Oleh: Rio Apinino - 22 Agustus 2018
Meiliana, seorang keturunan Tionghoa, akhirnya divonis penjara 1,5 tahun. Semua berawal dari keluhannya terhadap suara azan yang terlampau keras.
Massa mengamuk. Mereka berteriak di tengah-tengah kegelapan. "Bakar... bakar... bakar... bakar..." Dan terjadilah kengerian itu: api disulut di bawah sebuah van putih. Tak lama setelahnya api juga berkobar di lantai satu vihara, membubungkan asap tebal ke udara.
Tak ada polisi yang berjaga ketika kengerian itu terjadi, demikian kata salah satu saksi mata yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016. Satuan Brigade Mobil baru datang pagi keesokan harinya.
"Pak, tolong kejadian di Tanjungbalai ditangani," kata Tito Karnavian, Kapolri, kepada Komisaris Besar Jenderal Syafruddin.
Namun semua sudah terlambat. Seisi vihara sudah hancur. Dupa berserakan di mana-mana, pun dengan patung dewa yang bagian bawahnya sudah entah ke mana.
Malam itu tercatat tiga vihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, dirusak dan dibakar. Bukan cuma itu, tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibikin gosong.
Masjid yang ia maksud adalah Al-Maksum, lokasinya persis ada di depan rumah yang disewa Meiliana di Jalan Karya Kelurahan Tanjungbalai Selatan I. Meiliana sudah delapan tahun tinggal di tempat itu.
Ada dua versi keluhan Meiliana ini. Pertama menurut Meiliana sendiri, dan kedua berdasarkan keterangan ka Uo. Versi Meiliana, ia mengatakan kepada ka Uo: "ka Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar, sekarang kok agak besar?" Kak Uo menjawab: "Iya, ya." Sementara menurut Uo sendiri, Meiliana awalnya bilang: "Bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali."
Mendengar keluhan itu ka Uo menjawab: "Ya, nanti aku sampaikan ke ayahku." Ayah Uo adalah Kasidi, yang tidak lain merupakan pengurus masjid.
Kak Uo tidak menyampaikannya langsung ke ayahnya. Ia lebih memilih bicara ke Hermayanti, adiknya, pada 23 Juli 2016. Adiknya yang kemudian menyampaikan ke ayah. Kata ka Uo ke Hermayanti: "Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid." Embel-embel "orang Cina" turut disampaikan ke Kasidi.
Tak ada polisi yang berjaga ketika kengerian itu terjadi, demikian kata salah satu saksi mata yang dikutip dari Majalah Tempo edisi 8 Agustus 2016. Satuan Brigade Mobil baru datang pagi keesokan harinya.
"Pak, tolong kejadian di Tanjungbalai ditangani," kata Tito Karnavian, Kapolri, kepada Komisaris Besar Jenderal Syafruddin.
Namun semua sudah terlambat. Seisi vihara sudah hancur. Dupa berserakan di mana-mana, pun dengan patung dewa yang bagian bawahnya sudah entah ke mana.
Malam itu tercatat tiga vihara, delapan kelenteng dan satu balai pengobatan di Tanjungbalai, Sumatera Utara, dirusak dan dibakar. Bukan cuma itu, tiga mobil, dua motor dan satu becak juga dibikin gosong.
Berawal dari keluhan
Semua berawal dari keluhan Meiliana ketika sedang belanja di warung Kasini, Jumat 22 Juli 2016 pukul tujuh pagi. Kepada pemilik warung, ka Uo, Meiliana mengeluh soal volume speaker masjid yang menurutnya terlalu keras. Meiliana adalah seorang keturunan Tionghoa beragama Buddha.Masjid yang ia maksud adalah Al-Maksum, lokasinya persis ada di depan rumah yang disewa Meiliana di Jalan Karya Kelurahan Tanjungbalai Selatan I. Meiliana sudah delapan tahun tinggal di tempat itu.
Ada dua versi keluhan Meiliana ini. Pertama menurut Meiliana sendiri, dan kedua berdasarkan keterangan ka Uo. Versi Meiliana, ia mengatakan kepada ka Uo: "ka Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar, sekarang kok agak besar?" Kak Uo menjawab: "Iya, ya." Sementara menurut Uo sendiri, Meiliana awalnya bilang: "Bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali."
Mendengar keluhan itu ka Uo menjawab: "Ya, nanti aku sampaikan ke ayahku." Ayah Uo adalah Kasidi, yang tidak lain merupakan pengurus masjid.
Kak Uo tidak menyampaikannya langsung ke ayahnya. Ia lebih memilih bicara ke Hermayanti, adiknya, pada 23 Juli 2016. Adiknya yang kemudian menyampaikan ke ayah. Kata ka Uo ke Hermayanti: "Her, orang Cina muka itu minta kecilkan volume masjid." Embel-embel "orang Cina" turut disampaikan ke Kasidi.
Kasidi mengkonfirmasi permintaan itu ke Uo. Uo membenarkannya. Sejak dari sini pernyataan Meiliana telah menyimpang dari apa yang benar-benar ia katakan.
29 Juli 2016. Kasidi memberitahu apa yang ia dengar dari sang anak ke Haris Tua Marpaung (Lobe), Zul Sambas dan Dailami. Ketiganya adalah pengurus masjid. Tidak butuh waktu lama, bakda Magrib keempat orang ini dan seseorang bernama Rifai mendatangi rumah Meiliana meminta klarifikasi.
Lagi-lagi ada dua versi dari pertemuan ini. Meiliana mengatakan dia tak pernah melarang azan. Sementara versi satunya lagi–dari Lobe–menyebut Meiliana memang keberatan dengan "suara azan di masjid".
Pukul 19.15, Fahrur Razman Sambas, Kepala Lingkungan I Tanjungbalai Kota I, melaporkan hal ini ke lurah. Lurah kemudian meminta Bhabinkamtibmas dan Babinsa untuk turut serta hadir ke kantornya. Di sana Meiliana mengaku dia memang keberatan, tapi bukan oleh azan itu sendiri melainkan karena suaranya yang dianggap terlampau bising.
Di luar, sekitar pukul 21.15, ternyata sudah berkumpul massa. Satu orang tak dikenal tiba-tiba masuk mencoba memukul Meiliana.
Kabar berkembang cepat. Muncul berita sumir di tengah-tengah warga kalau "seorang Cina mengamuk ke kelurahan," "Cina larang-larang azan", dan sejenisnya. Rudi Bakti, seorang warga, bahkan berorasi menggunakan pengeras suara di depan Polsek. Tingkahnya membikin informasi makin cepat tersebar. Dia juga menghidupkan sirene pengeras suara di Bundaran PLN.
"Hari ini kita jangan diinjak kaum Cina, adanya pelarangan azan yang berkumandang di masjid," katanya berulang-ulang. Setelah warga berkumpul, mereka dimobilisasi. Rumah Meiliana dirusak.
Setelah itu Rudi dan massa bergerak ke vihara karena gagal menghancurkan rumah Meiliana yang dijaga warga setempat. Mereka melanjutkan aksi brutalnya.
Seluruh kronologi itu disaripatikan dari laporan penelitian berjudul Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai yang dibuat oleh Siswo Mulyartono, Irsyad Rafsadi dan Ali Nursahid dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi, Yayasan Paramadina.
Meiliana dipenjara
Masih menurut laporan Siswo, Irsyad dan Ali, sebetulnya tak ada masyarakat yang mau melaporkan Meiliana ke polisi. Pun awalnya Majelis Ulama Indonesia Kota Tanjungbalai enggan mengeluarkan fatwa penodaan agama kepadanya. Tapi lembaga lain seperti FUI, HTI, dan pesantren al-Wasliyah mendesak.MUI kalah suara. Pada Januari 2017 mereka mengeluarkan fatwa yang isinya adalah apa yang dilakukan Meiliana masuk dalam kategori penistaan terhadap agama Islam.
Kejadian-kejadian ini berlangsung bersamaan dengan aksi-aksi menentang Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, atas dugaan pasal yang sama.
Polisi, dalam hal ini Polda Medan, akhirnya menetapkan status tersangka kepada Meiliana pada Maret 2017. Pasal yang dikenakan adalah pasal 156 subsider 156 a KUH Pidana tentang penistaan agama, sama seperti Ahok.
Sidang-sidang pun berlanjut, tak jarang dengan kehadiran massa.
Meiliana hanya bisa menangis ketika hakim Wahyu Prasetyo Wibowo dari Pengadilan Negeri Medan akhirnya memutusnya bersalah dan menghukumnya dengan kurungan 1,5 tahun penjara pada Selasa (21/8/2018) kemarin.
Hendardi, ketua Setara Institute, mengatakan sedari awal proses hukum atas Meiliana berjalan di luar koridor rule of law dan fair trial. "Proses hukum penodaan agama dalam perkara ini sejak awal dipicu oleh sentimen SARA atas dirinya," kata Hendardi kepada Tirto.
Bagaimanapun palu telak diketok. Meiliana tetap harus menjalankan hukuman meski telah berkali-kali meminta maaf. Padahal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saja mengatakan kritik suara azan yang terlalu keras "bukan ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu".
Seharusnya, kata Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan Robikin Emhas seperti dikutip dari Antara, kritik suara azan harus dilihat sebagai kritik yang konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Zen RS
Sumber: Tirto
___________________
Sebagai Tim Penasehat Hukum ibu Meliana, setelah menahan diri untuk tidak menuliskan apapun terkait perkara ibu Meliana, karena kami beranggapan bahwa medsos bukanlah ranah untuk saling membuktikan kebenaran, namun baiklah sekarang kami menuliskannya setelah hakim membacakan putusannya menghukum penjara Meliana selama 18 bulan, sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Untuk info lebih detail terkait perkara tersebut, bisa meminta copy dakwaan, tuntutan, pledoi dll ke kantor hukum kami, akan dengan senang hati kami berikan, dalam kerangka menghadirkan diskusi intelektual untuk perkembangan hukum kita. Catatan ini hanya keterangan singkat, tidak akan utuh dalam menjelaskan duduk perkaranya.
Singkatnya perkara ibu Meliana begini:
Tanggal 22 Juli 2016,
ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), "kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras", pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.
Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada "orang melarang Adzan" merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)
ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), "kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras", pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.
Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada "orang melarang Adzan" merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)
Tanggal 29 Juli 2016
Beberapa orang mendatangi rumah Meliana, mempertanyakan kebenaran issu "ada yang melarang Adzan" langsung ke rumah Meliana, orang-orang semakin ramai, rumah Meliana dilempari, dirusak dan dibakar. Tidak hanya itu saja, massa yang marah juga membakar puluhan rumah termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.
Beberapa orang mendatangi rumah Meliana, mempertanyakan kebenaran issu "ada yang melarang Adzan" langsung ke rumah Meliana, orang-orang semakin ramai, rumah Meliana dilempari, dirusak dan dibakar. Tidak hanya itu saja, massa yang marah juga membakar puluhan rumah termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjung Balai.
Tanggal 30 Mei 2018
Kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwa ibu Meliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia"
Kejaksaan Negeri Tanjung Balai mengeluarkan surat perintah menahan Ibu Meliana. Jaksa mendakwa ibu Meliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana yang berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia"
Jaksa mendakwa perbuatan pidana Meliana dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016, padahal pada tanggal tersebut Melianalah yang menjadi korban tindak pidana dari orang-orang yang beramai-ramai menyatroni rumahnya, mengintimidasi, merusak rumahnya, membakar rumahnya dan melempari rumahnya, dan berteriak-teriak bakar kepada Meliana dan keluarga. Jaksa menjadikan surat pernyataan dari orang lain dan fatwa MUI Prov Sumut sebagai alat bukti Meliana melakukan perbuatan yang dituduhkan. Surat pernyataan tersebut dengan rinci menguraikan ucapan Meliana pada tanggal 29 Juli 2016, meskipun tidak pernah ada rekaman/video yang membuktikan kebenaran surat pernyataan tersebut adalah sama dengan yg diucapkan Meliana.
Dalam persidangan, Jaksa Anggia Y Kesuma, SH dkk tidak pernah membuktikan kebenaran dakwaannya, tidak dapat menghadirkan rekaman suara atau video yang bisa membuat terang tindak pidana yang dilakukan oleh Meliana. Jaksa malah menyebutkan dalam tuntutannya bahwa barang bukti yang mereka buat adalah toa dan amplifier yang tidak pernah diperlihatkan di muka sidang, padahal barang bukti tersebut tidak sedikitpun menunjukkan apalagi membuktikan Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan.
Padahal, di era digital saat ini, orang yang bertengkar dipinggir jalan saja ada yang iseng memvideokannya, mengapa saat orang ramai menyatroni rumah Meliana untuk mempertanyakan kebenaran issu tersebut tidak satupun ada video? Atau ada video, namun tidak ada bagian yang membuktikan bahwa Meliana mengucapkan apa yang dituduhkan?
Ahli bahasa yang dihadirkan Jaksa dan yang dihadirkan oleh Penasehat Hukum telah menerangkan, bahwa rekaman suara adalah suatu hal yang lazim diperdengarkan untuk menguji kebenaran ucapan seseorang dengan apa yang sudah dituliskan. Dalam hal ini, dakwaan jaksa dengan surat pernyataan masyarakat sama persis tulisannya terkait ucapan Meliana, Penasehat Hukum sudah keberatan terhadap dakwaan Jaksa tersebut, sejak dari Eksepsi sampai pada Pledoi, namun Majelis Hakim yang mulia tetap mengadili perkara Meliana.
Terkait unsur sengaja di muka umum pun kami anggap tidak terpenuhi, karena umum tersebutlah yang mendatangi rumah ibu Meliana pada tanggal 29 Juli 2016.
Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama, karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri, hal ini juga panjang lebar telah diterangkan pak Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.
Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama, karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri, hal ini juga panjang lebar telah diterangkan pak Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.
21 Agustus 2018
Meliana divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, SH., MH dan dua anggota Majelis Hakim yaitu: Saryana, SH., MH dan Erintuah Damanik, SH., MH., dengan putusan Meliana terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Meliana divonis oleh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Prasetyo Wibowo, SH., MH dan dua anggota Majelis Hakim yaitu: Saryana, SH., MH dan Erintuah Damanik, SH., MH., dengan putusan Meliana terbukti bersalah melanggar pasal 156 a huruf (a) dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Tanpa keraguan kami Penasehat Hukum langsung menyatakan banding terhadap putusan tersebut, meskipun resikonya mendapatkan intimidasi dan kekerasan verbal dari pengunjung sidang yang sejak awal sudah membenci Meliana dan menularkan kebenciannya tersebut kepada kami Tim Penasehat Hukum, bahkan dalam setiap persidangan kami mendapatkan kekerasan verbal tersebut. Untung rugi daripada banding ini akan kami diskusikan kemudian dengan ibu Meliana, dan upaya banding tersebut akan kami review kembali setelah bertemu dengan ibu Meliana dalam waltu dekat ini.
Satu hal lagi yang perlu kami sampaikan, ibu Meliana adalah perempuan, ibu dari empat anak, bersuku Tionghoa dan beragama Budha, saat ini tidak bisa membesarkan anak dan mengurus keluarganya, karena harus berhadapan dengan rimba raya penegakan hukum di negara kita yang seharusnya semakin baik.
Karena itu, mari kita sejenak membayangkan bahwa Meliana adalah ibu kita, kakak perempuan kita, anak perempuan kita, apakah benar Meliana berani mengucapkan apa yang dituduhkan padanya tersebut didepan orang banyak yang sedang marah? Meliana perempuan yang tidak berdaya dari kelompok yang minoritas, suaminya hanya bekerja serabutan menjaga sarang burung walet milik orang lain yang sekarang kehilangan pekerjaannya tersebut karena perkara ini, anaknya trauma berat karena massa marah yang mendatangi rumah mereka. Saya kuatir Meliana dipenjara 10 tahun pun tidak mengobati kebencian kita terhadap perbedaan2 agama, namun sebaliknya akan membuka ruang-ruang hukum untuk memperkarakan perbedaan-perbedaan agama dan pahamnya.
Karena itu, mari kita sejenak membayangkan bahwa Meliana adalah ibu kita, kakak perempuan kita, anak perempuan kita, apakah benar Meliana berani mengucapkan apa yang dituduhkan padanya tersebut didepan orang banyak yang sedang marah? Meliana perempuan yang tidak berdaya dari kelompok yang minoritas, suaminya hanya bekerja serabutan menjaga sarang burung walet milik orang lain yang sekarang kehilangan pekerjaannya tersebut karena perkara ini, anaknya trauma berat karena massa marah yang mendatangi rumah mereka. Saya kuatir Meliana dipenjara 10 tahun pun tidak mengobati kebencian kita terhadap perbedaan2 agama, namun sebaliknya akan membuka ruang-ruang hukum untuk memperkarakan perbedaan-perbedaan agama dan pahamnya.
Beruntung dalam menghadapi perkara tersebut ibu Meliana dibantu oleh Tim hebat Ferry Wira Veryanto Sitohang dan rekan-rekannya dari Organisasi Aliansi Sumut Bersatu (ASB) organisasi yang selama ini getol menyuarakan pluralisme, yang bekerja keras menghadirkan ahli dan mempersiapkan hal lainnya untuk membela ibu Meliana. Ibu Meliana juga beruntung didampingi oleh penyuluh agama dan juga peneliti Deva Alvina Br Sebayang. Bahkan banyak pihak yang bersimpati dan mendukung ibu Meliana, termasuk kak Anita Martha Hutagalung yang tidak bosan-bosannya menjelaskan fakta terhadap perkara ini dan hadir dalam sidang putusan tempohari.
Semoga informasi tersebut membantu kita memahami perkara ibu Meliana.
Mari kita hentikan perdebatan di ruang medsos ini, tidak perlu lagi saling menyalahkan, jangan sampai menambah suasana yang tidak harmonis, mari kita percaya kepada penegak hukum, meskipun hasilnya tidak memuaskan kita. Toh dari awal kita semua sudah tahu bahwa memperjuangkan keadilan adalah proses yang terus menerus, bukan hanya di ruang sidang, bahkan sejak dari ruang pikir kita masing-masing.
Mari kita hentikan perdebatan di ruang medsos ini, tidak perlu lagi saling menyalahkan, jangan sampai menambah suasana yang tidak harmonis, mari kita percaya kepada penegak hukum, meskipun hasilnya tidak memuaskan kita. Toh dari awal kita semua sudah tahu bahwa memperjuangkan keadilan adalah proses yang terus menerus, bukan hanya di ruang sidang, bahkan sejak dari ruang pikir kita masing-masing.
Bagi pihak-pihak yang membenci kami Tim Penasehat Hukum karena pembelaan kepada Meliana, kami dapat memakluminya. Dalam melakukan pembelaan tersebut kami dilindungi oleh undang-undang, keliru jika pembelaan ini juga dianggap sebagai suatu penodaan. Kami hanya memastikan bahwa hukum dijalankan sesuai dengan aturan yang sebenarnya, bukan karena tekanan sekelompok orang.
Membela kepentingan hukum Meliana sebaiknya tidak didasarkan pada perbedaan atau persamaan agama, tapi karena setiap kita akan membutuhkan pembelaan pada waktunya, dan karena setiap kita menyadari bahwa hukum bisa salah dalam penerapannya, karena kita semua manusia, yang tidak mungkin luput melakukan kesalahan.
Membela kepentingan hukum Meliana sebaiknya tidak didasarkan pada perbedaan atau persamaan agama, tapi karena setiap kita akan membutuhkan pembelaan pada waktunya, dan karena setiap kita menyadari bahwa hukum bisa salah dalam penerapannya, karena kita semua manusia, yang tidak mungkin luput melakukan kesalahan.
Meliana adalah kita, mari kita buat dia tersenyum dengan tidak saling menyalahkan, karena dia dan kita sedang memperjuangkan Indonesia yang lebih baik dengan keberagamannya, Indonesia yang lebih baik dengan Bhinneka Tunggal Ika. Saat ini Meliana yang dipenjara, tapi kita berharap tidak lagi ada yang dipenjara karena perbedaan paham-paham atau terkait penodaan agama.
Perjuangan kita berat, menerima perbedaan agama, perbedaan suku sebagai suatu perekat kebangsaan kita, bukan malah menjadikannya sebagai pembeda identitas bermasyarakat dan berpolitik, apalagi untuk memenjarakan atau memperkarakan satu sama lain.
Salam hormat kami,
Ranto Sibarani
Josua Rumahorbo
Jimmi Sibuea
Kamal Pane
Radinal M Panggabean
Puji Aprilia Marpaung
Gracia F Tambun
Josua Rumahorbo
Jimmi Sibuea
Kamal Pane
Radinal M Panggabean
Puji Aprilia Marpaung
Gracia F Tambun
_________
Aan Anshori:
NANGIS GETIH
Gusti, besok hari raya Idhul Adha, hari penting yang sarat pesan penting tentang pengorbanan. Tadi, seorang perempuan di Tanjung Balai divonis 18 bulan karena memprotes bising volume toa masjid. Ia dianggap menghinakan agamaku --suatu anggapan yang menurutku tidak masuk akal.
Yang justru masuk akal olehku; perempuan ini telah "berkorban" untuk alasan yang jauh lebih besar. Yakni, supaya saudara-saudaraku Muslim bisa lebih memahami esensi tentang berkorban. Mereka harusnya berani berkorban memangkas ego-mayoritasnya untuk tidak lagi berbuat sewenang-wenang atas nama agama kepada orang lain.
Membunyikan toa/sound system dengan volume yang bisa memekakkan telinga tetangga adalah hal yang perlu dihentikan, bahkan ketika alat itu melantunkan sesuatu yang suci sekalipun.
Kesucian, bagiku, menuntut seseorang agar lebih sensitif dalam menjalankannya. Kesucian harus dilakukan dengan cara suci, termasuk tidak merugikan orang lain. Jika selama ini tidak ada yang protes, tidak berarti volume memekakkan telinga menjadi benar adanya.
Idul adha seharusnya membuat kita menjadi lebih benar, dengan cara menyadarkan kita agar berani mengorbankan diri supaya lebih sensitif sebagai manusia.
Sebagai muslim, aku merasa telah berhutang banyak pada Meiliana. Dia menjadi korban di hari raya Kurban agar kita berani berkorban, memotong kesombongan kita sebagai mayoritas (bermental minoritas).
Hormatku untukmu, Cik Meiliana.
Selamat hari raya Idul Adha!
#nangisgetih
___________
Rumadi Ahmad:
Ibu Meiliana, Maafkan Aku....
Ibu Meiliana, maafkan aku. Ternyata keterangan saya sebagai saksi ahli dalam persidanganmu tak didengarkan hakim. Hakim lebih memilih bisikan lain, daripada bisikanku. Saya sudah berusaha sekuat pengetahuan yang saya miliki untuk membebaskankanmu dari tuduhan melakukan penodaan agama, meskipun saya tahu biasanya hakim tidak akan tahan dengan tekanan massa. Engkau akhirnya tetap divonis melakukan penodaan agama dengan pidana 18 bulan. sebelumnya menduga, jaksa akan terpengaruh dengan argumentasi saya dan menuntutmu bebas. Mengapa? Setelah sidang, salah satu jaksa mendekati saya sambil berkata: "Terima kasih pak atas keterangannya. Banyak yang mencerahkan saya, termasuk posisi fatwa dalam Islam". Ternyata, dugaan saya inipun meleset.
Saya sangat sedih mendengar vonis yang dijatuhkan hakim ini. Keluhanmu atas suara azan yang semakin bising mengantarkanmu ke bui. Engkau sudah menjadi kurban, hanya beberapa hari sebelum Idul Kurban. Sedih....
Ada beberapa hal yang sata tekankan dalam keterangan sebagai ahli:
1. Penerapan pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dg pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tdk setuju dengan UU ini tapi faktanya UU ini masih berlaku. Mengapa Pasal 1? Karena disitulah substansi penodaan agama, yaitu "….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".
1. Penerapan pasal 156a tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dg pasal 1 UU No. 1/PNPS/1965. Meski saya tdk setuju dengan UU ini tapi faktanya UU ini masih berlaku. Mengapa Pasal 1? Karena disitulah substansi penodaan agama, yaitu "….. menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu".
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 tersebut terdakwa tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama. Terdakwa tidak melakukang dukungan umum, juga tidak menyampaikan perasaannya di muka umum. DIa hanya menyempaikan dalam perbincangan kecil engan beberapa orang yang kemudian disebarkan ke banyak orang. Terdakwa juga tidak melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
2. Adzan itu bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama. Adzan pada dasarnya adalah seruan panggilan untuk solat. Meskipun bagian dari syiar Islam, tapi hukumnya sunnah. Artinya adzan bukanlah suatu kewajiban.
3. Adzan dan pengeras suara dalam adzan adalah dua hal yang berbeda. Panggilan solat bisa dilakukan bisa dengan berbagai macam cara. Dulu sebelum ada pengeras suara panggilan solat biasa dilakukan dengan memukul bedug atau kentongan sebagai tanda sudah masuk waktu solat.
4. Mempermasalahkan pengeras suara adzan tidak bisa dimaknai mempersoalkan adzan itu sendiri. Dalam hukum Islam, adzan tidak masuk persoalan dharuri (sesuatu yang menjadi pokok ajaran agama yang wajib ditunaikan). Paling tinggi derajatnya hajiyah (sebagai kebutuhan yang harus ditunaikan supaya memudahkan urusan agama, sehingga adzan hukumnya sunnah –paling tinggi sunnah muakkad). Sedangkan pengeras suara masuk kategori tahsiniyah (untuk semarak dan keindahan Islam).
5. Pengeras suara adzan mempunyai dua sisi: sebagai syiar Islam di satu sisi, tapi dia juga punya potensi untuk mengganggu kedupan sosial, terutama dalam masyarakat yang plural. Karena itulah pemerintah, melalui Dirjen Biman Islam Kementerian Agama mengeluarkan Instruksi DIrjen Bimas Islam Nomer KEP/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musolla. Dalam isntruksi tersebut ada tuntunan bagaimana seharusnya pengeras suara digunakan dalam masjid dan musolla yang intinya sangat penting memperhatikan ketenangan masyarakat. Jangan sampai pengeras suara adzan –yang hukumnya sunnah—merusak sendi-sendi keharmonisan masyarakat.
6. Karena itu penting adanya toleransi dua arah: pengelola tempat ibadah penting menyelami masyarakat, terutama non-muslim, tapi yang non-muslim juga perlu mengerti mengapa umat Islam menggunakan pengeras suara dalam adzan. Kalau ada pihak yang terganggu harus diselesaikan dengan mengedepankan prinsip toleransi tersebut.
Sayangnya keterangan saya tak dipertimbangkan hakim, sebagaimana dalam kasus-kasus sejenis di tempat yang lain.
Saya tahu, ke depan hidupmu akan semakin berat. Meski Anda masih punya hak hukum untuk melakukan perlawanan ke Peradilan yang lebih tinggi, tp saya juga tidak terlalu yakin. Sekali lagi, maafkan saya yang belum bisa membantumu bebas dari kasus ini.
Bandara Soetta, 22 Agustus 2018
Rumadi Ahmad
0 komentar:
Posting Komentar