DELAPAN Juni ini, Soeharto berulangtahun. Seandainya saja dia tidak mati delapan tahun silam, usianya sekarang 94 tahun. Hidupnya sangat panjang di dunia ini: 86 tahun. Dia mencapai umur di atas rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia segenerasinya.
Sepuluh tahun terakhir hidupnya dia habiskan dengan sakit-sakitan di kompleks rumahnya di Jl. Cendana, Menteng. Hidup yang sepi dan penuh penyakit. Sehari-hari dia hanya ditemani oleh Suweden, pembantunya yang setia. Dia jelas menyaksikan anak-anak dan keluarga yang dilindunginya selama dia berkuasa berjatuhan. Bahkan anak kesayangannya masuk penjara karena tindak kriminal berat, yakni membunuh seorang hakim agung.
Namun, Soeharto sendiri berhasil mengelak dari semua upaya hukum atas dirinya. Dia memang hendak dibidik atas penyelewengan-penyelewengan ekonomi yang dia lakukan. Tidak ada yang mau memperkarakan dia untuk urusan pembunuhan dan pembantaian yang dia lakukan berulangkali selama 32 tahun ia berkuasa.
Sesungguhnya, tidak ada penguasa sesudahnya yang secara serius mau memenjarakannya. Mereka semua berhutang padanya.
Soeharto adalah sebuah pribadi yang enigmatic. Dia tidak banyak bicara. Dia menutup dirinya seolah-olah sebuah misteri. Dia jelas bukan pribadi yang flamboyan. Juga bukan orang yang bisa bersilat lidah dengan penuh emosi, namun kemudian tertawa lepas bersama lawannya berdebat.
Baginya, ditakuti jauh lebih baik ketimbang dicintai. Hanya ketakutan yang akan membangkitkan hormat dan rasa segan. Saya tidak yakin dia membaca Machiavelli. Tapi persis di sini letak soalnya, Soeharto adalah pengamal setia Machiavelli. Setia hingga ke bulu-bulunya, bahkan.
Di hari ulang tahunnya ini, ada baiknya kita mengingat-ingat kekuasaan Soeharto. Bukan dengan tujuan untuk meromantisasi tetapi untuk mendalami mengapa kita, sebagai bangsa, berhadapan dengan masalah-masalah besar yang sangat sulit penyelesaiannya. Soeharto ada pada titik pusat banyak masalah itu.
***
Majalah POP adalah majalah hiburan yang pernah terbit di
Jakarta. Pada edisi bulan Oktober 1974, majalah ini menurunkan satu
artikel berjudul “Teka-teki Seputar Silsilah Suharto.” Di dalamnya
dinyatakan bahwa Soeharto adalah anak haram dari Raden Rio Padmodipuro,
keturunan Sultan Hamengku Buwono II.Artikel itu membikin Soeharto murka. Majalah POP segera dibredel. Pemimpin redaksinya Rey Hanintyo, dijebloskan ke penjara. Kabarnya, Soeharto masih akan sangat marah jika masalah soal silsilahnya itu disinggung. Dia percaya bahwa dia memang ditakdirkan untuk menjadi penguasa. Dia menolak dihubungkan dengan darah aristokrasi lama yang kekuasaannya sedang memudar. Dia percaya dirinya di atas aristokrasi itu.
Soeharto lahir pada 8 Juni 1921, di desa Kemusuk, Godean, Yogyakarta. Gerakan nasionalis sudah ada sebelum dia lahir. Tahun 1908, gerakan Boedi Oetomo lahir di Yogyakarta. Empat tahun kemudian, muncul Sarekat Islam dan gerakan Muhammadiyah. Secara kebetulan, Partai Komunis Indonesia (PKI) lahir sebulan sebelum Soeharto.
Soeharto baru berusia lima tahun ketika PKI melancarkan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda di Jawa dan di Sumatera Barat. Usianya sembilan tahun ketika Soekarno diadili di Bandung karena aktivitasnya sebagai nasionalis. Soekarno mengucapkan pidato pembelaan yang berapi-api yang diberi judul Indonesia Menggugat. Ketika organisasi pemuda berkumpul mengucapkan Sumpah Pemuda, Soeharto baru berusia tujuh tahun.
Masa kecilnya dihabiskan di Godean. Namun karena persoalan keluarga, dia dipindahkan oleh ayahnya ke Wuryantoro, Wonogiri. Di situlah dia bersekolah di Schakel School yang kemudian dilanjutkannya dengan Sekolah Rakyat di Yogyakarta. Dia sempat masuk ke sekolah setingkat SMP yang dikelola Muhammadiyah namun tidak diselesaikannya.
Karena tidak bersekolah, dia bekerja. Hanya sebentar dia menjadi pegawai Bank Desa. Kemudian ada pekerjaan yang lebih menarik perhatiannya, yakni menjadi tentara. Tanggal 1 Juni 1940, dia resmi menjalani pendidikan tentara kolonial Belanda, KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan tamat dengan pangkat Kopral. Dia sempat menjalani pendidikan lanjutan dan pangkatnya dinaikkan menjadi Sersan. Namun tentara Jepang keburu mendarat. Karir dan pengabdiannya pada tentara kolonial pun tamat.
Karir militernya justru moncer pada jaman Jepang. Soeharto berhasil masuk tentara PETA (Pembela Tanah Air). Karirnya beranjak dari komandan peleton dan kemudian komandan kompi (Chudancho). Kedudukan ini membawanya ke posisi elit militer di Republik yang baru merdeka. Saat perang kemerdekaan, Soeharto sudah menjadi komandan brigade.
Dia ditugaskan untuk memimpin berbagai operasi militer di luar Jawa. Namun, tidak ada operasi militer Soeharto yang lebih kontroversial ketimbang serangan umum 1 Maret untuk menduduki Yogyakarta yang dikuasai Belanda.
Dia mengklaim bahwa inisiatif serangan itu berasal dari dirinya. Tujuannya adalah menunjukkan pada dunia bahwa Republik masih ada. Di kemudian hari, dia bahkan memerintahkan agar serangan itu difilmkan. Namun setelah Soeharto jatuh, klaim inisiatif tersebut dipertanyakan, karena Sultan Hamengku Buwono IX rupanya lebih berperan dalam serangan umum itu.
Soeharto memainkan peran sebagai komandan militer lebih seperti warlord ketimbang komandan militer profesional. Karena keuangan negara yang tipis, dia mendudukkan diri sebagai patron (bapak) untuk anak-anak buahnya. Dia mencarikan dana untuk keperluan anak buahnya – mulai dari seragam, makanan tambahan, biaya kesehatan, membeli peluru dan persenjataan ringan, bahkan bantuan ongkos kawin. Dana-dana ini didapat lewat kongkalikong dengan pengusaha-pengusaha. Mereka mendapat perlindungan menjalankan bisnis illegalnya, terutama penyelundupan, dan sebagai imbalannya mereka ‘menyumbang’ dana ke komandan militer. Ini praktek umum dalam militer Indonesia saat itu. Dalam tingkat tertentu, ‘kebudayaan’ komandan sebagai patron tersebut masih lestari hingga kini.
Namun tak selamanya peran Soeharto sebagai patron mulus. Tahun 1959, dia dipecat sebagai Pangdam Diponegoro oleh Jenderal Nasution. Dia ketahuan meminta uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Dia hampir diadili di pengadilan militer namun kemudian diputuskan untuk mengirimnya ‘belajar’ ke SSKAD (kini Seskoad).
***
Soeharto selalu bernasib baik. Ketika menjadi Mayor Jendral, dia
sudah menganggap karirnya mati. Dia, yang tidak termasuk orang-orangnya
Nasution atau Ahmad Yani, dua pemimpin militer berpengaruh saat itu,
tidak memiliki cantolan kuat ke atas.Keberuntungan muncul saat Soeharto menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Ketika dia menjabat, terjadi kudeta gagal oleh kelompok perwira muda yang menamakan dirinya Gerakan 30 September (G30S). Yani dan enam jendral pimpinan AD terbunuh. Nasution berhasil meloloskan diri namun tidak punya kendali atas pasukan.
Selebihnya kita tahu dari sejarah. Soeharto mengambil alih situasi. Dengan cepat dia memberangus gerakan itu. Dia tahu persis siapa-siapa yang berada dalam gerakan itu. Sebagian besar adalah bekas anak buahnya di Kodam Diponegoro. Mereka bukan orang asing untuknya. Dia hadir pada saat Letkol Untung, pemimpin gerakan ini, menikah. Dia datang pada saat Kol. Latief menyunatkan anaknya.
Yang lebih spektakuler muncul beberapa hari kemudian. Entah ide dari siapa, Soeharto dengan genial memakai media untuk memberangus gerakan dan sekaligus menghantam lawan politik tentara, yakni PKI. Sudah hampir satu dekade, TNI dan PKI bentrok di banyak daerah memperebutkan tanah-tanah perkebunan yang dinasionalisasi. PKI mendukung aksi-aksi buruh dan petani; militer mengamankan modal yang dikuasainya karena nasionalisasi.
Pengangkatan mayat para jendral dipublikasikan secara maksimal lewat satu-satunya media milik Angkatan Darat. Dalam gambar yang bisa kita lihat sekarang, tampak wajah Soeharto yang santai dan dingin mengawasi jalannya pengangkatan mayat itu.
Soeharto dengan seragam loreng berkacamata sambil memegang tongkat komando
Pembingkaian bahwa kekejaman pembunuhan para jendral itu dilakukan oleh PKI dengan segera mengalir ke arus bawah. Pembantaian terjadi dimana-mana. Pembantaian itu banyak yang dilakukan oleh rakyat namun dengan dukungan TNI-AD. Di banyak tempat, pembantaian tidak terjadi hingga kedatangan pasukan RPKAD pimpinan Kol. Sarwo Edhie Wibowo, mertua presiden SBY.
***
Pembantaian ini memakan korban sekitar hampir satu juta jiwa. Puluhan
juta lainnya dihukum dengan dihilangkan hak-haknya, distigmatisasi
dalam kehidupan sosial politik, serta dipersulit aksesnya terhadap
pelayanan kesejahteraan oleh negara. Semua kebijakan yang diterapkan
kemudian – seperti Litsus (penelitian khusus) dan ‘bersih lingkungan’ –
sesungguhnya ditujukan kepada oposisi terhadap kekuasaan Soeharto.Awal tahun 1990, saya bertemu Ali Sadikin di kantornya di Ratu Plaza. Kantor ini juga berfungsi sebagai markas Petisi 50, yaitu kumpulan 50 orang elit militer purnawirawan dan sipil yang rajin mengkritik Soeharto. Bang Ali, sapaan akrabnya, menunjukkan pada saya ‘kematian perdata’ yang dialami anggota Petisi 50. Padahal mereka hanya 50 orang dan tidak mengorganisasi apapun. Mereka hanya menyampaikan kritik.
“Kamu lihat Hoegeng?,” sergah Bang Ali kepada saya merujuk pada Jendral Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri. “Hoegeng bahkan tidak punya uang untuk sekedar memperbaiki giginya karena digencet sama Harto!” katanya. Memang semua akses ekonomi untuk anggota Petisi 50 ditutup. Itulah kematian perdata mereka.
Soeharto bisa memelihara dendamnya sangat lama dan membalasnya dengan sangat mematikan.
***
Apakah sesungguhnya kunci sukses dari Soeharto sehingga bisa berkuasa
selama 32 tahun? Banyak orang akan menunjuk susunan kekuasaan
‘Tritunggal Mahakudus’ Orde Baru: Militer, Birokrasi, dan Golkar. Tidak
sepenuhnya salah.Namun yang tidak bisa dipungkiri adalah ketrampilan Soeharto melakukan ‘micro-management’ atas kekuasaannya. Dia berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat dari semua intrik kekuasaan. Sikap diamnya membuat langkahnya sulit ditebak. Sementara, dia sangat teliti mengawasi para sekondannya, terutama dalam hal: siapa melakukan apa.
Saya kira Soeharto tidak pernah melihat dirinya sebagai seorang presiden dalam pengertian pemerintahan modern. Dia memandang dirinya sebagai seorang raja.
Di kalangan militer Indonesia ada istilah KISS – Ke Istana Sendiri-sendiri. Artinya, setiap orang datang ke istana melaporkan saingannya. Soeharto biasanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk, seolah mengiyakan namun sesungguhnya dia mengamati semua tindak-tanduk mereka.
Manajemen seperti ini seringkali dipakainya untuk menangani krisis. Soeharto mengadu Ali Moertopo dengan Soemitro pada Peristiwa Malari 1973. Pada awal 1990-an, Ketika Benny Moerdani dianggap tidak loyal, khususnya dalam soal suksesi, dia memasang Soedharmono sebagai saingannya.
Namun, toh dia gagal ketika memainkan kartu yang sama terhadap menantunya, Prabowo Subianto dan pengawal setianya Wiranto di tahun 1998. Ada pendapat bahwa taruhan tahun 1998 terlalu tinggi dan melibatkan orang-orang yang justru hendak dia lindungi, yakni keluarganya sendiri.
***
“Piye isih enak jamanku toh?” demikianlah slogan dalam poster dan meme
di media sosial yang sekarang ini dihembus-hembuskan oleh pendukung
Soeharto. Seolah-olah di zaman kekuasaannya semua serba murah. Benarkah
Indonesia lebih sejahtera di jaman Soeharto?Sebagai seorang yang berkuasa mutlak, Soeharto dengan pintar memberikan portofolio ekonomi kepada kaum teknokrat. Merekalah yang bekerjasama dengan lembaga-lembaga dan negara-negara asing untuk menjalankan kebijakan ekonomi Indonesia.
Sementara ekonomi dibuka untuk modal asing dan modal dalam negeri (yang sebagian besar diisi oleh kroni-kroninya), Soeharto menuruti saran lembaga seperti World Bank untuk melakukan investasi bidang kesejahteraaan.
Sesungguhnya rejim otoriter atau totaliter dimanapun di seluruh dunia pertama-tama harus mencukupi kebutuhan rakyatnya. Penindasan tidak bisa berdiri sendiri. Mereka yang ditindas harus dicukupi kebutuhan pokoknya. Kombinasi antara penindasan dan pemenuhan kebutuhan pokok akan melahirkan massa-rakyat yang jinak.
Tentu selain pemenuhan kebutuhan pokok, Soeharto juga membentuk rejim yang luar biasa efektif untuk membunuh dan menciptakan efek atas pembunuhan itu. Soeharto sangat handal ‘menormalisasi’ pembunuhan. Seperti tampak dalam pembunuhan misterius (yang dikenal dengan istilah yang teramat sinis, ‘Petrus’). Hampir sepuluh ribu orang terbunuh, mayatnya dibuang di tempat umum sebagai ‘shock therapy.’ Kaum komunis ‘normal’ dibunuh karena mereka berkhianat kepada negara (padahal tidak ada kaitan antara PKI sebagai partai dengan G30S) dan karena Komunis dianggap tidak percaya Tuhan. Normalisasi kekerasan itu tetap hidup dengan sentosa hingga sekarang.
Demikian pula invasi Indonesia ke Timor Leste yang berakibat musnahnya sepertiga penduduk negeri itu. Soeharto menormalkannya dengan merekayasa ‘integrasi Timor Timur’ seraya menggelapkan fakta-fakta korban invasi. Hingga kini invasi dan pendudukan itu mengundang kenangan pahit untuk orang Indonesia. Bukan karena kekejaman dan keganasan invasi tersebut (ini yang tidak pernah disesali sedikit pun karena dianggap ‘normal’), namun karena akhirnya rakyat Timor Leste memilih merdeka. Ketimbang merasa bersalah karena menginvasi negara tetangga yang kecil, kebanyakan orang Indonesia memilih mempercayai teori konspirasi bahwa Timor-Timur lepas karena tipudaya Australia yang didukung Amerika.
Hal yang sama terjadi dengan Papua. Tidak banyak orang ingat bahwa konsesi pertama yang diberikan Soeharto ketika dia menjadi presiden adalah kepada Freeport McMoran. Hingga kini, tetap terpelihara kesan publik Indonesia bahwa negara dikadali oleh Amerika. Hampir tidak ada orang yang menghubungkan Freeport dengan bangsa Papua sebagai pemilik lahan yang dikuras habis-habisan itu.
***
Kini Soeharto sudah beristirahat di mausoleumnya yang mewah yang
dinamakan ‘Astana Giribangun’. Kompleks pemakaman yang dibikin mirip
dengan makam raja-raja Jawa Mataram itu. Tentu sejuklah dia berada di
dekapan cungkup makam pualamnya.Selamat ulang tahun, Jagal Besar! Kami tidak akan lupa!***
0 komentar:
Posting Komentar