30 Juni 2015 | Oleh. Aan Anshori[1]
Selasa 16 Juni lalu, saya diundang
KONTRAS Surabaya menghadiri sebuah diskusi terbatas seputar Peristiwa
1965. Jika dihitung, sudah 50 tahun tragedi yang menewaskan ratusan ribu
tertuduh PKI ini berlalu. Hampir semuanya dieksekusi tanpa melibatkan
pengadilan. Lima kali ganti presiden tidak juga mampu menuntaskan
persoalan ini secara bermartabat.
Kalau hendak disederhanakan, pertanyaan
pendek menyangkut Peristiwa ini adalah apakah Tragedi paling kelam dan
memalukan dalam sejarah modern Indonesia ini hendak diselesaikan atau
dilupakan saja. Jika opsi pertama diamini, pertanyaan lanjutan telah
menanti; dituntaskan melalui mekanisme hukum, atau cukup diselesaikan
secara adat, misalnya memakai ritual potong kerbau atau bancakan jajan
pasar. Problemnya selalu berputar-putar di dua pertanyaan tersebut.
Kabar terakhir, Pemerintahan Jokowi
telah membentuk sebuah tim yang ditugasi menyelesaikan 6 kasus
pelanggaran HAM berat selama ini, termasuk Peristiwa 65. Dengan berbagai
argument, kemungkinan besar ritual potong kerbau akan dipilih untuk menyelesaikan Peristiwa tersebut. Apakah ini memuaskan? Kita tentu bisa berdebat. Namun jika mau fair,
Jokowi harusnya dengan rendah hati menemui para Korban atau
keluarganya, menanyai dan berdialog dengan mereka menyangkut apa yang
mereka kehendaki, sebagaimana yang pernah dilakukan Presiden Gus Dur.
Harus diakui, pengungkapan Peristiwa ini
memang membuat banyak orang merasa sangat rikuh. Situasinya mirip
seperti korban perkosaan berjamaah yang menuntut keadilan agar peristiwa
itu diungkap. Sang Korban sadar jika pelakunya berserak; dari tukang
tambal ban hingga komandan, dari preman hingga tokoh agama. Motif
perkosaannya pun variatif. Ada yang sejak awal berencana menodai korban,
namun tidak sedikit yang sekedar ikut-ikutan. Bahkan, banyak yang
mengaku terpaksa ikut memerkosa karena takut diperkosa-balik jika tidak
mau memerkosa. Jargon-heroiknya kala itu, ‘memerkosa atau diperkosa!”
Salah Paham IPT 1965
Kembali ke acaranya KONTRAS. Diskusi
sore itu terfokus pada rencana perhelatan International People’s
Tribunal 65 (IPT) di Den Haag Oktober mendatang. IPT ini semacam sidang
mahkamah rakyat internasional untuk “memeriksa dan mengadili” siapa yang
bersalah dalam Peristiwa 65. Akan tetapi, bukankah Indonesia belum
meratifikasi Statuta Roma yang mengatur soal Pengadilan Pidana
Internasional? Betul. Justru karena hal itu ‘persidangan’ ini dibuat.
Tujuan utamanya, untuk memecah kebuntuan hukum dan memberikan political pressure
bagi pemerintah Indonesia, agar segera menuntaskan Peristiwa ini. Bagi
yang aktif berkecimpung di dunia advokasi, tentu sangat memahami
signifikansi stategi shaming and naming dalam memperjuangkan sebuah kasus.
Rencana IPT 1965 ini sempat jadi
pembahasan serius di organisasi dimana saya menjadi pengurus dan
mempunyai kartu anggota. Mungkin karena tidak mendapat informasi memadai
mengenai IPT 1965, tidak sedikit elite organisasi saya yang memilih
resisten. Mereka mempersepsi tribunal ini tidak hanya akan
‘mendakwa’ para leluhur yang memang terlibat aksi kekerasan 1965. Namun
lebih jauh, IPT juga akan menyeret organisasi saya ke kursi pesakitan.
