Menuju Penyelesaian atas Pelanggaran HAM masa Lalu Demi Masa Depan Bangsa
Kerangka Dasar untuk Kerja Bersama berlandaskan Konstitusi
PENGANTAR
___________
Dokumen ini dimaksudkan sebagai urun rembug
dari masyarakat sipil dalam upaya membangun “Jalan Indonesia” menuju
penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran berat HAM masa lalu. Gagasan yang
diajukan berupa sebuah kerangka dasar bagi penyelesaian yang bersifat
menyeluruh dan efektif, dan dikembangkan dengan asumsi bahwa “Jalan Indonesia”
adalah jalan yang panjang yang dibangun dan digunakan oleh berbagai pihak
dengan latar belakang dan posisi yang berbeda-beda.
Gagasan ini muncul dari pengalaman
jatuh-bangun selama bertahun-tahun dalam mendorong pertanggungjawaban negara
dan mendukung pemulihan korban.
Gagasan tentang kerangka dasar bagi “Jalan
Indonesia” merupakan hasil pembelajaran oleh para korban dan penyintas yang
terus berjuang untuk pemenuhan hak-haknya beserta para pekerja kemanusiaan dan
pegiat HAM. Peluang untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman diciptakan
bersama melalui sebuah forum yang disebut Koalisi untuk Keadilan dan
Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Saat ini KKPK beranggotakan 50 organisasi yang
berbasis di Aceh hingga Papua dan bekerja di akar rumput, dalam ruangan-ruangan
resmi para pembuat kebijakan serta di hadapan meja hijau.
Dokumen ini, yang terbit dalam rangka dirgahayu
Republik Indonesia yang ke-70, dimulai dengan rujukan pada Konstitusi Indonesi,
UUD Negara RI 1945, yang menyatakan niat kemerdekaan bangsa (Bagian A). Bagian
ini akan diikuti dengan catatan tentang momentum politik di Indonesia saat ini
(Bagian B) yang memunculkan harapan baru bagi penyelesaian yang berkeadilan
atas pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu. Gagasan KKPK tentang kerangka dasar
bagi “Jalan Indonesia” akan dipaparkan pada bagian ketiga (Bagian C) dari
dokumen ini. Pada bagian terakhir (Bagian D), KKPK memberikan informasi singkat
tentang langkah-langkah yang sudah berjalan dan membuahkan hasil selama ini
guna mengingatkan bahwa “Jalan Indonesia” sudah dirintis sejak lama.
A. NIAT KEMERDEKAAN
___________________
Tujuhpuluh tahun yang lalu, bangsa Indonesia
menegakkan haknya atas kemerdekaan sebagai perwujudan dari nilai-nilai “peri-kemanusiaan
dan peri-keadilan”. Pembukaan UUD Negara RI 1945 adalah sebuah catatan sejarah
tentang nilai-nilai universal yang telah memberi keyakinan pada para pendiri
bangsa untuk menyatakan Indonesia sebagai bagian yang berdaulat dari komunitas
dunia. Negaar bangsa Indonesia tidak hanya dibayangkan sebagai anggota pasif
dalam pergaulan antar bangsa-bangsa, tetapi berperan aktif untuk “melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial”.
Nilai-nilai universal “peri-kemanusiaan dan
peri-keadilan” yang dinyatakan sebagai alasan keberadaan bangsa Indonesia telah
dilembagakan sebagai dasar negara, melalui Pancasila, dan kemudian dijabarkan
secara lebih rinci dalam Konstitusi RI hasil amandemen pasca reformasi. Bab X
tentang Warga Negara dan Penduduk serta Bab XA tentang Hak Azasi Manusia
menegaskan bahwa penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tersebut tidak
hanya berlaku bagi bangsa-bangsa, sebagaimana semangat awal pada tahun 1945,
tetapi secara tegas dijamin bagi setiap orang per orang sesuai dengan hak-hak
asasinya sebagai manusia.
Langkah Pemerintah pasca reformasi untuk
meratifikasi hampir semua konvensi internasional tentang hak-hak asasi manusia
(kecuali Konvensi tentang Perlindungan terhadap Penghilangan Paksa) telah
memperkuat infrastruktur hukum untuk menerapkan jaminan-jaminan konstitusional
tentang hak-hak asasi manusia dan merupakan perwujudan nyata dari komitmen yang
dinyatakan pada alinea-alinea pembuka landasan negara, UUD Negara RI 1945,
untuk ikut malaksanakan ketertiban dunia.
