Rabu, 23 Desember 2015 02:00
Oleh: Munawir Aziz*
Salah satu kiai yang berjasa besar pada masa revolusi kemerdekaan, adalah Kiai Mahfudh Abdurrohman Sumolangu. Kiai ini, berada di barisan kiai militer, yang menggerakkan laskar-laskar santri di negeri ini. Kiai Mahfudh, menggerakkan pasukan Hizbullah-Sabilillah, di kawasan Kedu Selatan. Kemudian, pasukan ini disebut sebagai Angkatan Oemat Islam.
Siapakah sebenarnya Kiai Mahfudh Abdurrahman? Mengapa ia dianggap pemberontak dalam narasi sejarah militer negeri ini?
Kiai Mahfudh al-Hasani merupakan putra dari Syekh as-Sayid Abdurrahman bin Ibrahim al-Hasani. Ia merupakan keturunan dari Syeikh as-Sayid Abdul Kahfi al-Hasani, yang merupakan keturunan ke-10 dari Sayyid Abdul Qodir al-Jilani al-Hasani. Jika dirunut silsilahnya, yakni sebagai berikut: Kiai Mahfudh bin Abdurrahman bin Ibrahim (Syekh Abdul Kahfi ats-Tsani) bin Muhammad bin Zainal Abidin bin Yusuf bin Abdul Hannan bin Zakariya bin Abdul Mannan bin Hasan bin Yusuf bin Jawahir bin Muhtarom bin Syekh Sayyid Muhammad Ishom a-Hasani (Syekh Abdul Kahfi Awwal).
Kiai Mahfudh lahir di kompleks pesantren al-Kahfi pada 27 Rajab 1319/9 November 1901. Ia memiliki tiga saudara, yakni Syekh Sayyid Thoifur al-Hasani dan Syarifah Ghonimah al-Hasani serta 6 saudara seayah lain ibu.
Pada usai 7 tahun, Kiai Mahfudh sudah hafal al-Qur’an. Ia juga menghafal hadist Arbain Nawawi. Ketika usai 16 tahun, Mahfudh remaja mendapat izin ayahandanya untuk mondok di pesantren Tremas Pacitan, yang diasuh Kiai Dimyati. Ketika ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh menyusun dua kitab: al-Fawaidus Sharfiyyah (kitab sharaf) dan al-Burhanul Qathi’ (fiqh madzhab Syafi’i), yang diselesaikan pada Ramadhan 1336 H (Juni 1918). Setelah ngaji di Tremas, Kiai Mahfudh kemudian meneruskan belajarnya di pesantren Jamsaren Solo, serta pesantren Darussalam
Watucongol, Muntilan, Magelang.
Ayahanda Kiai Mahfudh, yakni Syekh Abdurrahman bin Ibrahim merupakan kiai ‘alim yang menguasai banyak ilmu. Beliau berhaluan Ahlussunnah wal-Jama’ah, mengikuti fiqh madzhab Malikiyyah, dan penganut Tariqah as-Syadziliyyah. Akan tetapi, Syekh Abdurrahman menyarankan putranya untuk menganut fiqh madzhab Syafi’i. Karena, madzhab Syafi’i banyak dianut oleh warga muslim Indonesia, dan cocok dengan kultur orang Indonesia.
Menggerakkan Santri
Kiai Mahfudh termasuk sosok ulama yang inovatif dan menginspirasi parasantri. Selain keilmuan agama dan tasawuf yang mendalam, Kiai Mahfudh juga menggerakkan santri di bidang pertanian dan perekonomian. Hal ini, dimaksudkan agar para santri dapat mandiri di hadapan rezim kolonial pada masa itu. Pada tahun 1940an, Kiai Mahfudh menggerakkan bermacam usaha, di antaranya pengolahan kopra, industri minyak goreng, pemintalan benang, produksi madu, pabrik rokok, perdagangan kayu jati, dan pemilik penggilingan padi. Pada waktu itu, usaha-usaha yang dirintis Kiai Mahfudh menjadikan santri-santri dan penduduk di kawasan Kebumen memperoleh manfaat positif.
Ketika menjelang kemerdekaan, Kiai Mahfudh juga bergerak untuk melawan kolonial. Beliau sering bertukar pikiran dengan Syekh Hasyim Asy’arie melalui surat menyurat. Kiai Mahfudh juga akrab dengan Kiai Wahid Hasyim, putra Syekh Hasyim Asy’arie. Dengan demikian, Kiai Mahfudh merupakan salah satu tokoh kunci yang menggerakkan santri dalam menjemput kemerdekaan. Nasionalisme Kiai Mahfudh menjadi catatan penting bagi pergerakan kaum santri, terutama di kawasan Kedu Selatan, dalam melawan penjajah, baik sebelum proklamasi kemerdekaan, maupun sesudahnya.
Kiai Mahfudh juga aktif berjuang di medan pertempuran dan memiliki strategi jitu dalam mengorganisasi pasukan. Ia membentuk laskar santri, dalam barisan Angkatan Oemat Islam. AOI terbentuk pada 27 Ramadhan 1346 H/ 4 September 1945. Pada waktu itu, tentara nasional sebagai pasukan militer Negara Indonesia belum sepenuhnya solid. Masa awal kemerdekaan, masih dalam transisi kepemimpinan, ekonomi dan konsolidasi pasukan militer. Pasukan-pasukan militer yang terdiri dari berbagai latar belakang ideologi, golongan dan etnis, masih tercerai berai. Pasukan yang dikomando Panglima Soedirman juga masih menata barisan. Hal ini, sebagaimana tercatat dalam thesis Atik Maskanatun Ni’amah (2013), “Biografi Syaikh Mahfudh al-Hasani Somalangu Kebumen (1901-1950)”.
Pemimpin Militer
Menurut Gus Dur, Angkatan Oemat Islam (AOI) muncul akibat kebijakan pimpinan militer (APRIS) pasca pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kebijakan ini menghendaki peleburan laskar-laskar perlawanan ke dalam APRIS setelah usainya perang kemerdekaan. Namun, peleburan itu dengan misi bahwa hanya orang-orang yang mendapat pendidikan ‘Sekolah Umum Belanda’ saja yang menduduki jabatan komandan Batalyon. Pada konteks ini, Syekh Mahfudh Abdurrahman berminat menjadi komandan batalyon ini, yang akan dibentuk dan bermarkas di Purworejo. Akan tetapi, karena alasan ijazah dan kebijakan pemerintah yang tidak memberikan ruang negosiasi, maka karier Kiai Mahfudh terhalang. Akhirnya, yang menjadi Komandan Batalyon adalah pemuda bernama Ahmad Yani.
Akar sejatinya adalah kebijakan Re-Ra (restrukturisasi dan rasionalisasi) yang digelorakan Kabinet Hatta pada 1948. Kebijakan ini, atas usulan Wakil Panglima Besar AH Nasution. Melalui program Rera, personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan dipangkas menjadi separuh dari seluruh personil, dengan kualifikasi khusus yakni mereka yang memiliki ijazah. Mereka yang mendapat pendidikan militer di zaman Belanda dan Jepang mendapat prioritas, karena memiliki persyaratan administratif. Akan tetapi, kalangan santri tidak mendapatkan tempat dan disingkirkan dari jalur karier militer. Padahal, laskar-laskar santri berperan penting dalam perang kemerdekaan.
Syekh Mahfudh Abdurrahman risau dengan hal ini. Ia mengomando lebih dari 10.000 pasukan dan sekitar 30.000 massa tambahan yang menguatkan barisan laskar. Kiai Mahfudh ingin agar pasukannya dapat diakomodir oleh kebijakan negara, mengingat jasa penting dan kegigihan melawan penjajah pada masa kemerdekaan. Pasukan Angkatan Oemat Islam (AOI) merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah. Mereka memang sebagian besar dari kalangan santri dan petani, yang tidak memiliki akses pendidikan formal. Padahal, ketika pasukan NICA menyerbu berbagai kawasan di Jawa Tengah, pasukan AOI dengan gigih melawan penjajah. Sebagai Ketua PPRK (Panitia Pertahanan Rakyat Kebumen) yang berkedudukan di bawah Bupati Kebumen, Kiai Mahfudh mengerakkan pasukannya di garda depan menghadapi NICA. Pasukan AOI menjaga garis demarkasi Sungai Kemit, Gombong Timur (Kuntowijoyo, 1970).
Ketika menjaga demarkasi barat Yogyakarta—ketika menjadi Ibu Kota RI—Kiai Mahfudh sempat was-was karena demarkasi timur, di kawasan Madiun terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin. Tentu saja, peristiwa Madiun pada 1948 menguras energi laskar, tentara dan rakyat. Kiai Mahfudh merasa bahwa NICA akan memanfaatkan situasi ini dengan menjebol demarkasi Sungai Kemit dan menyerbu Yogyakarta, agar RI jatuh ke tangan Belanda. Pada 18 Desember 1948, tentara NICA menggelar kampanye militer Doortot naar Djokdja.
Kampanye militer ini berhasil menawan Soekarno-Hatta, sebagai pemimpin Republik Indonesia. Operasi militer NICA ini, membuat pasukan TNI dan laskar-laskar tercerai berai. Kemudian, setelah peristiwa ini, terjadi penandatanganan kesepakatan di Istana Rijswik, pada 27 Desember 1949. Kesepakatan ini, merupakan lanjutan dari Konferensi Meja Bundar, dengan rumusan pendirian Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didukung APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) sebagai tentara nasional. Tentu saja, kesepakatan ini membawa masalah tersendiri bagi pasukan-pasukan militer yang telah terkoordinasi pada era sebelumnya.
Pasukan AOI mendapat tawaran dari APRIS untuk bergabung. Kiai Mahfudh menolak bergabung, karena melihat bahwa kebijakan Rera merugikan laskar-laskar dan terutama AOI. Setidaknya, ada empat ancaman pasca kebijakan Rera: (1) ancaman eksistensi organisasi, (2) ancaman kehilangan posisi sosial ekonomi, (3) ancaman kehilangan posisi politis (4) ancaman kehilangan posisi budaya. Kiai Mahfudh sebenarnya sudah tidak memikirkan tentang karier militer atau posisinya sebagai komandan laskar. Akan tetapi, nasib puluhan ribu pasukan dan simpatisan laskar Hizbullah-Sabilillah, dan Pasukan AOI di kawasan Kedu Selatan menjadi keprihatinan Kiai Mahfudh. AOI pada masa itu, memiliki pengaruh besar di Wonosobo, Banjarnegara, Cilacap, Kebumen dan Purworejo. Bahkan, kharisma Kiai Mahfudh melebihi otoritas pejabat Bupati Kebumen pada masa itu, RM Istikno Sosrobusono (Widiyanta, 1999).
Meski pasukan AOI sudah bergabung dengan Batalyon Lemah Lanang, akan tetapi masalah tidak berhenti. Para pasukan AOI yang memiliki prinsip keagamaan kuat, berbeda tradisi dengan pasukan didikan Militarie Academie Hindia Belanda, yang menjadi pasukan APRIS. Akibatnya, terjadi perkelahian antar pasukan, hingga satu pasukan AOI meninggal. Kolonel Sarbini di Magelang, menganggap peristiwa ini sebagai percikan pemberontakan.
Menurut keterangan Kiai Afifuddin (kerabat Kiai Mahfudh), hingga menjelang 1 Agustus 1950, Kiai Mahfudh sama sekali tidak menyiapkan konsep-konsep untuk mendirikan negara tersendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Kiai Mahfudh hanya ingin memperluas kawasan kepoetihan, semacam kawasan kaum muslim untuk memperluas interaksi komunitas. Akan tetapi, pembicaraan tentang ide Kiai Mahfudh ini juga tidak ada tindak lanjutnya. Pertemuan para pimpinan Batalyon 423 dan 426 (berasal dari laskar Hizbullah-Sabilillah), hanya ditujukan sebagai pertemuan untuk membahas kebijakan Rera dari pemerintah. Maka, dapat dibayangkan, betapa Kiai Mahfudh sangat kaget ketika pesantren Sumolangu diserbu oleh pasukan TNI, pada pagi hari 1 Agustus 1950. Bangunan pesantren dan rumah-rumah penduduk di kawasan Sumolangu, Candiwulan dan Candimulyo serta kawasan sekitarnya menjadi rusak. Masjid kuno yang berusia lebih 400 tahun juga mengalami kerusakan parah. Arsip-arsip dibakar. Sekitar 1000 orang tewas pada hari itu.
Kejadian ini, membawa luka mendalam bagi pengikut-pengikut Kiai Mahfudh yang berhasil meloloskan diri. Mereka kemudian membangkitkan perlawanan dengan pasukan Batalyon Lemah Lanang, yang kemudian bergabung dengan sisa-sisa Batalyon 426 dan 423 MMC (Merabu Merapi Complex) di kawasan Gunung Slamet. Inilah yang kemudian menjadi stigma Kiai Mahfudh dan pengikutnya semakin memburuk di hadapan pemerintah. Buku-buku sejarah yang ditulis setelah peristiwa ini, dalam sudut pandang militer, memandang Kiai Mahfudh dan pasukannya sebagai pemberontak. Padahal, yang sebenarnya terjadi, adalah intrik politik dan kepentingan para elite militer dalam misi Rera, yang ingin menyingkirkan kaum santri dalam peta militer negeri ini.
Kiprah Angkatan Oemat Islam (AOI) sebagai laskar pejuang untuk menegakkan NKRI di kawasan Kedu Selatan perlu ditulis ulang dengan sudut pandang sejarah yang sebenarnya. AOI selama ini dianggap sebagai pemberontak dan memiliki jaringan dengan orang-orang komunis. Tentu saja, hal ini merupakan pandangan yang salah, mengingat kiprah AOI di bawah komando Kiai Mahfudh Abdurrahman sangat gigih membela NKRI.
________
Referensi:
AN Ni’amah, Biografi Syaikh Mahfudh Al-Hasani Somalangu Kebumen (1901 M-1950 M) [1], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2013.
A Zuhriyah, Angkatan Oemat Islam (Aoi): Studi Historis Gerakan Radikal Di Kebumen 1945-1950 [2], Thesis Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013.
D Widiyanta, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: studi tentang Gerakan Sosial di Kebumen, Jakarta: FIB-Universitas Indonesia, 1999.
Kuntowijoyo, Angkatan Oemat Islam 1945-1950: Beberapa Tjatatan Tentang Pergerakan Sosial, Yogyakarta: UGM, 1970.
*Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN PBNU, Periset Islam Nusantara :::: Twitter: @Moenawiraziz
Sumber: NU.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar