Oleh: Sunardian Wirodono
Sebuah pidato yang terdengar sama-sama sumbang di telinga para anggota organisasi komunis dunia sekaligus kalangan muslim. Karena pidato itu, ia dipecat dari Komunisme Internasional, dan dibenci kalangan muslim.
Waktu itu, komunisme merupakan salah satu kekuatan utama dunia. Posisinya saat itu memang anti-agama, meski diposisikan di atas diktum ‘agama sebagai candu’ sebagaimana ujar Karl Marx. Marx waktu itu kesal pada otoritas gereja yang dianggap tak berpihak pada perjuangan kaum tertindas jamannya.
Sementara Islam dalam ajaran Kanjeng Nabi, seperti tertuang dalam tesis Ali Syariati, justru adalah kekuatan bagi kaum tertindas (musthad’afin). Pada sisi ini, Tan tampak sama dan sebangun dengan Syariati. Apalagi lingkungan keluarganya yang ketat. “Saya lahir dalam keluarga Islam yang taat.
Ibu-Bapak saya keduanya taat dan orang takut kepada Allah, dan jalankan sabda Nabi,…” tulis Tan dalam ‘Islam dalam Tinjauan Madilog’ (1948).
Tan mungkin founding father yang kerap ditempatkan bukan di mana ia memilih berpijak. Tan lebih banyak berada dalam stigma, cap dengan logika bahlul bahwa ia kiri, komunis, PKI, dan parallel dengan ateis. Padahal ia muslim yang patuh dan sejak kecil hafal Alquran.
Sejarah Indonesia, sering hanya diwarnai dua hal, stigma dan mitos, dua hal yang sesungguhnya tak sepantasnya jadi rujukan. Tan memilih untuk bersikap jujur terhadap Islam. Ia tentu seorang komunis, namun tak anti-Islam. Bahkan Tan menaruh harapan pada Pan-Islamisme di belakang gerbong Sarekat Islam. Cita-cita Republik Indonesia, mempertemukan komunisme dan Islam dalam satu barisan beda warna. Apalagi sebagai sesama tertindas.
“Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis,” kata Tan sebagaimana pernah dituangkan dalam Naar de Republiek (1922). Menceraikan keduanya, bukanlah lantaran jalan berbeda masing-masing, melainkan karena propaganda politik semata.
Dulu mungkin politik Belanda. Sekarang, siapa yang memakai FPI untuk membenturkan dengan pahlawan nasional Tan Malaka ini? Biasanya yang punya kepentingan politik. Kita tahu, politik selalu kesulitan bersikap jujur pada sejarah. Sejarah kita hanyalah sejarah rejim demi rejim, bukan sejarah dialektika Indonesia.
Makanya komunisme masih sering jadi dagangan, bagi yang hobi membenturkan akar rumput. Cara-cara bodoh ini hanya dipakai mereka yang bodoh, dan diikuti oleh yang lebih bodoh lagi. Itu cuma soal duit. Nggak ada kaitannya dengan ideologi. Juga bagi yang suka bikin proposal.
https://www.facebook.com/sunardian/posts/10209018066639946
0 komentar:
Posting Komentar