Oleh: Muammar Fikrie - 17 Februari 2020.
Ilustrasi Kasus Penghilangan Aktivis 1998. tirto.id/Lugas
Ceritakanlah ini kepada siapapun sebab itu
cerita belum tamat. —Wiji Thukul (Solo, 30 Agustus 1991)
"Kalau aku tidak bisa di-pager satu jam setelah
pertemuan di Grogol, berarti kondisiku dalam bahaya. Kalau satu jam setelahnya
masih kesulitan dihubungi, kabarkan ke kawan-kawan aku hilang."
Pesan itu disampaikan Petrus Bima Anugerah kepada Sereida
Tambunan saat mereka berjumpa di sebuah warung makan Padang seberang Departemen
Kesehatan, Jakarta Selatan, pada Rabu siang, 1 April 1998.
"Mungkin Bimpet—sapaan Bima—punya firasat buruk,”
kata Sereida, suaranya bergetar sebelum melanjutkan, “Kalau saja saya bisa
menahannya…”
Sereida mengenang kembali pertemuan itu saat kami
mengobrol pada akhir Januari 2020 di rumahnya, bilangan Jagakarsa, Jakarta
Selatan.
Dua puluh dua tahun lalu, Bimpet dan Sereida mewakili
potret anak muda radikal era 1990-an yang menjalin perkawanan dalam jejaring aktivis
penentang Orde Baru. Mereka kawan satu kolektif dalam struktur bawah tanah
Partai Rakyat Demokratik (PRD). Bimpet bertugas sebagai “kurir nasional”,
sedangkan Sereida mengurusi “dana dan usaha”.
Pada pertemuan itu Bimpet menyerahkan master Pembebasan,
terbitan PRD, untuk digandakan. Setelahnya, Bimpet pamit untuk berjumpa dengan
Andi Abdul, salah seorang organiser PRD, antara pukul 12.00-13.00 di Grogol,
Jakarta Barat. Sekitar pukul 14.00, Sereida menghubungi pager Bimpet, tetapi
tiada sahutan.
Ia kembali mengontak satu jam berselang; tetap tak
berbalas. Sereida cemas. Ia mengirim pesan ke pager pusat komando PRD: “Marcell
hilang”. ‘Marcell’ adalah nama samaran Bimpet, sebagaimana Sereida punya nama
alias ‘Maimunah’; sebagaimana banyak kader PRD lain melakukan penyamaran serupa
di tengah rezim rumah kaca Orde Baru ketakutan mempertahankan kekuasaan.
Pada hari-hari panas mengiringi kejatuhan Soeharto,
Bimpet bersama Herman Hendrawan, Suyat, dan Wiji Thukul dihilangkan,
kemungkinan setelah diculik, antara Februari hingga akhir Mei 1998. Mereka
lenyap sampai kini; tanpa diketahui nisan mereka jikapun meninggal. Sementara
beberapa jenderal Orde Baru, di antaranya Wiranto dan Prabowo Subianto yang
saling bersaing tapi menjadi penyokong rezim saat itu, kini berada di lingkaran
pemerintahan Joko Widodo.
Ledakan di Tanah Tinggi
Lepas magrib, 18 Januari 1998,
ledakan bom terdengar dari unit 510 rumah susun Tanah Tinggi di permukiman
padat Johar Baru, Jakarta Pusat. Suaranya menggelegar hingga radius 500 meter.
Seisi rumah petak terguncang. Atap eternit jebol. Kaca-kaca pecah. Benda-benda
berserakan.
Agus “Jabo” Priyono, kader PRD, dijemput aparat
kepolisian dari lokasi kejadian perkara. Jabo jadi satu-satunya orang yang
diseret ke meja hijau dalam peristiwa ini.
Sejumlah dokumen, buku-buku, dan sebuah laptop disita
dari lokasi perkara. Majalah Tempo edisi 17 Mei 1999 menyebut barang-barang
sitaan itu memicu spekulasi politik.
Sofjan Wanandi, pengusaha sekaligus pendiri Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), dan Surya Paloh, pemimpin harian
Media Indonesia, sempat diperiksa aparat kepolisian dan Badan Koordinasi
Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakostranas). Keduanya dituding punya hubungan
dengan ledakan di Tanah Tinggi—tudingan yang terbukti tanpa dasar kokoh.
