Oleh Nur Janti
Karya-karya Putu Oka Sukanta menuturkan
kesaksian korban kejahatan negara di masa lalu. Karyanya menjadi langkah
pencarian keadilan.
Karlina Supelli ketika membacakan pidato kebudayaannya di Goethe, Rabu
(30/10/2019). (Fernando Randy/Historia).
DERU truk dan jip memecah kebisuan malam. Kilatan lampu
menyelinap ke rumah-rumah yang tanpa penerangan. Kala itu listrik dipadamkan
pemerintah sejak pukul enam petang dan baru menyala lagi pukul enam pagi
seiring pemberlakuan jam malam.
Lepas pukul 6 petang, tak ada lagi anak kecil bermain di
halaman.
“Seperti kebanyakan anak-anak yang mengalami tahun 1965-66, saya tumbuh dengan bertanya-tanya. Mulai suatu malam, orang tua saya hanya berani berbicara dengan berbisik,” kata Karlina Supelli, dosen STF Driyarkara dan astronom perempuan pertama, dalam pidato kebudayaannya di acara 80 Tahun Putu Oka Sukanta, Rabu (30/10/2019).
Karlina menceritakan masa kecilnya yang tumbuh ketika
terjadi masa peralihan pasca-Peristiwa 1965. Di masa itu, ia tidak
diperbolehkan main di luar setelah jam malam tiba. Sebagai anak kecil, ia jelas
tak memahami arti jam malam.
“Apakah jam yang hanya berdentang ketika malam?” katanya.
Ingatan Karlina pun terbatas pada orang di sekelilingnya.
Ia mengingat salah seorang tetangganya yang biasa membeli beras tak pernah
tampak lagi. Ingatan-ingatan Karlina semacam ini terpantik ketika membaca
karya-karya Putu Oka Sukanta.
Putu Oka Sukanta merupakan eks-tahanan politik yang
ditangkap tanpa pernah diadili. Pria kelahiran Singaraja, Bali pada 29 Juli
1939 itu ditangkap pada Oktober 1966. Lewat karya sastra ia menuangkan pikiran
serta pengalamannya selama 10 tahun ditahan. Setelah bebas, ia mendirikan
Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK) dan bergabung dengan Koalisi untuk Keadilan
dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK).
Karya-karya Putu Oka yang telah diterbitkan ialah Tahun
yang Tak Pernah Berakhir (2004), Memecah Pembisuan (2011), Sulawesi
Bersaksi (2013), Cahaya Mata Sang Pewaris (2016), Debur Zaman (2019),
dan Taksu Puisi (2019) yang diluncurkan dalam acara tersebut.
Dalam Merajut Harkat, ingatan tentang
penyiksaan dalam penjara dihadirkannya. Kisah semacam ini, menurut Karlina,
mengajak orang untuk menolak dalih kekerasan sebagai efek samping situasi
sosial-politik. Lewat karya sastra kesejarahan pula, menurut Karlina,
kisah-kisah korban tragedi 1965-66 bisa dituturkan dengan bebas tanpa perlu
mengklaim kebenarannya.
Ketika sejarah mengalami perumusan terus-menerus hingga
mencapai proyeksi yang paling dekat dengan masa lalu, sastra hadir sebagai
jalan tengah yang menjalin ingatan dan imajinasi. Sejarawan Bonnie Triyana yang
juga menjadi pembicara dalam diskusi buku Debur Zaman pun
menyampaikan hal senada dengan Karlina.
“Penulisan sastra jadi cara alternatif yang efektif untuk menyampailan informasi sejarah tentang 65,” kata Bonnie.
Karlina Supelli. (Fernando Randy/Historia).
Sebagai saksi kejahatan negara di masa lalu, pengalaman
Putu Oka yang dikisahkan dalam karyanya, bisa dijadikan bahan belajar untuk
menerapkan nilai-nilai baru dalam hidup bersama. Dengan menempatkan ingatan ke
ruang publik, sastra menjadi langkah pencarian keadilan.
Pengalaman pribadi Putu Oka menjadi pengalaman bersama
dan menjadi bagian dari sejarah. Penerimaan masayarakat akan ingatan korban
sebagai pengalaman bersama, menurut Karlina, berpengaruh pada pemahaman HAM
bangsa. Sebelum penerimaan itu terjadi, korban belum diakui sebagai korban.
Pemerintah pun sampai hari ini belum mengajukan pengakuan tentang pelanggaran
HAM yang terjadi pada 1965-66.
“Siapapun yang berhasil mengontrol ingatan, dia yang memutuskan siapa yang layak untuk diingat. Ketika ingatan masuk ke ruang publik, ia menjadi sejarah,” kata Karlina.
Politik ingatan inilah yang memungkinkan sejarah menjadi memoria
passionis (ingatan dan penderitaan). Kekejaman masa lalu direfleksikan
menjadi jalan bagi kemanusiaan.
Dengan begitu, sejarah mewariskan pemahaman pada generasi
mendatang bahwa kehidupan bangsa memerlukan keberanian warganya untuk
mengungkap sejarah yang menyembunyikan cacat. Dari situlah mereka belajar
mencegah peristiwa serupa berulang.
Hal semacam ini pernah dilakukan walikota dan pemimpin
perguruan tinggi di Amerika Serikat. Mereka menyingkirkan patung tokoh-tokoh
nasional yang sebelumnya dianggap pahlawan namun kepahlawanannya didapat dari
mengepalai perang dan melanggengkan perbudakan.
Contohnya, penyingkiran patung Confederate General Robert
E Lee di Universitas Texas karena dianggap melambangkan supremasi kulit putih
dan neo-Nazi.
“Sejarah yang tidak pernah diajarkan kepada kita adalah sejarah yang jujur. Kita pernah perang saudara, berkonflik dengan sesamanya, namun itu sering kali dikaburkan,” kata Bonnie.
0 komentar:
Posting Komentar