang akan dibangun.
Pandangan PKI tidak selalu disetujui oleh semua pihak, apalagi oleh lawan-lawan politiknya. Dan hal ini adalah hal yang biasa dalam politik. PKI mengalami jatuh bangunnya, melewati berbagai masa sulit, dan masa kejayaan. Kita perlu memilah lagi dan melihat PKI dengan lebih objektif jika kita ingin melihat sejarah, yang artinya identitas diri, dengan lebih jernih.
Terlepas dari semua persoalan ideologis, politik, dan kepartaian, yang terpenting dari apa yang saya pelajari mengenai sejarah Indonesia bukanlah ideologi komunismenya itu sendiri ketika kita membahas bagaimana PKI dan komunisme runtuh di Indonesia. Apa yang menghancurkan komunisme di Indonesia adalah ketika kata “komunisme” itu diberi makna yang serampangan sebagai sebuah stigma dan hinaan. Dari keserampangan pemaknaan kata inilah muncul fitnah dan kekacauan pikir di masyarakat luas.
Mungkin sekarang membicarakan komunisme, bahaya laten komunisme, dan hantu komunisme sudah tidak relevan lagi, tetapi masalahnya, kekacauan makna yang melahirkan kekacauan pikiran itu masih ada dan menggejala. Ini juga PR besar yang perlu dibenahi.
Pertanyaan terakhir, apakah Anda tidak takut nyawa Anda akan terancam mengingat dua film yang Anda buat seperti mengemukakan kembali sejarah yang sebenarnya sudah memvonis bahwa pelaku tunggalnya adalah komunis hingga mengakar di benak masyarakat Indonesia kebanyakan?
Tentu saya punya kecemasan tersendiri mengenai keselamatan saya, tetapi yang lebih saya pikirkan adalah keselamatan kru Indonesia yang masih tinggal di Indonesia, dan Adi Rukun beserta keluarganya. Para awak film berkebangsaan Indonesia memilih untuk tetap berada di Indonesia dan menyebarluaskan filmnya serta terlibat lebih jauh dalam upaya perubahan dan rekonsiliasi di Indonesia. Mereka bisa kapan saja meninggalkan Indonesia, tetapi memilih untuk tetap tinggal di negeri kelahiran mereka agar upaya-upaya mereka pasca pembuatan film ini bisa lebih efektif dan berdampak lebih kuat.
Melihat keberanian para awak film Indonesia itu, para anonim, dan Adi Rukun dalam upayanya berpartisipasi membenahi sengkarut bangsanya, membicarakan risiko atas keselamatan saya sungguh tidak relevan dan tak berarti.
Sebarkan Seluas-Luasnya---Bertarung di Dunia Maya, Bertarung di Jalanan....SERUAN PUSAT PERLAWANAN RAKYAT INDONESIA (PPRI)
Bersatulah Mahasiswa-Buruh-Rakyat Miskin;
Batalkan Kenaikan Harga BBM! Tolak Politik Upah Murah!
Lawan Represifitas Aparat! Hentikan Liberalisasi Ekonomi!
“Mengapa Harus Membatalkan Kenaikan Harga BBM? “
Sebenarnya
selama ini tidak pernah ada subsidi terhadap harga BBM, karena harga
BBM sudah sangat jauh di atas biaya produksi-seharusnya dengan
keuntungan 10%, harga BBM hanya Rp 1700.
Penggunaan BBM selama
ini justru digunakan untuk aktivitas produktif; ada sekitar 76,3 juta
sepeda motor di Indonesia, sementara mobil penumpang hanya sekitar 10,4
juta, dan sebagian besar digunakan untuk hilir mudikmencari nafkah,
bukan untuk hura-hura.
Kenaikan harga BBM justru mempermudah
SPBU yang dikuasai oleh Swasta (terutama Internasional)
merajalela—karena harga BBM menjadi sama dengan harga internasional.
Sudah ada ijin untuk 80 ribu SPBU Asing yang siap beroperasi di
Indonesia pasca kenaikan harga BBM ini.
Persoalan lainnya adalah
selama ini pengelolaan tambang minyak sebagian besar dikelola oleh
swasta (terutama internasional) sehingga hanya 25 % saja hasil minyak
bumi yang menjadi “hak” negara, sehingga kebutuhan dalam negeri selalu
kurang dan harus membeli ke swasta dengan harga sangat mahal.
Pemerintah
mengatakan dana BBM akan dialihkan ke infrastuktur-jalan raya, rel
kereta api, pelabuhan, bandara dll---kenyataannya selama ini semua
pembangunan infrastruktur tidak membuat rakyat semakin sejahtera,
melainkan hanya untuk memfasilitasi para pemodal dalam melakukan
usahanya.
Tanpa harus menjadi Presiden atau menteri, atau
pengamat ekonomi, kenaikan harga BBM jelas memicu kenaikan berbagai
macam harga kebutuhan hidup lainnya, dan rakyat kecil yang paling
merasakan dampaknya---sekarang kita sudah merasakan hidup makin sulit
karena kenaikan harga BBM kemarin.
KIS-KIP atau kartu lainnya,
selain hanya untuk sebagian kecil rakyat, juga tidak cukup untuk
mengatasi kenaikan hargaharga kebutuhan hidup.
Sementara rakyat
dipaksa untuk semakin “berhemat”, di sisi lain, tidak ada pengurangan
yang signifikan untuk fasilitasgaji para Pejabat-Pejabat Negara (mereka
tetap hidup sangat kaya; mobil mewah, rumah mewah, makanan mewah, ke
rumah sakit pun bisa ke luar negeri, menyekolahkan anak-anak ke luar
negeri, bahkan jalan-jalan pun ke luar negeri).
Juga tidak ada
usaha pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan Indonesia—yang selama
ini hanya dinikmati sebagian kecil orang, menjadi lebih merata. 10 orang
terkaya di Indonesia, total kekayaannya mencapai 620 Trilyun atau sama
dengan total upah untuk 1 juta buruh DKI selama dua puluh tahun (dengan
UMP 2015 sebesar 2,7 juta)
“Mengapa Harus Menolak Upah Murah? “
Buruh
adalah bagian dari kelompok masyarakat yang karena kerjanya, membuat
kita semua bisa menggunakan baju,celana, listrik, alat elektronik,
tranportasi, obat, rumah dan lain sebagainya—pendek kata, tanpa kerja
buruh, dunia mati.
Selama puluhan tahun, buruh Indonesia hanya
diperas tenaganya, dan tak pernah mendapatkan kejahteraan yang
memadai---sama dengan rakyat miskin non buruh formal. Ini membuat selama
puluhan tahun, kerja buruh (yang menghasilkan barang-jasa) justru
sebagian besar dinikmati oleh pengusaha dan tentu saja pemerintah.
Sehingga
anak-anak buruh dan keluarga buruh tidak bisa berkembang sebagai
manusia yang seutuhnya—tinggal dikontrakan kumuh, makan kurang gizi, tak
berkembang pengetahuan, dan bentuk bentuk ketertinggalan lainnya.
Alasan
bahwa pengusaha akan bangkrut, adalah alasan untuk menakut-nakuti
buruh—dan sekaligus mencari dukungan masyarakat---agar buruh tidak
menuntut kenaikan upah yang cukup memadai, karena belum ada bukti bahwa
mayoritas perusahaan bangkrut karena kenaikan upah, dan misalnya
perusahaan bangkrut harusnya pemerintah bisa menalangi dengan memberikan
suntikan modal atau jenis-jenis bantuan lainnya, tanpa harus
mengorbakan buruh.
Saat ini, tuntutan buruh secara umum adalah
kenaikan upah 30 %, walaupun Pemerintah sudah menetapkan kenaikan upah
di bawah 30 %. Tuntutan kenaikan upah 30 % barulah sebatas untuk
bertahan hidup sebelum BBM dinaikkan, belum untuk menjadi sejahtera.
Oleh karenanya peningkatan upah harus segaris lurus dengan pembatalan
kenaikan harga BBM.
“Bagaimana Memenangkan Tuntutan?”
Persatuan
rakyat adalah kunci. Selama ini gerakan penolakan kenaikan harga BBM
masih didominasi oleh mahasiswa. Sedangkan gerakan buruh yang bergolak
di beberapa daerah dalam menuntut upah belum banyak mengangkat penolakan
terhadap kenaikan harga BBM. Begitu juga rakyat di kampung-kampung,
belum bergerak sama sekali. Padahal kenaikan harga BBM dan Upah Murah,
justru akan semakin memiskinkan rakyat di setiap sektor baik buruh,tani,
nelayan, kaum miskin kota, maupun pelajar-mahasiswa. Sedangkan gerakan
mahasiswa mendapat kesulitan dalam memperluas perlawanan karena sering
diadu-domba dengan pihak-pihak yang mengatasnamakan ‘rakyat’. Sehingga
yang dibutuhkan untuk memenangkan perjuangan adalah bersatunya Buruh,
Pemuda-Mahasiswa, Miskin kota, dan Tani.
Pergerakan inipun tidak
bisa lagi bergerak secara lokal, tanpa pergerakan dan perlawanan secara
nasional yang lebih massif dan lebih kuat. Perlawanan yang massif
secara nasional—apalagi jika sudah menyatu kekuatan mahasiswa, buruh dan
rakyat miskin—akan sanggup menghadapi upaya untuk membenturkan aksi
mahasiswa dengan rakyat, sekaligus sanggup menghadapi tindakan respresif
aparat yang semakin hari semakin keras.
Sebagai awal untuk
menyatukan kekuatan secara nasional, kita akan BERGERAK SERENTAK, Pada
Hari Rabu, 26 November 2014, yang akan meliputi 15 Propinsi dan 60
kota.
Perlawanan Serentak Nasional akan menjadi bagian dalam
persiapan menuju Pemogokan Umum Rakyat—di mana buruh akan menghentikan
produksi di pabrik-pabrik, mahasiswa akan mogok belajar, kaum miskin
kota akan mogok berativitas; Intinya sebuah pemogokan besar-besaran!
Karena tanpa desakan yang sangat kuat, mustahil kenaikan harga BBM bisa
dibatalkan, mustahil kenaikan upah minimal 30 % bisa didapatkan.
Intinya, mustahil ada perubahan,jika rakyat tidak bergerak dengan gelora
perlawanan yang pantang menyerah.
Untuk Mahasiswa-Kaum
Buruh-Kaum Miskin Kota di JABOTABEK, dan untuk siapapun yang sudah bosan
dengan kemiskinan, sudah bosan dengan tipuan elit, sudah muak dengan
ketidakadilan, marah dengan kenaikan harga BBM, marah dengan pendapatan
yang selalu kurang.
"Datang dan
Berkumpul bersama kami dalam “Rapat Akbar Perlawanan Rakyat “ Hari Rabu,
26 November 2014; Jam 13.00 di depan Universitas Indonesia, Salemba.
Satukan kekuatan Mahasiswa-Buruh-Rakyat Miskin-- menghadapi REJIM
PENINDAS RAKYAT"
“Jangan Ragu, Jangan Takut! Yakinlah Rakyat Bersatu Tak Bisa Dikalahkan! “
Namun
itu, karena setiap orang yang ‘tak waras’ selalu berkata “kalau kamu
jadi presiden juga akan menaikkan harga BBM” seraya mendukung kebijakan
sesat pemerintah, maka kami perlu memberikan solusi yang mampu
membatalkan kenaikan harga BBM.
Apa Solusinya? Jangka Pendek:
1. Pangkas biaya-biaya perjalanan pejabat negara; pangkas gaji dan tunjangan pejabat negara!
2. Terapkan pajak progresif yang ketat bagi para pengusaha dan orang kaya!
3. Berantas korupsi dan sita harta-harta koruptor bagi pemasukan negara!
4. Tunda pembayaran hutang luar negeri!
Jangka Menengah dan Panjang:
1. Hentikan liberalisasi ekonomi!
2.
Nasionalisasi sektor migas serta aset-aset vital lainnya dibawah
kontrol rakyat bagi kemandirian nasional dan kesejahteraan rakyat!
3. Hapus hutang luar negeri!
Pusat Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI):
SGBN,
FPBI, KSN, SBTPI, SBMI, GSPB, Frontjak, FBLP, RTP, GKRI, SPRI, Aliansi
Mahasiswa Indonesia (LMND, Semar UI,Formasi IISIP, GUNADARMA, UHAMKA,
UIN, UP, UNAS, PARAMADINA, UBK, TRISAKTI, APP, UNISMA, UNTIRTA, KP
FMK,PEMBEBASAN, FORMAD, FMN, SMI, KANITA IISIP), SGMK, KPOP, KPRI, Rekan
Indonesia, SeBumi, PRP, PPI, PPR, KPO-PRP, Politik Rakyat.
Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif?
Bukankah itu Statemen yang terang membodohi?
Bagaimana Ceritanya BBM dan Energi lainnya tidak Penting?
Kenyataannya, perubahan harga atas Energi (Utamanya BBM) dipastikan akan mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam penghidupan Rakyat.
Setidaknya, Pencabutan subsidi dan Kenaikan harga BBM pasti akan mempengaruhi:
Jumlah dan nilai upah
Biaya jasa transportasi
Biaya Produksi
Harga barang dan kebutuhan Pokok
Biaya Kesehatan: Terkait dengan kenaikan biaya produksinya akibat naiknya harga BBM, karena biaya produksi obat-obatan, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya di produksi menggunakan energy, ditambah biaya distribusi (relasinya dengan ongkos transportasi)
Biaya Pendidikan: Sama dengan Kesehatan, Seluruh kebutuhan sarana prasarana, perlengkapan, alat dan bahan kegiatan belajar-mengajar (KBM), sampai pada seragam sekolah diproduksi menggunakan energy dan membutuhkan biaya distribusi.
Dll.
*Jadi, melihat dampak pencabutan subsidi dan penaikan harga BBM tidak bisa dilihat hanya dalam transaksi jual beli di SPBU semata.
Problemnya adalah, Bukan sama sekali seperti Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah bahwa: Produksi minyak nasional turun, sedangkan kebutuhan konsumsi naik, Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit), Alokasi anggaran untuk sector lain lebih rendah (menggunakan logika perbandingan), harga minyak dunia naik/turun, dan alasan-alasan lainnya.
Produksi minyak Turun?
Indonesia tidak produksi kok, hanya terlibat dalam proses lifting (Pengangkatan) dari jatah pembeliannya terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan tersebut. Kemudian diolah menjadi minyak jadi dengan menitipkan lagi (Mengolah di Industri milik swasta) untuk menjadi minyak jadi.
Jadi, klaim pemerintah soal Produksi minyak nasional tersebut adalah bukan hasil eksploitasi yang dilakukan oleh Indonesia melalui perusahaan Negara, melainkan jatah pembelian terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan.
Kebutuhan Konsumsi Naik?
Perkara kebutuhan Konsumsi naik, ini adalah perkembangan yang “Niscaya” seiring perkembangan yang ada didalam negeri, baik perkembangan atas pertumbuhan penduduk, kebutuhan produksi dan seterusnya. Namun, alasan Pemerintah ini seolah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemampuan hitung atas perkembangan seperti diatas (Sekedar Asumsi sekalipun). Lantas kenapa dalam menghitung pertumbuhan secara manipulative sangat lihai?
Keterangan:
Lihat saja bagaimana pemerintah dalam permainan angka menghitung pertumbuhan ekonomi PDB secara makro (Termasuk menghitung omzet perusahaan swasta yang bukan samasekali milik Indonesia), menghitung penurunan angka kemiskinan dan klasifikasi golongan (miskin, hampir miskin, menengah dan, kaya).
Padahal, pemerintah menghitung pertumbuhan tersebut hanya dengan melihat:
Pendapatan Per-Kapita sebesar Rp. 210.000-280.000 (Miskin),
Pendapatan Rp. 280-400.000 (Hampir Miskin) dan,
Pendapatan Rp. 400.000-Seterusnya (Menengah dan Kaya).
Bukankah dengan perhitungan seperti ini, Pengemis dan Pengamen akhirnya dapat digolongkan minimal menjadi golongan “hampir miskin”? kemudian buruh beserta pekerja lainnya dengan Upah minimum Rp. 2,7 Juta (Contoh DKI Jakarta) kemudian otomatis menjadi klas menengah dan golongan Kaya? *Perhitungan yang sangat tidak manusiawi bukan?
Jadi, naiknya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri yang “diluar prediksi” pemerintah tersebut justeru semakin menunjukkan bahwa Pemerintah memang tidak pernah memiliki data dan analisis komprehensif (Menyeluruh) yang Objektif atas keadaan Umum Indonesia.
Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit)?
Alasan ini semakin lucu, dengan Alasan ini Pemerintah berusaha membodohi rakyat bahwa Pemerintah Hanya sebagai pengelola Anggaran dan bukan pemegang Kewenangan dalam menyusun dan Menetapkannya. Lantas siapakah yang menyusun dan menetapkannya, sehingga Pemerintah “se-Olah” begitu panic ketika menerima Dokumen APBN yang akan dikelolanya tidak sesuai dengan kebutuhan.
Problem sesungguhnya, bukan pada bagaimana pengalokasiannya (pembagian alokasi untuk setiap sector) semata. Tapi disinilah tempatnya untuk meletakkan Politik yang tepat dalam mengatur Anggaran (belanja dan pendapatan) berdasarkan perspektif dan Orientasi yang tepat pula.
Berbicara Subsidi dan anggaran untuk BBM, Pemerintah tidak seharusnya mengarahkan Rakyat pada pikiran distribusi semata (proses jual-beli minyak oleh Pemerintah kepada Rakyat, kemudian terfokus pada harga), kecuali pemerintah memang tetap ingin menjebak Rakyat dengan segala pembodohan agar tidak memahami dimana problem pokoknya.
Pemerintah harusnya dalam berbicara “Politik Anggaran (Red: Politik Logistik Kata Ir. H. Joko Widodo)” untuk BBM dan Energi lainnya, paling pertama dan utama harus meletakkan perspektifnya lebih pada bagaimana Negara harus berdaulat atas produksi dan distribusinya atas minyak dan energy lainnya, kemudian bagaimana mampu melakukan produksi secara mandiri.
Artinya bahwa, Pemerintah harusnya berusaha keras membangun Industri Nasional (Untuk produksi minyak misalnya), mulai dari Eksplorasi, Eksploitasi, Lifting dan, Proses produksi lainnya sampai pada proses Distribusi.
Benar bahwa dalam aspek ini, kendalanya adalah Modal dan teknologi. Maka inilah bagian yang harus dipikirkan dan diselesaikan lebih utama oleh Pemerintah, bagaiamana untuk mengalokasikan modal produksi, termasuk mendapatkan teknologinya (terutama teknologi mesin). Kenyataannya Indonesia memiliki bahan bakunya kok, yang selama ini dikeruk habis-habisan oleh perusahaan swasta milik kapitalisme monopoli (Imperialisme) dan borjuasi komprador (Perpanjangan tangannya) didalam negeri. Kekayaan Alam Indonesia telah menyediakan segalanya, sebagai Syarat untuk bisa membangun Industri nasional dan melakukan produksi secara mandiri.
Masalahnya adalah, Pemerintah sangat tergantung pada Modal Asing beserta teknologinya, yang didapatkan melalui mekanisme utang, hibah dan Investasi. Ditengah ketidak mampuannya memecahkan problem tersebut, Pemerintah justeru kemudian MENGUNDANG Kapitalisme monopoli Internasional untuk melakukan Investasi dan membuka Industri (Tambang minyak contohnya) di Indonesia, kemudian mengeruk seluruh cadangan minyak yang terkandung dalam perut bumi Nusantara ini. Sementara Negara hanya mendapatkan sebagin kecilnya saja dari hubungan produski tersebut.
Dilain sisi Pemerintah bahkan memberikan jaminan yang sedemikian rupa untuk kelansungan serta keamanan produksi dan distribusi (pasar dan harga) bagi perusahaan Imperialisme dan Borjuasi komprador didalam Negeri. Mulai dari jaminan keringanan pajak(berbagai jenis pajak), keringanan biaya Eksport-Import (Alat kerja dan hasil Produksi)bahkan, sampai pada jaminan refitalisasi yang juga ditanggung oleh Pemerintah menggunakan uang Negara (Refitalisasi: Peremajaan dan pengadaan alat kerja baru_Mesin dan lain sebagainya), jaminan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan lain-lain.
Celakanya, Pemerintah bahkan memberikan perlindungan atas jaminan tersebut secara vulgar melalui Undang-undang. Sementara Imperialisme terus meraup keuntungan berlimpah, baik dari proses produksi, hasil distribusi sampai pada keuntungan jual mesin dan alat kerja lainnya untuk peremajaan dan pengadaan baru yang di Import dari luar Negeri yang sesungguhnya adalah produksi dari Imperialisme itu sendiri.
Kesimpulannya adalah, tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi minyak dalam Negeri, bukanlah karena kian berkurangnya produksi dan cadangan minyak bumi Indonesia semata, juga bukan karena rendahnya alokasi anggaran yang menyebabkan deficit, apalagi dengan alasan yang menuduh Rakyat terlalu Konsumtif dan Boros menggunakan BBM,“Seolah Rakyat beli Minyak untuk Menyiram pekarangan rumah dan atau untuk ngepel laintai saja!”
Problem pokoknya adalah:
Karena Adanya kontrol oleh Imperialisme di indonesia yang melakukan monopoli (Penguasaan secara luas) atas produksi minyak dan Dominasi atas pasar dan harga (Distribusi) Minyak.
Sumber https://www.facebook.com/notes/1558536181045666/
Tanggal 17 November lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi)
resmi mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Nilai
kenaikannya cukup signifikan: sebesar Rp 2000,- untuk jenis premiun dan
solar.
Jokowi menjelaskan, kenaikan harga BBM tidak bisa dihindarkan.
Menurutnya, alokasi anggaran APBN untuk subsidi BBM terlalu besar dan
cenderung boros. Ia mencatat, dalam lima tahun terakhir, alokasi subsidi
BBM mencapai Rp714 triliun. Sementara, pada periode yang sama, alokasi
untuk pembangunan infrastruktur hanya Rp574 triliun dan sektor kesehatan
sebesar Rp220 triliun.
Jokowi menyakinkan bahwa besarnya alokasi subsidi BBM menyebabkan
pemerintah tidak punya ruang fiskal untuk menjalankan programnya,
terutama yang terkait dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, Jokowi menyebut agenda pemangkasan subsidi BBM ini sebagai
bentuk ‘pengalihan subsidi dari aktivitas konsumtif menjadi aktivitas
produktif’. Maksudnya, anggaran subsidi BBM akan dialihkan untuk
membiayai pembangunan infrastruktur pertanian, pembangkit listrik,
pembiayaan program kelautan, dan pembangunan jalan baru.
Benarkah demikian? Mengkambing-hitamkan subsidi BBM sebagai
pemborosan dan mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai
programnya pembangunannya adalah sebuah penyesatan. Yang dilupakan,
subsidi BBM bukan satu-satunya pos belanja di APBN. Ironisnya lagi, ada
pos belanja yang sangat boros dan merugikan negara yang justru tidak
pernah disentuh: pertama, belanja rutin birokrasi, termasuk gaji pegawai, yang cukup tinggi; dan kedua, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri.
Taruhlah soal pembayaran utang. Di APBN 2015 ini porsi pembayaran
bunga utang mencapai Rp154 triliun atau hampir 8% dari total belanja
APBN kita. Dan untuk diketahui, sepanjang tahun 2005-2011, porsi
pembayaran utang mencapai Rp 1.323,8 triliun. Sayangnya, pemerintahan
Jokowi-JK tidak pernah menyinggung persoalan beban utang luar negeri
ini. Padahal, tidak semua dari komponen utang luar negeri itu adalah
utang sah. Tidak sedikit dari jumlah utang itu yang masuk kategori utang
ilegal (illegal debt), utang najis (oudius debt), dan utang tidak sah
(illegitimate debt).
Dengan demikian, kalau saja pemerintahan Jokowi-JK berani melakukan
proses audit terhadap utang itu dan menegosiasikan ulang dengan para
kreditur, maka pemerintah akan punya sedikit ruang fiskal. Lagi pula,
soal utang luar negeri ini bukan hanya soal beban kewajiban membayar
pinjaman dan beban bunganya, tetapi terkait dengan proyek
neokolonialisme di Indonesia. Untuk diketahui, utang luar negeri telah
menjadi alat bagi para kreditur, yang notabene negara-negara kapitalis
maju dan perwakilan kepentingan korporasi multinasional, untuk menjerat
leher negeri dunia ketiga dan mendikte kebijakan ekonomi-politiknya.
Selama ini pemerintah melihat persoalan subsidi BBM hanya sebagai
bahan bakar untuk sektor transportasi saja. Mereka lupa bahwa subsidi
BBM juga berkontribusi dalam menggerakkan aktivitas produksi, seperti
industri, pertanian, nelayan, dan usaha kecil (UKM dan industri rumah
tangga). Subsidi BBM berkontribusi dalam meringangkan biaya produksi dan
distribusi. Artinya, jika terjadi kenaikan harga BBM, maka aktivitas
produksi tersebut akan mengalami gangguan akibat kenaikan biaya produksi
dan distribusi. Alhasil, jika terjadi kenaikan BBM, sektor-sektor
produksi tersebut akan tergencet dan berpotensi gulung tikar.
Wacana pengalihan subsidi BBM ke sektor produktif, seperti untuk
infrastruktur pertanian, pembangkit listrik, pembiayaan program
kelautan, dan pembangunan jalan baru, perlu diberondong pertanyaan
kritis. Pasalnya, wacana ini juga sangat getol disuarakan oleh Bank
Dunia. Dan, sebagaimana ditegaskan oleh petinggi Bank Dunia sendiri,
investor asing berharap kenaikan harga BBM segera dilakukan pemerintah
sehingga dana subsidi bisa dialihkan ke sektor infrastruktur. Tentu
saja, pembangunan infrastruktur yang dimaksud bertujuan untuk melayani
proses akumulasi kapital. Apalagi, pada saat berpidato di Forum Kerja
Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) lalu, Jokowi mengundang para investor
asing untuk ambil-bagian dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Malahan, untuk menarik minat para investor asing tersebut, Jokowi
menjanjikan kemudahan dalam perizinan dan pembebasan lahan. Artinya,
penggusuran dan penyingkiran rakyat dari lahan penghidupannya akan
dilakukan oleh rezim Jokowi-JK untuk memastikan kapital asing merasa
nyaman mengakumulasi keuntungan di Indonesia.
Yang harus diingat oleh Jokowi-JK, kenaikan harga BBM akan menggerus
pendapatan rakyat Indonesia. Sebagaimana dilansir oleh Bloomberg,
penduduk Indonesia dengan pendapatan harian sebesar US $ 11/hari harus
mengalokasikan 33 % pendapatan mereka untuk mendapatkan segalon bensin
(1 galon setara dengan 1,9 liter). Artinya, jika terjadi kenaikan harga
BBM, pendapatan harian mereka tentu akan sangat tergerus. Apalagi kalau
pendapatan harian mayoritas rakyat Indonesia dihitung hanya US $ 2/hari,
tentu kehidupan mereka makin sulit. Belum lagi efek berantai yang
dipicu oleh kenaikan harga BBM, seperti kenaikan biaya transportasi,
kenaikan harga barang kebutuhan, kenaikan biaya hidup, kenaikan biaya
produksi yang memicu efisiensi (PHK), dan lain-lain. Singkat cerita,
kenaikan harga BBM akan membawa tekanan ekonomi cukup mendalam dan
berjangka panjang kepada rakyat Indonesia.
Nah, untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, Jokowi-JK menerbitkan
tiga ‘kartu sakti’, yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia
Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan semacam ini,
yang di Amerika Latin sana disebut ‘kebijakan sosial neoliberal’,
dirancang dengan anggaran terbatas dan sasaran yang dibatasi pula.
Kebijakan ini hanya menarget mereka yang paling miskin atau yang paling
rentan. Kalau kita lihat, kebijakan semacam ini tak ubahnya pekerjaan
“palang merah” di medan perang. Memang ia berhasil menolong banyak
korban di medan perang, tetapi tidak semua korban, dan tetap saja tidak
bisa menghentikan berjatuhannya korban akibat perang.
Yang juga sering disampaikan ke kita, bahwa kita jangan lagi berharap
banyak dan bergantung pada BBM. Menurut mereka, cadangan minyak
terbukti (proved reserves) kita menipis, yakni hanya sekitar
3,7 miliar barel atau 0,25% dari total cadangan dunia, sedangkan
cadangan minyak potensial kita hanya 3,857 miliar barel. Jadi totalnya
hanya 7,5 miliar barel saja dan diperkirakan akan habis dalam hitungan
belasan tahun kedepan. Kemudian, produksi minyak mentah (lifting) kita juga terus
menurun. Pada tahun 2004, lifting minyak kita masih 1,4 juta barel/hari.
Jumlah itu terus menurun. Pada tahun 2012, lifting minyak kita tinggal
890.000 barel/hari. Alhasil, sejak tahun 2004 lalu, Indonesia berubah
predikat dari negeri “pengekspor” menjadi “pengimpor” minyak.
Kenapa bisa demikian? Cadangan minyak terbukti kita memang menipis,
tetapi bukan berarti cadangan minyak kita sudah habis. Banyak ahli
perminyakan, termasuk petinggi Pertamina, yang menegaskan bahwa cadangan
minyak kita sebetulnya masih banyak. Seketaris SKK Migas, Gde Pradyana,
memperkirakan negeri ini masih memiliki potensi cadangan minyak baru
sebesar 43,7 miliar barel.
Hanya saja, untuk membuktikan potensi tersebut menjadi cadangan
minyak terbukti dibutuhkan kegiatan eksplorasi yang intensif. Sementara
kegiatan eksplorasi ini butuh dana yang sangat besar. Konon, satu sumur
saja membutuhkan biaya mencapai US$100 juta atau setara Rp1 triliun.
Itupun resiko kegagalannya sangat besar alias menemukan sumur kosong (dry hole).
Nah, di sinilah letak masalahnya: pemerintah sangat lemah dalam
mendorong dan menyediakan anggaran untuk eksplorasi. Bayangkan, alokasi
APBN untuk kegiatan eksplorasi hanya 0,07 %.
Sejak Orde baru hingga sekarang, pemerintah kita bertindak tak
ubahnya hanya sebagai penerima rente. Untuk diketahui, Pertamina harus
menyerahkan 93% keuntungannya kepada pemerintah sebagai dividen.
Akibatnya, pertamina mengalami kendala finansial untuk eksplorasi.
Menurut kami, kedepan separuh dari keuntungan minyak dikembalikan ke
kegiatan migas sebagai investasi. Selain itu, pemerintah perlu
menciptakan petroleum fund untuk menopang kegiatan eksplorasi di masa depan.
Persoalan lainnya adalah kegiatan eksplorasi dan produksi minyak
Indonesia masih mengandalkan sumur-sumur tua. Perlu pengayaan teknik dan
teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur tua ini. Dalam konteks ini,
selain dengan melakukan pengembangan teknik sendiri, pemerintah mestinya
bisa mendorong konsep alih-teknologi dengan kontraktor asing.
Dan satu persoalan terbesar yang tidak pernah disinggung-singgung
pemerintah, termasuk pemerintahan Jokowi-JK, adalah dominannya
penguasaan korporasi asing terhadap ladang-ladang migas Indonesia. Data Indonesian Resource Studies (IRESS)
mengungkapkan bahwa Pertamina hanya memproduksi minyak sebesar 15
persen dan 85 persen diproduksi oleh korporasi asing. Sementara data
Kementerian ESDM pada tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya
memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron
(41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC
(4,6%).
