Test Footer 2

Senin, 24 November 2014

Celakanya membenarkan cara berfikir ini: Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif!

24 November 2014 pukul 13:23

Subsidi BBM dialihkan ke Sektor yang lebih Penting dan Produktif? 
Bukankah itu Statemen yang terang membodohi?
Bagaimana Ceritanya BBM dan Energi lainnya tidak Penting?

Kenyataannya, perubahan harga atas Energi (Utamanya BBM) dipastikan akan mempengaruhi hampir seluruh aspek dalam penghidupan Rakyat.
Setidaknya, Pencabutan subsidi dan Kenaikan harga BBM pasti akan mempengaruhi:
  1. Jumlah dan nilai upah
  2. Biaya jasa transportasi
  3. Biaya Produksi
  4. Harga barang dan kebutuhan Pokok
  5. Biaya Kesehatan: Terkait dengan kenaikan biaya produksinya akibat naiknya harga BBM, karena biaya produksi obat-obatan, alat-alat kedokteran dan kesehatan lainnya di produksi menggunakan energy, ditambah biaya distribusi (relasinya dengan ongkos transportasi)
  6. Biaya Pendidikan: Sama dengan Kesehatan, Seluruh kebutuhan sarana prasarana, perlengkapan, alat dan bahan kegiatan belajar-mengajar (KBM), sampai pada seragam sekolah diproduksi menggunakan energy dan membutuhkan biaya distribusi.
  7. Dll.
*Jadi, melihat dampak pencabutan subsidi dan penaikan harga BBM tidak bisa dilihat hanya dalam transaksi jual beli di SPBU semata.

Problemnya adalah, Bukan sama sekali seperti Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemerintah bahwa: Produksi minyak nasional turun, sedangkan kebutuhan konsumsi naik, Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit), Alokasi anggaran untuk sector lain lebih rendah (menggunakan logika perbandingan), harga minyak dunia naik/turun, dan alasan-alasan lainnya.

Produksi minyak Turun?
Indonesia tidak produksi kok, hanya terlibat dalam proses lifting (Pengangkatan) dari jatah pembeliannya terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan tersebut. Kemudian diolah menjadi minyak jadi dengan menitipkan lagi (Mengolah di Industri milik swasta) untuk menjadi minyak jadi.

Jadi, klaim pemerintah soal Produksi minyak nasional tersebut adalah bukan hasil eksploitasi yang dilakukan oleh Indonesia melalui perusahaan Negara, melainkan jatah pembelian terhadap seluruh perusahaan Swasta yang ada di Indonesia dalam bentuk minyak mentah sebesar maksimal 25% dari total jumlah produksi seluruh perusahaan.

Kebutuhan Konsumsi Naik?
Perkara kebutuhan Konsumsi naik, ini adalah perkembangan yang “Niscaya” seiring perkembangan yang ada didalam negeri, baik perkembangan atas pertumbuhan penduduk, kebutuhan produksi dan seterusnya. Namun, alasan Pemerintah ini seolah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki kemampuan hitung atas perkembangan seperti diatas (Sekedar Asumsi sekalipun). Lantas kenapa dalam menghitung pertumbuhan secara manipulative sangat lihai?

Keterangan:
Lihat saja bagaimana pemerintah dalam permainan angka menghitung pertumbuhan ekonomi PDB secara makro (Termasuk menghitung omzet perusahaan swasta yang bukan samasekali milik Indonesia), menghitung penurunan angka kemiskinan dan klasifikasi golongan (miskin, hampir miskin, menengah dan, kaya).
Padahal, pemerintah menghitung pertumbuhan tersebut hanya dengan melihat:
  1.  Pendapatan Per-Kapita sebesar Rp. 210.000-280.000 (Miskin),
  2. Pendapatan Rp. 280-400.000 (Hampir Miskin) dan,
  3. Pendapatan Rp. 400.000-Seterusnya (Menengah dan Kaya).
Bukankah dengan perhitungan seperti ini, Pengemis dan Pengamen akhirnya dapat digolongkan minimal menjadi golongan “hampir miskin”? kemudian buruh beserta pekerja lainnya dengan Upah minimum Rp. 2,7 Juta (Contoh DKI Jakarta) kemudian otomatis menjadi klas menengah dan golongan Kaya?  
*Perhitungan yang sangat tidak manusiawi bukan?

Jadi, naiknya kebutuhan konsumsi minyak dalam negeri yang “diluar prediksi” pemerintah tersebut justeru semakin menunjukkan bahwa Pemerintah memang tidak pernah memiliki data dan analisis komprehensif (Menyeluruh) yang Objektif atas keadaan Umum Indonesia.

Alokasi anggaran tidak cukup (Dificit)?
Alasan ini semakin lucu, dengan Alasan ini Pemerintah berusaha membodohi rakyat bahwa Pemerintah Hanya sebagai pengelola Anggaran dan bukan pemegang Kewenangan dalam menyusun dan Menetapkannya. Lantas siapakah yang menyusun dan menetapkannya, sehingga Pemerintah “se-Olah” begitu panic ketika menerima Dokumen APBN yang akan dikelolanya tidak sesuai dengan kebutuhan.

Problem sesungguhnya, bukan pada bagaimana pengalokasiannya (pembagian alokasi untuk setiap sector) semata. Tapi disinilah tempatnya untuk meletakkan Politik yang tepat dalam mengatur Anggaran (belanja dan pendapatan) berdasarkan perspektif dan Orientasi yang tepat pula.

Berbicara Subsidi dan anggaran untuk BBM, Pemerintah tidak seharusnya mengarahkan Rakyat pada pikiran  distribusi semata (proses jual-beli minyak oleh Pemerintah kepada Rakyat, kemudian terfokus pada harga), kecuali pemerintah memang tetap ingin menjebak Rakyat dengan segala pembodohan agar tidak memahami dimana problem pokoknya.

Pemerintah harusnya dalam berbicara “Politik Anggaran (Red: Politik Logistik Kata Ir. H. Joko Widodo)” untuk BBM dan Energi lainnya, paling pertama dan utama harus meletakkan perspektifnya lebih pada bagaimana Negara harus berdaulat atas produksi dan distribusinya atas minyak dan energy lainnya, kemudian bagaimana mampu melakukan produksi secara mandiri.

Artinya bahwa, Pemerintah harusnya berusaha keras membangun Industri Nasional (Untuk produksi minyak misalnya), mulai dari Eksplorasi, Eksploitasi, Lifting dan, Proses produksi lainnya sampai pada proses Distribusi.

Benar bahwa dalam aspek ini, kendalanya adalah Modal dan teknologi. Maka inilah bagian yang harus dipikirkan dan diselesaikan lebih utama oleh Pemerintah, bagaiamana untuk mengalokasikan modal produksi, termasuk mendapatkan teknologinya (terutama teknologi mesin). Kenyataannya Indonesia memiliki bahan bakunya kok, yang selama ini dikeruk habis-habisan oleh perusahaan swasta milik kapitalisme monopoli (Imperialisme) dan borjuasi komprador (Perpanjangan tangannya) didalam negeri. Kekayaan Alam Indonesia telah menyediakan segalanya, sebagai Syarat untuk bisa membangun Industri nasional dan melakukan produksi secara mandiri.

Masalahnya adalah, Pemerintah sangat tergantung pada Modal Asing beserta teknologinya, yang didapatkan melalui mekanisme utang, hibah dan Investasi. Ditengah ketidak mampuannya memecahkan problem tersebut, Pemerintah justeru kemudian MENGUNDANG Kapitalisme monopoli Internasional untuk melakukan Investasi dan membuka Industri (Tambang minyak contohnya) di Indonesia, kemudian mengeruk seluruh cadangan minyak yang terkandung dalam perut bumi Nusantara ini. Sementara Negara hanya mendapatkan sebagin kecilnya saja dari hubungan produski tersebut.

Dilain sisi Pemerintah bahkan memberikan jaminan yang sedemikian rupa untuk kelansungan serta keamanan produksi dan distribusi (pasar dan harga) bagi perusahaan Imperialisme dan Borjuasi komprador didalam Negeri. Mulai dari jaminan keringanan pajak(berbagai jenis pajak), keringanan biaya Eksport-Import (Alat kerja dan hasil Produksi)bahkan, sampai pada jaminan refitalisasi yang juga ditanggung oleh Pemerintah menggunakan uang Negara (Refitalisasi: Peremajaan dan pengadaan alat kerja baru_Mesin dan lain sebagainya), jaminan untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah dan lain-lain.

Celakanya, Pemerintah bahkan memberikan perlindungan atas jaminan tersebut secara vulgar melalui Undang-undang. Sementara Imperialisme terus meraup keuntungan berlimpah, baik dari proses produksi, hasil distribusi sampai pada keuntungan jual mesin dan alat kerja lainnya untuk peremajaan dan pengadaan baru yang di Import dari luar Negeri yang sesungguhnya adalah produksi dari Imperialisme itu sendiri.

Kesimpulannya adalah, tidak tercukupinya kebutuhan konsumsi minyak dalam Negeri, bukanlah karena kian berkurangnya produksi dan cadangan minyak bumi Indonesia semata, juga bukan karena rendahnya alokasi anggaran yang menyebabkan deficit, apalagi dengan alasan yang menuduh Rakyat terlalu Konsumtif dan Boros menggunakan BBM,“Seolah Rakyat beli Minyak untuk Menyiram pekarangan rumah dan atau untuk ngepel laintai saja!”

Problem pokoknya adalah:
Karena Adanya kontrol oleh Imperialisme di indonesia yang melakukan monopoli (Penguasaan secara luas) atas produksi minyak dan Dominasi atas pasar dan harga (Distribusi) Minyak.

Sumber https://www.facebook.com/notes/1558536181045666/

0 komentar:

Posting Komentar