Tahun ini, 70 tahun sejak kemerdekaan,
Indonesia juga memperingati 50 tahun terjadinya peristiwa traumatik yang
menggetarkan seluruh tanah air –dan manca negara- pada tahun 1955-56. Catatan-catatan
sejarah oleh saksi dan peneliti menceritakan tentang pembunuhan dalam skala
masif, pemenjaraan ribuan orang tanpa proses pengadilan, serta penyiksaan serta
perlakuan tidak manusiawi dalam berbagai bentuknya. Tindakan-tindakan ini
secara tegas dilarang dalam Konstitusi RI dan mengingkari integritas Indonesia
sebagai negaar hukum. Menurut hukum HAM Internasional, tindakan-tindakan
tersebut masuk dalam kategori “pelanggaran berat” dan bisa ditetapkan secara
hukum sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Hasil investigasi Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tentang Peristiwa 1965-66, yang rampung
pada tahun 2012, belum ditindaklanjuti proses hukumnya oleh Kejaksaan Agung RI
hingga kini.
Tanpa ada penyikapan yang tegas dari Negara
dalam kerangka pertanggungjawaban atas terjadinya pelanggaran-pelanggaran berat
HAM dalam peristiwa 1965-66, para korban dari peristiwa ini terus dihantui oleh
stigma dan diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai “peri-kemanusiaan
dan peri-keadilan” yang merupakan nilai dasar kebangsaan Indonesia telah luput
dari gapaian mereka selama 50 tahun, kendati kemerdekaan RI sudah berusia 70
tahun.
Tidak adanya sanksi hukum terhadap
pelaku-pelaku pelanggaran berat HAM 50 tahun yang lalu telah membukakan pintu
sebesar-besarnya bagi munculnya siklus impunitas atas pelanggaran-pelanggaran
selanjutnya dalam sistem kekuasaan rejim Orde Baru yang berlangsung selama 32
tahun. Prinsip “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” yang berlaku sama bagi
semua orang, dan yang merupakan esensi dari nilai kemerdekaan RI, hingga kini,
belum juga terpenuhi bagi para korban kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya
yang terjadi dalam berbagai konteks di seluruh penjuru Nusantara.
Sesungguhnya, 15 tahun yang lalu, pada
tanggal 18 Agustus 2000, Majelis Permusyawaratan RI (MPR-RI) telah menyatakan kebulatan
tekad bangsa untuk menghadapi dan menangani secara lugas berbagai pelanggaran HAM
yang telah terjadi dalam perjalanan bangsa.
Ketetapan Nomor V/MPR/2000 tentang
Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional memberikan pengakuan yang lugas bahwa
“perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai konflik, baik konflik
vertikal maupun horizontal sebagai akibat dari ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya
penegakan hukum, serta praktek korupsi, kolusi dan nepotisme” (lihat Menimbang
poin c, penekanan ditambahkan). Dokumen kebijakan nasional ini selanjutnya
menegaskan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan sebagai berikut:
Arah kebijakan untuk mengadakan rekonsiliasi dalam usaha memantapkan
persatuan dan kesatuan nasional ...menegakkan supremasi hukum dan menyelesaikan
berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme serta pelanggaran hak asasi
manusia (Bab IV, poin 4)
Menugaskan kepada pemerintah untuk ...menegakkan kebenaran dengan
mengungkapan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada
masa lampau... dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan
bersama sebagai bangsa (Bab V, poin 3)
UUD Negara RI 1945 hasil amandemen pasca
reformasi membukakan jalan bagi adanya langkah-langkah khusus untuk
menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dalam kerangka
nilai-nilai “peri-kemanusiaan dan peri-keadilan” bagi para korban, yaitu atas
dasar Pasal 28 H Ayat 2 yang berbunyi:
Setiap orang berhakmendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manffat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan.
UUD Negara RI 1945, sebagai Konstitusi
Indonesia, merupakan landasan hukum negara yang mendasari bangunan peraturan
perundangan nasional yang dibuat melalui proses politik. Di luar itu,
Konstitusi RI juga merupakan perwujudan dari kontrak sosial antar warga bangsa
tentang nilai-nilai dan aturan main yang dijunjung bersama dalam segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga, dimana pun ia berada, dalam
jajaran pemerintahan maupun di lingkungan masyarakat, di pucuk kekuasaan
nasional maupun di akar rumput, punya peran dan tanggungjawab untuk menjalankan
nilai-nilai dan aturan main sebagai amanat konstitusi.
____
Disusun oleh: Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran [KKPK]
18 Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar