PROFESI mulia dan terhormat (officium nobile), seringkali dilekatkan kepada pengacara atau advokat. Posisinya disejajarkan dengan hakim dan jaksa yang dilindungi oleh undang-undang dalam menjalankan tugasnya. Tentunya pada praktiknya hal tersebut masih jauh dari kenyataan. Masyarakat bahkan seringkali menilai profesi pengacara dari segi penghasilan dan gaya hidup saja. Banyak juga yang tidak menyukai karena profesi pengacara identik dengan masalah, licik, pintar memutarbalikkan fakta, dan lebih mementingkan kemenangan daripada kebenaran. Profesi pengacara seringkali masuk dalam deretan profesi yang paling dibenci oleh masyarakat.
Dalam gerakan sosial, pengacara seringkali dianggap sebagai figur yang konservatif atau kontra revolusioner. Soekarno bahkan mengutip kalimat seorang aktivis buruh Jerman yang mengkritik bahwa kita tidak bisa revolusi dengan para yuris atau ahli hukum (Met juristen kan men geen revolutie maken!). Pengacara dituntut untuk menaati dan mengawal penegakan hukum, sementara gerakan sosial seringkali justru melanggar hukum positif. Hanya sedikit pengacara yang merasa bertanggungjawab terhadap perubahan sosial dan secara umum pengacara dianggap tidak berpengaruh banyak dalam gerakan sosial.[1]
Jika kita telaah, tentunya hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Sejarah mencatat bahwa pengacara tidak hanya berfungsi sebagai alat dalam revolusi, tapi juga sebagai kreator dari revolusi tersebut.[2]
Ibarat massa aksi adalah sebagai mesin perubahan sosial, pengacara adalah minyaknya. Bachmann menyatakan bahwa pengacara tidak hanya kendaraan utama dalam perubahan sosial, mereka juga memiliki peran dalam pengorganisasian berbagai kelompok dan membuat legitimasi dalam berbagai perjuangan.[3]
Tentu saja yang dimaksud dengan revolusi yang didukung atau dilakukan oleh pengacara tersebut memiliki makna beragam. Sebagai contoh, peran pengacara dianggap sangat signifikan dalam Revolusi Amerika (1776). Dari 56 penandatangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika, 25 orang merupakan pengacara. Thomas Paine dalam pamfletnya yang dianggap revolusioner mengatakan bahwa hukum adalah raja (The Law is King). Pengacara juga berperan signifikan dalam Revolusi Inggris (1688) dan Revolusi Perancis (1789) dalam melawan monarki. Dalam perspektif kiri saat ini, peran pengacara tersebut belum tentu dianggap revolusioner karena akhirnya memperkuat negara dan kelompok borjuis yang justru menjadi ancaman baru bagi warga negara.[4]
Kita mengetahui Mahatma Gandhi, tokoh pembebasan India dari Inggris yang merupakan pengacara. Setelah jadi pengacara di Inggris, ia kemudian pindah ke Afrika Selatan dan menjadi pengacara pedagang muslim India di Pretoria. Di Afrika Selatan, Gandhi tidak hanya melakukan pembelaan terhadap para pedagang, melainkan juga melakukan advokasi terhadap undang-undang yang dianggap diskriminatif, seperti undang-undang yang melarang keturunan India untuk memilih. Selepas dari Afrika Selatan, Gandhi kemudian memperjuangkan kemerdekaan India. Langkah Gandhi menjadi inspirasi Martin Luther King, Jr untuk memperjuangkan kesetaraan melalui gerakan hak sipil di Amerika Serikat.
Selain Gandhi, kita mengenal Fidel Castro yang sebelumnya merupakan seorang pengacara. Castro beberapa kali melayangkan gugatan hukum kepada Jendral Batista. Nelson Mandela yang merupakan tokoh pembebasan, juga adalah pengacara sebelumnya.
Tentunya ada banyak tokoh pembebasan lain yang merupakan pengacara. Hal yang terpenting, dalam setiap perjuangan revolusioner selalu ada pengacara revolusioner yang memberikan dukungan. Di Indonesia, Soekarno yang tidak mempercayai pengacara dalam revolusi pun dibantu oleh pengacara Mr. Sartono, Mr. Sastromulyo, Mr. Suyudi, dan Raden Idih Prawiradiputra dalam pembelaan di pengadilan ketika dipidana oleh pemerintah Belanda.[5]
Bagaimanapun pengacara atau orang yang mengerti hukum sangat dibutuhkan dalam gerakan sosial. Hal yang berbeda jika gerakan sosial yang dibangun adalah gerakan sosial tanpa negara atau anarkis, meskipun anarkis tetap mengakui dalam situasi tanpa negarapun, norma sosial tetap diperlukan.
Peter Kropotkin menerima norma sosial dalam relasi antar manusia, misalnya kewajiban untuk memenuhi kontrak yang diterima secara bebas. Selain itu Bakunin berpendapat bahwa negara merupakan kejahatan yang mutlak, sehingga negara harus dihilangkan dan relasi antar individu dan komunitas tidak lagi relasi kekerasan. Norma sosial akan ditegakkan bukan dengan hukum tapi dengan persetujuan bebas komune.[6]
Menurut hemat saya, peran dari orang yang paham hukum ataupun norma sosial tetap diperlukan, bukan sebagai orang yang melakukan pembelaan (pengacara) ataupun menyusun hukum, melainkan sebagai fasilitator yang mendorong agar hukum tidak lahir dari atas ke bawah, tapi atas kesadaran individu yang tergabung dalam komunitas ataupun masyarakat.
Peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dalam Gerakan Sosial
Peran pengacara dalam memberikan bantuan hukum kepada orang miskin ataupun aktivis politik, sebenarnya telah muncul sebelum dan pasca kemerdekaan. Namun, gerakan bantuan hukum menjadi gerakan sosial dapat dikatakan baru muncul ketika berdirinya LBH di tahun 1970. Dengan dukungan banyak tokoh seperti Jenderal Hoegeng, Adam Malik, Mochtar Lubis, Yap Tian Hien, HJC Princen, Suardi Tasrief, Ali Sadikin, dan berbagai tokoh lainnya, Adnan Buyung Nasution mendirikan LBH yang diperuntukkan guna membela orang miskin, buta hukum dan tertindas. Selain karena pengalaman sebagai jaksa, Buyung terinspirasi karena melihat gedung Societeit de Harmonie (sekarang gedung Sekretariat Negara RI) dengan tulisan Verboden voor Honden en Inlanders, artinya dilarang masuk untuk anjing dan orang pribumi. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan sosial antara pribumi dan non pribumi, si miskin dan kaya.[7]
Dalam perkembangannya, LBH kemudian menjadi organisasi yang sangat kritis terhadap pemerintah dan tidak hanya terjebak dalam bantuan hukum konvensional yang sifatnya belas kasihan semata. LBH mengembangkan metode bantuan hukum yang dinamakan bantuan hukum struktural, yaitu bantuan hukum yang diberikan kepada si miskin dan lemah melalui upaya perubahan suatu struktur sosial, politik, ekonomi dan budaya yang timpang menuju ke arah struktur yang memberikan peluang bagi pengembangan sumber daya hukum si miskin dan lemah. Jadi bukan merupakan aksi kultural semata melainkan suatu aksi struktural yang diharapkan mengubah tantanan masyarakat yang lebih adil.[8] Dengan konsep bantuan hukum struktural tersebut, LBH telah meneguhkan diri sebagai suatu “gerakan alternatif” dalam bidang bantuan hukum, memiliki paradigma, visi dan orientasi yang berbeda dengan berbagai lembaga bantuan hukum yang ada di Indonesia.[9]
Perlawanan terhadap kebijakan pemerintah serta adanya pendidikan hukum, sosial, dan politik kepada masyarakat kemudian dicurigai oleh pemerintah orde baru sebagai gerakan politik dan mirip dengan Partai Komunis Indonesia. Buyung pernah dipanggil oleh Jenderal Durmawel Achmad, Sekretaris Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib. Bantuan hukum struktural yang juga menganalisis masyarakat berdasarkan kelas dianggap sebagai pemikiran Marxis dan komunis. Buyung membantah dan mengatakan bahwa Marx adalah sosiolog. Membela masyarakat yang paling bawah merupakan cita-cita kemerdekaan Indonesia.[10] Istilah bantuan hukum struktural sebenarnya diberikan oleh Prof Paul Moedikdo ketika mengundang Buyung ke Belanda.
Paul Moedikdo menemukan bahwa LBH telah mempraktikkan teori strukturalisme tanpa memahami konsep teori strukturalisme terlebih dahulu. LBH bahkan telah mempraktikkan teori strukturalisme satu dekade sebelum teori strukturalisme tersebut populer pada tahun 1980an.
Adanya konsep bantuan hukum yang berbeda tentunya juga menjadikan tipologi pengacara LBH menjadi berbeda dengan pengacara biasa. Daniel S Lev mengkategorikan pengacara LBH sebagai advokat aktivis karena juga berjuang dalam perubahan. Berbeda dengan pengacara bisnis atau pengacara litigasi biasa. Di Eropa ataupun Amerika, maka pengacara LBH dapat digolongkan sebagai cause lawyer, public interest lawyer ataupun radical lawyer. Hal ini karena pengacara LBH berbeda dengan elite lawyer karena mereka bersama rakyat melakukan pengorganisasian dan mendorong gerakan sosial.
a. Peran Pengacara
George Lakey berpendapat bahwa terdapat empat peran pengacara dalam perubahan sosial.[11]
Pertama, peran sebagai advokat (The Advocate Role). Ini adalah peran dalam mengubah kebijakan ataupun praktik, misalnya melakukan gugatan terhadap pemerintah karena kebijakan yang menindas ataupun melakukan lobi kepada pemangku kebijakan. Bill Moyes menganggap ini sebagai peran reformis, namun tetap mengakui bahwa advokat dapat mendorong perubahan yang radikal dalam substansi.
Kedua, peran sebagai Penolong (The Helper Role). Lebih cenderung kepada pelayanan langsung untuk memulihkan keadaan. Misalnya memberikan pelatihan terhadap orang yang mendapatkan diskriminasi dalam mencari pekerjaan. Seseorang yang menyenangi peran ini biasanya akan melawan polusi karbon dengan memasang instalasi tenaga surya untuk rumah. Para pekerja sosial berada dalam peran ini.
Ketiga, peran sebagai pengorganisir (The Organizer Role). Berbeda dengan advokat yang bahagia jika berhasil meyakinkan hakim atas gugatannya. Penolong bahagia melihat kelulusan anak-anak yang berasal dari kelompok rentan. Pengorganisir, di sisi lain, justru bahagia jika berhasil mengumpulkan orang-orang yang sebelumnya tidak saling mengetahui menjadi satu tim yang solid, atau melipatgandakan kehadiran orang-orang dalam pertemuan serikat. Pengorganisir seringkali percaya bahwa kekuatan jumlah akan membuat perubahan karena pemegang kekuasaan takut dengan kekuatan alternatif.
Keempat, peran sebagai pemberontak atau pembangkang (The Rebel Role). Peran sebagai pembangkang ini lebih memilih membuat berbagai keributan ataupun gangguan untuk memaksa pemegang kekuasaan melakukan perubahan. Lakey mencontohkan Martin Luther King Jr yang menjelaskan bahwa kampanye harus membuat situasi krisis sehingga terjadi perubahan. Gandhi membuat begitu banyak masalah sehingga membuat India tidak lagi diperintah Inggris. Tentunya peran ini membutuhkan keterampilan pengorganisasian untuk meningkatkan gangguan ke titik krisis.
Menariknya, peran LBH melingkupi empat peran di atas; menjadi advokat, penolong, organisatoris, dan juga sebagai pembangkang. Pengacara Publik LBH tidak hanya melakukan gugatan strategis, melakukan lobi, ataupun protes, tapi juga dituntut untuk menjadi pekerja sosial yang terkadang harus mengordinir kebutuhan sandang, pangan, papan, dan pendidikan para pencari keadilan. Selain itu Pengacara Publik LBH juga dituntut untuk memberdayakan dan mengonsolidasikan masyarakat sehingga mampu mandiri dalam mendorong perubahan. Ini sesuai yang dikatakan David Harvey yang mensyaratkan gerakan hak atas kota harus bisa menyatukan tangis dan tuntutan (cry and demand) dari rakyat. Tidak hanya itu, terkadang LBH harus terdepan dalam melakukan pembangkangan. Sebagai contoh ketika terdapat Peraturan Gubernur No 228 Tahun 2015 yang membatasi unjuk rasa, LBH dengan tegas menyerukan akan membangkang dan siap untuk ditangkap.
Menjadi pengacara publik atau pekerja bantuan hukum LBH Jakarta, menurut saya, tidak ubahnya menjadi seorang divergent, yaitu seseorang yang berbeda dari mayoritas. Ada beberapa hal yang membedakan pengacara publik LBH Jakarta dengan pengacara pada umumnya, yaitu:
1) Pengacara Publik LBH Jakarta merupakan aktivis politik yang mendorong perubahan sosial;
2) Pengacara Publik LBH Jakarta memiliki posisi strategis dan tanggung jawab yang lebih berat. YLBHI/LBH bahkan sering disebut sebagai lokomotif demokrasi karena perannya dalam melawan pemerintahan diktator orde baru dan menjadi pelopor meeting of mind karena berbagai pemikiran progresif;
3) Pengacara Publik LBH Jakarta siap untuk hidup sederhana ataupun kekurangan;
4) Pengacara Publik LBH Jakarta ‘haram’ menerima pemberian dari klien.
Dalam kode etik LBH Jakarta, dilarang keras menerima pemberian dari klien; 5)Pengacara Publik LBH Jakarta tidak boleh mentolerir sistem dan aparatur yang korup;
6) Pengacara Publik LBH Jakarta dipaksa untuk menguasai berbagai disiplin ilmu dan keahlian. Ia, misalnya, dituntut untuk menguasai tidak hanya ilmu hukum tapi juga ilmu sosial yang lain, seperti sosiologi, ekonomi, politik, psikologi, hubungan internasional, dll.
Bahkan, bukan tidak mungkin, dituntut untuk mempelajari ilmu alam jika menangani kasus yang berkaitan dengan alam; kasus lingkungan hidup, kebocoran tabung gas, dll.
Seorang pengacara publik LBH Jakarta dituntut memiliki berbagai keahlian, tidak hanya keahlian berpraktik hukum, tapi juga keahlian melakukan riset, komunikasi publik, berkampanye, mendidik masyarakat, melakukan pengorganisasian, manajerial, menyusun perencanaan, melakukan penggalangan dana, dan berbagai keahlian lain. Contoh lain, dalam kasus pengungsi Nunukan, pengacara publik LBH Jakarta dituntut tidak hanya menjadi pengacara tapi juga pekerja kemanusiaan karena banyaknya bantuan logistik yang disalurkan melalui LBH Jakarta untuk pengungsi. [12]
b. Peran Organisasi
Mansour Fakih membagi posisi politis organisasi non pemerintah di Indonesia ke dalam tiga golongan.[13]
Pertama, tipe konformis. Tipe ini dapat dilihat pada aktivis yang bekerja berdasarkan paradigma bantuan karitatif dan berorientasi proyek, serta bekerja dengan menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada.
Kedua, tipe reformis. Aktivis yang aktif dalam organisasi non pemerintah yang bekerja pada ideologi modernisasi dan developmentalisme. Mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan serta menganggap bahwa keterbelakangan mayoritas rakyat disebabkan oleh adanya sesuatu yang salah dengan mentalitas, perilaku, dan kultur rakyat. Visi perubahan sosial yang dikembangkan lebih kepada jalur perubahan bersifat struktural fungsional.
Ketiga, tipe transformatif. Salah satu cirinya adalah mempertanyakan paradigma mainstream serta ideologi yang tersembunyi di dalamnya. Tipe ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Mereka yang menggunakan pendekatan transformatif ini juga mendasarkan kegiatan pada metodologi transformatif, yaitu proses pendidikan untuk memunculkan kesadaran kritis dan menjadikan rakyat sebagai pusat perubahan sosial. Rakyat harus memiliki kontrol atas sejarah dan pengetahuan mereka sendiri. Corak perubahan sosial paradigma tersebut kritikal dan struktural.
Jika melihat ketiga tipe tersebut di atas, maka LBH termasuk ke dalam tipe yang ketiga karena kesesuaian dengan metode bantuan hukum struktural yang berusaha membongkar struktur yang mendindas rakyat. LBH dalam visi misinya juga tegas dikatakan harus mendorong rakyat mandiri dalam memperjuangkan haknya. Bahkan dalam kode etiknya, Pengacara Publik LBH tidak diperbolehkan mengooptasi gerakan rakyat.
Foto diambil dari www.aktual.com
Pembelaan dan Dukungan Terhadap Gerakan Sosial
LBH Jakarta mencatat setidaknya terdapat 1200 kasus dengan 30.000 sampai dengan 50.000 pencari keadilan setiap tahunnya. Selama 46 tahun berdiri, sekurangnya terdapat 45.989 pengaduan yang masuk ke LBH Jakarta. Peran LBH yang paling signifikan tentunya bukan terkait banyaknya jumlah kasus yang ditangani setiap tahun, tapi bagaimana LBH bisa menjadi aktor yang konsisten membela korban represifitas orde baru serta menjadi lembaga yang lantang terhadap kebijakan orde baru. Hal yang sangat radikal ketika itu karena tidak banyak yang berani melawan pemerintahan orde baru.
Hampir seluruh kasus subversif atau oposisi terhadap orde baru ditangani oleh LBH, sebut saja kasus Malari (1974), Komando Jihad (1976), A.M Fatwa (1984), H.R Dharsono karena dituduh terlibat kasus Bom BCA (1984), Sahroni dan Alimin yang merupakan anggota NII (1984), Petisi 50, mahasiswa yang mendukung kemerdekaan Timor Timur (1992), Sri Bintang Pamungkas karena dituduh menggerakkan demonstrasi di Berlin (1995), Muchtar Pachpahan (1996), dan sederet kasus politik yang lain.
Berbagai terobosan hukum dan dorongan kebijakan juga lahir dari peran aktif LBH. Tidak heran karena setiap tahunnya 20-30 advokasi kebijakan ditangani oleh LBH. Terobosan mengenai mekanisme gugatan warga negara (citizen law suit), pembatalan kontrak swastanisasi air antara swasta dengan pemerintah, legitimasi perubahan jenis kelamin pertama di Indonesia (kasus Vivian Rubyanti), dan lain-lain.
Banyak juga pembelaan yang bisa dimenangkan tanpa melalui proses hukum di pengadilan, melainkan melalui pengorganisasian dan advokasi bersama jaringan kerja. Misalnya kasus pembangunan pabrik Aqua di Padarincang Serang yang berhenti karena masifnya aksi penolakan masyarakat, gagalnya penggusuran kampung Cina Benteng, gagalnya penggusuran warga Kebun Sayur Ciracas, perubahan Pergub 228 tahun 2015 yang membatasi demonstrasi di Jakarta, perubahan sistem pilkada yang kembali dipilih secara langsung oleh masyarakat, penghentian kasus kriminalisasi Bambang Widjajanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan, serta berbagai kasus lainnya.
Dalam konteks pembelaan yang terkait dengan ideologi kiri, LBH Jakarta mencatat juga sederet kasus, misalnya:
- Memberikan pembelaan terhadap aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dituduh menjadi dalang peristiwa penyerangan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia. Deklarasi PRD dilakukan pada 22 Juli 1996 atau 5 hari sebelum kasus 27 Juli 1996.
- Uji materi UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi terkait hak memilih dan dipilih orang yang dituduh terlibat dalam PKI, baik langsung maupun tidak langsung.[14]
- Melakukan pembelaan terhadap individu-individu yang dituduh terlibat, baik langsung ataupun tidak langsung dalam PKI. Sebagai contoh kasus Nani Ruani, seorang penyanyi yang merupakan korban stigma PKI. Ia ditahan tujuh tahun tanpa proses peradilan dan tidak diberikan KTP seumur hidup. Putusan pengadilan memenangkan Nani Nurani dalam kasus KTP seumur hidup.
- Gugatan kelompok (class action) korban Stigma 65. Setidaknya 20.000.000 orang menjadi korban stigma terlibat dalam PKI. Pada tahun 2005 LBH Jakarta bersama jaringan para korban mengonsolidasikan para korban stigma dan melakukan gugatan kelompok. Gugatan ini kandas, namun dapat mengonsolidasikan korban.
- Pada tahun 2010 LBH Jakarta bersama jaringan tim advokasi, Institut Sejarah Sosial Indonesia, Peneliti LIPI, dan beberapa tokoh masyarakat mengajukan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum atau biasa disebut UU Pelarangan Buku. Gugatan dimenangkan, Jaksa Agung tidak memiliki kewenangan untuk melarang buku tanpa proses pengadilan.
- Selain gugatan kelompok, LBH Jakarta bersama Kontras, Elsam, YPKP, dan LPR-KORB mengajukan uji materi terhadap Keputusan Presiden No. 28 Tahun 1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat G.30.S/PKI Golongan C. Mahkamah Agung mengabulkan uji materi ini dan menganggap Kepres bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, termasuk Pasal 27, 28D, dan 28I Undang-Undang Dasar 1945.[15]
Oleh karena itu diwajibkan bagi setiap Pengacara Publik untuk melakukan pemberdayaan. Bahkan pemberdayaan tidak hanya dilakukan dengan pendidikan komunitas ataupun pendidikan paralegal. Pemberdayaan dimulai dari sejak awal pengaduan dan konsultasi, yaitu bagaimana membuat klien atau calon klien menjadi melek hukum dan memiliki kesadaran kritis terhadap situasi yang dihadapinya. Tidak heran LBH Jakarta seringkali mendorong masyarakat untuk menggugat sendiri dengan pendampingan (ghost lawyer).
Sebagai contoh, warga Budi Dharma berhasil memenangkan gugatan kelompok (class action) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanpa LBH Jakarta menjadi pengacaranya di persidangan. LBH Jakarta hanya menjadi pendamping dan fasilitator dalam memberikan pengetahuan hukum acara kepada warga Budi Dharma.
Penutup
Berbagai kritik harus dilayangkan terhadap lembaga yang sudah cukup tua ini. Jebakan romantisme masa lalu karena dianggap sebagai lokomotif demokrasi harus dihindari. Rezim berubah, ancaman, peluang, serta tantangan juga berubah. Saat ini LBH Jakarta membutuhkan kontribusi para pemikir sosial untuk merevitalisasi bantuan hukum struktural sesuai dengan konteks kekinian. Bantuan hukum struktural terjebak dalam template lama sementara penindasan terhadap masyarakat miskin tetap ada dengan variabel sosial politik yang berbeda. Ibarat petinju, saat ini LBH Jakarta selalu berada di atas ring dengan hanya sedikit waktu untuk merefekleksikan pertarungannya dan meminta bantuan dari para banyak pihak.
Selain disibukkan oleh kasus dan berbagai ancaman eksternal, LBH Jakarta saat ini juga menghadapi tantangan dalam perbaikan internal organisasi. Sebagai contoh, lembaga yang sudah tua ini ternyata masih belum berkelanjutan dalam sistem pendanaan. Selain itu kebutuhan mencetak pengacara publik yang lebih radikal, militan, dan penuh pengorbanan saat ini semakin mendesak karena situasi politik hukum Indonesia, menurut saya, justru semakin memburuk; menguatnya oligarki, militerisme, kapitalisme, dan juga intoleransi. Keberhasilan dalam merevitalisasi bantuan hukum struktural serta penguatan organisasi LBH Jakarta akan menentukan apakah peran LBH Jakarta akan tetap signifikan ke depannya dalam gerakan sosial.
Ya Basta!!***
Penulis adalah Pengacara Publik dan Direktur LBH Jakarta
Artikel ini sebelumnya adalah makalah yang disampaikan dalam diskusi BelokKiri.fest pada 12 Maret 2016 di LBH Jakarta.
—————-
[1] Yaniv Roznai, Revolutionary Lawyering? On Lawyers’ Social Responsibilities and Roles During a Democratic Revolution. Southern California: Southern California Interdisciplinary Law Journal, Hal. 370.
[2] Ibid. Hal. 374.
[3] Ibid. Hal. 376. Mengacu kepada Steve Bachmann, Lawyers, Law, and Social Change-Updateyear 2010, 34 N.Y.U. Rev.L., &soc Change 499, 501 (2010).
[4] Pada abad 17 tersebut sebenarnya telah berkembang ide pemikiran sosialisme seperti penghapusan kepemilikan pribadi atas tanah.
[5] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt543e8d060c195/pengacara-di-pinggiran-revolusi–di-pusaran-reformasi diakses pada tanggal 12 Maret 2016 pkl. 1:03 WIB.
[6] Alexei Brovoy, Anarchism and Law. Hal. 5-7. Dapat diakses di https://theanarchistlibrary.org/library/alexei-borovoy-anarchism-and-law.pdf
[7] Irwan Saptono, et.all, Verboden voor Honden En Inlanders dan Lahirlah LBH. Jakarta: YLBHI. Hal. 6
[8] M. Zaidun, Gerakan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia: Studi tentang Tipologi Gerakan Bantuan Hukum Struktural Yayasan LBH Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1996, hal. 8.
[9] Ibid. Hal. 8
[10] Irwan Saptono et.all. Opcit. Hal. 6-7.
[11] https://www.opendemocracy.net/transformation/george-lakey/what-role-were-you-born-to-play-in-social-change diakses pada tanggal 11 Maret 2016 pkl. 0:36 WIB
[12] https://alghif.wordpress.com/2015/05/07/menjadi-pengacara-divergent/#more-572 diakses pada tanggal 11 Maret 2016 pkl. 1:37 WIB
[13] Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society; Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Hal.77-79.
[14] Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003. Dapat diunduh di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/Putusan0172003tgl240204.pdf
[15] Lihat putusan Mahkamah Agung No. 33 P/HUM/2011 . Dapat diunduh di: http://peraturan.go.id/inc/view/11e576fc1713d17c98c7313432373539.html
0 komentar:
Posting Komentar