Di mata para petinggi militer Orde Baru, bom Tanah Tinggi
adalah titik balik. Ia dianggap ancaman paling serius untuk menggagalkan Sidang
Umum MPR pada Maret 1998, yang rencananya hanya mengetok palu untuk Soeharto
menjadi presiden ketujuh kalinya. Ledakan bom itu juga jadi dalih untuk
melakukan operasi Tim Mawar, satuan tugas dalam Grup IV Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) yang menggelar operasi penculikan aktivis 1998.
Sebuah brief berisi nama-nama orang yang harus diamankan
beredar di kalangan perwira tinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Brief itu bersumber dari penyelidikan atas barang sitaan di Tanah Tinggi.
Mayjen Prabowo Subianto, saat itu Komandan Jenderal Kopassus kemudian dipecat
dari dinas militer lantaran kasus penculikan aktivis, membenarkan hal itu dalam
wawancara dengan Majalah Panji (27 Oktober 1999).
“Saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar
itu. Pimpinan ABRI juga menerima. Daftar itu sifatnya untuk diselidiki.
Perintahnya begitu. Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada
sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di Kalangan ABRI sudah
jadi pengetahuan umum,” kata Prabowo.
Pada Februari-Maret 1998, horor penculikan, penyekapan,
dan penyiksaan menimpa sembilan aktivis: Desmond J. Mahesa, Haryanto Taslam,
Pius Lustrilanang; serta enam kader PRD: Aan Rusdianto, Andi Arief, Faisol
Riza, Mugiyanto, Nezar Patria, dan Raharja Waluyo Jati.
Nestapa partai gir bintang ini belum usai. Selain empat
kadernya kemudian turut hilang, PRD juga kehilangan seorang simpatisannya,
Leonardus Nugroho Iskandar alias Gilang.
Pada 23 Mei 1998, pengamen yang kerap terlibat dalam
advokasi kaum miskin kota di Surakarta ini ditemukan tewas di hutan Watu Ploso,
Magetan, Jawa Timur. Terdapat luka berlubang di dada, menembus jantung dan
paru-paru, pada jasad Gilang.
Suyat Terluka dan
Hilang
“Kebetulan Suyat punya kemampuan mengutak-atik mesin jam.
Makanya dia diperbantukan di Tanah Tinggi,” kata Agus “Jabo” Priyono.
Perkataan Jabo mengonfirmasi keberadaan Suyat dalam
peristiwa Tanah Tinggi. Saya dan Jabo berbincang-bincang pada medio Januari
2020 di Kantor Komite Pimpinan Pusat PRD di Tebet, Jakarta Selatan. Jabo jadi
satu-satunya ‘alumnus Tanah Tinggi’ yang masih bertahan di PRD sekaligus
menjabat ketua umum partai tersebut.
Di bawah kepemimpinan Jabo, asas PRD sekarang diubah dari
“sosial demokrasi kerakyatan” menjadi “Pancasila”. Lantaran peristiwa Tanah
Tinggi, Jabo dipenjara selama tujuh bulan. Ia dianggap menyembunyikan benda
terlarang.
“Sebelum Soeharto jatuh (Mei 1998) kena tujuh pasal.
Setelah Soeharto jatuh pasalnya berubah,” ujar Jabo.
Jabo berkata hanya Suyat yang bergeming kala ledakan
terjadi. Padahal delapan kawan di lokasi ledakan sontak berlari. Jabo sempat
berlari, tapi memutuskan kembali untuk mengamankan dompetnya yang tertinggal.
Saat kembali ke rumah petak, Jabo melihat Suyat sedang
membersihkan luka.
“Suyat kelihatan syok—mungkin bingung—karena ledakan. Dia
tak sepenuhnya tahu soal ledakan itu. Saya langsung perintahkan supaya lari,”
katanya.
Itu jadi perintah terakhir Jabo kepada Suyat. Mereka
turun lewat tangga berbeda. Jabo terjebak kerumunan massa, ditangkap, dan
diserahkan ke polisi. Sedangkan Suyat sempat melarikan diri ke beberapa lokasi
di Jakarta. Jejaknya sempat dibersihkan ke sebuah “rumah aman” di Jakarta
Timur. Suyat diminta bersembunyi sejenak. Namun, saat jaringan kader PRD
menjemputnya, ia sudah tidak lagi berada di “rumah aman”.
Kelak diketahui ia ternyata pulang ke Solo. Slamet Sidik,
seorang saksi yang melihat peristiwa penculikan Suyat di Solo, menuturkan
mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik Universitas Slamet Riyadi angkatan 1995 ini
ditangkap saat menginap di rumah seorang famili pada 13 Februari 1998.
