6 Juni 2015 |
Solidaritas.net, Kota Palu– Meski sudah berlalu selama 50 tahun, peristiwa pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 pastinya akan terus membekas di benak para korban dan keluarganya hingga saat ini.
Oleh karena itu, adalah sebuah hal yang wajar jika Pemerintah Indonesia menyampaikan permintaan maafnya kepada para korban dan keluarganya dalam kasus tersebut atas luka lama itu.
Hal itulah yang dilakukan oleh Walikota Palu, Rusdy Mastura di hadapan ratusan keluarga korban peristiwa tersebut dalam sebuah acara di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Bahkan, tak hanya menyampaikan permintaan maaf, Rusdy juga berjanji akan memenuhi hak-hak para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu tersebut, termasuk dengan memberikan kesehatan dan pendidikan gratis bagi mereka.
“Hal terpenting yang perlu dilakukan adalah bagaimana memenuhi hak korban,” ungkap Rusdy dalam kesempatan tersebut, seperti dikutip oleh Solidaritas.net dari situs Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulteng, skp-ham.org, Jumat (5/6/2015).Ternyata upaya tersebut tak hanya dilakukan Rusdy sampai di situ saja. Pada tahun 2013 lalu, bahkan dia telah menerbitkan Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah. Peraturan yang memuat 17 pasal itu memerintahkan setiap SKPD untuk meneliti dan dan memverifikasi para korban peristiwa 1965. Hasil kerja SKPD itulah yang akan dijadikan landasan pemenuhan hak-hak korban.
Rusdy sendiri sebenarnya sudah berulang kali menyampaikan permintaan maaf kepada korban peristiwa 1965, dalam setiap kesempatan di depan forum pertemuan soal HAM baik skala daerah maupun secara nasional. Menurut catatan SKP HAM Sulteng, pertama kali dia secara resmi mengajukan permintaan maafnya kepada korban peristiwa 1965 pada tanggal 24 Maret 2012. Kemudian, yang terakhir tanggal 19 Mei 2015 lalu di Kantor Walikota Palu.
Dalam pertemuan di Ruang Auditorium itu, Rusdy juga menceritakan kisahnya sewaktu remaja, ketika Gerakan 30 September 1965 terjadi. Menurutnya, saat itu banyak orang yang dituduh terlibat, lalu ditangkap oleh tentara. Suatu ketika, Rusdy yang saat itu aktif sebagai anggota Pramuka, bersama teman-temannya diperintah tentara menjaga para tahanan. Di saat itulah, dia menyaksikan kekerasan terhadap para tahanan yang menjadi korban itu.
Oleh karena itu, Rusdy memiliki keinginan yang sangat kuat, agar peristiwa kelam itu tidak terjadi lagi. Dia pun bertekad untuk mengubah paradigma masyarakat, terutama di Palu, agar sadar dengan HAM. Menurut Rusdy, permintaan maaf kepada para korban pelanggaran HAM berat tersebut menjadi salah satu upaya untuk memberikan penyadaran tentang HAM kepada masyarakat, sehingga Palu pun ke depannya bisa menjadi kota yang sadar HAM.
“Saya mau masyarakat menyadari pentingnya HAM,” harapnya di hadapan keluarga korban.Dia pun berencana akan membentuk program rehabilitasi dan rekonsiliasi untuk para korban peristiwa tersebut. Oleh karena itu, Rusdy mengajak semua pihak bisa ikut terlibat untuk membantu Pemerintah Kota Palu dalam menyusun program tersebut, mulai dari keluarga korban hingga lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap isu HAM, seperti SKP HAM Sulteng dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
0 komentar:
Posting Komentar