Ragil Nugroho
Tak perlu memoncongkan moncong dan bersungut-sungut.
Daniel Dhakidae, dalam buku babonnya, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menulis dengan nada pujian pembuka Manifesto itu: ‘Dari mana semuanya dihitung tidak penting, namun, membilang hari demi hari…menunjukkan intensitas penghayatan yang menakjubkan.’
Yang pasti, menurut Dhakidae, ada lompatan politik dalam Manifesto: menyatakan ekspansi ke Timor Timur sebagai penjajahan, menuntut dicabutnya Dwi Fungsi ABRI, dan kebangkrutan sistem ekonomi, politik serta budaya. Semua dinyatakan ketika Soeharto lagi buas-buasnya.
Sejak Manifesto dibacakan, PRD mengumumkan secara terbuka perlawanan terhadap Orba. Tak pelak, 27 Juli 1996 — lima hari setelah deklarasi — PRD dituduh sebagai dalang kerusuhan. Pengejaran dan pemenjaraan dimulai. Partai bergerak di bawah tanah.
Tahun 1996-1998, PRD bisa melawan dogma kaum ultra kiri. Ia bersandar pada Kaum Miskin Perkotaan (KMK)—bukan pada kelas proletar—untuk mencacah kediktatoran Orba. Bisa pula dicatat Mega Bintang Rakyat (MBR) sebagai strategi taktik yang jitu. Orang-orang mulai berbondong-bondong membangkang.
Pada periode itu, usaha PRD melawan dogmatisme memang keras. Sepertinya PRD sadar, baik fundamentalisme kanan maupun kiri sama saja: Tak melahirkan pengetahuan baru. Hanya sibuk memamahbiak isi kitab suci. Kalaupun ada hasilnya – menjadi sekte Jubah Merah: Semuanya harus seragam sebagaimana Rusia zaman Lenin, termasuk titik komanya. Kalau tak sama maka murtad – halal darahnya karena ia Stalinis yang suka mengutak-atik ajaran Lenin dan ugal-ugalan.
Agar tak tegang, ada lelucon tentang dogma:
Bruder William datang dari Inggris ke suatu biara kaya di Italia untuk sebuah tugas yang tak ringan: melakukan penyelidikan terhadap rahib Fransiskan yang dianggap melakukan bid’ah. Tentu tak mudah. Ketika kerja hendak dimulai, William justru menemukan kasus lain yang lebih menarik minatnya: pembunuhan ganjil di dalam biara.
Begitulah novel Umberto Eco, The Name of the Rose, mengudar kisahnya. Pembunuhan itu mengikuti petunjuk Kitab Wahyu: hujan es, darah, air, sepertiga bagian langit, dan kalajengking. Petunjuk jelas, tapi William tak terkecoh. Ia berkesimpulan: ketujuh orang itu mati setelah membaca sebuah buku. Biangkeladinya ternyata Jorge—rahib tua yang buta itu.
Buku apa itu? Buku tentang tertawa.
Bagi Jorge, tertawa menyebabkan dogma menjadi lelucon, tak sakral lagi. Ajaran Ilahi adalah kebenaran mutlak: tak bisa dikurangi dan ditambah. Baginya, tawa membuat keimanan tak bulat lagi. Jorge kemudian berubah wujud menjadi kaum ultra kiri.
Tapi begini. Waktu tak pernah mandeg. Batara Kala telah berkali-kali menelan matahari dan rembulan.
Prestasi PRD pada masa lalu bisa saja dibanggakan. Tak mengherankan dalam setiap peringatan lahirnya PRD, testimoni dengan puji-puja dan romantsime ala ABG membludak dari bibir mantan anggota maupun yang masih anggota PRD. Bahkan tak jarang ada yang melinangkan air mata ketika masa-masa indah dikenang. Dulu kita—kata ini menjadi idola untuk mengenang masa kejayaan itu.
