Ahmed Taufiq Rosidi
Warga Makassar tercinta,
As-salâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Salom. Om
swastiastu. Namo buddhaya. Salam sejahtera untuk kita semua.
Kita baru saja menyelesaikan sebuah tugas konstitusional dan
demokratis, yakni Pemilihan Wali Kota Makassar, sebagai bagian dari rangkaian
Pilkada nasional yang diselenggarakan secara serentak di seluruh negeri bersama
daerah-daerah lain. Tugas itu telah kita tuntaskan dengan baik, damai, tertib,
dan penuh kemenangan.
Rasa terima kasih harus kita berikan kepada segenap pihak yang
bekerja keras mewujudkan hajatan akbar ini, baik kepada KPUD, panitia, aparat
keamanan, pemerintah kota, dan terutama kepada kita sendiri, warga Makassar.
Tak hanya warga kota yang datang ke TPS-TPS tetapi juga warga kota yang tak
ikut memilih.
Kita harus menghormati cara masing-masing orang dalam menyatakan
hak politiknya. Mereka golongan putih yang tak memilih, maupun kita golongan
hitam yang memilih kotak kosong. Semua sama. Kita sama-sama menolak calon yang
dipilihkan oleh elite dan partai politik. Hanya cara kita untuk mengungkapkan
saja yang berbeda.
Warga Makassar tercinta,
Kita boleh berbangga jika membandingkan diri dengan warga di
daerah-daerah lain. Warga Jakarta, misalnya, mereka masih saja sibuk saling
hujat satu sama lain hanya karena mendukung calon yang berbeda.
Mereka terpecah belah hanya karena percaya pada omongan politisi.
Padahal tepat setelah pemilihan, mereka masih tetap bergelut
sendiri dengan masalah sehari-hari. Yang punya utang tetap harus memikirkan
utang. Yang miskin tetap harus membanting tulang. Yang bodoh tetap akan ditipu
orang. Yang sakit tetap dipusingkan oleh biaya pengobatan. Mereka tetap akan
diisap oleh kapitalisme.
Atau warga Yogya, yang sama sekali tak punya hak untuk memilih
Gubernur. Mereka diberi pemimpin yang sama sekali tak pernah mereka pilih.
Gubernur yang akan tetap menjadi pemimpin hampir seumur hidup sebelum ia
digantikan. Oleh siapa? Siapa lagi kalau bukan anak-cucunya sendiri. Mereka
terus dibelenggu feodalisme.
Namun, warga Makassar berbeda.
Dengan memenangkan kotak kosong di atas calon pilihan elite dan
partai politik, kita telah mencatatkan diri ke dalam lembar sejarah politik dan
demokrasi Indonesia. Hari ini kita telah membuktikan kepada para elite dan
partai politik yang congkak itu, bahwa doktrin the lesser evil yang
mereka jual kepada rakyat tidak laku di Makassar.
Kita, warga kota, diberi hak oleh konstitusi untuk memilih
pemimpin dan kita memilih untuk tak dipimpin oleh siapa-siapa kecuali diri kita
sendiri. Warga Makassar telah berhasil merebut kembali kota yang kita cintai
ini dari tangan para elite dan partai politik.
Lebih jauh, kita telah merebut kembali kedaulatan politik kita
sebagai warga kota yang selama ini hanya dianggap sebagai digit angka di papan
perhitungan suara. Kita, warga Makassar, adalah rakyat yang berdaulat atas
dirinya sendiri. Kita menolak tunduk di hadapan kepentingan elite, makelar,
mafia, partai, maupun oligarki politik mana pun.
Warga Makassar tercinta,
Kemenangan ini hanyalah satu dari sekian banyak tugas yang harus
kita selesaikan dengan baik. Tugas kita masih banyak dan berat. Kita harus
bersatu mempertahankan apa yang telah kita menangkan dari para elite dan partai
politik.
Kita harus segera merumuskan tata
kelola kota Makassar terutama bidang ekonomi-politik yang lebih demokratis,
mutualis, partisipatoris, egalitarian, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan dan budaya. Kita akan buktikan kepada dunia bahwa demokrasi rakyat
sangat mungkin dilakukan.
Selain itu, kita harus memperjuangkan kemenangan yang sama untuk
lima tahun ke depan. Bukan hanya di pemilihan wali kota, tetapi juga pemilihan
gubernur. Tak hanya di Makassar, kita harus menularkan ke daerah-daerah lain di
seluruh negeri. Kita harus mendesak pemerintah memasukkan pilihan kotak kosong
ke dalam surat suara, meskipun di daerah tersebut calonnya tidak tunggal.
Kita harus buktikan bahwa doktrin the lesser evil adalah
pembodohan. Kita harus buktikan rakyat bukan sekumpulan orang bodoh yang tak
bisa mengatur dirinya sendiri, rakyat bukan sekumpulan orang bodoh yang harus
selalu didikte oleh para elite dan partai politik. Kita akan wujudkan demokrasi
yang benar-benar dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Panjang umur pembangkangan!
Hidup warga kota!
Hidup Makassar!
Hidup Makassar!
As-salâmu ‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh. Salom. Om santi
santi santi om. Namo buddhaya. Salam sejahtera untuk kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar