Untuk menenangkan suasana, pemerintah menugasi
Cees Fasseur meneliti 110 kasus kekerasan ekstrim yang muncul dalam
arsip pemerintah. Dia memperoleh waktu empat bulan untuk menyelesaikan
laporannya: Excessennota, yang menegaskan bahwa kekerasan itu
cuma ekses belaka. Sekarang, sebagai pensiunan guru besar sejarah
Universitas Leiden, Fasseur, juga kepada harian NRC Handelsblad,
menyatakan bahwa pada tahun 1969 itu, istilah “kekerasan struktural”
tidak bisa digunakan lantaran tidak mungkin secara politis. Maksudnya
terlalu banyak kalangan yang menentang istilah itu, walaupun, masih
menurut Fasseur, “siapa saja tahu tidak ada yang namanya perang bersih”.
Dia menambahkan, ketika menyerahkan laporannya —laporan yang sudah
disesuaikan dengan kehendak pemerintah— Fasseur menegaskan masih perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut. Tetapi Komisi Kerajaan bagi Penulisan
Sejarah Tanah Air, didukung oleh pemerintah Perdana Menteri Piet de
Jong, demikian Fasseur, telah bertindak tidak tepat karena tidak
menganggap ini masalah serius.
Dengan latar belakang seperti ini bisalah dimaklumi kalau harian NRC Handelsblad
menyimpulkan bahwa istilah “ekses” sudah tidak bisa dipergunakan lagi
terhadap kekerasan keji dan meluas yang dilakukan Belanda semasa perang
kemerdekaan dulu. Runtuhlah butir pertama yang dituju pemerintah Belanda
dengan menggunakan istilah “ekses”. Ekses itu tidak pernah ada, yang
ada justru kekerasan struktural. Bagaimana dengan butir kedua, supaya
tidak dilakukan perbandingan antara kekerasan Belanda di Indonesia
dengan kejahatan Jerman di Belanda?
Mengenai butir ini koran NRC Handelsblad datang dengan contoh
menarik, dimuat dalam laporan khusus tentang kemerdekaan Indonesia, pada
edisi akhir pekan 15 dan 16 Agustus 2015.
Pada suatu hari Ahad di sebuah kota di Jawa pada tahun 1948, kendaraan
militer Belanda yang membawa prajurit ke gereja untuk menghadiri
kebaktian ditembaki. Seorang prajurit Belanda tertembak di kepalanya,
dia tewas seketika. Apa yang kemudian terjadi dituturkan oleh Louis
Sinner dalam sebuah kesaksian yang sekarang disimpan di Nationaal Archief, Den Haag. Berikut kira-kira terjemahannya:
Komandan satuan itu, Mayor Van de Leede, meraih peta dan jangka.
Menusukkan jangka pada peta, ia lalu menarik lingkaran pada koordinat
insiden penembakan. Dalam sekejap tiga satuan yang berada di bawah
komandonya menyulap semua yang ada dalam lingkaran itu menjadi Sodom dan
Gomorah. Apa yang terjadi di sana melulu balas dendam, dan lebih
mengerikan dari yang terjadi di Putten. Demikian kesaksian prajurit
Louis Sinner.
Kekejaman tentara Jerman ditiru Belanda di Indonesia?
Putten adalah sebuah kota di provinsi Gelderland, Belanda timur, yang
pada Oktober 1944 menjadi pentas aksi pasukan pendudukan Jerman. Mereka
melancarkannya sebagai balas dendam terhadap ulah kalangan perlawanan
yang menewaskan seorang pasukan Jerman, sementara seorang anggota
perlawanan Belanda juga tewas. Akibatnya 700 orang pria dan pemuda warga
kota kecil Putten ditangkap dan dideportasi ke pelbagai kamp
konsentrasi. Di akhir perang 500 orang tidak kembali, mereka tewas di
kamp-kamp itu.
NRC Handelsblad mencatat, bukan kebetulan kalau Louis Sinner
mengambil contoh Putten. Memang, selain menunjukkan aksi balas dendam
yang mirip, dengan menyebut Putten Louis Sinner sudah mengkaitkan
kekejaman Jerman di negerinya dengan kekejaman prajurit Belanda di
Indonesia. Pada edisi akhir pekannya koran sore terbitan Amsterdam ini
masih mengungkap satu contoh lagi.
Sewaktu melakukan penelitian, Rémy Limpach menemukan sepucuk surat yang dikirim oleh seorang prajurit Koninklijke Landmacht
(Angkatan Darat Belanda) yang bertugas di Indonesia kepada istrinya di
Belanda. Pada surat itu tertera kalimat-kalimat berikut: “Di sini ada
dinas telik sandi yang menangkapi orang-orang yang dicurigai melakukan
mata-mata atau perlawanan. Memang ini biasa, tapi ketika ditangkap
mereka dipaksa menyebut siapa teman-teman mereka, jadi harus
mengkhianati teman sendiri. Itu persis seperti yang pernah terjadi di
kampung halaman pada zaman moffen (makian kasar orang Belanda terhadap Jerman) dan SD (Sicherheidsdienst, dinas rahasia Nazi)”.
Lagi-lagi satu contoh yang mengkaitkan ulah Nazi Jerman di Belanda
dengan ulah prajurit Belanda di Indonesia. Padahal selama ini keduanya
selalu dianggap terpisah. Para pejabat, veteran, maupun Indiëgangers
yaitu orang Belanda yang pernah dikirim ke Indonesia semasa perang
kemerdekaan, selalu berbicara terpisah tentang pendudukan Jerman dan
perang kemerdekaan Indonesia yang disebut sebagai Politionele Actie, aksi polisi. Dengan lantang orang Belanda menyebut Jerman telah melakukan bezetting (pendudukan) negerinya selama Perang Dunia Kedua, tapi kata bezetting
itu tidak pernah mereka gunakan untuk menyebut ulah mereka di
Indonesia. Tak pelak lagi, itu memang dampak keputusan Perdana Menteri
Piet de Jong tahun 1969 yang tahu dan mau memisahkan Belanda sebagai
korban pendudukan Nazi-Jerman dengan Belanda sebagai pelaku pelbagai
kekejaman di Indonesia, semasa perang kemerdekaan.
Tapi sekarang terbukti bahwa pembedaan serta pemisahan itu tidak perlu
dan tidak benar, karena dulu prajurit Belanda sendiri sudah
menyatukannya, seperti tertera pada surat-surat yang mereka kirim dari
Indonesia. Mungkin semula itu cuma langkah cepat dan mudah saja supaya
dengan gampang bisa menyebut sesuatu yang tengah dialami sehingga mudah
dipahami oleh handai taulan di kampung halaman yang juga baru bebas dari
pendudukan Jerman. Tapi mungkin juga ada yang punya maksud lebih dari
itu. Barangkali ada yang ingin mendesahkan suara hatinya bahwa setelah
menjadi korban selama lima tahun pendudukan Jerman, dengan cepat Belanda
telah beralih menjadi pelaku kekejaman yang tidak kalah kejinya di
Indonesia. Bisa jadi itu keluhan orang yang merasa terusik dan tidak
nyaman atas pergeseran diri dari korban menjadi pelaku, apalagi dalam
tempo yang begitu singkat, karena Belanda bebas dari pendudukan Jerman
pada musim semi 1945, setahun kemudian, Maret 1946 sudah datang
pasukannya di Indonesia.
Pergeseran korban menjadi pelaku
Tema pergeseran korban menjadi pelaku ini tampaknya memang universal,
berlaku di mana-mana, walaupun terkandung dalam konteks dan zaman yang
berbeda. Bisakah tema ini diterapkan pada Indonesia, pada diri kita
sendiri? Bukankah Indonesia punya kasus Timor Timur yang banyak
miripnya?
Dalam hal ini mendiang Onghokham sudah memperingatkan: Indonesia adalah
negara AA (Asia Afrika, bekas jajahan) pertama yang harus melakukan
dekolonisasi, yaitu ketika Timor Leste akhirnya merdeka pada tanggal 20
Mei 2002. Di sini terlihat betapa sejarawan Onghokham dengan jeli
menyatakan Indonesia telah meniru Belanda, bekas induk semang
kolonialnya. Di atas semuanya ini juga berarti bahwa Indonesia telah
memperlakukan Timor Leste sama seperti Belanda dulu memperlakukannya.
Dari korban kekejaman, Indonesia telah beralih menjadi pelaku kekejaman
itu sendiri.
Betapa tidak? Sepintas saja sudah terlihat sejumlah persamaan antara Indonesia dengan Belanda. Belanda memiliki beberapa erebegraafplaats (semacam
makam pahlawan) di Indonesia, misalnya di Menteng Pulo Jakarta dan di
Kembang Kuning Surabaya. Indonesia punya makam pahlawan Seroja di Dili.
Yang lebih penting lagi, di Timor Leste upacara kemerdekaan berlangsung
setiap tanggal 28 November, karena pada tanggal 28 November 1975,
Francisco Xavier do Amaral atas nama Comite Central FRETILIN
memproklamasikan kemerdekaan Republik Demokratik Timor Leste. Tanggal 20
Mei diperingati sebagai hari Restauração da Independencia alias
Pemulihan Kemerdekaan dari pendudukan Indonesia (terima kasih kepada
Nugroho Katjasungkana untuk butir ini, JW). Bukankah ini persis sama
dengan Belanda yang menganggap Indonesia baru merdeka tanggal 27
Desember 1949, ketika berlangsung penyerahan kedaulatan di Amsterdam?
Padahal kita memperingati proklamasi kemerdekaan setiap tanggal 17
Agustus.
Seorang kenalan yang rajin menekuni sejarah kotanya, Surabaya, pada
zaman perang kemerdekaan (jadi pengetahuan sejarahnya di atas rata-rata
khalayak umum) tidak setuju dengan persamaan ini. Tema pergeseran korban
menjadi pelaku ini menurutnya sangatlah tidak relevan untuk kita. Ia
menyebut satu aspek saja: peta geografis antara kedua perang ini sudah
sangat jauh beda.
Entah apa yang dimaksudnya dengan peta geografis. Yang
jelas berdasarkan posisi geografis itu tidak ada satu negarapun yang
persis sama dengan negara lain. Walau begitu dia mengaku “tidak bisa
bicara banyak mengenai perang Timor bukan karena tidak mau membuka
kesalahan bangsa saya, tapi semata karena saya tidak melakukan
penelitian mendalam mengenai perang Timor dan saya tidak ingin ceroboh”.
Jelas kenalan ini produk Orde Baru yang tidak pernah mengakui
pemprovinsian Timor Timur sebagai penjajahan. Dan dia tidak sendirian,
masih banyak orang Indonesia, terlalu banyak bahkan, yang berpendirian
sama, bahkan lebih fanatik lagi. Misalnya kalangan yang berpendapat
bahwa Timor Timur itu sudah berintegrasi dengan Indonesia, persis
seperti dikhotbahkan Orde Baru. Tanpa bertanya apakah yang disebutnya
integrasi Timor Portugis (nama awal Timor Timur) sudah sesuai dengan
konstitusi, mereka malah menuduh keputusan B.J. Habibie mengadakan
referendum di sana tidak konstitusional.
Maka terlihat jelas persamaannya dengan publik Belanda yang selalu
membedakan pendudukan Jerman atas negeri mereka dengan ulah prajurit
Belanda di Indonesia. Tema pergeseran korban menjadi pelaku, tak pelak
lagi, jelas juga berlaku bagi kita. Dari korban penjajahan dan kekejaman
kolonial Belanda, di Timor Timur kita telah berubah menjadi pelaku
perbuatan yang tidak berbeda, bahkan sama kejinya.
*Joss Wibisono adalah peneliti dan penulis lepas yang menetap di
Amsterdam. Mantan redaktur senior Radio Nederland Wereldomroep di
Hilversum. Menulis buku Saling Silang Indonesia-Eropa (Marjin Kiri, 2012). Simak blognya https://gatholotjo.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar