Test Footer 2

Sabtu, 29 November 2014

Joshua Oppenheimer: Selama TAP MPRS Masih Ada, Selama itu Pula Negara Mempertahankan Cerita Resminya Mengenai G30S

 by  in Bincang

Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam catatan sejarah bangsa ini masih menjadi momok yang menakutkan. Doktrin dan stigma yang disematkan oleh rezim Orde Baru pada partai sempalan dari Sarekat Islam ini sampai sekarang masih mengakar kuat di pikiran masyarakat. Segala macam buku sejarah maupun buku pelajaran masih saja menceritakan kisah-kisah kekejaman partai ini.
Ketika Orde Baru tumbang, tak serta merta catatan hitam PKI versi pemerintah ikut tumbang. Semua itu tetap tersimpan di ingatan banyak orang. Yang menarik, isu PKI ini sempat dijadikan isu sensitif oleh salah satu pasangan capres dan cawapres dalam menjatuhkan lawan politiknya. PKI yang juga memiliki jasa bagi kemerdekaan bangsa ini menjadi sasaran empuk oleh mereka yang hanya mengenal sejarah PKI versi pemerintah Orba.
Isu mengenai PKI ini jugalah yang membuat seorang sineas muda asal Amerika Serikat, Joshua Oppenheimer, mengangkat kembali sejarah pasca tumbangnya partai ini. Banyak kisah yang tak tersampaikan kepada masyarakat bahwa ada ratusan ribu, bahkan jutaan, nyawa tak berdosa menjadi tumbal awal mulanya berdirinya rezim Suharto.
Rakyat biasa yang pekerjaan sehari-hari sebagai petani menjadi korban pembunuhan massal. Seperti peristiwa holocaust Nazi di Jerman, begitu jugalah yang terjadi di Indonesia.
Perbedaan antara Nazi dan Orba adalah cara membunuh yang digunakan. Bila Nazi menggunakan berbagai macam alat seperti kamar gas, senjata, maupun alat eksperimen, Suharto menggunakan rakyat sipil untuk menjalankan aksinya.
Dengan mengerahkan berbagai macam kalangan baik intelektual, rohaniawan, maupun rakyat jelata, Suharto mampu memobilisasi mereka semua untuk membasmi dan membantai orang-orang, baik anggota PKI maupun simpatisan PKI. Dengan dalil bahwa darah orang-orang ini halal, sesuai perintah agama, serta sebuah tindakan yang nasionalis. Masyarakat yang tersulut ini begitu bangga melakukan kekejian tanpa merasa bersalah, bahkan di antara mereka ada yang riang gembira melakukan pembunuhan secara massal tersebut.
Melalui dua film yang dibuatnya, Jagal dan Senyap, Joshua ingin menyampaikan sebuah kekejian yang hilang dari buku sejarah bangsa ini, bahwa ada begitu banyak nyawa yang menjadi korban dari sebuah pergulatan politik. Untuk mengetahui lebih jelas lagi mengenai dua film yang dibuatnya serta motivasi apa yang menggerakkan dirinya mengisahkan peristiwa tragedi 65 ini, berikut petikan wawancara Citizen Daily dengan Joshua Oppenheimer:
Apa motivasi awal Anda ingin membuat film tentang Indonesia, khususnya daerah Sumatera Utara?
Pada mulanya saya datang ke Indonesia atas undangan serikat buruh pangan internasional untuk membuat film mengenai serikat buruh perkebunan di Sumatera. Saya datang pada 2001, tiga tahun sesudah reformasi.
Saya mengira akan memfilmkan situasi Indonesia yang sedang berubah dan serikat buruh independen yang bersemangat mengubah keadaan. Kenyataannya tidak demikian.
Sesudah reformasi itu buruh masih hidup dalam penderitaan dan ketakutan, organisasi mereka menemui banyak sekali kesulitan. Salah satu penyebabnya adalah ketakutan bahwa kekerasan dan pembunuhan massal akan terjadi lagi kalau mereka menuntut perbaikan hidup seperti yang pernah dilakukan oleh paman, ayah, ibu, dan kakek-nenek mereka yang dulu tergabung dalam serikat buruh dan tani. 
Saya berusaha memfilmkan akar persoalan ini dengan mewawancari penyintas dan keluarga korban pembantaian massal 1965, tetapi selalu diganggu oleh aparat kemanan, militer, intel, atau orang-orang (preman-Red) yang disewa perusahaan. Keluarga korban dan penyintas pun merasa waswas karena kini mereka juga jadi diawasi oleh aparat keamanan. Mereka diintimidasi agar tidak bicara kepada saya. 
Para penyintas mendesak saya, “Sebelum kamu menyerah dan pulang, cobalah filmkan para pelaku. Mereka mungkin akan menceritakan bagaimana mereka membunuh saudara-saudara kami.”
Kalimat ini yang menjadi motivasi bagi saya. Ada sebuah cerita penting dari masa lalu yang disembunyikan yang menjadi sumber dari berbagai masalah kemanusiaan hari ini; mengenai kematian kebudayaan, gagalnya demokrasi, korupsi, dan kekerasan yang terus-menerus menggejala ketika normalitas kehidupan bermasyarakat dibangun di atas kebohongan dan teror.
Secara pribadi, sebagai keturunan penyintas Holocaust, ketika saya mewawancarai para pembunuh massal yang dengan bangga membualkan kejahatannya, saya merasa sedang berada di Jerman, hari ini, dengan Nazi yang masih berkuasa dan menang.
Jika kejahatan terhadap kemanusiaan bisa diceritakan sebagai sebuah perjuangan heroik, jika para pembunuh massal menang dan menulis sejarah —seperti kata-kata klise, “Sejarah ditulis oleh para pemenang”—kita harus melihat ulang dunia kita. Kita harus menilai ulang apa arti menjadi manusia.
Dan ini bukanlah masalah Indonesia semata, ini adalah juga masalah Amerika Serikat, Inggris, dan negara lain. Ini adalah masalah umat manusia.
Kalau dilihat dari sudut pandang dan cerita yang Anda angkat, ini sangat berbeda dengan mayoritas sineas muda di Indonesia yang selalu mengangkat tema tentang Indonesia dari segi sejarah yang tak terlalu tabu untuk difilmkan. Anda membuat film yang berbeda. Apa alasannya?
Indonesia adalah bangsa yang punya sejarah yang panjang dan kaya. Ada banyak bagian dalam sejarah Indonesia yang cukup menarik untuk dijadikan film. Hanya saja persoalannya, bagi saya, sejarah pembantaian 1965 yang dianggap tabu itu justru adalah yang punya dampak penting dan kuat sampai hari ini.
Pembantaian 1965, justru karena disembunyikan dan ditabukan, menjadi sangat relevan dalam mengkritisi Indonesia hari ini. Dan ini sangat penting kalau kita mau merancang sesuatu untuk masa depan.
Ada kejadian luar biasa besar dan penting dengan dampak sangat besar pada Indonesia hari ini, tetapi justru disembunyikan dan digelapkan; dan ini menggandakan kekuatan alasannya. Pertama karena hal tersebut penting, kedua bagaimana mungkin hal tersebut justru digelapkan.
Bagaimana proses dan cara bekerjanya penggelapan itu, bagaimana cara bertutur (story telling) yang mengiringi proses penggelapan ini. Dan semakin Anda menelisik proses itu, semakin kita bisa melihat berbagai kepentingan di belakangnya.
Kesimpulan dari film Jagal mungkin tidak mengenakkan; bahwa kita lebih mirip dengan para pelaku itu daripada yang ingin kita bayangkan. Ini adalah pil pahit yang harus ditelan kalau kita mau bergerak ke arah perubahan.
Film Senyap memberikan harapan kesembuhan itu walaupun redup. Kita bisa berubah kalau kita mau melihat diri dengan lebih jujur.
Bicara tentang tragedi 1965, apa pandangan Anda mengenai peristiwa ini?
Indonesia selalu berada di dalam percaturan perebutan kekuasaan dunia karena dunia punya kepentingan yang besar pada wilayah yang kaya dan padat penduduk ini. Pembantaian massal 1965 adalah salah satu titik puncak dari pergulatan kepentingan politik dunia; antara negara-negara Barat yang ingin menguasai kembali sumber daya Indonesia setelah meninggalkan zaman kolonial dengan bangsa Indonesia yang sedang mencari jalannya sendiri.
Pembantaian massal 1965 meninggalkan bekas yang mendalam pada Indonesia hari ini. Di atas pembantaian dan kuburan massal inilah rezim impunitas, yang tidak pernah meminta pertanggungjawaban para pelakunya, dibangun.
Ketika impunitas menggejala, ketidakadilan merajalela. Warga negara tidak pernah benar-benar setara di depan hukum. Mereka yang membunuh ratusan manusia tak bersalah, mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu sampai satu juta orang, mereka yang merampas hak dan masa depan jutaan keluarga, tidak pernah dihukum.
Tanpa kesetaraan di depan hukum, demokrasi kehilangan tonggaknya.
Apa yang ingin Anda sampaikan dari film Jagal dan Senyap?
Pada Jagal dan Senyap kita bisa melihat bagaimana kekerasan ekstrem merusak sendi-sendi kemanusiaan dan memporakporandakan kehidupan. Setiap peristiwa kekerasan massal menciptakan trauma bagi pelaku dan terutama bagi para korbannya.
Setelah semua kehancuran itu, di atas puing-puing itu, yang tersisa adalah pertanyaan bagi semuanya, bagaimana kita memaknai ini semua?
Para pelaku, kita lihat di kedua film tersebut berusaha memaknai kekerasan itu dengan propagandanya, sebuah alasan untuk meyakinkan diri bahwa apa yang diperbuatnya itu perlu dan benar. Di seberangnya para korban melihat kekerasan itu sebagai sebuah kejahatan dan mereka tidak punya kesalahan apa pun sehingga tidak pantas diperlakukan sedemikian keji.
Di sini kedua pernyataan menjadi kontradiktif, dan acuan mengenai salah dan benar menjadi hilang. Lebih dari sekadar siapa salah dan siapa benar, siapa perlu dihukum dan siapa perlu direhabilitasi, saya melihat yang pertama kali adalah yang menjadi korban adalah kebenaran. Itu sebabnya rekonsiliasi, pertama kali, adalah pengungkapan kebenaran, ketika semua cerita disampaikan tanpa rasa takut, ketika dengan pikiran jernih kita bisa kembali melihat acuan mana yang benar dan mana yang salah dengan terang benderang.
Kedua film saya bukanlah semata-mata film tentang Indonesia karena kekerasan massal bukan hanya terjadi di Indonesia dan bukan hanya terjadi pada tahun 1965, melainkan juga di Serbia, Rwanda, Jerman, Suriah, di abad yang lalu dan juga masih terjadi di abad ini. Ada sebuah pertanyaan yang bukan hanya diperuntukkan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga pada umat manusia.
Kadang kita bisa mencegah kekerasan terjadi meluas, tetapi ketika kekerasan massal itu sudah terjadi, apa yang bisa kita lakukan untuk membenahinya dan menjamin bahwa kekerasan massal itu tidak akan terjadi lagi? Satu hal yang kita tahu, kita tidak bisa menjamin kekerasan massal tidak berulang, kalau kita belum membenahi dan menyelesaikan persoalan kekerasan massal di masa lalu.
Kelihatannya, dari situasi dunia saat ini, dengan perang dan konflik bersenjata masih terjadi hari ini di berbagai tempat, kita masih perlu waktu panjang untuk mendapatkan jawaban yang baik. Yang perlu kita ingat, jawaban yang baik hanya datang ketika kita bertanya, dan seperti Adi Rukun, saat yang tepat untuk bertanya adalah sekarang.
Apakah menurut Anda, upaya rekonsiliasi itu bisa dilaksanakan, mengingat masih ada Tap MPRS 1966 yang membuat mereka yang dituduh komunis masih dianggap aib bagi bangsa ini?
Rekonsiliasi adalah sebuah jalan yang berat. Rekonsiliasi tidak pernah berjalan mulus. Ada ketidakenakan, kegelisahan, dan ketakutan yang harus dihadapi. Rekonsiliasi adalah jalan yang berat, tetapi bukan jalan yang tak mungkin. 
TAP MPRS tahun 1966 yang melarang disebarluaskannya ajaran Komunisme, Marxisme, dan Leninisme itu adalah juga salah satu penghalang terjadinya rekonsiliasi. Dalam arti, selama TAP MPRS itu masih ada, selama itu pula negara mempertahankan cerita resminya mengenai G30S, mengenai pembunuhan massal yang dianggap sepatutnya, dan mengenai asumsi dasar yang mendasari propaganda Orba merendahkan nilai-nilai kemanusiaan bahwa pembantaian massal semuanya dilakukan pada komunis. Bahwa komunis adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya penculikan dan pembunuhan perwira tinggi dalam G30S, bahwa komunis pasti orang yang bermoral, dan oleh karenanya pembantaian massal 1965, bukan hanya wajar, tetapi juga diperlukan.
TAP MPRS tahun 1966 adalah tonggak kekacaubalauan cerita resmi versi pemerintah. Kalau pemerintah mau berubah, bukan hanya sikap dan hukum saja yang perlu diubah, tetapi juga cara bagaimana Indonesia menceritakan sejarahnya sendiri. Tanpa perubahan pemahaman mengenai sejarah, tanpa upaya memaknai peristiwa dalam sejarah, juga bagaimana menafsir sejarah itu ke dalam hukum dan kebijakan, rekonsiliasi hanya akan menjadi ajang maaf-maafan, yang bahkan tidak menyebutkan maaf untuk kesalahan dan kejahatan yang mana.
Memelihara cerita resmi dan tafsir tunggal atas sejarah—lebih buruk lagi, cerita dan tafsir yang dibuat oleh rezim pembantai massal—adalah menolak rekonsiliasi. Ketika antikomunisme masih dijadikan propaganda, yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, melainkan rekonfirmasi pada rezim lama.
Bagaimana pandangan tentang Presiden Jokowi? Yang seperti kita ketahui kita masa kampanye pilpres kemarin ada tuduhan kalau dia sebagai antek dari Komunis?
Pada Jokowi ada harapan. Jokowi menulis dalam janji kampanyenya sebuah komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dari masa lalu, termasuk tragedi 1965, dan menghapus segala bentuk impunitas. Ini yang membedakan ia dari pesaingnya, Jenderal Prabowo yang justru sibuk menangkis tuduhan sebagai pelanggar HAM.
Yang kita punya sekarang barulah sebuah janji, dan itu artinya ada pekerjaan besar bagi rakyat Indonesia untuk mendesak dan mendukung Presiden Jokowi untuk memenuhi janjinya itu.
Lucunya, Jokowi pada masa kampanye bukan hanya dituduh keturunan atau antek komunis, ia juga dituduh antek Amerika Serikat. Ini menunjukkan kekacauan pikiran penuduhnya. Kita bisa melihat betapa tuduhan atau fitnah asal-asalan masih menggejala di Indonesia, dan ini bukan perkara ringan. Dari pembantaian dan kekerasaan massal 1965, kekerasan massal 1998, konflik Ambon, dan banyak kasus kekerasan lainnya kita bisa lihat betapa kekerasan yang meluas bisa disulut dari fitnah yang asal-asalan seperti ini.
Kita harus belajar berpikir dengan lebih jernih, melihat manusia terlebih dahulu sebagai manusia dengan berbagai kesamaannya, sebelum menghakiminya dengan predikat ideologi, etnis, agama, dan embel-embel lainnya.
Bagaimana juga pandangan Anda terhadap Jusuf Kalla yang merupakan pasangannya dia saat ini di pemerintahan RI?
Saya sangat kecewa dengan pemilihan Jusuf Kalla sebagai pendamping Jokowi. Jusuf Kalla, sekalipun bukan pimpinan Pemuda Pancasila, ia sama sekali tidak keberatan hadir dalam acara Pemuda Pancasila dan memuji organisasi itu sebagai diperlukan, dan bahwa menggunakan kekerasan—berkelahi—itu perlu.
Itu menunjukkan bahwa ia masih menjadi bagian dari rezim lama dengan cara pandang lama. Ia tidak cukup banyak belajar sejarah—yang sebenarnya, bukan sejarah resmi—dan mengetahui bagaimana Pemuda Pancasila, serta organisasi massa lainnya, terlibat dalam pembantaian massal dan pelanggaran HAM berat.
Walaupun begitu, jika saya harus memilih antara Jusuf Kalla yang memuji Pemuda Pancasila dan Jenderal Prabowo; memilih the lesser evil, saya lebih memilih mendukung Jokowi dengan wakil presidennya Jusuf Kalla daripada Presiden Prabowo, siapapun wakilnya. Prabowo memang tidak masuk dalam film Jagal, tetapi segala yang digambarkan dalam film Jagal ada pada Prabowo: kekerasan, pelanggaran HAM, dan impunitas.
Saya hanya berharap bahwa Jokowi menjadi sosok yang lebih kuat dalam menerjemahkan janjinya menyelesaikan kasus HAM masa lalu dan menghapus segala bentuk impunitas. Saya berharap bahwa Jusuf Kalla akan lebih berhati-hati menghadiri acara yang diselenggarakan oleh organisasi massa yang terlibat dalam pelanggaran HAM masa lalu, mengubah pandangannya mengenai sejarah di Indonesia, serta tidak memandang remeh apalagi menganjurkan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik.
Menurut Anda, pantaskah toleransi di Indonesia ini menjadi contoh negara-negara lain (ucapan Obama di APEC 2014) jika kita bandingkan dengan dua film yang Anda buat juga dengan kasus-kasus intoleransi yang ada di Indonesia?
Kita harus lihat konteks ucapan Obama adalah posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Indonesia punya penduduk Muslim paling banyak di dunia, lebih dari negara manapun di Timur Tengah, sumber ajaran agama Islam itu sendiri.
Dibandingkan dengan banyak negara Timur Tengah yang mayoritas penduduknya Muslim, Indonesia adalah contoh bagi toleransi kehidupan beragama. Tidak ada aturan khusus berpakaian, kecuali di beberapa tempat, hukum didasarkan pada konsensus masyarakat, bukan hukum agama mayoritas, Indonesia punya hari libur berbagai agama, dan seterusnya menunjukkan bahwa orang Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim lebih toleran.
Namun, Indonesia tidak boleh berhenti di situ, atau malah mundur dengan berusaha menjadi Timur Tengah yang intoleran. Memang kita melihat sekarang ada upaya ke arah itu, tetapi sebetulnya itu disuarakan oleh sedikit sekali orang Islam di Indonesia. Sayangnya, sedikit orang ini suaranya kencang sekali.
Kalau Indonesia mau menjadi negara yang lebih toleran, nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi hal yang pokok melintasi sekat-sekat batas agama, aliran dalam agama, etnis, bahasa, ideologi, pandangan politik, dan pengotakan lainnya.
Apa pendapat Anda tentang PKI di Indonesia?
PKI adalah salah satu partai di Indonesia yang punya sumbangsih pada kemerdekaan dan pembangunan karakter Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Seperti partai atau kelompok politik lain di Indonesia, PKI juga punya metode, pendekatan, strategi, dan cara pandangnya sendiri yang khas mengenai seperti apa Indonesia yang akan dibangun.
Pandangan PKI tidak selalu disetujui oleh semua pihak, apalagi oleh lawan-lawan politiknya. Dan hal ini adalah hal yang biasa dalam politik. PKI mengalami jatuh bangunnya, melewati berbagai masa sulit, dan masa kejayaan. Kita perlu memilah lagi dan melihat PKI dengan lebih objektif jika kita ingin melihat sejarah, yang artinya identitas diri, dengan lebih jernih.
Terlepas dari semua persoalan ideologis, politik, dan kepartaian, yang terpenting dari apa yang saya pelajari mengenai sejarah Indonesia bukanlah ideologi komunismenya itu sendiri ketika kita membahas bagaimana PKI dan komunisme runtuh di Indonesia. Apa yang menghancurkan komunisme di Indonesia adalah ketika kata “komunisme” itu diberi makna yang serampangan sebagai sebuah stigma dan hinaan. Dari keserampangan pemaknaan kata inilah muncul fitnah dan kekacauan pikir di masyarakat luas.
Mungkin sekarang membicarakan komunisme, bahaya laten komunisme, dan hantu komunisme sudah tidak relevan lagi, tetapi masalahnya, kekacauan makna yang melahirkan kekacauan pikiran itu masih ada dan menggejala. Ini juga PR besar yang perlu dibenahi.
Pertanyaan terakhir, apakah Anda tidak takut nyawa Anda akan terancam mengingat dua film yang Anda buat seperti mengemukakan kembali sejarah yang sebenarnya sudah memvonis bahwa pelaku tunggalnya adalah komunis hingga mengakar di benak masyarakat Indonesia kebanyakan?
Tentu saya punya kecemasan tersendiri mengenai keselamatan saya, tetapi yang lebih saya pikirkan adalah keselamatan kru Indonesia yang masih tinggal di Indonesia, dan Adi Rukun beserta keluarganya. Para awak film berkebangsaan Indonesia memilih untuk tetap berada di Indonesia dan menyebarluaskan filmnya serta terlibat lebih jauh dalam upaya perubahan dan rekonsiliasi di Indonesia. Mereka bisa kapan saja meninggalkan Indonesia, tetapi memilih untuk tetap tinggal di negeri kelahiran mereka agar upaya-upaya mereka pasca pembuatan film ini bisa lebih efektif dan berdampak lebih kuat.
Melihat keberanian para awak film Indonesia itu, para anonim, dan Adi Rukun dalam upayanya berpartisipasi membenahi sengkarut bangsanya, membicarakan risiko atas keselamatan saya sungguh tidak relevan dan tak berarti.
http://citizendaily.net/joshua-oppenheimer-selama-tap-mprs-masih-ada-selama-itu-pula-negara-mempertahankan-cerita-resminya-mengenai-g30s/

0 komentar:

Posting Komentar