Slamet berkata para pelaku menculik Suyat adalah
orang-orang “berbadan tinggi, kekar, ada yang berambut gondrong dan cepak,
berpakaian gelap, bersepatu seperti ABRI, bersenjata pistol, dan ada pula yang
bersenjata laras panjang.”
Kesaksian Slamet terekam dalam laporan Tim Penyelidik
Komnas Ham 2005-2006. Slamet menyebut kaki Suyat sedang terluka.
Kekerasan Politik 27 Juli 1996
PRD lahir beriringan
dengan perlawanan rakyat terhadap kediktatoran Soeharto. Embrionya berwujud
jejaring aktivis mahasiswa antar-kota. Anak-anak muda berusia 20-an pada dekade
terakhir Orde Baru ini meluaskan diskusi berbasis kampus ke titik-titik
perlawanan rakyat. Mereka bersolidaritas dalam sengketa lahan Kedung Ombo;
mengadvokasi petani di Situbondo; mengambil peran dalam pembebasan Timor Timur;
hingga memimpin pemogokan-pemogokan buruh di berbagai kota.
Kelak, persentuhan mahasiswa dan rakyat itu melahirkan
sejumlah organisasi yang berafiliasi dengan PRD: Pusat Perjuangan Buruh
Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID),
Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker), Sarekat
Rakyat Djakarta, Sarekat Rakyat Solo, dan Solidaritas Perjuangan Rakyat
Indonesia untuk Maubere (SPRIM).
PRD secara resmi dideklarasikan pada 22 Juli 1996 di
Ruang Adam Malik, YLBHI, Jakarta Pusat. Deklarasi itu mengumumkan persalinan
“P” pada PRD, dari “persatuan” menjadi “partai”.
Dalam manifestonya, PRD menyebut “tidak ada demokrasi di
Indonesia” dan Orde Baru "tidak bisa lagi dipertahankan oleh rakyat
Indonesia".
Lima hari setelah deklarasi PRD, kasus 27 Juli 1996 atau
“Kerusuhan 27 Juli” alias “Kudatuli” terjadi.
Peristiwa itu dipicu pengambilalihan paksa kantor Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Semula kantor itu
dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri, figur oposisi Orde Baru saat itu.
Mimbar bebas digelar selama berhari-hari. Para orator, terutama kader PRD,
mendukung Megawati sekaligus mengkritik Soeharto.
Ricuh pecah saat massa bayaran Soerjadi, Ketua Umum PDI
hasil Kongres Medan yang direstui pemerintah, menyerbu kantor—menyebabkan 5
orang tewas dan 149 lain luka-luka, menurut laporan Komnas HAM. Rezim Soeharto
menuding PRD sebagai "dalang" Kudatuli. Para juru bicara pemerintah
mengecap PRD sebagai “setan gundul”, “organisasi tanpa bentuk”, dan “mirip
PKI”. Belasan kadernya dijebloskan ke penjara.
Puncaknya, pada September 1996, pemerintah menyatakan PRD
dan onderbouw-nya sebagai “organisasi terlarang”. ‘Strategi Bawah’ alias Klandestin
demi Pemberontakan Meski sejumlah pemimpin partai ini mendekam di terungku,
kader-kader PRD yang tidak tertangkap berusaha menjaga api perlawanan. Mereka
membentuk Komite Pimpinan Pusat (KPP) PRD yang bergerak secara klandestin.
Komite itu representasi kepengurusan PRD dari pelbagai
kota. Sejumlah nama masuk di dalamnya, misal Andi Arief, Nezar Patria, Petrus
Bima Anugerah, dan Raharja Waluyo Jati.
Demi alasan keamanan, kader-kader PRD menggunakan nama
samaran macam ‘Amir’, ‘Lucas’, ‘Marcell’, ‘Mirna’, ‘Muhammad Ma’ruf’, ‘Rizal
Ampera’, dan ‘Sadeli’. Dari bawah tanah, PRD menyusun tiga agenda utama:
Membentuk tim pengacara untuk pembebasan kader yang dibui; penggalangan
kampanye internasional; dan membentuk kembali organ-organ perjuangan legal
maupun semi-legal.
Salah satu wujud dari agenda itu adalah pembentukan
Komite Nasional untuk Perjuangan Demokrasi (KNPD) pada 14 April 1997. Aliansi
ini dibentuk sebagai implementasi “strategi atas” alias kerja terbuka PRD
sekaligus ikhtiar menyatukan kelompok oposisi. Di organisasi itu, Suyat—yang
ditarik dari Surakarta—ditugaskan mengurusi departemen organisasi. Herman
Hendrawan, dengan nama alias ‘Sadeli’, ditempatkan sebagai Ketua Departemen
Kerjasama, yang memungkinkannya bersentuhan dengan kelompok-kelompok oposisi
terutama masa PDI pro-Mega. Wujud intervensi lain lewat fenomena Mega-Bintang
jelang Pemilu 1997.
Mula-mula Mega-Bintang merupakan seruan persatuan oposisi
antara pendukung Mega dan Partai Persatuan Pembangunan (berlogo bintang) untuk
menyaingi Golkar, mesin politik Orde Baru. PRD merespons fenomena itu dengan
melengkapi slogannya menjadi “Mega-Bintang-Rakyat”. Para kadernya
mendistribusikan selebaran di kantong-kantong perlawanan terhadap Orde Baru.
Boikot pemilu menjadi agenda besar PRD pada masa itu.
Aksi-aksi massa juga dilakukan dengan mantel “Aksi
Mega-Bintang-Rakyat”. Namun, riak-riak perlawanan menghadapi kebuntuan.
Pemerintah melarang atribut Mega-Bintang-Rakyat beredar di masa Pemilu.
Alhasil, sebagaimana lazimnya Pemilu era Orde Baru, hajatan demokrasi pura-pura
itu berlalu dengan kemenangan Golkar—memperpanjang status quo Soeharto selama
30 tahun. Saat bersamaan hantu krisis ekonomi bergentayangan.
Awal Juli 1997, krisis menghantam Thailand. Dua pekan
setelahnya merambat ke Indonesia. Pelan-pelan, rupiah keok di hadapan dolar.
Harga-harga barang melonjak. Derita rakyat setinggi leher. Pada momen-momen
genting itu, PRD melakukan konsolidasi nasional. Pertemuan pada 30-31 Agustus
1997 itu dihadiri seluruh anggota kolektif Komite Pimpinan Pusat dan perwakilan
dari masing-masing Komite Pimpinan Kota.
Ia berlangsung di Hotel Sentral di Jalan Pramuka,
Jakarta. Panitia menyewa satu suite room yang dianggap aman, luas, dan bisa
menyamarkan. Diskusi-diskusi berjalan di satu kamar hotel yang diisi lebih dari
30 orang.
Lahirlah program “Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan
Rakyat”. Kata “pemberontakan,” sebagaimana dijelaskan dalam rilis PRD, lebih
dekat dengan pembangkangan atau insureksi ketimbang huru-hara maupun kerusuhan.
PRD menganalisis jalan damai alias parlementer telah
macet. Pemilu 1997 yang baru saja berlalu hanya memperpanjang napas kekuasaan
Soeharto dan rezim Orde Barunya. Di sisi lain, sentimen anti-kediktatoran sudah
meluas. Itu ditandai macam-macam aksi massa berujung kekerasan yang disebut
“kerusuhan” oleh rezim Orde Baru, seperti peristiwa “Amarah” di Makassar,
“Kudatuli” di Jakarta, dan demonstrasi penolakan pemilu di beberapa kota. PRD
pun berikhtiar menjadi pelopor yang hendak mendorong pemberontakan terorganisir
sekaligus menghindarkan rakyat dari sentimen bernuansa rasial dan agama.
“Kalau mampu
meningkatkan suhu politik agar SU MPR Maret 1998 nanti kita mudah membuat
ledakan pemberontakan massa-rakyat untuk menggulingkan kediktatoran,” satu
kutipan materi diskusi Dewan Nasional PRD (Pembebasan, Oktober 1997).
Program “Gulingkan Soeharto dengan Pemberontakan Rakyat”
itu juga membutuhkan penyesuaian struktur organisasi. PRD membentuk “struktur
komando”, satu hierarki organisasi klandestin yang bersifat sementara.
Pengorganisasian massa rakyat secara sektoral bertransformasi menjadi
pengorganisasian teritorial, dengan tujuan insureksi.
Dalam struktur ini kewenangan tertinggi dipegang oleh
Komando Nasional—berupa kepemimpinan kolektif. Kolektif dikepalai oleh Komando
Lapangan Nasional—dipegang oleh Agus “Jabo” Priyono. Struktur ini menerapkan
prinsip garis komando ala militer.
“Saat itu lebih banyak instruksi daripada diskusi,” kata
Jabo.
PRD juga memutuskan pemusatan kader-kader dari daerah ke
Jakarta. Kader-kader ini ditempatkan di lima wilayah utama Jakarta dan tiga
wilayah penyangga (Bekasi, Bogor, dan Tangerang); masing-masing dipimpin
seorang Komando Wilayah. Mereka menempati polling-polling di kampus-kampus,
pabrik-pabrik, dan kampung-kampung atau kelurahan-kelurahan.
Guna memperketat keamanan, alur komunikasi dibuat
berjenjang antara Komando Nasional dan Komando Wilayah. Komunikasi terjalin
melalui perantara kurir. Di sinilah peran Petrus Bima Anugerah alias Bimpet
alias ‘Marcell’ menjadi penting. Peran Bimpet dalam Jaringan Kolektif PRD
Bimpet menjadi penanggung jawab gugus tugas kurir atau “kurir nasional”.
Dalam menjalankan tugasnya, Bimpet membawahi kurir-kurir
dari masing-masing Komando Wilayah. Tugas utamanya mendistribusikan keputusan
dan perintah dari struktur Komando Nasional ke masing-masing Komando Wilayah.
Taktik klandestin menuntut ketekunan dan kedisiplinan para kurir. Koordinasi
antarkurir sering berlangsung lewat pager dan menggunakan sandi.
“Bersama Bimpet, saya pernah menyusun sandi-sandi untuk
komunikasi. Sandi itu diambil dari (setting) kehidupan nyata, misal dunia
kampus. Kalau markas (sekretariat) kita sebut sebagai kelas, kalau aparat kita
sebut rektor,” kata Vije, eks-kader PRD yang saat itu menjalankan tugas kurir
untuk Komando Wilayah Jakarta Pusat. Vije mengenang Bimpet sebagai sosok
disiplin,
“Kalau janjian ketemu, telat 10 menit saja, dia sudah
bergeser.”
Pertemuan sering berlangsung di tempat-tempat umum
seperti halte, terminal, atau stasiun. Selain harus bersiasat mengatur
pertemuan, ingatan yang kuat menjadi senjata para kurir. Mereka harus mengingat
pesan, kudu hafal nomor-nomor telepon dan pager, plus mesti paham betul
rangkaian sandi yang sudah disepakati.
Pada masa itu, PRD mulai menggunakan teknologi internet
untuk komunikasi antar-daerah dan kampanye internasional. Perkakasnya sebuah
laptop plus modem besar dengan suara berisik. Laptop itu dilengkapi teknologi
enkripsi. Bila ingin membukanya perlu dua orang; masing-masing orang punya
separuh kata kunci yang dirahasiakan.
Dengan skema itu, dokumen tetap aman, bahkan bila salah
seorang pemegang kata kunci tertangkap. Laptop inilah yang kelak disita dalam
peristiwa ledakan di Tanah Tinggi. Standar keamanan diterapkan bila ada
kader-kader yang akan berjumpa untuk pertama kali—terutama karena banyak kader
dari daerah dan belum saling kenal. Yogi Lasimpo, eks-kader PRD dari Palu,
Sulawesi Tengah, punya kenangan khusus ihwal perjumpaan pertamanya dengan
Bimpet:
“Sekitar akhir 1997, saya diminta jumpa seseorang di
Stasiun Tanjung Barat. Orang ini membawa koran Kompas hari sebelumnya.
Sedangkan saya membawa Pos Kota hari sebelumnya. Setelah berkenalan, saya tahu
orang itu adalah Marcell (Bimpet).”
Setelah pertemuan itu Yogi tergabung dalam jejaring kurir
yang dipimpin Bimpet.
“Kami beberapa kali ketemu di bilangan Grogol. Biasanya,
Bimpet menyampaikan arahan-arahan dari Komando Nasional. Arahan itu yang kami
bawa kepada para organiser,” katanya.
Saat itu organiser PRD telah menyebar di
ibu kota. “Pemberontakan itu dipusatkan di Jakarta dengan fokus pengorganisiran
kaum miskin kota dan mahasiswa,” kata Agus “Jabo” Priyono.
Namun, taktik klandestin tak berjalan mulus. Rencana
pemberontakan berakhir prematur. Peristiwa ledakan di Tanah Tinggi
mendahuluinya. Menurut Jabo, hanya dua bom yang meledak di Tanah Tinggi; belasan
lain masih tersimpan dalam kulkas. Ledakan tanpa disengaja ini disebutnya
dipicu oleh suhu panas.
Prabowo Subianto berkata kepada majalah Panji bahwa “para
aktivis … enggak begitu ahli merakit bom.” Ia menuding mereka merakit 40 bom;
18 disita sementara “22 bom masih beredar di masyarakat.”
Sesudahnya, terjadi horor penculikan aktivis. Tatkala
situasi politik memanas, sejumlah kader terbaik PRD ditangkap dan disiksa: enam
orang dilepas dengan selamat; empat orang hilang. Meski begitu, analisis PRD menjadi
nyata. Soeharto mundur setelah didahului gelombang protes mahasiswa pada Mei
1998.
Kekerasan bertendensi rasial, diduga kuat ada peran
militer di dalamnya, merebak di Jakarta, Medan, dan Surakarta. Meski babak
belur, struktur komando PRD terus terlibat dalam pengorganisasian dan
mobilisasi massa pasca-Soeharto hingga aksi-aksi penolakan terhadap B.J.
Habibie menjadi presiden pada 1999, yang dianggap sebagai kroni Orde Baru.
“Kalau insiden Tanah Tinggi tidak terjadi, ceritanya
bakal berbeda,” klaim Jabo. Saya balik bertanya, “Apakah itu berarti Suyat,
Herman, Bimpet, dan Thukul tidak akan hilang?” Jabo sepintas bergeming. Hanya
matanya yang bergerak menatap langit-langit.
Menyatukan Mata Rantai yang Hilang
Andi Abdul alias Bedul bertubuh bongsor dengan kulit
cokelat gelap. Ia mengajak saya bertemu di sebuah bangunan kecil di tepian
Danau Cikokol, Tangerang, pada satu sore awal Februari 2020. Kami mengobrol
selama 25 menit, tapi Abdul hanya memberi izin merekam wawancara selama 2
menit; sisanya ia meminta hak nirwarta. Abdul adalah mata rantai yang hilang
dalam peristiwa lenyapnya Petrus Bima Anugerah alias Bimpet.
Kepada saya, Abdul mengaku sempat berjumpa Bimpet di
sebuah kantin rumah sakit di bilangan Grogol.
“Saya lupa itu tanggal berapa, tapi waktu itu saya memang
ketemu,” katanya.
Abdul akan
menjemput Bimpet ke kolektif PRD Tangerang.
“Kami ngobrol-ngobrol sebentar, enggak lama dia dapat
pesan di pager. Dia bilang, ‘gua enggak bisa hari ini’. Akhirnya saya pulang,”
kata Abdul. “Kami pisah. Saya pulang ke Tangerang. Dia ke mana … saya tidak
tahu.”
Kurun 1997-1998, Abdul tercatat sebagai organiser PRD
untuk wilayah Tangerang. Awalnya ia bersentuhan dengan kader-kader PRD lewat
jejaring PDI pro-Mega di Tangerang. Di kolektif PRD Tangerang, Abdul sempat
beberapa kali bertemu Wiji Thukul dan Bimpet.
Sesudah konsolidasi nasional PRD pada akhir Agustus 1997,
selepas bersembunyi di Pontianak dan memakai nama alias ‘Aloysius Sumedi’,
Thukul menjadi Komando Wilayah Tangerang. Bimpet juga beberapa kali menyambangi
kolektif yang bermarkas di Kebon Jati, Karawaci ini. Semasa itu, di antara
kader PRD, Abdul diduga penyusup atau informan. Lukman Hakim, kawan satu
kolektif dengan Abdul di Tangerang dan kini menjadi Wakil Ketua PRD, mengakui
keberadaan desas-desus itu.
Sekitar awal 1998, Lukman menerima pesan dari Thukul,
saat itu dirinya bertugas sebagai kurir, untuk memindahkan polling (markas).
“Perintahnya pindahkan polling tanpa sepengetahuan Abdul,
karena dia diduga sebagai informan,” kata Lukman.
Thukul adalah Komando Wilayah Tangerang saat itu dan
pesan yang diterimanya berhilir pada Komando Nasional. Peredaran informasi
dalam struktur komando telah melalui verifikasi sebelum disampaikan oleh kurir
pusat kepada seluruh komando wilayah. Lukman menjalankan perintah, tetapi
berlaku skeptis terhadap desas-desus.
“Kalau benar dia informan,” katanya, “Kenapa dia ndak
punya aktivitas politik?” Saya minta Abdul menanggapi desas-desus itu.