Pengelolaan gas kita juga bernasib sama. Hampir 90% produksi gas
Indonesia hanya dikangkangi oleh 6 perusahaan asing, yakni Chevron,
Total, ConocoPhilips, British Petroleum, dan ExxonMobil. Sementara untuk
batubara penguasaan asing diperkirakan mencapai 70%. Inilah yang
menyebabkan kita tidak pernah berdaulat di bidang energi. Bagi kami,
tanpa mengoreksi dominasi kepemilikan dan penguasaan asing ini, kita
jangan bermimpi terlalu tinggi untuk bisa mewujudkan swasembada energi.
Sayangnya, pemerintahan Jokowi-JK enggan, atau mungkin sengaja, tidak
menyentuh akar persoalan tersebut. Dan, untuk diketahui, salah satu
pangkal dari semua masalah karut-marutnya pengelolaan migas di Indonesia
itu bermuasal dari pengesahan UU nomor 22 tahun 2001 tentang migas. UU
ini merupakan hasil kongkalikong antara rezim Megawati kala itu dengan
kekuatan asing, khususnya IMF dengan Letter of Intent (LoI)-nya. UU
inilah yang membentangkan karpet merah kepada modal asing untuk
menguasai bisnis migas Indonesia dari hulu hingga ke hilir.
Dan sejak awal kami pun sudah mencium indikasi kuat, bahwa pencabutan
subsidi BBM di Indonesia sangat terkait dengan agenda liberalisasi di
sektor hilir migas kita. Untuk diketahui, sejak Orde Baru hingga tahun
2000-an, korporasi asing sudah sukses berjaya di sektor hulu. Sekarang
ini mereka sangat ngiler untuk menguasai sektor hilir migas kita.
Dan, seturut dengan pengesahan UU migas di tahun 2001 itu, SPBU asing
pun mulai menjalar di Jakarta dan sekitarnya. Namun, untuk sementara,
SPBU asing itu tidak bisa berkembang pesat dan berekspansi ke
daerah-daerah karena kalah bersaing dengan SPBU Pertamina. Sebagaimana
kita ketahui, harga jual BBM di SPBU Pertamina lebih murah ketimbang di
SPBU asing. Karena itulah, sejak saat itu berdengun keraslah tuntutan
pencabutan subsidi BBM sebagai prasyarat membawa harga jual BBM di
Indonesia sesuai mekanisme pasar.
Sayang, upaya membawa harga BBM ke mekanisme pasar ini sempat
terjegal di tahun 2004, saat Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa
penyerahan harga BBM ke mekanisme pasar adalah inkonstitusional.
Alhasil, dalih lain pun mesti dicari. Muncullah argumentasi: subsidi BBM
menyebabkan defisit APBN dan alokasi subsidi BBM salah sasaran. Dua
argumentansi inilah yang senantiasa dipergunakan pemerintah, baik rezim
SBY maupun rezim Jokowi-JK saat ini, untuk menghalalkan penghapusan
subsidi BBM. Dan, ingat juga, bahwa yang paling getol mendesak
pemerintahan Jokowi-JK mencabut subsidi BBM adalah lembaga-lembaga
imperialis, seperti Bank Dunia dan IMF. Malahan, kenaikan harga BBM
jenis premium sebesar Rp 8.500 sekarang ini persis seperti yang
direkomendasikan oleh Bank Dunia.
Tak mengherankan, yang paling bertepuk tangan dengan senyum sumringah
dalam kenaikan harga BBM ini adalah SPBU asing dan korporasi asing yang
berniat berpartisipasi dalam bisnis BBM di Indonesia. Sementara SPBU
Pertamina, yang notabene perusahaan milik negara, harus mengelus dada
ketika sebagian besar pelanggannya beralih ke SPBU asing. Karena itu, terkait dengan kenaikan harga BBM ini, kita patut
mengajukan satu pertanyaan penting kepada pemerintahan Jokowi-JK: masih
adakah komitmen mereka untuk memperjuangkan cita-cita Trisakti
sebagaimana didengunkannya semasa kampanye pemilu kemarin? Kalau memang
masih ada, maka tidak ada pilihan lain selain membatalkan kenaikan harga
BBM.
Tak hanya itu, pemerintahan Jokowi-JK harus menghentikan liberalisasi
migas di Indonesia, baik di sektor hulu maupun hilir. Sebagai tahap
awal, pemerintahan baru ini harus mencabut UU migas tahun 2001.
Selanjutnya, mereka harus mengembalikan tata-kelola migas Indonesia
sesuai dengan semangat pasal 33 UUD 1945. Bagi kami, yang mendesak
dilakukan pemerintahan Jokowi-JK adalah mengembalikan kedaulatan dan
kontrol bangsa ini terhadap semua kekayaan alam dan aset nasionalnya.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/editorial/20141123/bukan-menaikan-harga-bbm-tapi-melaksanakan-pasal-33-uud-1945.html#ixzz3JuLfB9M8