Dandy Dwi Laksono
Dari 47.000 media di Indonesia, hanya TUJUH yang
tergabung dalam IndonesiaLeaks yang melakukan investigasi secara gotong-royong
dalam kasus "Buku Merah" KPK yang melibatkan unsur-unsur polisi.
Menurut Dewan Pers, Indonesia adalah negara yang memiliki
media terbanyak di dunia, meski konsumsi bukunya (minat baca) hanya satu level
lebih baik dari Botswana. Saat ini ada 2.000 media cetak, 674 radio, dan 523
televisi. Sisanya --yang terbanyak--- adalah media online.
Dari tujuh media pemberani yang tergabung dalam
IndonesiaLeaks itu, hanya lima yang memublikasikan hasil liputannya. Satu media
sudah mengolah namun tidak jadi menayangkan. Satu media yang lain ikut proses
peliputan tetapi tidak mengolah dan belakangan justru mundur dari
IndonesiaLeaks.
Begitulah. Liputan investigasi tak hanya perkara
menyamar, menyelundupkan dokumen, atau memakai kamera tersembunyi. Jauh lebih
kompleks dari itu adalah politik media, budaya organisasi, komitmen anggaran,
dan terutama nyali industrinya sendiri menghadapi tekanan-tekanan dari berbagai
pihak.
Semakin mapan sebuah bisnis media, biasanya justru
semakin pelit memproduksi liputan-liputan investigasi. Entah kenapa.
Tapi salah satu penjelasannya adalah, model bisnis media
yang terkonglomerasi (hanya dimiliki sekitar 12 kelompok usaha saja), membuat
industri berita ini memiliki banyak kaitan dengan perusahaan lain yang juga
punya masalah, mulai dari pertambangan, perkebunan, perbankan, perhotelan,
properti, retail, sampai rumah sakit, kampus, warung kopi atau taman hiburan.
Itu belum menghitung kaitannya dengan partai politik yang
hampir pasti akan ikut menyeret-nyeret ruang redaksinya dalam pusaran
kepentingan, terutama jika media itu diisi wartawan-wartawan yang menganggap
profesinya sekadar pekerjaan. Tak lebih. Tak ada kaitan dengan empat doktrin
klasik media yang melayani informasi, pendidikan, hiburan, dan --terutama--
kontrol sosial.
Konon lagi sampai dikaitkan dengan menyuarakan
kepentingan yang lemah, kaum minoritas, hak asasi manusia, lingkungan hidup,
atau pemberantasan korupsi seperti yang sedang dikerjakan para jurnalis yang
tergabung dalam IndonesiaLeaks.
Buku ini saya tulis tahun 2009 dan diterbitkan oleh grup
Mizan. Lalu kini diterbitkan ulang oleh penerbit independen dari
Yogyakarta, Penerbit
Circa.
Isinya adalah pengalaman wartawan-wartawan lokal dalam
melakukan liputan investigasi, dan sedikit gambaran bagaimana politik media
memperlakukan liputan-liputan seperti ini.
Semoga tetap relevan.
Sumber: Dandy Dwi Laksono
0 komentar:
Posting Komentar