Peserta memasuki peti mati saat acara "living
funeral" sebagai bagian dari program "dying well" di Seoul,
Korea Selatan, Kamis (31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
Banyak orang menghindari kematian, menjauhinya, bahkan
enggan membicarakannya. Tapi di Korea Selatan,
kematian justru didekati dan "dialami". Tujuannya, agar manusia lebih
menghargai kehidupan.
"Mengalami" kematian telah dilakukan oleh lebih
dari 25 ribu orang di Hyowon Healing Centre, Kota Seoul. Pusat pengobatan
mental ini menawarkan jasa pemakaman gratis, tapi bagi orang yang masih hidup,
dikenal dengan program "Dying Well" atau mati dengan baik.
Peserta memasuki peti mati saat acara "living
funeral" sebagai bagian dari program "dying well" di Seoul,
Korea Selatan, Kamis (31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
Jasa yang dibuka sejak 2012 ini ternyata digemari
masyarakat Korsel, baik tua dan muda. Mereka bisa merasakan jadi mayat selama
sehari dalam sebuah prosesi pemakaman. Mulai dari menulis wasiat, foto jenazah,
memakai baju orang mati, hingga tidur di dalam peti mati.
Bukan untuk senang-senang. Diharapkan, setelah menjadi
"mayat gadungan" mereka lebih menghargai kehidupan. Kualitas hidup
mereka diharapkan akan meningkat karena menyadari bahwa kehidupan mahal
harganya.
"Ketika kau menyadari kematian, dan merasakannya, kau akan memiliki penilaian baru soal kehidupan," kata seorang peserta Cho Jae-hee, 75, seperti dikutip dari Reuters.
Peserta bersiap sebelum memasuki peti mati saat acara
"living funeral" sebagai bagian dari program "dying well"
di Seoul, Korea Selatan, Kamis (31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
Masyarakat Korsel banyak yang menanggapi kehidupan dengan
tegang. Ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya angka pengangguran memicu stres
di kalangan muda.
Korea Selatan menempati ranking 33 dari 40 negara dalam indeks Kehidupan Lebih Baik oleh Organisasi Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi (OECD). Pada 2016, tingkat bunuh diri di Korsel mencapai 20,2 per 100 ribu warga, hampir dua kali lipat dari rata-rata global berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 10,53.
Peserta memasuki peti mati saat acara "living
funeral" sebagai bagian dari program "dying well" di Seoul,
Korea Selatan, Kamis (31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
Menurut mahasiswa Choi Jin-kyu, merasakan kematian
membuatnya menyadari bahwa selama ini dia melihat kehidupan dengan penuh
persaingan.
"Ketika saya di dalam peti mati, saya bertanya, apa gunanya itu," kata pria 28 tahun itu. Keluar dari peti mati, dia memutuskan untuk mulai usaha jika sudah lulus, ketimbang saling sikut bersaing ketat mencari kerja.
Salah satu peserta difoto sebelum memasuki peti mati saat
acara "living funeral" sebagai bagian dari program "dying
well" di Seoul, Korea Selatan, Kamis (31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
Jeong Yong-mun, kepala Hyowon Healing Centre, mengatakan
tujuan program tersebut adalah agar seseorang berdamai dengan dirinya sendiri.
Program ini, kata dia, beberapa kali mengubah keputusan seseorang yang ingin
bunuh diri.
"Saya ingin orang-orang tahu bahwa mereka berharga, bahwa seseorang akan sangat sedih jika mereka tiada. Kebahagiaan itu ada dalam kehadiranmu," kata Jeong.
Peserta di dalam peti mati saat acara "living funeral" sebagai bagian
dari program "dying well" di Seoul, Korea Selatan, Kamis
(31/10/2019). Foto: REUTERS / Heo Ran
0 komentar:
Posting Komentar