KontraS·28 Juli 2016
Kamis, 28 Juli 2016.
Saya Putri Kanesia, Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Tanggal 9 Mei 2016 malam, saya melihat pemberitaan media di salah satu televisi swasta tentang pemindahan terpidana mati Pujo Lestari, Agus Hadi, dan Suryanto (lazim disebut sebagai Trio Batam) dari Lapas Batam ke Nusakambangan, Cilacap.
Sontak saya langsung mencari nomor kontak Penasihat Hukum mereka dan berusaha untuk menanyakan kebenaran informasi pemindahan tersebut, namun sayangnya sang Penasihat Hukum justru tidak mengetahui hal tersebut.
Pada bulan yang sama, kami di KontraS mengajukan surat permohonan untuk bertemu para terpidana mati yang disebutkan di atas kepada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan namun tidak mendapatkan respon hingga hari ini. Bulan Juni 2016, menantu Agus Hadi bernama Eriyanto mengontak KontraS untuk meminta bantuan KontraS dalam mengadvokasi kasus Ayah mertuanya. Dari Eriyanto pula, akhirnya kami mendapatkan info bahwa Pujo Lestari, Agus Hadi, dan Suryanto sempat ditempatkan di sel isolasi Lapas Batu begitu tiba dari Batam sehingga masih belum bisa ditemui.
Tak lama berselang, Pujo Lestari dan Agus Hadi mengirimkan surat kepada pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk meminta pihak KontraS datang menemui mereka di Nusakambangan. Pihak keluarga juga mengirimkan berkas Peninjauan Kembali (PK) yang pernah diajukan Penasihat Hukum namun ditolak oleh Mahkamah Agung.
Beberapa hari sebelum kabar para terpidana mati dimasukan ke Sel Isolasi, sempat ada pembicaraan antara Pujo Lestari dan Agus Hadi dengan saya. Keduanya mengutarakan bahwa itu merupakan komunikasi yang pertama sekaligus terakhir sebelum mereka masuk sel isolasi.
Dalam komunikasi tersebut, mereka sempat menanyakan apakah ada kesempatan bagi mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk ketiga kali, karena mereka minim pengetahuan mengenai hal-hal terkait hukum. Saya mencoba menjelaskan bahwa sebetulnya agak sulit untuk hal tersebut direalisasikan mengingat mereka sudah dua kali mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan Penasihat Hukum yang terdahulu. Pujo menghela nafas. Saya tahu Pujo pasti kecewa dengan penjelasan saya tapi saya tidak memiliki pilihan lain selain mengatakan yang sebenarnya. Namun kemudian saya sampaikan bahwa opsi grasi masih mungkin dilakukan karena mereka belum pernah mengajukan sebelumnya dan dengan pertimbangan bahwa grasi adalah upaya terakhir yang merupakan sebuah hak terpidana untuk menempuhnya. Saat itu saya juga dengar Pujo mencoba menjelaskan pembicaraan saya dengan Agus Hadi. Pujo menghela nafas lagi sebelum mengatakan bahwa mereka masih ragu untuk memilih opsi grasi mengingat selama ini Jokowi selalu menolak permohonan grasi untuk terpidana kasus narkoba.
Sebelum komunikasi ditutup, Pujo Lestari memohon dengan sangat pada saya dan segenap tim KontraS untuk bisa bicara dengan media dan publik luas tentang anggapan bahwa mereka adalah bandar narkoba. Label itu sangat menyakitkan karena sebetulnya mereka tidak tahu apa-apa. Pujo Lestari menyampaikan:
“Saya ini hanya orang kecil, mbak. Tidak mengerti apa-apa soal narkoba. Saya cuma Anak Buah Kapal yang dititipkan barang yang mana saya juga enggak tahu isinya apa. Saya juga tidak menyangka bahwa barang titipan itu adalah barang haram yang menyebabkan saya harus mendekam di penjara. Demi Tuhan, mbak. Saya bukan bandar. Tolong saya, mbak.”
Saya tidak sanggup berkata apa-apa lagi selain hanya bilang: "Saya dan teman-teman KontraS akan berusaha semaksimal mungkin. Semoga bapak tetap sehat dan kuat."
Detik-detik menjelang hari ini, Pujo Lestari dan Agus Hadi meminta KontraS untuk datang menemui mereka untuk terakhir kalinya. Namun, pihak Kejaksaan melarang karena pada hari ini, Kamis 28 Juli 2016 Kejaksaan hanya mengizinkan keluarga inti saja untuk masuk, dengan alasan harus bergantian dengan keluarga terpidana mati lainnya. Meski pihak dari KontraS (identitas harus saya rahasiakan) sudah membawa Surat Kuasa dari pihak keluarga namun tetap dipersulit dengan alasan harus ada Kartu Advokat (padahal tidak ada aturan jika mengunjungi narapidana harus bawa Kartu Advokat, apalagi sudah ada surat kuasa), dan lagi pula, ini merupakan permintaan terakhir terpidana mati. Sangat disesalkan mengapa hingga menjelang pelaksanaan eksekusi ini, masih saja kami yang ingin bertemu dengan terpidana mati untuk terakhir kalinya dipersulit.
Teman sejawat dari KontraS akhirnya menitipkan pesan kepada Kendy (anak tertua Agus Hadi) dan Yuliana (anak Agus Hadi yang tengah hamil) untuk meminta maaf karena kami gagal memenuhi permintaan terakhirnya untuk bertemu Pujo Lestari dan Agus Hadi. Kami tetap meminta Pujo dan Agus Hadi terus berdoa agar ada keajaiban atas kasusnya.
Sore harinya, kedua anak Agus Hadi menemui kawan saya dari KontraS setelah keluar dari Lapas Batu Nusakambangan, Cilacap. Kendy mengatakan
"Bapak titip pesan tadi, Bapak mohon untuk diberi kesempatan. Bapak juga minta pakaian baru."
Pembicaraan kemudian terhenti karena Kendy menangis. Teman saya pun segera menghubungi saya dan meminta saya untuk berbicara dengan Kendy. Sambil berusaha tegar, saya mencoba menguatkan hati Kendy dan memintanya tetap kuat. Saya juga kuatir dengan kondisi psikis Yuliana yang dalam keadaan hamil namun hanya memiliki satu kali kesempatan saja untuk bertemu Bapaknya.
Saya tahu perkataan saya ini tidak banyak membantu karena Kendy harus menerima kenyataan Ayahnya akan dieksekusi nanti malam. Segala upaya yang dilakukan tampaknya tetap tidak mengubah keputusan Jaksa Agung untuk tetap mengeksekusi mati Pujo Lestari, Agus Hadi dan 12 orang terpidana mati lainnya.
Pernyataan-pernyataan Jaksa Agung sebelumnya di media yang mengatakan bahwa "Tidak akan mengeksekusi mati terpidana mati yang masih memiliki upaya hukum tersisa seperti PK dan Grasi," bagi saya semua itu hanya omong kosong saja. Jangankan mempertimbangkan PK dan Grasi, memberi kesempatan untuk melakukan PK atau Grasi saja tidak. Sungguh mahal memang harga sebuah KESEMPATAN!
https://www.facebook.com/notes/kontras/mahalnya-harga-sebuah-kesempatan-sebuah-catatan-di-balik-proses-advokasi-terpida/1037620829608031
0 komentar:
Posting Komentar