Petrus Hariyanto - 21 Mei 2018
Ditahan dengan tuduhan sebagai dalang Peristiwa 27 Juli
1996. Mereka meyakini gerakan mahasiswa dan rakyat hanya tiarap sesaat.
Deklarasi Partai Rakyat Demokratik di Jakarta, 22 Juli 1996. Foto:
prd.or.id.
GEDUNG Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu
"angker” bagi tokoh-tokoh oposisi, terutama dari Partai Demokrasi
Indonesia (PDI). Satu per satu mereka diperiksa sebagai saksi Peristiwa 27 Juli
1996. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri, Ridwan Saidi, Aberson M.
Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Sukowalujo
Mintorahardjo, Julius Usman, dan Permadi.
Saat itu, di salah satu ruangan berukuran 4x4 m2 yang
dijadikan sel Rutan Salemba Cabang Kejagung, aku meringkuk sendirian. Sudah
lebih sebulan aku ditahan di sana.
Sejak 17 Agustus 1996, aku ditahan di Gedung Pidana Umum
Kejagung bersama Budiman Soejtamiko, ketua umum Partai Rakyat Demokratik (PRD);
Garda Sembiring, ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) Jabotabek;
dan Mochtar Pakpahan, ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Kami
ditangkap dengan tuduhan menjadi dalang kerusuhan 27 Juli 1996.
Kerusuhan 27 Juli sebenarnya merupakan imbas dari rezim
Soeharto, dengan menunggangi PDI Suryadi, merebut kantor DPP PDI pimpinan
Megawati di Jalan Diponegoro dengan cara kekerasan. Rakyat marah. Banyak gedung
dibakar.
Sebelumnya, berhari-hari kantor di Jalan Diponegoro itu
menjadi arena mimbar bebas, terkenal dengan “Mimbar Rakyat”. Arena mengecam
pemerintah yang telah mengintervensi PDI pimpinan Megawati. Setiap hari
dipenuhi massa rakyat. Takut menjadi bola salju dan kekuatan people power,
Mimbar Rakyat dihentikan dengan cara kekerasan. Hasil penyelidikan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 orang
luka, dan 23 orang hilang.
Kami menjadi tersangka. Pasal yang dipakai terdapat dalam
UU Subversif. Hukuman tertingginya adalah hukuman mati.
Pemerintahan Soeharto juga mengumumkan bahwa PRD sebagai
partai terlarang. Sejak itu, aparat militer mulai memburu anggota PRD di
seluruh daerah. Yang tertangkap sebagian besar disiksa. Kawan-kawan di
Surabaya, misalnya, ditangkap Badan Koordinasi Stabilitas Nasional Daerah
(Bakortanasda) Jawa Timur dan disiksa berhari-hari, bahkan ada yang dipaksa
makan katak.
Pagi hari di Gedung Bundar, sekitar Oktober 1996, aku
mendapat surat dari kawan-kawan yang masih bebas di luar. Surat diantar atau
tepatnya diselundupkan Esther Indah Yusuf, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta dan salah satu anggota Tim Pembela Hukum dan Keadilan Indonesia
(TPHKI).
Surat itu ditulis Herman Hendrawan, salah satu korban
penculikan aktivis ‘98 yang sampai saat ini belum kembali. Herman mengabarkan
bahwa sebagian kader PRD sudah dapat dikonsolidasikan.
"Kawan-kawan yang di penjara, kalian tenang-tenang saja. Kami akan lanjutkan perjuangan yang sudah kita mulai bersama.”
Aku cukup terharu. Kawan-kawan sudah mengkonsolidasikan
diri dan membentuk struktur kepemimpinan PRD bawah tanah. Mereka tetap melawan,
walau aparat militer Orde Baru terus memburu mereka. Mereka gencar mengeluarkan
pernyataan sikap atas nama Mirah Mahardika (Komite Pimpinan Pusat PRD).
Gerakan rakyat yang semakin luas menentang kediktaktoran
Soeharto tak mungkin lagi bisa dihenti, walau rezim berusaha menumpasnya dengan
cara kekerasan. Kotak Pandora sudah dibuka. Soeharto harus ditumbangkan.
PRD Didirikan
Soeharto merebut kekuasaan dengan menyingkirkan Sukarno
dan menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk memperkuat kekuasaannya,
partai politik dilemahkan melalui kebijakan fusi atau penyederhanaan partai
politik menjadi hanya tiga. Gerakan mahasiswa, yang ikut andil dalam
menumbangkan Sukarno, redup teratur. Beberapa aktivisnya meraih kedudukan di
parlemen.
Setelah sekian lama bungkam, mahasiswa mulai mengkritik
penguasa pada awal 1970-an. Dari soal pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) hingga penolakan modal asing Jepang yang berujung pada Peristiwa Malari
(Malapetaka Limabelas Januari). Aktivitas mahasiswa di dalam kampus mulai
diperketat. Namun langkah itu tak menyurutkan langkah mahasiswa untuk turun ke
jalan. Puncaknya, pada 1978, mahasiswa menolak pencalonan kembali Soeharto
sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Pukulan telak pun dilancarkan penguasa. Didahului
pendudukan kampus-kampus oleh tentara, salah satunya Institut Teknologi Bandung
(ITB), disusul sterilisasi kampus dari aktivitas politik melalui Normalisasi
Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), gerakan mahasiswa
“dijinakkan” Rezim Soeharto.
Sejak itu kampus sepi dari aktivitas politik. Soeharto
melenggang dan melanggengkan kekuasaannya tanpa ada oposisi dari mahasiswa.
Gerakan mahasiswa mulai muncul kembali sekitar 1988.
Kasus tanah, seperti pembangunan Waduk Kedung Ombo, mendorong mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa turun ke jalan. Mereka menolak tunduk
pada kebijakan rezim yang melarang mahasiswa berpolitik.
Dari kemunculan gerakan mahasiswa saat itu, sebagian
kelompok mahasiswa dan gerakan rakyat (buruh dan tani) mendirikan Persatuan
Rakyat Demokratik (PRD). Hal ini didasari perlunya organisasi payung untuk
mewadahi perlawanan di sektor mahasiswa, buruh, dan tani. Tak boleh bersifat
sektarian sektor dan kota. Tak boleh lagi organisasi perlawanan bersifat ad
hoc, berganti-ganti nama sesuai aksi yang dilakukan. Harus sistematis dalam
beroganisasi dan programatik.
Sayang, usaha pertama kami gagal. Pada saat bersamaan,
terjadi peningkatan eskalasi perlawanan terhadap pemerintah. Pemicunya,
pembredelan tiga media: majalah Tempo, majalah Editor, dan
tabloid Detik. Demonstrasi terjadi di berbagai kota. Tidak hanya
mahasiswa, budayawan dan tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ikut bergerak
melakukan aksi.
Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID),
yang sebenarnya masih dalam konsolidasi tertutup, tiba-tiba dimunculkan.
Sebagian besar anggota SMID adalah peserta kongres yang mendirikan PRD.
SMID mengambil-alih peran PRD sebagai organisasi terbuka
yang melawan Soeharto. Antara lain ditunjukkan dengan menggelar mogok makan di
depan Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Aksi itu berakhir
dengan penangkapan hampir 30 peserta aksi.
Sebulan kemudian, tepatnya 1 sampai 3 Agustus 1994, SMID
melakukan Kongres Luar Biasa (KLB) di Mega Mendung. Kongres menyepakati program
politik: Cabut 5 UU Politik 1985, Cabut Dwifungsi ABRI, dan Referendum di
Timor-Timur.
Dua bulan berikutnya, kawan-kawan yang mengorganisir
buruh mendirikan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) dalam sebuah kongres
di Bandungan, Ambarawa, yang dihadiri organiser buruh dari berbagai kota.
Sejak deklarasi kedua organisasi tersebut, aksi massa
terjadi di berbagai kota.
Awalnya, "Cabut 5 UU Politik" dan “Cabut
Dwifungsi ABRI" menjadi program politik kelompok Petisi 50, yang
dikomandoi Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta. Berkat SMID dan PPBI, isu
tersebut kian populer di kalangan masyarakat.
SMID menggelar aksi-aksi bersama buruh dan tani. Beberapa
isu yang menjadi perhatian media antara lain; Peringatan Hari Buruh Sedunia 1
Mei 1995 di Semarang, aksi dengan kaum tani yang tergabung Serikat Tani
Nasional (STN) pada 10 November 1994 mengguncang Ngawi, kota kecil di Jatim.
Dalam aksi-aksinya, SMID juga mengangkat isu Timor-Timur.
Puncaknya, SMID, Presidium Sementara PRD (PS-PRD), dan Gerakan Pemuda Timor
Leste melakukan aksi lompat pagar Kedutaan Belanda dan Rusia. Aksi ini menjadi
perhatian media asing. Isu referendum bagi rakyat Maubere pun naik ke
permukaan.
Organisasi dengan skala nasional yang kami bentuk telah
mewarnai politik saat itu. Bersama kelompok mahasiswa radikal lainnya,
organisasi kami mampu mengispirasi mahasiswa untuk berpolitik lagi. Jumlah
mahasiswa, buruh, tani, kaum miskin kota yang melawan meningkat. Secara
kualitatif, terjadi peningkatan sentimen anti-Soeharto. Kampanye tentang
kebijakan Orde Baru yang menindas secara politik dan ekonomi meluas ke
masyarakat.
Terbentuknya
Sebuah Partai
Suhu politik biasanya meningkat menjelang pemilihan umum
(pemilu). Sebuah momentum untuk meningkatkan perlawanan rakyat sekaligus
menuntut perubahan organisasi dan strategi taktik. Harus ada organisasi yang
mampu mengkonsolidasikan gerakan multisektor.
Menjelang pemilu 1997, kami menjawabnya dengan mendirikan
Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada 15 April 1996. Aku terpilih sebagai sekjen.
SMID, PPBI, STN, dan Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) menyatakan berafiliasi
secara politik dan organisasi (underbouw) kepada PRD.
Dari strategi taktik, PRD harus mempelopori front
persatuan dengan kekuatan elemen gerakan lain. Beberapa front berdiri seperti
Oposisi Indonesia, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), dan Majelis Rakyat
Indonesia (Mari).
Ketika pemerintahan Soeharto mengintervensi PDI Megawati
Soekarnoputri, dengan cara membuat kongres tandingan di Medan, PRD langsung
menyatakan dukungannya kepada Megawati. Kepada pimpinan PDI di Jakarta dan
berbagai daerah, PRD menawarkan jalan keluar perlawanan dengan aksi massa.
Di berbagai daerah PRD dan pemimpin PDI yang radikal
menggelar aksi. Di Jakarta, PRD dan berbagai kelompok oposisi mendukung aksi
massa yang dilancarkan PDI Megawati. Bahkan aksi besar terjadi di Jakarta
pascakongres Medan 20 Juni 1996. Ketika itu aksi dipukul, terkenal dengan
insiden “Gambir Berdarah”. Perlawanan tidak surut, dilanjutkan dengan mimbar
bebas yang digelar di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta.
Berhari-hari mimbar bebas berlangsung. Semua orasi
mengecam penindasan yang dilakukan Soeharto. Hampir setiap hari massa
mendatangi acara tersebut, dan jumlahnya semakin membesar. Situasi yang berbeda
dari sebelumnya, aksi sudah mampu menggerakan rakyat. Mimbar Rakyat itu menjadi
simbol perlawanan rakyat kepada Rezim Soeharto, dan dampaknya meluas ke mana-mana.
Sikap rezim Soeharto sudah dapat diduga. Mimbar bebas itu
bisa menjadi embrio people power, dan harus dihentikan dengan cara
kekerasan, walau itu akan memakan korban. Pagi hari, tanggal 27 Juli 1996,
kantor tersebut diambilpaksa oleh PDI Soeryadi, dengan dibantu aparat militer.
Ketika kantor itu diambil alih secara paksa dan jatuh
banyak korban, massa rakyat berkumpul di sekitar Jalan Diponegoro. Awalnya,
kemarahan mereka ditumpahkan dalam mimbar bebas. Lama-kelamaan massa bentrok
dengan aparat Brimob yang menjaga kantor itu. Menjelang sore, ketika massa
dipukul dan digiring ke arah Salemba berubah menjadi kerusuhan. Sepanjang jalan
Salemba ke Matraman dan juga ke arah Senen, gedung-gedung dibakar massa.
Dua hari setelahnya, 29 Juli 1996, Menko Polkam Soesilo
Soedarman mengumumkan ke publik bahwa PRD Dalang Kerusuhan 27 Juli.
Para pemimpin PRD ditangkap. Semua elemen gerakan
direpresif. Terjadilah situasi di mana gerakan tiarap.
Banyak yang mengatakan semua ini adalah kesalahan PRD
karena terlalu maju melawan Soeharto. Tapi PRD menjawab gerakan hanya tiarap
sementara, dan akan segera bangkit lagi dengan kekuatan berkali-kali lipat.
Seperti kata Budiman Soejatmiko, “Peristiwa 27 Juli” hanya senam untuk melatih
otot gerakan rakyat semakin kuat.
Penulis adalah
mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.
---
Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto
(2)
Dari dalam penjara menyaksikan perlawanan terhadap rezim
Soeharto dan kejatuhannya.
Petrus
Hariyanto – 21 Mei 2018
Partai Rakyat Demokratik.
SELAMA 1993 sampai 1994, setiap kali kereta api yang
kutumpangi memasuki Stasiun Jatinegara, sejenak aku menengok ke kiri.
Kupandangi tembok Lembaga Pemasarakatan Cipinang yang terlihat begitu angkuh.
“Suatu saat aku akan berada di sini. Cepat atau lambat
rezim Soeharto akan memenjarakanku,” gumamku.
Dan benar, sekitar Desember 1996, aku dan beberapa kawan
PRD dan Mochtar Pakpahan dipindahkan ke LP Cipinang, sementara Budiman
Soejatimiko dan kawan-kawan lainnya ke Rutan Salemba. Setelah vonis jatuh, kami
dipenjara di LP Cipinang, sebagian di Surabaya dan Malang.
Seperti biasa, di pagi hari, sebelum para napi kasus
kriminal bangun, kami sudah bangun. Rapat di pagi hari, agar aman tidak
didengar napi lain. Sekitar pukul 05.30, para napi belum bangun, dan kebetualan
pintu sel sudah dibuka. Kebiasaan ini kami lakukan bertahun-tahun. Agenda
utamanya, mengumpulkan data dan informasi yang kami terima dari ruang bezukan.
Informasi itu datang dari para pembezuk, kader PRD muda yang belum terdeteksi
aparat, dan ada juga dari kurir yang dikirim kawan-kawan dari luar.
Sesungguhnya, penjara tidak membuat kami terisolasi dari
dunia luar. Kami selalu bisa mengikuti perkembangan perlawanan yang dilancarkan
kawan-kawan di luar.
PRD Bawah Tanah
Kawan-kawan di luar menyatakan akan tetap melawan, walau
dengan cara klandestin. Metode perlawanannya melalui distribusi selebaran
dan Pembebasan (terbitan PRD bawah tanah), masuk ke basis massa PDI
Pro Mega, serta mengorganisasi mahasiswa dan buruh.
Pada 30 September 1996, Komite Pimpinan Pusat PRD
(KPP-PRD), organ kepemimpinan organisasi bawah tanah PRD, mengeluarkan
pernyataan sikap yang dikirim ke media massa.
“Pemenjaraan, penahanan, pemberangusan, dan fitnah
politik terhadap PRD bukanlah jalan keluar untuk mengatasi problem rakyat
Indonesia yang demikian parah di bawah Rezim Orde Baru ini. Di tengah represi
dan teror putih Rezim Orde Baru yang ganas, kami akan terus bergerak walaupun
harus meratap di bawah tanah. PRD akan terus berjuang bersama rakyat untuk
sebuah Indonesia yang demokratik multipartai kerakyatan,” tulis Mirah Mahardika
(nama samaran), ketua KPP PRD.
Pembebasan edisi perdana terbit Oktober 1996.
Tabloid terbuat dari kertas buram berukuran HVS itu memuat judul: "PRD
Menjawab Fitnah dan Tuduhan".
"Sebenarnya tuduhan tersebut tak berdasar.
Pemerintah hanya menyebutkan alasan bahwa bahwa orang-orang PRD terlibat
aksi-aksi mendukung Megawati Soekarnoputri. Walaupun tuduhan itu tidak masuk
akal, namun didukung dengan pemberitaan media massa yang gencar. TVRI, RRI,
beserta koran-koran yang ada di bawah kontrol pemerintah dengan gencar
memberitakan tuduhan itu," tulis Pembebasan edisi No. 1, Oktober
1996.
Pembebasan juga berisi taktik yang harus dijalankan
rakyat dalam melawan pemerintah dan tuntutan program politik strategis.
Pada Oktober 1996, menurut kesaksian Ilhamsyah, mahasiswa
YAI yang pada 1999 menjadi sekjen Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia
(FNPBI), kader PRD sudah berani melakukan aksi bersama dengan massa pendukung
Megawati. "Aksi mendatangi Polres Jakarta Selatan menolak politik
intervensi pemerintah kepada PDI Megawati Soekarnoputri," ujar Ilhamsyah.
"Bahkan, pada 28 April 1997, saat sidang vonis untuk
Budiman dan kawan-kawan, simbol-simbol berbau PRD mulai berani ditampakkan.
Basis mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta, dan basis pengorganisiran kaum
miskin kota dimobilisasi dalam vonis tersebut," ujar Lukas Dwi Hartanto,
yang saat itu tercatat sebagai mahasiswa Institut Sosial dan Ilmu Politik
(ISIP), Jakarta.
"Para demonstran menamakan dirinya Forum Pemuda dan
Mahasiswa untuk Demokrasi (FPMD). Mereka meneriakkan ‘Boikot Pemilu’, ‘Bebaskan
Budiman’. Mereka juga menyanyikan ‘Mars PRD’ dan ‘Darah Juang’," tulis
Harian Suara Merdeka.
Sebelum mahasiswa bergerak, akhir tahun 1997 menurut
Kamaludin Pane, ia dan Sulis memobilisasi buruh-buruh di 10 pabrik di Cakung
untuk mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat
(DPR/MPR).
“Saat itu ribuan buruh kami gerakkan. Aku dan Ida Nashim ditangkap,
kemudian disiksa dengan disundut rokok selama dua hari di markas militer,”
ujarnya.
Tidak hanya di Jakarta. Di Semarang, wartawan koran
minguan Inti Jaya Joni Budiono memberi kesaksian bahwa beberapa kader
PRD memimpin aksi reli dari kampus Universitas Diponegoro (Undip) menuju Gedung
DPRD I Jateng, tepat pada hari HAM 10 Desember 1997. "Saat itu gerakan
mahasiswa masih tiarap," ujarnya.
"Di Yogyakarta, aksi mahasiswa pecah pertama pada 17
November 1996. Haris Sitorus (anggota SMID), mengundang aktivis pers mahasiswa
se-Yogyakarta untuk melakukan aksi advokasi peristiwa penggrebekan percetakan
tabloid Independen, terbitan AJI (Aliansi Jurnalis Independen)," ujar
Nining Wahyuningsih, koordinator kader PRD bawah tanah di Yogyakarta.
Kemudian Nining bersama Nur Hiqmah, keduanya mahasiswa
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM), membentuk Komite Keprihatinan
Mahasiswa (Kokam) UGM. Walau mengangkat isu internal kampus, aksi yang diikuti
500 mahasiswa memecah kebisuan gerakan mahasiswa di Yogyakarta.
“Setelah itu, bak jamur di musim hujan, banyak komite
perlawanan mahasiswa berdiri di Yogyakarta,” ujar Nining.
Di Lampung, kader-kader PRD baru terkonsolidasi setelah
pengurus dari Jakarta mengadakan kursus politik. "Sekitar Oktober 1996,
Agus Jabo ke Lampung. Saat itu berbarengan dengan aksi mogok sopir angkot di
Bandar Lampung. Kita langsung pimpin aksi tersebut, dan itu aksi pertama sejak
27 Juli 1996," ujar Putra Budi Anshori.
"Waktu itu aku ditunjuk sebagai sekretaris kota PRD
bawah tanah. Kader-kader PRD aktif mengorganisir tani, massa PDI Pro Mega, dan
mahasiswa di berbagai kampus," ujarnya dalam wawancara beberapa waktu
lalu.
Atas militansi kader di sana, pada Maret 1998, sebelum
Sidang Umum MPR, terjadi aksi mahasiswa dan rakyat besar-besaran.
"Aksi itu menggunakan nama Komite Mahasiswa Pemuda
Pelajar dan Rakyat Lampung (KMPPRL). Ribuan orang terkonsentrasi di Universitas
Lampung (Unila). Bentrok besar terjadi melawan aparat. Dan seingatku itu
bentrok yang pertama kali," ujar Putra Budi Anshori, yang kini menjadi
dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Riau.
"Aku, Kamaludin Pane, Ihkyar Velayati sempat ditahan
selama dua minggu setelah 27 Juli meletus. Dibebaskan bukan berarti leluasa
mengorganisir mahasiswa lagi. Selama enam bulan aparat menjaga rumah kami
masing-masing. Kami dilarang ke mana-mana. Kalaupun pergi lama, orang tua kami
ditekan agar kami segera balik ke rumah," ujar Aswan Jaya, yang saat itu
mahasiswa Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumatra Utara,
ketika aku wawancarai beberapa waktu lalu.
Akhirnya, ketiga mahasiswa IAIN Sumatra Utara itu nekat
kabur dari rumah. Dan mereka berhasil mendorong mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) melakukan mimbar bebas. "Itu aksi
mahasiswa UMSU pertama kali sepanjang sejarahnya. Aksi mahasiswa pertama kali
setelah 27 Juli. Dampaknya, banyak kampus di bulan April 1997 mulai bergerak,"
ujar Aswan Jaya yang kini menjadi ketua wilayah Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) kubu Djan Faridz.
Di Palu, para aktivis PRD dan LSM pasca-27 Juli harus
berurusan dengan kejaksaan. "Selama seminggu kami dipanggil untuk di-BAP,
dari pukul 07.00 sampai pukul 17.00," ujar Fermasyah yang saat itu
sekretaris wilayah PRD Sulawesi Tengah.
Menurutnya, yang tidak terdeteksi sebagai PRD ditugaskan
mengorganisir mahasiswa dan pemuda. “Pada April 1997, kami melakukan aksi
pertama kali di tengah situasi gerakan tiarap. Ada dua organ yang kami
mobilisasi, yakni Forum Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah (FMIST) dan Forum
Pemuda Demokrasi. Isi tuntutannya: Tolak Hasil Pemilu 1997,” ujarnya.
Menurut Prijo, koordinator PRD Jateng-DIY, mampu
membentuk sel-sel baru (kader baru). "Sel-sel baru ini mampu membentuk
Komite Pemuda dan Mahasiswa Surakarta (KPMS). Tanggal 28 Oktober 1996 mampu
melakukan aksi peringatan Sumpah Pemuda, di tengah-tengah sunyinya gerakan
perlawanan di Solo," ujar Prijo yang saat itu mahasiswa Fakultas Sastra
Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret atau biasa disingkat UNS.
Perlawanan Mahasiswa
Pada Oktober 1996, partai melakukan pertemuan nasional
(Dewan Nasional). Keputusan pentingnya, organisasi menggunakan sistem komando,
konsentrasi pengorganisasian perlawanan rakyat diprioritaskan di Jakarta.
“Saya menjadi koordinator wilayah Jakarta Selatan. Untuk
Jakarta Utara dipegang Alit, Jakarta Timur dipegang Hari Subagyo, sedangkan
Jakarta Pusat koordinatornya adalah Faisol Reza,” ujar Lukas Dwi Hartanto.
Seluruh kader terbaik dari daerah disebar ke Jakarta.
“Banyak kader PRD Lampung dikirim ke Jakarta. Mereka berpengalaman
mengorganisasi sektor rakyat seperti nelayan dan petani. Selama di Jakarta,
mereka ditugaskan keliling kampus untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa
agar tidak sektarian, mau berjuang bersama rakyat,” ujar Putra Budi Anshori.
Keputusan penting lainnya: isu gulingkan Soeharto harus
dikampanyekan secara masif. Fenomena Mega-Bintang dan kemarahan rakyat kepada
Rezim Soeharto sudah sangat meluas dan manifes. Mega-Bintang adalah perlawanan
massa PDI dan PPP dalam kampanye Pemilu 1997. Terjadi radikalisasi massa,
diwujudkan dalam aksi dan bentrok dengan aparat di berbagai daerah.
Taktiknya melalui grafiti action. “Saya tertangkap bersama
Bimo Petrus (korban penculikan aktivis ‘98 yang sampai hari ini belum
ditemukan) karena melakukan grafiti action: ‘Gulingkan Soeharto’. Kami
berdua ditahan selama tiga bulan di kantor polisi,” ujar Ilhamsyah.
Grafiti action dengan tulisan “gulingkan Soeharto”
dilakukan di semua daerah. Tujuannya memberi kepeloporan perlawanan. Perlawanan
harus diarahkan lebih maju lagi. “Di Palu, kami membentuk tim, satu motor dua
orang untuk melancarkan grafiti action dengan sasaran kampus, tembok
pagar sekolah SMA, pertokoan.
Prioritas pengorganisasian di sektor kaum miskin kota.
Ada juga yang mengorganisir kampus. Seperti diceritakan Lukas Dwi Hartanto
dalam tulisannya di Indoprogres (media online progresif). Pertemuan
cikal-bakal Forkot (Forum Kota) dilakukan sekitar akhir 1997.
“Saat itu kami yang di ISIP menjadi pengundang, dihadiri
simpul gerakan mahasiswa dari Universitas Islam DJakarta, Universitas Djuanda,
Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Trisakti.
Pertemuan kedua dilakukan di kampus Trisakti, semakin banyak kampus mengirimkan
delegasinya. Pertemuan berikutnya berjalan terus-menerus dan konsisten memakai
nama Forkot. Forkot itu sebenarnya adalah aliansi berbagai simpul gerakan
mahasiswa antarkampus se-kota Jakarta,” tulisnya.
Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, dia
menjelaskan lagi, setelah Soeharto jatuh, beberapa elemen yang tergabung dalam
aliansi Forkot memisahkan diri, antara lain Front Aksi Mahasiswa untuk
Reformasi dan Demokrasi (Famred), Keluarga Besar UI (KB UI), dan Front Aksi
Nasional (Fronas)). Sedangkan Lukas Dwi Hartanto dan basis pengorganisasian PRD
membentuk Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (Komrad).
Sementara
Forkot tetap ada dan dipimpin Adian Napitupulu, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
periode sekarang.
Untuk masuk ke UI, dikirimlah Nezar Patria, Herman
Hendrawan, Wigyo, dan Asep Salmin. Mereka mampu menemukan kontak baru untuk
dikader. “Mereka memberi materi pengorganisasian buruh kepada kami mahasiswa
FISIP UI yang tergabung dalam kelompok diskusi Humanist,“ ujar Ki Joyo Sardo
Huminsa.
Ki Joyo Sardo atau sering dipanggil Sardo bersama
Reinhard dan Karlos yang tergabung dalam Humanist, akhirnya bersama dengan
elemen mahasiswa dari berbagai fakultas lain membentuk KB UI. Kelak, Sardo
menjadi ketua PRD dan Reinhard menjadi ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND).
Ketika Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain mulai
bergerak, saya dan Ulin Niam Yusron yang saat itu menjalankan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di desa, diinstruksikan balik ke kampus. Kami harus konsolidasi
untuk menggerakkan aksi di kampus UNS," ujar Kelik Ismunandar yang saat
itu mahasiswa Fakultas Sastra.
"Aksi pertama di dalam kampus, memakai nama
Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR). Awalnya, unsur di luar PRD belum
bergabung," ujarnya lagi.
Semakin lama semakin membesar melibatkan unsur mahasiswa
dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tapi minus Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI).
"Aksi setiap hari Senin dan Jumat. Selalu dimulai
dari boulevard UNS. Taktiknya menguasai dan memblokir jalan raya (yang
menghubungkan Kota Solo dengan kota-kota lain di Jawa Timur) di depan gerbang
kampus UNS. Jumlah yang terlibat ribuan, termasuk rakyat turut bergabung. Bila
terjadi bentrok dengan aparat, masyarakat sekitar kampus memukul tiang listrik.
Mereka turut melempari aparat dengan batu," ujarnya.
Pada 28 Februari 1998, mahasiswa Filsafat yang digerakan
kader-kader PRD membuat aksi mogok makan, dengan menggelar tenda di depan
Fakultas Filsafat UGM. Terpampang spanduk besar: Tolak Sidang Umum MPR dan
Turunkan Soeharto.
“Setiap hari aksi itu didatangi oleh elemen gerakan
mahasiswa. Saat itu, di sana satu-satunya tempat perlawanan mahasiswa di
Yogyakarta. Terjadi konsolidasi gerakan selama beberapa hari mogok makan.
Akhirnya, mampu mendorong terbentuknya KPRP. Hari Rusli Moti menjadi ketua, dan
aku sekjennya,” ujar Fendri Panomban, yang saat itu mahasiswa Filsafat UGM.
Menurut penuturan Wirayanti, beberapa kader PRD di awal
1998 mulai berkeliling kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo dan
Universitas Islam Sultan Agung. "Kami bertemu dengan kontak lama kami.
Membangun kesepakatan untuk memulai mimbar bebas di kampus," ujar
mahasiswa FISIP Undip itu.
Pada Mei 1998, katanya, aksi semakin membesar karena
gabungan antarkampus. Joni Budiono, wartawan Inti Jaya yang saat itu
masih mahasiswa Fakultas Sastra Undip, menyebut pertentangan kelompok Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) Undip dengan non-SMPT sudah mencair.
“Mereka
mampu menduduki Gedung DPRD I Jateng beberapa hari sampai Soeharto tumbang,”
ujar Joni.
Pada Maret 1998, kader PRD yang mengelola majalah
mahasiswa Ganesha ITB Bandung mengundang pengelola majalah
mahasiswa Boulevard ITB dan kelompok mahasiswa lain untuk membentuk
Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Perubahan (GMIP).
"GMIP pertama aksi langsung keluar kampus dengan isu
‘Turunkan Soeharto’. Di depan Masjid Salman, aparat mengembuk massa aksi. Sejak
itu, kami mendirikan Posko GMIP di halaman depan kampus ITB, untuk mengajak
rakyat bergerak juga," ujar Ardi Putra yang saat itu mahasiswa ITB.
Sehingga, pada 1 Mei 1998, GMIP bersama buruh yang
diadvokasi LBH Bandung, melakukan aksi Peringatan Hari Buruh Se-dunia. Ribuan
orang terlibat dalam aksi tersebut,”
"Aksi GMIP terbesar terjadi tanggal 12 Mei 1998.
Kalau di Trisakti hari itu aparat menembak dengan peluru tajam, di Bandung
ditembaki dengan peluru karet," ujar Ardi.
Ada dua kelompok di Surabaya yang membidani lahirnya
sebuah front perlawanan bernama Arek-arek Suroboyo Pro-Reformasi (ASPR).
"Kami dari kader-kader PRD bawah tanah yang dipimpin Purwadi, dan satunya
lagi dari Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS). ASPR sejak Februari 1998
aktif melakukan aksi antarkampus. Tidak hanya mimbar bebas di kampus tetapi
juga reli di jalan, dan sering digebug aparat," ujar Dandik Katjasungkana
yang saat itu mahasiswa FISIP Universitas Airlangga (Unair), Surabaya.
Kalau ASPR organisasi front tingkat kota, di kampus Unair
sendiri berdiri Mahasiswa Univeristas Airlangga Pro Reformasi (MUPR). Selain
anggota SMID, beberapa elemen mahaasiswa lain di Unair tergabung dalam komite
perlawanan tingkat kampus ini.
“Dari tanggal 1 Maret sampai 9 Maret 1998, MUPR menggelar
aksi mogok makan. Aku salah satu pesertanya. Hampir setiap hari dijadikan ajang
mobilisasi. Ribuan orang setiap hari menghadiri aksi yang kami gelar, reli dari
depan Perpustakaan Pusat Unair menuju pintu gerbang Unair di Jalan
Dharmawangsa,” ujar Heru Krisdianto mahasiswa FISIP Unair.
Kodam V Brawijaya melarang mahasiswa turun aksi pada 19
Mei 1998. “Kalau nekat aksi, militer akan memukul habis peserta aksi. Kami yang
di Unair tidak mengindahkan ancaman itu. Ketika aksi memasuki jalan di samping
Rumah Sakit dr. Soetomo, dua truk militer pasukan elit Kodam Brawijaya menabrak
peserta aksi. Selain banyak yang terluka, terjadi juga penangkapan,” ujar Heru.
Ketika krisis ekonomi semakin dalam, dan di berbagai kota
mahasiswa mulai melawan, Aswan Jaya dan delapan kader PRD lainnya langsung
mendaftar kuliah di Sekolah Tinggi Al-Hikmah Medan.
“Sebagai mahasiswa kami telah dipecat dari IAIN Sumut.
Agar punya legitimasi sebagai mahasiswa, kami harus kuliah lagi. Kami juga
membentuk Senat ST Al-Hikmah. Kemudian, kami mengundang semua elemen gerakan di
berbagai kampus. Sejak itu, hampir setiap hari mahasiwa bergerak dari berbagai
kampus, bahkan pernah menduduki Bandara Polonia Medan,” ujar Aswan jaya.
Pada 12 Mei 1998 ada beberapa peristiwa penting. Selain
tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti ketika melakukan demo, juga
terjadi penculikan aktivis.
Menurut Aan Rusdianto, salah satu kader PRD yang diculik,
pada tanggal itu Komite Nasional Perjuang Demokrasi (KNPD) mendeklarasikan
dirinya di Kantor YLBHI. Setelah menghadiri acara tersebut, Herman Hendrawan,
Faizol Reza, dan Raharjo Waluyo Jati diculik aparat tak dikenal di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Pada tanggal 13 Maret, giliran aku, Nezar Patria dan
Mugiyanto diculik di Rumah Susun Klender,” ujar Aan.
Menurut keterangan Nining Wahyuningsih, KNPD adalah
organisasi yang mulai terkonsolidasi di Kaliurang, Yogyakarta, pada April 1997.
Yang bergabung adalah basis pengorganisiran PRD ke basis massa PDI Pro Mega.
Ketuanya Nuraini Hilir (mahasiswa Filsafat UGM), dan sekjennya Nur Hiqmah
(mahasiswa Filsafat UGM).
“Kami perlu menjadi organisasi terbuka, agar bisa
berhubungan dengan kelompok pro demokrasi lain. Selama dalam persembunyian,
kader PRD susah membangun font dengan tokoh-tokoh oposisi. KNPD ini kepanjangan
tangan PRD bawah tanah untuk tampil legal,” ujar Hiqmah.
Pada 13 dan 14 Mei 1998, pascapenembakan mahasiswa
Trisakti, di Jakarta terjadi kerusuhan. Selain pembakaran gedung-gedung dan
penjarahan, juga terjadi pemerkosaan terhadap perempuan etnis tertentu. Tim
Gabungan Pencari Fakta Peristiwa 13-15 Mei 1998, yang dirilis Oktober 1998,
menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan, dan
Surabaya.
Jumlah korban yang diverifikasi tim: 52 orang korban perkosaan, 14
orang korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban
penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Menurut Gubernur DKI saat itu Sutiyoso, 4.393 gedung
rusak, termasuk 21 gedung milik pemerintah. Kerugian ditaksir mencapai Rp21
trilyun. Jakarta saat itu kacau sekali.
Peristiwa tersebut tidak membuat gerakan mahasiswa
berhenti, justru semakin mengila. Di Jakarta, mahasiswa dari berbagai kampus
tumpah-ruah menduduki Gedung DPR/MPR. Para mahasiswa memasuki gedung wakil
rakyat itu pada tanggal 19 Mei sampai 21 Mei 1998, sampai Presiden Soeharto
menyatakan mengundurkan diri.
Menyaksikan Soeharto Jatuh
Dari penjara LP Cipinang kami menyaksikan asap hitam
menjulang tinggi. Dari berita yang kami pantau melalui radio, banyak gedung
pertokoan dan mall dibakar pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998. Pada hari itu,
selain mendengarkan siaran radio, kami menandai pada sebuah peta DKI untuk
setiap gedung yang telah dibakar massa.
“Hampir semua tempat ada gedung yang terbakar, ujar
Ignatius Pranowo, yang saat itu sekjen PPBI.
Fauzi Isman, salah satu narapidana politik yang sedang
menjalani proses asimilasi, mengabarkan kalau di luar banyak terjadi
penjarahan. “Aku ditawari komputer dengan harga murah sekali. Kata orang-orang
itu komputer jarahan. Banyak toko hancur karena dijarah,” ujar Fauzi.
Fauzi adalah narapidana politik Kasus Talangsari yang
divonis 21 tahun penjara. Fauzi dan Darsono rekanannya bisa keluar penjara
karena sedang menjalani proses asimilasi. Hak itu diberikan kepada napi yang
sudah menjalankan hukuman lebih dari setengah massa hukuman.
“Pagi kami keluar penjara untuk bekerja, sore hari kami
pulang dan dipenjara lagi," ujar Fauzi dengan tertawa.
Di LP Cipinang, para sipir lebih ketat menjaga warga
binaan karena takut terjadi pemberontakan di penjara. Kami mendengar di Rutan
Salemba, para napi sudah menggoyang penjara. Dan menimpakan kambing hitam,
penggerak kerusuhan itu kepada Garda Sembiring, satu-satunya Napol PRD yang
berada di sana.
Kalau dua bulan lalu kami selalu sedih, karena mendengar
kawan-kawan kami diculik. Setelah tanggal 15 Mei, kami sangat bergairah
menyaksikan perlawanan mahasiswa begitu masif. Kami memantau lima radio dan dua
televisi sepanjang hari. Di pagi hari, kami memantau berita radio Nederland dan
BBC London yang punya program bahasa Indonesia.
“Aku yakin, sebentar lagi Soeharto akan terjungkal dari
kekuasaannya. Krisis ekonomi semakin mendalam, gerakan rakyat dan mahasiswa
sudah tidak dapat dibendung. Dalam keadaan begini, pasti mendorong perpecahan
juga di elit politik,” ujarku kepada Budiman dan kawan-kawan ketika
mendiskusikan situasi di luar.
Pagi hari, tanggal 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00, kami
mengikuti berita di TV dan radio. Kami mendengar siaran langsung saat Soeharto
menyatakan dirinya mundur. Kalau di Gedung DPR RI para mahasiswa bersukacita
dengan mandi di kolam air mancur, kami di LP Cipinang menceburkan diri ke kolam
ikan di blok penjara kami.
Penulis adalah
mantan sekretaris jenderal Partai Rakyat Demokratik.
0 komentar:
Posting Komentar