August 2019, 08
Ketakutan kelas penguasa terhadap Marxisme sepertinya
tidak pernah usai. Meskipun Partai Komunis Indonesia sudah dihancurkan, mereka
masih takut terhadap simbol, gambar dan buku-buku yang mengulas mengenai
komunisme.
Di Gramedia Makassar, sekelompok ormas yang menamakan
diri mereka Brigade Muslim Indonesia merazia buku-buku yang berbau komunis. Di
Probolinggo dua mahasiswa harus berurusan dengan aparat kepolisian karena
membawa buku DN Aidit di sebuah lapak baca buku gratis.
Di Padang dan Kediri beberapa bulan yang sebelumnya juga
terjadi hal sama. Meskipun secara hukum razia buku tanpa proses peradilan tidak
diperbolehkan, tapi hukum ini tidak pernah menghalangi aparat dan ormas-ormas
reaksionernya melakukan intimidasi terhadap mereka yang membaca, menjual dan
mendiskusikan buku-buku mengenai Marxisme.
Beberapa buku yang disita salah satunya buku Franz Magniz
yang jelas-jelas pandangannya anti Marxis. Merespon ini, Franz Magnis
mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan orang-orang bodoh. Tapi apa
kesimpulannya? Ketua BMI sendiri mengatakan bahwa mereka telah berkoordinasi
dengan bagian Intel Polrestabes Makassar dan Intel Kodam Hasanuddin.
“Saya sama intel Kodam turun kok. Jadi kita ini bertindak berusaha berkoordinasi tidak melanggar hukum, tapi kalau berkoordinasi dengan pihak kepolisian, pihak TNI selalu beliau mengarahkan ke kami, selalu mendahulukan tindakan persuasif,” ungkap Zulkifli kepada detikcom, Senin (5/8/2019)
Jadi ketika razia ini dilakukan oleh orang-orang bodoh,
maka kita harus menunjuk kebodohan ini juga pada aparat-aparat penegak
hukum, tentara dan polisi, serta pemerintahan yang ada saat ini. Oleh karena
itu, mengatakan tindakan ini bodoh tidak membawa kita ke mana-mana. Dan paling
jauh membawa kita pada kesimpulan liberal.
Kaum liberal dan sayangnya juga banyak Kiri menyanyikan
lagu yang sama. Bahwa buku tidak perlu ditakuti; buku adalah buku; ini adalah
kebebasan; ini demokrasi; dll., tanpa menjelaskan akar kelas dari phobia
penguasa terhadap Marxisme. Bagaimanapun kelas penguasa dan terutama kaum
reaksionernya selalu memiliki penciuman yang lebih tajam dari pada kaum
liberal.
Mereka jauh lebih memahami bahwa ada banyak anak-anak
muda mulai tertarik dengan gagasan Marxisme. Meskipun tidak ada statistik yang
menyebutkan ini. Tapi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, DN Aidit, Mao, Che
Guevara, Karl Marx dan Lenin tidak asing bagi mereka. Kaos-kaos serta
kutipan-kutipan mereka sering dipakai dalam sejumlah demonstrasi massa dan di
kampus-kampus. Bila keran akses terhadap buku-buku Marxisme tidak dibatasi,
maka komunisme akan bangkit kembali. Inilah kebenarannya.
Krisis saat ini memberikan peluang bagi bangkitnya
gagasan revolusioner. Pengangguran di mana-mana. Anak-anak muda sulit mencari
lapangan pekerjaan. Mereka yang telah bekerja nasibnya juga tidak lebih baik.
Ancaman PHK selalu menghantui. Mereka muak terhadap pemerintah. Mereka
menyaksikan kemiskinan ada di depan mata daripada kesejahteraan. Di jantung kapitalisme,
yakni Amerika Serikat, anak-anak muda lebih suka terhadap sosialisme daripada
kapitalisme.
Di Hong Kong anak-anak muda ada di garis depan perjuangan
melawan dominasi Beijing. Ada ketidakpuasan umum di antara kaum muda yang ini
dirasakan dengan baik oleh kelas penguasa.
Meskipun Uni Soviet telah hancur dan negeri-negeri
satelitnya di Blok Timur juga punah tapi itu adalah Stalinisme. “Komunisme ala
Tiongkok ” jelas tidak menarik kaum muda karena birokrat partai komunis
Tiongkok adalah kelas kapitalis Tiongkok . Para akademisi yang menyebut dirinya
Marxian seperti Zizek, Foucault, Derrida, Habermas dan varian-variannya
merupakan gagasan impoten yang tidak akan memuaskan mereka yang ingin
mengakhiri eksploitasi kapitalis.
Sekali anak-anak muda memahami ini, mereka akan bergerak
ke tingkatan yang lebih tinggi Marxisme Revolusioner, yakni ide-ide yang
dipertahankan oleh Marx, Engels, Lenin dan Trotsky. Inilah yang ditakuti oleh
kelas penguasa!
0 komentar:
Posting Komentar