Ia menjawab pendek sambil menyeringai, “Hanya Allah yang
tahu. Saya mau melupakan masa lalu. Pengin jauh dari politik. Sekarang, mau
fokus usaha dan mengurus keluarga.”
Benar atau tidak desas-desus itu, faktanya, Bimpet hilang
setelah berjumpa Abdul. Vije, yang menggantikan posisi Bimpet sebagai kurir
nasional, melempar spekulasi:
“Mungkin dengan menghilangkan Bimpet, kalau perannya
diketahui, dianggap bisa merusak rantai komunikasi PRD.”
Tugas kurir tak sekadar menjadi “tukang pos”. Tiap kurir
bertugas mengantisipasi potensi ancaman dan bahaya serta menyelamatkan
pemimpin-pemimpin partai bawah tanah.
Kebocoran di tingkat kurir dapat membuat seorang pemimpin
dalam bahaya. Bimpet sudah lama terdeteksi oleh aparat keamanan. Namanya
disebut-sebut oleh para interogator Tim Mawar yang mencecar enam aktivis PRD
yang diculik dan disekap di Pusat Komando Taktis Kopassus, Cijantung.
Sebelumnya, Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga
angkatan 1993 ini punya catatan penangkapan oleh militer. Sekitar awal Maret
1997, Bimpet ditahan di Kodim Jakarta Selatan selama dua hari karena selebaran
Mega-Bintang-Rakyat. Ia dipindahkan ke Polda Metro pada 6 Maret 1997,
disangkakan dengan pasal-pasal penghinaan tapi dilepaskan pada pertengahan
1997.
Bimpet pernah pula ditahan aparat saat “aksi lompat pagar
kedutaan” dengan aktivis pro-kemerdekaan Timor Timur. Ia masuk radar perburuan
aparat sejak Juli 1996 semasa beraktivitas di Jawa Timur. Sekitar akhir 1995
hingga pertengahan 1996, kawasan industri Tandes, Jawa Timur, menjadi
konsentrasi pengorganisiran PRD.
Puncaknya pemogokan massal pada 8 Juli 1996, yang
berujung penangkapan kader-kader PRD—termasuk tiga orang yang dijebloskan ke
penjara: Dita Indah Sari (basis buruh), Coen Husain Pontoh (basis tani), dan
Sholeh (basis mahasiswa). Di tengah perburuan aktivis-aktivis PRD di Jawa Timur
oleh aparat Kodam Brawijaya, Bimpet ditarik ke Jakarta dan menjadi Ketua
Departemen Pendidikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).
Kuliahnya juga pindah ke Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat
Driyarkara.
Seniornya di FISIP Unair angkatan 1990, Herman Hendrawan, menjadi
“target nomor satu” oleh aparat keamanan Orde Baru.
Pada 29 Juli 1996, Herman berhasil keluar dari Surabaya,
menuju Jakarta dan terintegrasi kembali dengan kerja-kerja PRD. Saat itu, demi
merespons peristiwa 27 Juli, PRD menggalang kekuatan oposisi dengan
kelompok-kelompok PDI pro-Mega lewat pembentukan Komite Nasional untuk
Perjuangan Demokrasi (KNPD).
Herman menjabat ketua departemen kerjasama di organisasi
itu. Tugas itu menempatkan Herman pada posisi unik. Ia menjadi kader PRD yang
tampil terbuka (bersama KNPD) pada fase-fase genting ketika partai beroperasi
tertutup (bawah tanah).
Posisi itu memperbesar pengaruh Herman dalam jejaring
kelompok PDI pro-Mega; berkarib dengan para tokoh senior PDI pro-Mega termasuk
Sutjipto yang kelak menjadi Sekjen PDIP (2000-2005), dan Bambang DH yang pernah
menjabat Wali Kota Surabaya (2002-2010). Selagi pemerintahan Soeharto menggelar
Sidang Umum MPR pada 12 Maret 1998, Herman melalui KNPD mengadakan konferensi
pers menolak hasil Pemilu 1997 di kantor YLBHI, Jakarta Pusat.
Setelahnya, Herman diculik, sebagaimana dialami Raharja
Waluyo Jati dan Faisol Riza. Walau tak pernah bersitatap langsung, lantaran
disekap dalam sel berbeda, rekan dia yang diculik menuturkan indikasi
keberadaan Herman di markas Kopassus, Cijantung. Waluyo Jati berkata pernah
diperlihatkan foto polaroid Herman—saksi-saksi lain mengaku sempat difoto
polaroid di lokasi tersebut.
Jati dan Faisol pernah mendengar suara Herman menyanyikan
lagu “Widuri” dan “Camelia”—lagu yang biasa dinyanyikan Herman.
Wiji Thukul, yang kerap berhubungan dengan Bimpet dalam
jejaring kurir PRD, kemungkinan dihilangkan pada akhir Mei 1998 setelah Bimpet
hilang pada awal April. Penyair pelo ini menjabat Ketua Jaringan Kerja Kesenian
Rakyat (Jaker) yang berafiliasi ke PRD sejak awal 1990-an. Ia tercatat sebagai
ketua biro budaya dalam kepengurusan PRD (versi 'persatuan').
Thukul sempat membacakan puisi dalam deklarasi PRD pada
22 Juli 1996.
Selepas kekerasan politik 27 Juli, Thukul menjadi salah
seorang yang diburu oleh negara polisi-militer Orde Baru. Rumahnya di Solo
digerebek aparat, tetapi ia berhasil meloloskan diri. Belakangan Thukul menyeberang
ke Pontianak, Kalimantan Barat. Saat PRD bergerak di bawah tanah pasca-27 Juli
1996, Thukul menjadi salah seorang pemimpin kolektif. Namun, lantaran posisinya
di Kalimantan, statusnya dibekukan untuk sementara.
Pada pengujung Maret 1997, Thukul meninggalkan Kalimantan
menuju Jakarta. Selanjutnya, ia terintegrasi kembali dalam kerja-kerja PRD
bawah tanah dan ditempatkan menjadi Komando Wilayah Tangerang.
Kontak terakhir Thukul berupa suara telepon kepada
istrinya, Dyah Sujirah atau dipanggil Sipon, pada pertengahan Mei 1998. Solo
rusuh, sebagaimana Jakarta. Thukul, yang sangat menyayangi istri dan kedua
anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah, khawatir atas keadaan keluarganya.
Tim penyelidik Komnas HAM 2005- 2006 menulis nama Wiji
Thukul masih dianggap sebagai “ancaman” dalam media briefing Angkatan Darat
setelah Soeharto jatuh pada Juni-Juli 1998. Wiji Thukul, Herman Hendrawan,
Petrus Bima Anugerah, dan Suyat dihilangkan saat PRD menerapkan kombinasi
strategi-taktik “kerja atas” alias perlawanan terbuka lewat aliansi oposisi
macam KNPD, dan “kerja bawah” alias klandestin lewat jaringan kolektif di
Jakarta dan wilayah penyangganya.
Hampir 22 tahun berlalu, kasus penghilangan paksa ini
tertutup rapat. Desakan agar mengadili mereka yang bertanggung jawab atau yang
setidaknya mengetahui kasus ini, diabaikan oleh negara; dikucilkan pada masa
kepemimpinan Megawati, didiamkan di periode Susilo Bambang Yudhoyono,
dijanjikan harapan kosong oleh Jokowi. Dalam satu puisinya tahun 1991, Thukul
pernah berpesan mengenai tabiat penguasa melenyapkan kehidupan: Ceritakanlah
ini kepada siapapun sebab itu cerita belum tamat.
____
Laporan ini disusun
berkat kolaborasi antara Tirto dan peneliti militer Made Tony Supriatma dan
Aris Santoso serta kontributor Ahsan Ridhoi, Muammar Fikrie, dan Kontras.
Artikel ini
berbasis dokumen laporan akhir tim penyelidikan Komnas HAM pada 30 Oktober 2006
tentang pelanggaran HAM berat dalam peristiwa penghilangan orang secara paksa.
Basis materi primer
lain adalah dokumen putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta pada 6 April
1999. Materi sekunder adalah wawancara Prabowo Subianto dengan majalah Panji
edisi 27 Oktober 1999.
Laporan ini
bertumpu pada wawancara dengan sedikitnya 13 narasumber, baik yang bersedia
dikutip maupun yang minta hak anonimitas. Laporan ketiga ini bagian dari enam
artikel yang kami siapkan untuk dirilis selama pekan-pekan berikutnya.
Reporter: Tim Kolaborasi Tirto
Penulis: Muammar Fikrie
Editor: Fahri Salam
Bimpet hilang pada 1 April
1998; Wiji Thukul pada akhir Mei; keduanya berhubungan dalam kerja kolektif PRD
Tangerang.