KAMIS, 20 DES 2018 | 21:31:42 WIB
Tujuh orang peserta dari Bina Swadaya Konsultan, minum bersama air Hujan dielektrolisa saat pelatihan di Muntilan, akhir Mei 2018. (V Kirjito/koranbernas.id)
Adalah Romo V. Kirdjito yang sejak 2013 mengadakan riset eksperimental manfaat air hujan bagi kesehatan manusia, sehingga banyak orang terjaga kesehatannya karena minum air hujan yang telah diproses dengan ionisasi. Berkat ketekunan beliau, melalui metode gethok tular, terbentuklah sejumlah komunitas yang sangat peduli budidaya air minum untuk kesehatan yang tersebar di wilayah Muntilan dan daerah-daerah lain, seperti komunitas H2Obe di sekitar Bekasi - Jakarta, komunitas Air Langit di Bali, komunitas Kandhang Udan sekitar Klaten - Yogya - Solo - Muntilan, komunitas Omah Udan di Semarang, komunitas Uran Pa'kamasena Puang di Toraja serta Lokakarya Labora Udan di Wisma Hijau, Depok dan di Nabire, Papua. Kenyataan ini mendorong Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) --sekarang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)-- memilih beliau menjadi salah satu dari 72 Ikon Prestasi Indonesia dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI ke-72, 21 Agustus 2017.
Pada forum 72 Ikon Prestasi Indonesia inilah saya bertemu Romo Kirdjito, kemudian semakin akrab berkomunikasi melalui WAG dan berlanjut dengan komunikasi langsung. Romo Kir mengeluhkan wacana pengamalan Pancasila yang cenderung hanya dari sisi agama saja, seolah Pancasilais itu terbatas pada kerukunan beragama. Beliau merasa lebih tertarik mengapresiasi etika, moral, tertib hukum dan sains-sains sederhana di masyarakat. Dalam komunikasi itu saya menerima tulisan-tulisan beliau yang dimuat di harian Kompas dan Koran Bernas, maupun draft buku yang akan diterbitkan. Yang terakhir ini saya langsung kontak dengan Ibu Yani Trisnawati, koordinator penerbit Bina Swadaya, guna menelaah kelayakan terbit buku tersebut di badan penerbit Bina Swadaya, dan ternyata Puspa Swara dan Trubus menyambut positif.
Mengapa air hujan? Dalam artikel beliau di Koran Bernas edisi 2 April 2018 dibahas bahwa air hujan adalah air suling alam, mendekati air murni, datang dari langit dengan ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Langit itu bebas dari sampah padat, entah kotoran hewan, kotoran manusia, limbah pabrik dan sebagainya. Ada asap kendaraan dan pabrik, tetapi begitu melayang di udara segera terurai dan netral. Air hujan sedikit kotor ketika jatuh di atap rumah. Tetapi atap rumah dimanapun tidak menjadi tempat sampah. Sampah selalu dibuang di tanah yang digali, kemudian meresap dalam tanah ketika hujan turun. Jumlah dan jenis sampah jauh lebih banyak. Akibatnya tentu mempengaruhi kualitas air dalam tanah. Air bersih dari langit berikut sentuhan inovatif sederhana, --bahasa kerakyatannya disetrum--, kemudian dikonsumsi menjadi air minum, sangat berperan dalam proses metabolisme membentuk darah yang bersih. Darah yang bersih sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan dan stamina. Demikian penjelasan Romo Kirdjito.
Salah satu tulisan Romo Kir yang menggugah saya adalah kisah "Keluarga Alex dan Mukjizat Air Hujan" (Koran Bernas, 10 April 2018). Suatu kisah keluarga petani di dusun Gemer, Desa Argomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang istri dan anak-anaknya sakit-sakitan dan tergantung obat dokter, berubah menjadi sehat setelah mengkonsumsi air hujan yang diionisasi sendiri oleh Pak Alex Kusnadi. Informasi ini mencuat di tengah berita krisis air minum di Afrika Selatan, sementara Indonesia yang dilanda banjir dimana-mana juga mengalami kesulitan air bersih. Wah, kalau kabar dari Magelang itu benar, akan merupakan peluang besar untuk kesehatan kita di Komunitas Bina Swadaya dan masyarakat yang kita berdayakan di daerah-daerah yang mengalami kesulitan air minum. Kemudian setelah dibahas cepat di Bina Swadaya dengan Romo Kirdjito, maka terjadilah lokakarya pelatihan khusus bagi Trubus Bina Swadaya Grup (8 orang) di Muntilan, Jumat, 27 April 2018, selama 9 jam.
Walau dipahami bahwa air yang dimaksud tidak untuk mengobati orang sakit, namun pengalaman teman-teman Bina Swadaya dalam lokakarya pelatihan memberikan kesaksian yang sama. Mereka merasa tetap fit, antusias dan konsentrasi mengikuti kegiatan lokakarya 9 jam non stop (kecuali makan) berkat minum air sehat yang telah terionisasi selama lokakarya berlangsung. Bahkan Mas Siwi yang hampir tidak ikut karena kurang sehat, suaranya hampir hilang, hidung meler, tenggorokan gatal dan batuk-batuk, setelah minum air elektrolit merasa lebih fit dan tahan berpartisipasi sampai akhir acara. "Bahkan saya dan Mas Ari Primantoro heran, karena biasanya sore hari setelah intens mendengarkan atau diskusi, biasanya teler, loyo sudah. Tapi air dari Romo seperti setrum yang mengisi baterai energi dalam tubuh. Luar biasa. Menurut saya ini bermanfaat untuk orang banyak, sehingga harus diberitakan, disebarkan," kata Siwi Kristianto.
Labora Udan
Kesuksesan teman-teman tersebut mendorong keinginan kami untuk belajar lebih dalam tentang air minum yang sehat dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Oleh karena itu, kami mengundang Romo Kirjito ke Jakarta, tinggal beberapa lama di Wisma Hijau, memberikan pencerahan bagi komunitas Bina Swadaya tentang air sehat ini sekaligus melatih teman-teman yang ingin membuat alat-alat yang diperlukan. Didampingi Mas Bimo, mulai pagi sampai tengah malam berlangsung diskusi-diskusi yang menarik perhatian para sahabat Bina Swadaya di sekitar Wisma Hijau dan tempat yang lebih jauh lagi.
Dalam diskusi-diskusi pada kunjungan pertama, kami dipahamkan bahwa kalau upaya memproduksi sendiri air sehat untuk diminum dilakukan dengan benar, hal itu akan berdampak membaiknya kesehatan, meringankan beban ekonomi dan meningkatnya kepedulian pribadi akan kualitas air yang diminum. Tentang membaiknya kesehatan telah dirasakan sejak usainya lokakarya Muntilan (27 April 2018). Para peserta segera membuat peralatan memproduksi air minum sehat. Demikian juga keluarga kami di rumah.
Dampak yang kami rasakan setelah mengkonsumsi air sehat itu, stamina yang lebih kuat, tidur yang lebih lelap, badan terasa fit, kotoran badan (keringat, air seni, tinja, dll) lebih baik (kami mencatat dengan tekun seperti dianjurkan Romo). Dari sharing teman-teman, pada saat awal sebagian ada yang merasa sakit perut, mengantuk, pusing, bahkan saya pribadi merasakan nyeri pada hidung, tenggorokan dan telinga. Setelah diperiksa oleh dokter THT dengan alat-alat canggih, tidak ditemukan penyakit yang mengkhawatirkan. Kami memaknai gejala-gejala tersebut merupakan reaksi proses detoksi darah. Nyatanya, setelah beberapa lama, gejala itu hilang dengan sendirinya.
Dari aspek ekonomi, bebannya semakin ringan karena tidak perlu lagi membeli air galon yang selama ini dilakukan plus biaya obat. Dari sharing teman-teman di Wisma Hijau, aspek ekonomi sebagai dampak dari memproduksi air minum secara swadaya ini juga bervariasi. Keluarga Anton Ria, staf maintenance, mencatat setiap bulan berpengeluaran Rp320.000 untuk membeli air minum dan obat-obatan. Tendensi membaiknya kesehatan dan berkurangnya beban ekonomi ditambah kesadaran tentang pentingnya kualitas air yang baik, menyakinkan komunitas Bina Swadaya pentingnya menggunakan upaya minum air hujan yang diionisasi ini sebagai instrumen penting bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Di kota besar dan di desa-desa terpencil, orang miskin sering membeli air minum lebih mahal daripada kelas menengah ke atas. Proses pemikiran dan kesadaran ini mendorong kami untuk membangun Laboran Udan Bina Swadaya di kompleks Wisma Hijau.(*)
Pada forum 72 Ikon Prestasi Indonesia inilah saya bertemu Romo Kirdjito, kemudian semakin akrab berkomunikasi melalui WAG dan berlanjut dengan komunikasi langsung. Romo Kir mengeluhkan wacana pengamalan Pancasila yang cenderung hanya dari sisi agama saja, seolah Pancasilais itu terbatas pada kerukunan beragama. Beliau merasa lebih tertarik mengapresiasi etika, moral, tertib hukum dan sains-sains sederhana di masyarakat. Dalam komunikasi itu saya menerima tulisan-tulisan beliau yang dimuat di harian Kompas dan Koran Bernas, maupun draft buku yang akan diterbitkan. Yang terakhir ini saya langsung kontak dengan Ibu Yani Trisnawati, koordinator penerbit Bina Swadaya, guna menelaah kelayakan terbit buku tersebut di badan penerbit Bina Swadaya, dan ternyata Puspa Swara dan Trubus menyambut positif.
Mengapa air hujan? Dalam artikel beliau di Koran Bernas edisi 2 April 2018 dibahas bahwa air hujan adalah air suling alam, mendekati air murni, datang dari langit dengan ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Langit itu bebas dari sampah padat, entah kotoran hewan, kotoran manusia, limbah pabrik dan sebagainya. Ada asap kendaraan dan pabrik, tetapi begitu melayang di udara segera terurai dan netral. Air hujan sedikit kotor ketika jatuh di atap rumah. Tetapi atap rumah dimanapun tidak menjadi tempat sampah. Sampah selalu dibuang di tanah yang digali, kemudian meresap dalam tanah ketika hujan turun. Jumlah dan jenis sampah jauh lebih banyak. Akibatnya tentu mempengaruhi kualitas air dalam tanah. Air bersih dari langit berikut sentuhan inovatif sederhana, --bahasa kerakyatannya disetrum--, kemudian dikonsumsi menjadi air minum, sangat berperan dalam proses metabolisme membentuk darah yang bersih. Darah yang bersih sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan dan stamina. Demikian penjelasan Romo Kirdjito.
Salah satu tulisan Romo Kir yang menggugah saya adalah kisah "Keluarga Alex dan Mukjizat Air Hujan" (Koran Bernas, 10 April 2018). Suatu kisah keluarga petani di dusun Gemer, Desa Argomulyo, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang yang istri dan anak-anaknya sakit-sakitan dan tergantung obat dokter, berubah menjadi sehat setelah mengkonsumsi air hujan yang diionisasi sendiri oleh Pak Alex Kusnadi. Informasi ini mencuat di tengah berita krisis air minum di Afrika Selatan, sementara Indonesia yang dilanda banjir dimana-mana juga mengalami kesulitan air bersih. Wah, kalau kabar dari Magelang itu benar, akan merupakan peluang besar untuk kesehatan kita di Komunitas Bina Swadaya dan masyarakat yang kita berdayakan di daerah-daerah yang mengalami kesulitan air minum. Kemudian setelah dibahas cepat di Bina Swadaya dengan Romo Kirdjito, maka terjadilah lokakarya pelatihan khusus bagi Trubus Bina Swadaya Grup (8 orang) di Muntilan, Jumat, 27 April 2018, selama 9 jam.
Walau dipahami bahwa air yang dimaksud tidak untuk mengobati orang sakit, namun pengalaman teman-teman Bina Swadaya dalam lokakarya pelatihan memberikan kesaksian yang sama. Mereka merasa tetap fit, antusias dan konsentrasi mengikuti kegiatan lokakarya 9 jam non stop (kecuali makan) berkat minum air sehat yang telah terionisasi selama lokakarya berlangsung. Bahkan Mas Siwi yang hampir tidak ikut karena kurang sehat, suaranya hampir hilang, hidung meler, tenggorokan gatal dan batuk-batuk, setelah minum air elektrolit merasa lebih fit dan tahan berpartisipasi sampai akhir acara. "Bahkan saya dan Mas Ari Primantoro heran, karena biasanya sore hari setelah intens mendengarkan atau diskusi, biasanya teler, loyo sudah. Tapi air dari Romo seperti setrum yang mengisi baterai energi dalam tubuh. Luar biasa. Menurut saya ini bermanfaat untuk orang banyak, sehingga harus diberitakan, disebarkan," kata Siwi Kristianto.
Labora Udan
Kesuksesan teman-teman tersebut mendorong keinginan kami untuk belajar lebih dalam tentang air minum yang sehat dan bermanfaat bagi lebih banyak orang. Oleh karena itu, kami mengundang Romo Kirjito ke Jakarta, tinggal beberapa lama di Wisma Hijau, memberikan pencerahan bagi komunitas Bina Swadaya tentang air sehat ini sekaligus melatih teman-teman yang ingin membuat alat-alat yang diperlukan. Didampingi Mas Bimo, mulai pagi sampai tengah malam berlangsung diskusi-diskusi yang menarik perhatian para sahabat Bina Swadaya di sekitar Wisma Hijau dan tempat yang lebih jauh lagi.
Dalam diskusi-diskusi pada kunjungan pertama, kami dipahamkan bahwa kalau upaya memproduksi sendiri air sehat untuk diminum dilakukan dengan benar, hal itu akan berdampak membaiknya kesehatan, meringankan beban ekonomi dan meningkatnya kepedulian pribadi akan kualitas air yang diminum. Tentang membaiknya kesehatan telah dirasakan sejak usainya lokakarya Muntilan (27 April 2018). Para peserta segera membuat peralatan memproduksi air minum sehat. Demikian juga keluarga kami di rumah.
Dampak yang kami rasakan setelah mengkonsumsi air sehat itu, stamina yang lebih kuat, tidur yang lebih lelap, badan terasa fit, kotoran badan (keringat, air seni, tinja, dll) lebih baik (kami mencatat dengan tekun seperti dianjurkan Romo). Dari sharing teman-teman, pada saat awal sebagian ada yang merasa sakit perut, mengantuk, pusing, bahkan saya pribadi merasakan nyeri pada hidung, tenggorokan dan telinga. Setelah diperiksa oleh dokter THT dengan alat-alat canggih, tidak ditemukan penyakit yang mengkhawatirkan. Kami memaknai gejala-gejala tersebut merupakan reaksi proses detoksi darah. Nyatanya, setelah beberapa lama, gejala itu hilang dengan sendirinya.
Dari aspek ekonomi, bebannya semakin ringan karena tidak perlu lagi membeli air galon yang selama ini dilakukan plus biaya obat. Dari sharing teman-teman di Wisma Hijau, aspek ekonomi sebagai dampak dari memproduksi air minum secara swadaya ini juga bervariasi. Keluarga Anton Ria, staf maintenance, mencatat setiap bulan berpengeluaran Rp320.000 untuk membeli air minum dan obat-obatan. Tendensi membaiknya kesehatan dan berkurangnya beban ekonomi ditambah kesadaran tentang pentingnya kualitas air yang baik, menyakinkan komunitas Bina Swadaya pentingnya menggunakan upaya minum air hujan yang diionisasi ini sebagai instrumen penting bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Di kota besar dan di desa-desa terpencil, orang miskin sering membeli air minum lebih mahal daripada kelas menengah ke atas. Proses pemikiran dan kesadaran ini mendorong kami untuk membangun Laboran Udan Bina Swadaya di kompleks Wisma Hijau.(*)
Bambang Ismawan
Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya, Pemimpin Umum Majalah Pertanian Trubus.
Pendiri dan Ketua Pembina Yayasan Bina Swadaya, Pemimpin Umum Majalah Pertanian Trubus.
0 komentar:
Posting Komentar