Boleh juga takjub. Kader-kader PRD ada yang menjadi anggota dewan, staf khusus Presiden, jubir menteri, petinggi LSM, jurnalis andal, ideolog serikat buruh, pembela paling gigih petani tembakau, pimpinan parpol di daerah-daerah, dan lain sebagainya. Jadi tak perlu heran—dengan banyaknya lapangan pekerjaan yang bisa direngkuh kader PRD—muncul adagium: Satukan Yang Sama, Jadikan Perbedaan Sebagai Kekayaan Kita; persis dengan Bhineka Tunggal Ika di zaman twitter.
Baiklah….
Ramalan PRD dalam Manifesto terbukti benar: Orba runtuh, Timor-Timur merdeka, dan Dwi Fungsi ABRI dipreteli. Semua orang akan mengakuinya. Analisa PRD memang jitu. Siapa bisa membantah?
Kini, semua itu telah lewat. Sudah 16 tahun sejak Manifesto dibacakan:
Sekarang Ketua Umum PRD menjadi salah satu pengurus pusat Partai Gerindra. Semuanya sudah tahu siapa pemilik Gerindra. Tak perlu disebutkan yang diperbuat Prabowo di masa lalu. Yang masih mempunyai ingatan waras tentu bisa mencatat apa yang dilakukannya terhadap aktivis PRD. Lantas apa yang tersisa dari PRD?
Mungkin semua itu bisa dipahami: Ini politik, Bung!
Tapi, bolehkah diajukan tanya: politik macam apa yang sedang dilakoni?
Dalam politik Kiri, bergabung dengan musuh sudah biasa. Bukankah Stalin bergandengan tangan dengan Sekutu—dedengkot kapitalisme—untuk menghadang Hitler yang fasis pada Perang Dunia II? Tapi, sekali lagi: politik macam apa yang sedang dilakoni PRD dengan berpeluk erat dengan seorang jenderal yang telah menghilangkan kader-kadernya?
Bukankah Mao satu barisan dengan Chiang Kai-Shek menghadang Jepang? Pun, bukankah Amir Syarifudin menerima uang dari Belanda untuk biaya gerakan bawah tanah melawan Jepang? Tapi perlu diulangi: politik macam apa yang sedang dilakoni PRD dengan mendukung jenderal yang telah membuat ibu kehilangan anaknya, istri menjadi janda, dan anak kehilangan bapaknya?
Agar tak terlalu linglung, mari kita menengok ke Durna. Politik merupakan arena perang. Baratayuda contoh perang yang ideal. Segalanya bisa dilakukan.
Durna tak terkalahkan dalam perang saudara itu. Pandawa tak berani menghadapi Sang Guru. Kresna tampil menyusun muslihat. Bima diperintahkan membunuh gajah yang mempunyai nama sama dengan putra Durna: Aswatana. Pura-pura mensyukuri kematian itu, Pandawa beteriak girang: ‘Aswatana mati! Aswatana mati!’
Durna setengah percaya setengah tidak mendengar teriakan itu. Ia berpaling pada Yudhistira. Ia yakin Yudhistira selalu jujur. Digiring paksa oleh Kresna, Yudhistira dengan berat hati berdusta. Durna lunglai. Saat seperti itu Drestajumena menebas lehernya. Durna menemui ajal.
Supaya tak murung, anggap saja langkah PRD mendukung Jenderal Penculik merupakan muslihat Kresna membunuh Durna. Bisa juga langkah terpaksa Yudhistira demi Sosialisme.
Bukankah tak salah?
Sekarang semuanya tergantung sentuhan. Mendukung Jenderal Penculik bila diberi sentuhan nasionalisme, bisa berarti satu barisan menghadang gempuran neoliberalisme. Pun, Jenderal Penculik bila diberi sentuhan Venezuela bisa berubah menjadi Hugo Chavez, sentuhan Kuba menjelma Castro atau Che, dan sentuhan a la Cina muksa jadi Mao.
Ada baiknya kita berhenti pada kisah ini saja: PRD telah berubah menjadi Panji Tengkorak yang sedang menyeret-nyeret peti mati sembari menggandeng dengan mesra tangan Jenderal Penculik. Dan, dalam peti mati itu terbaring: Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul dan Bimo Petrus.
Rest In Peace PRD: 22 Juli 2012!
***
Lereng Merapi, 19.07.2012
http://indoprogress.com/2012/07/rip-prd/?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork
0 komentar:
Posting Komentar