Aug 03, 2015
| |
Oleh Eko Mulyadi *
INDONESIA merupakan negara agraris. Itu
merupakan fakta kalau parameternya dari mayoritas penduduk Indonesia
bermata pencaharian di bidang pertanian. Apalagi sejarah Indonesia sejak
masa kolonial sampai sekarang, tidak dapat dipisahkan dari sektor
pertanian dan perkebunan, yang memberi arti sangat penting dalam
menentukan pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat
Indonesia.
Kenyataan sekarang, sebagai negara agraris kebutuhan pangan untuk
warga negara Indonesia masih banyak dicukupi dari produksi luar negeri.
Indonesia sekarang banyak mengimpor bahan pangan dari luar negeri, tidak
hanya beras tetapi juga gandum, kedelai, jagung, dan lainnya. Selain
ketidakmampuan, ini juga mengesankan ketidakkeberpihakan pemerintah
terhadap petani. Impor pangan yang semakin meningkat, mengkhawatirkan
petani yang dihadapkan pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai
akhir tahun 2015.
Masih banyak petani yang hidup dalam kemiskinan, dan masih banyak
pula penduduk di perdesaan – yang seharusnya jadi sentra produksi
pangan, justru mengalami kelaparan.
Masa depan pertanian Indonesia juga tidak begitu cerah. Ini bila
dilihat dari semakin berkurangnya jumlah petani. Pekerjaan sebagai
petani tidak menarik lagi bagi generasi muda, yang justru sekarang
berlomba-lomba mencari pekerjaan sebagai pegawai atau di bidang lain,
karena takut dengan imej; jadi petani itu bakal hidup miskin.
Makanya, harap maklum jika di lapangan kita melihat mayoritas petani
rata-rata berusia di atas 40 tahun, bahkan sebagian sudah berada pada
usia yang tidak produktif.
Jadi pertanyaannya, patutkah predikat negara agraris tadi? Ini bukan
merupakan pertanyaan sederhana, dan pasti jawabannya juga cukup rumit.
Karena memang pertumbuhan ekonomi serta paradigma pembangunan justru
menunjukkan ketidakberpihakan pada sektor pertanian.
Pada dekade sebelumnya, satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap
sekitar 400.000 orang tenaga kerja, karena didukung sektor agriculture
dan home industry. Tapi pada era sekarang ini, mungkin hanya separuhnya,
ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi sekarang lebih didorong sektor jasa
yang membutuhkan keahlian khusus, sehingga tidak banyak mempekerjakan
orang.
Sementara dari sisi usia penduduk, Indonesia mempunyai potensi tenaga
kerja yang sangat besar, didominasi kelompok usia produktif yakni
kelompok usia muda. Padahal setiap tahun dibutuhkan lapangan kerja baru
bagi sekitar 2,5 juta jiwa.
Mau tak mau, sektor yang harus digenjot adalah agriculture. Karena
sebenarnya kita masih punya potensi besar untuk itu, baik dari
ketersediaan lahan maupun tenaga kerja. Kita harus kembali ke jalan yang
benar dan berpihak ke petani.
Pertanian masih potensial untuk menyerap
tenaga kerja.
Krisis yang terjadi pada 2008 lalu disebabkan sektor pertanian dan
desa diabaikan. Kemiskinan tertinggi berada di desa. Oleh karena itu,
pemerintah harus memiliki kepedulian yang tinggi pada sektor pertanian.
Pemerintah harus membuka mata, melihat lebih luas persoalan yang
membatasi sektor pertanian itu untuk berkembang. Mengerti dengan
kebutuhan petani di desa-desa dan melakukan upaya untuk meningkatkan
kemampuan mereka.
Harus diakui, pertanian kita masih didominasi petani ‘gurem’ yang
bekerja secara tradisional. Perlu menambah pengetahuan mereka, selain
pengadaan teknologi untuk tanam dan panen. Berarti pula mengubah
paradigma dalam membangun sektor pertanian, dengan mengembangkan
agroindustry selain memberi nilai tambah juga merangsang generasi muda
untuk mau turun ke sawah.
Toh dengan menggunakan mesin untuk membajak sawah atau memanen padi,
tak lagi harus berkotor-kotor dan berpeluh menyangkul sawah. Toh juga
bisa mendapat penghasilan besar dari pengolahan pascapanen.
Perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian juga bisa tercermin
dari alokasi dana dalam APBN. Dengan semakin besarnya alokasi dana APBN
untuk bidang pertanian, menjadikan semakin banyak kegiatan yang bisa
dilakukan untuk menyentuh kepentingan petani.
Subsidi dan proteksi masih sangat perlu diberikan kepada sektor
pertanian, karena kondisinya yang sangat lemah dan belum berdaya
sekarang ini. Ketersediaan sarana produksi berupa benih dan pupuk
dengan harga terjangkau, serta penyediaan permodalan dan pemasaran.
Pernah tercetus gagasan soal pendirian Bank Tani, ini perlu dikaji
lebih serius oleh pemerintah agar petani menjadi bermartabat dan tidak
terjebak pengijon dan lintah darat. Pemasaran hasil pertanian, dengan
harga yang menguntungkan petani, juga perlu dikembangkan lebih
sistematis dan modern dengan melibatkan Bulog dan koperasi.
Nantinya, dengan petani yang semakin berdaya, kedaulatan pangan
nasional dapat terwujud. Konsumsi beras dunia saat ini yang mencapai
lebih dari 450 juta ton per tahun dan singkong sekitar 242 juta ton per
tahun, hendaknya bisa dimanfaatkan Indonesia jadi satu peluang untuk
‘memberi makan’ dunia.
“Sinar matahari yang terus menerus akan membuat produksi pangan,
termasuk energi dan air, akan tetap melimpah. Dan kita hidup di wilayah
ini.” Itu kutipan pidato Presiden Jokowi pada Pembukaan Konferensi Asia
Afrika 22 April 2015, dan itu hendaknya jadi bahan perenungan, bahwa
kita mendapat banyak karunia dari Illahi untuk bisa dimanfaatkan.
Kembalilah jadi negara agraris!
* Penulis adalah Pemimpin Redaksi agroplus.co.id (@kohen22)
0 komentar:
Posting Komentar