Minimnya informasi tentang IPT 65 pada
gilirannya mendorong organisasi saya merespon terlalu jauh’. Dalam
berbagai forum, selalu dikumandangkan bahwa IPT ini akan mendakwa para
kiai, selain pemerintah. Kumandang ini pada sekian menit berubah menjadi
ajakan berjihad manakala dikunci dengan satu kalimat heroik, ‘Apakah
kita, sebagai santri, rela kiai kita –yang telah berkorban membela
Negara dan kehormatan umat islam korban 1948- dipermalukan seperti itu
oleh antek-antek PKI?!.”
Kesalahpahaman tentang IPT masih saya
temukan, setidaknya dari paparan mas Mun’im Dz -saat beliau menjadi
pembicara –bersama Gus Sholah- dalam bedah Buku Benturan NU-PKI, Kamis 7
Mei 2015. Waktu itu saya hadir –meski tidak sampai selesai- bersama
ratusan santri dan mahasiswa dari BEM se-Jawa Timur di Gedung Yusuf
Hasyim Tebuireng.
Yang saya tahu, IPT 65 akan mendakwa state-actor
(terutama militer) yang diduga kuat menjadi pelaku dalam peristiwa itu.
Panel ‘hakim’ nantinya akan memeriksa sejauh mana peran mereka
berdasarkan bukti dan kesaksian yang dikumpulkan oleh prosecutor.
IPT 1965 -sepanjang yang saya tahu- tidak akan menyeret dan menjadikan
leluhur, tetua dan organisasi saya sebagai bagian dari Terdakwa. Jika
salah satu sumber utama IPT, asumsi saya, adalah warisan penyelidikan
pro yustisia Komnas HAM 2012 lalu, maka setidaknya ada 3 pihak dalam
militer yang dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertama,
komandan pembuat kebijakan, yakni Pangkopkamtib periode 1965 hingga
1969, dan Pangkopkamtib periode 19 September 1969 sampai setidaknya
akhir 1978. Kedua, Komandan yang memiliki kontrol secara efektif (duty of control) terhadap anak buahnya, yakni para Penganda dan/atau Pangdam periode 1965 hingga 1969, dan periode 1969 sampai akhir 1978. Ketiga, individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan.[2]
Empat Faksi
Dalam dinamikanya, terdapat 4 faksi besar di organisasi saya dalam menyikapi Peristiwa 65. Faksi pertama adalah kelompok antirekonsiliasi. Mereka setidaknya mempunyai beberapa pandangan. Pertama,
PKI adalah satu-satunya dalang G30S. PKI dan pengikutnya harus terus
dibelenggu dan diawasi gerakannya, termasuk juga keturunannya. Bahkan
kelompok ini tidak merasa diskriminasi terhadap Korban merupakan hal
penting untuk dibicarakan. apa yang Korban alami merupakan balasan
setimpal atas perilaku mereka selama ini, terutama saat pecah Peristiwa
Madiun 1948. Berbagai analisis/tafsir historis – seperti yang
dikemukakan Anderson, McVey, Wertheim, Robinson, Cribb, dll- yang
menunjukkan adanya kemungkinan dalang lain harus ditolak.
Kedua, pelaku (militer – sipil)
telah melakukan hal yang benar untuk menyelamatkan NKRI dan umat Islam
waktu itu, yang bahkan mereka (pelaku) seharusnya mendapatkan
penghargaan karena membela Negara. Oleh karenanya pelaku tidak perlu
meminta maaf.
Ketiga, mengkampanyekan antikebangkitan PKI merupakan tugas suci yang harus digelorakan terus menerus.
Keempat, sejarah tidak perlu
diluruskan karena dianggap sudah benar. Membincang ulang peristiwa
1965-66 dianggap membangkitkan memori lama yang bisa berujung
pertumpahan darah lagi. Kelompok ini juga menuding para-pihak yang
membantu Korban 65 sebagai bagian dari kospirasi yang digerakkan oleh
luar negeri untuk menghancurkan Indonesia dan Islam.
Para-pihak ini
dianalogikan sebagai si Penebang kayu dalam cerita Penebang Kayu dan
Serigala.[3]
Kelompok kedua adalah pro-rekonsiliasi yang didalamnya terdapat 3 faksi; konservatif, moderat dan progresif. Faksi rekonsiliasi-konservatif meneguhkan keyakinannya pada hal-hal berikut.
Pertama,
menyesalkan terjadinya Peristiwa 1965, namun demikian masih meyakini
PKI mengkhianati negara, dan sebagai satu-satunya dalang Peristiwa G30S.
Sejarah tidak perlu diluruskan. Upaya hukum bagi pelaku tidak perlu
dilakukan. Begitu juga dengan berbagai regulasi antikomunis; tidak perlu
dicabut.
Kedua, Peristiwa 65-66 perlu
dipahami sebagai konflik horizontal yang menempatkan PKI dan masyarakat
sipil sebagai korban, oleh karenanya TIDAK PERLU DIBAHAS LAGI karena
hanya akan membawa bangsa ini melangkah mundur.
Ketiga, Negara
tidak perlu minta maaf. Meski demikian jika PKI berkehendak minta maaf,
organisasi saya –menurut faksi ini- siap memaafkan.
Keempat,
mempercayai rekonsiliasi di level akar rumput telah berjalan secara
alami, dan tidak perlu diselebrasi karena justru akan menimbulkan dampak
yang kontra-produktif bagi rekonsiliasi itu sendiri. Prinsipnya, silence will heal. Kelima, upaya menggaungkan kembali Peristiwa 1965 dengan mencitrakan PKI seolah sebagai Korban merupakan bentuk provokasi[4] dan upaya mengadu domba, yang oleh karenanya perlu dilawan.
Faksi rekonsiliasi-moderat
meyakini bahwa;
1) masalah utama Peristiwa G30S adalah pembunuhan dalam
jumlah amat besar terhadap siapa pun yang dianggap sebagai anggota PKI
dan underbouw-nya, yang dilakukan tanpa melalui proses hukum. Organisasi
saya dan PKI merupakan korban keadaan. Non-state-actors tidak dapat menghindar dari instruksi tentara. Opsi yang tersedia adalah membunuh (PKI) atau dibunuh
(karena dianggap PKI).
Mereka harus saling memaafkan. Meskipun
keterlibatan PKI sangat jelas dalam Peristiwa G30S NAMUN mereka bukan
satu-satunya dalang. Sejarah G30S perlu diluruskan berbasis fakta
persidangan dan memberikan kesempatan masyarakat untuk menilainya
sendiri.
2) Negara perlu meminta maaf kepada Korban BUKAN kepada PKI.
3)
Proses rekonsiliasi harus terus dilakukan bertumpu pada ketulusan,
kejujuran, keterbukaan, dan mensyaratkan luruhnya prasangka, serta
dibincang secara terbuka dengan melibatkan semua pihak. Pada titik ini,
Negara harus merehabilitasi para Korban dan memastikan tidak ada lagi
diskriminasi terhadap mereka.
4) Konstitusi memberikan jaminan hak
kemerdekaan berpikir dan menyatakan pikiran. Oleh karenanya, Tap MPRS
XXV/1966 tentang pembubaran PKI dianggap tidak lagi compatible
saat ini, meski pencabutannya perlu menuggu momen yang tepat. Namun
demikian kelompok ini masih keberatan PKI berlaga kembali dalam kancah
politik nasional. Keberatan ini juga berlaku terhadap munculnya partai
baru yang akan melakukan cara-cara sebagaimana PKI, dan
(5) penyelesaian
secara hukum -dengan mendakwa state-apparatus saat itu- akan
sia-sia, sebab banyak dari mereka yang sudah meninggal dunia. Upaya ini
dianggap tidak sebanding dengan kegaduhan politik yang justru akan
menimbulkan gelombang-balik menghantam para Korban.
Sedangkan yang terakhir adalah Faksi rekonsiliasi-progresif.
Kelompok ini dengan sadar mengakui keterlibatan militer dan organisasi
saya. Oleh karenanya, kelompok ini secara terbuka mengakui kesalahan,
meminta maaf dan ikut terlibat aktif menyuarakan keadilan bagi korban,
sembari terus menggalang rekonsiliasi dengan semua pihak. Lebih jauh,
bagi kelompok ini, jika Peristiwa G30S dibuka kembali maka akan baik
sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia.
Banyak orang menganggap orang PKI
bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Oleh karena itu
biarlah pengadilan yang akan menentukan mana yang benar[5].
Pun, regulasi yang masih bersifat diskriminatif menyangkut Peristiwa
ini perlu dicabut, tidak terkecuali TAP MPRS XXV/1966 MPRS. Kelompok ini
berpandangan konstitusi tidak melarang ideologi apa pun.
Bahkan,
kalaupun sebuah ideologi dinyatakan sebagai ideologi terlarang, ideologi
tersebut dibiarkan tetap hidup dalam benak (para pemeluknya)[6].
Proses perumusan Tap MPRS tersebut sangatlah sewenang-wenang. TAP
tersebut tidak bisa membedakan antara hak hukum dan hak politik warga
negara. Hak hukum seseorang tak dapat dienyahkan begitu saja, bahkan
jikapun ia secara politik bersalah[7]. Secara tajam, kelompok ini menuding TAP MPRS tersebut dibuat oleh “seseorang yang tengah berendam dalam nafsu (kekuasaan), dan takut dituduh sebagai salah seorang anggota PKI itu sendiri.”[8]
Keluar dari Kepungan
Dalam konteks demokrasi, perbedaan
pandangan menyangkut Peristiwa 65 merupakan hal lumrah, sepanjang tidak
digunakan untuk membungkam yang lain, apalgi menghalangi siapapun
menuntut apa yang menjadi haknya. Mencermati 4 peta kelompok di atas,
sangat jelas IPT menghadapi tantangan serius dari kubu antirekonsiliasi,
rekonsiliasi-konservatif, dan faksi rekonsiliasi-moderat. Ketiganya
berpandangan IPT merupakan upaya lancang yang tidak hanya akan menambah
kekacauan situasi yang sudah ‘kondusif’, namun juga secara nyata
berintensi membangunkan macan tidur. Saya mebayangkan terdapat
dua pekerjaan rumah yang perlu dipikirkan oleh IPT 65.
Pertama,
meminimalisasi kesalahpahaman dengan kelompok-kelompok kontra-IPT 65,
terutama tiga kelompok tersebut di atas. Kedua, meyakinkan mereka bahwa
penyelesaian melalui jalur yudisial merupakan masa depan terjadinya
rekonsiliasi yang sebenarnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ketiga
faksi ini bisa menerima gagasan IPT yang secara fundamental telah
ditolak ketiganya sejak awal? Saya berpandangan terdapat celah yang bisa
mempersatukan Korban 65 dengan-setidaknya dua dari tiga faksi tersebut
(rekonsiliasi-moderat dan konservatif), yakni dengan cara terus menggali
apa yang disebut ‘keduanya adalah korban’.
Begini, saya kerap mendengar dari banyak
pihak di internal organisasi saya bahwa para pelaku (sipil) pembantaian
juga merasa menjadi korban keadaan. Mungkin perasaan ini dianggap
mengada-ada dan terkesan apologetis. Namun jika mau ditelisik lebih
jauh, kita tentu bisa memahami kondisi ini, setidaknya melalui jargon ‘
membunuh atau dibunuh’. Jargon ini merupakan mantra sakti yang sangat
terkenal untuk mengeskalasi pembantaian, setidaknya dalam kurun
Oktober-Januari 1966 di Jawa Timur.
Temuan saya, mantra tersebut digunakan militer memaksa organisasi-organisasi kontra PKI melalui dua jalur. Pertama,
memprovokasi organisasi-organisasi tersebut agar “membunuh (PKI), atau
(jika tidak membunuh, mereka yang akan) dibunuh (oleh PKI)’.[9] Kedua,
mengintimidasi mereka dengan mengintrodusir pemahaman bahwa “(mereka
harus) membunuh (PKI) atau (mereka akan) dibunuh (karena dianggap PKI).[10]
Beban psikologis ini perlu diapreasi dan
didialogkan secara bersama, agar prasangka semakin terkikis, dan
rekonsiliasi pun menjadi sesuatu yang lebih konkrit serta bertenaga.
Ujungnya, penyatuan ini akan bergerak mendorong negara memenuhi keadilan
yang telah lama raib secara lebih bermartabat, yakni meminta negara
secara konkrit bertindak menyangkut tiga hal; mengungkap kejujuran
sejarah 1965, menghentikan impunitas pelaku (militer) melalui upaya
hukum, dan memberikan reparasi bagi Korban.
Harus disadari sejak awal, upaya ke arah
sana bukanlah hal mudah. Kekuatan-kekuatan antirekonsiliasi akan terus
bergerak memadamkan ikhtiar mulia tersebut, dengan dukungan faksi
garis-keras di militer dan kelompok Islam radikal-kanan. Mereka bertiga
akan menggunakan segala cara agar faksi rekonsiliasi -baik konservatif
maupun moderat- tidak menyeberang ke kubu progresif. Dalam upaya berebut
pengaruh ini, jujur saya katakan, tiga kelompok tadi bisa dikatakan
relatif berhasil mengkarantina faksi konservatif dan moderat agar tetap
resisten terhadap gagasan IPT. Bahkan saat ini, mereka telah mulai
meransek ke faksi progresif, pelan-pelan melucuti pendukungnya agar
tidak lagi setia terhadap tiga tuntutan tersebut
Semakin kelompok rekonsiliasi-progresif
memilih absen memperkuat komunikasi dengan 3 kelompok lain, maka peluang
meraih dukungan akan semakin mengecil. Lantas, bagaimana cara membangun
komunikasi dengan para elite di organisasi yang masih berciri feodal?
Mudah. Kuncinya adalah silaturahmi, dalam rangka menjelaskan persoalan
secara utuh, tanpa pretensi untuk saling menjatuhkan. Memang tidak
mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Dalam menggalang dukungan
banyak pihak, diperlukan juga kekukuhan pendirian, serta keberimbangan
dalam ngemong para pihak yang terlibat, Gus Dur -saya kira- merupakan contoh kecil dari sedikit yang bisa dijadikan marja’.
Dalam pemerintahannya yang begitu cepat berlalu, dia telah meletakkan
model dasar -ideal- dalam membangun kerangka kerja pembelaan Kasus 65
-dari perspektif pemimpin formal (presiden) yang berasal dari organisasi
yang tangannya dianggap berlumuran darah.
Misalnya, dia kukuh bersetia pada
kemanusiaan dan keadilan; mengakui kesalahan organisatorik dan mendukung
upaya keadilan bagi siapa saja yang merasa jadi Korban. Terhadap TAP
MPRS XXV/1966, Gus Dur menganggap regulasi tersebut layaknya slilit
regulatif yang harus dicungkil. Pendirian tersebut tidak lantas
menyurutkan langkah Gus Dur mengkomunikasikan gagasannya ke banyak
pihak, termasuk kepada elit organisasinya sendiri, meski tidak banyak
mendapat dukungan. Posisinya yang kurang menguntungkan tersebut nampak
semakin ‘terpuruk’ tatkala -di lain pihak- dirinya mendapat cibiran
keras dari Pram terkait permintaan maafnya, juga pada saat beberapa
korban 65 malah justru menuntutnya ke pengadilan – bersama dengan para
mantan presiden lainnya. Sikap Gus Dur? Dia tidak patah arang. Dua kali
dia mengunjungi rumah Pram –dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI-
untuk mencairkan kebekuan. Gus Dur juga meresmikan sebuah panti jompo
yang dihuni oleh penyintas 65, dan memberikan kata pengantar pada
bukunya Ribka Tjiptaning, Aku Bangga Jadi Anak PKI.
Saya melihat IPT 1965 merupakan upaya
meneruskan apa yang dulu belum sempat diselesaikan oleh Gus Dur,
terutama untuk menguji klaim kebenaran masing-masing pihak atas
Peristiwa 65, melalui mekanisme hukum yang fair dan transparan. Yang
saya heran, kenapa Gus Dur begitu percaya diri mendukung pengungkapan
Peristiwa ini melalui ranah hukum –padahal semua tahu organisasinya ikut
terlibat aktif, terutama di Jawa Timur? Bukankah secara politik langkah
ini mengesankan ia tengah menyerahkan leher organisasinya untuk
ditebas?
Saya menduga, terdapat dua kemungkinan kenapa Gus Dur memilih laku tersebut. Pertama, sangat mungkin dia tengah mempraktekkan apa yang pernah ia katakan, ‘melanggar
hak hukum seseorang karena ia telah menyerang kita tidak mencerminkan
pandangan hidup menjadi seorang Muslim yang baik. Seorang Muslim yang
baik harus mengatakan bahwa apa yang salah adalah salah dan apa yang
benar adalah benar, terlepas dari kita menyukainya atau tidak.” Kedua,
barangkali Gus Dur meyakini jika mekanisme hukum justru akan
membuktikan bahwa organisasinya memang dalam kategori korban. Lebih
jauh, sangat terbuka kemungkinan dia tengah mempercayai bahwa
rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kepastian hukum, yang secara
simultan disusuli dengan pemaafan kolektif, pengungkapan kebenaran
sejarah, penghentian diskriminasi, dan pemberian reparasi bagi korban. Wallohu a’lam.
Jombang, 11 Ramadhan 2015.
Refrensi :
[1] Nahdliyin, No. Kartanu. 13.120612.0288.02
[2] Pernyataan Komnas HAM tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat Peristiwa 1965-1966 tertanggal 23 Juli 2012
[3] Kisah Penebang Kayu dan Serigala bisa dibaca dalam tulisan Yusuf H berjudul Kenapa Kita Menentang Komunis, dimuat Republika 29 April 2000.
[4]
Secara spesifik, kelompok ini keberatan dengan apa yang mereka sebut
sebagai dramatisasi jumlah korban Pembantaian 1965-66. Menurut Mas Munim
Dz, jumlah korban kurang dari 20.000 orang. Para pembela PKI dianggap
memainkan statistik jumlah korban untuk mengglorifikasi kepentingan
mereka.
[5] Rabu, 15 Maret 2000, Terhadap Korban G30S/PKI Gus Dur: Sejak Dulu Sudah Minta Maaf, Jakarta, Kompas
[6] Gus Dur menyatakan hal tersebut sebagaimana di harian Kompas, 5 April 2000.
[7] Kompas, 22 April 2000
[8] Kompas, 1 April 2000.
[9] Upaya adu domba-domba dengan model provokasi ini –misalnya- sangat tampat tersirat dari testimoni alm. Pak Ud, Killing Communists. Dalam
beberapa paragraf akhir tulisan tersebut, Pak Ud menceritakan militer
selalu menyodorkan daftar nama kiai yang katanya akan menjadi target
‘penculikan’ PKI. Pak Ud pada akhirnya meragukan list tersebut benar dibuat PKI. Dia menutup testimoninya dengan kalimat, ‘there
are two possibilities: one is that PKI was trying to confront its
political enemies. But now I’m not sure whether the level of awareness
among PKI members could really have been that high”, lihat McGlynn. John H, Indonesia in the Soeharto Years: Issues, Incident & Images, 2007.
Testimoni tentang daftar yang seolah-olah dibuat PKI – namun sebenarnya
dibuat oleh militer untuk memojokkan PKI, juga diceritakan oleh Gus
Sholah (Salahuddin Wahid) dalam tulisannya PKI dan Rekonsiliasi, Republika, Kamis 6 Nopember 2003.
[10] Dalam tulisannya, Gus Sholah menceritakan ada orang yang dipaksa menjadi eksekutor tertuduh-PKI, Jalan Mendaki Rekonsiliasi, Situs
NUOnlline, 2 Oktober 2006. Penjelasan yang sama juga saya dengar dari
beliau beberapa kali saat membincang persoalan ini, salah satunya pada
13 Januari 2015 di Tebuireng
http://kontrassurabaya.org/diskursus/ipt-65-diantara-kepungan-4-kelompok/
0 komentar:
Posting Komentar