January 8,
2018 | Oleh: Hendro Sangkoyo [1]
Pasar hilang gaung/
Sungai hilang lubuk/
Fakta hilang makna/
Sri datang dalam goni
Abstrak
Bagaimana memahami dinamika perampasan ruang-ruang hidup
di kepulauan Indonesia sejak tamatnya pengorganisasian petani dalam tradisi
Kiri di paruh kedua 1960? Pertama, dinamika tersebut tercermin dengan baik
dalam perubahan tingkat laba, rente dan riba dari perluasan monopoli kuasa atas
situs produksi nilai dalam sirkuit kapital Bumi.
Kedua, politik agraria di sepanjang rejim Suharto dan
varian-variannya sampai dengan tahun-keuangan 2011 menunjukkan perubahan
dramatis dalam ekspresi institusional dari adu-kepentingan penguasaan ruang,
yang harus dibaca dalam perluasan sirkuit industrial dan keuangan di Asia
timur-laut dan tenggara. Ketiga, rerantai proses, pelaku, jejaring sosial di
sepanjang transformasi moda produksi nilai di kepulauan dan perarian Indonesia
berjalan berkelindan dengan perubahan pesat dalam rerantai proses-proses
ekologis di situ. Di sepanjang dekade pertama abad ke duapuluh-satu, ketiga
gejala perubahan tersebut, yang telah ikut melahirkan bukan saja krisis bagi
sirkuit kapital di Asia, tetapi juga konsolidasi dan integrasi vertikal dari
rerantai proses produksi-konsumsi energi dan bahan antar wilayah-negara,
sekarang tengah mencari ujud baru untuk mengatasi turunnya tingkat laba dari
produksi barang dan realisasi penciptaan nilainya, dengan kata sandi “made in
the World”. Ada tidaknya sebuah subjek sejarah kolektif di hadapan kombinasi
perubahan tersebut di atas dapat mulai kita baca dari moda dan daya lawan
perusakan serta daya pulih kerusakan sosial-ekologis dan kombinasi proses-proses
berskala raksasa itu.
Pendahuluan
Politik tani, fokus tulisan ini, menyangkut dinamika
relasi sosial-ekologis dari produksi-konsumsi massa biologis, dengan
“produser-konsumer tani” dan “ruang-operasinya” sebagai si subjek
perubahan. Bagaimana menuturkannya mengandung masalah: Perubahan macam apa yang
terjadi, begitu pula bagaimana perubahan berlangsung dalam ruang-waktu, bisa
dituturkan lewat beragam kerangka makna atau ideologi.
Barthes menulis di tahun 1967, penuturan sejarah berada
dalam keadaan sekarat, karena penanda Sejarah bukan lagi apa yang nyata,
melainkan apa yang hendak dimengerti, dengan struktur tuturan serta arsitektur
artikulasi dari penuturnya (Barthes, 1967). Ada dua catatan di sini.
Pertama, mengacu pada cakupan pertimbangan dari sebutan
politik tani di atas, objek periksa di sini adalah status dari fungsi-fungsi
reproduksi kemanusiaan dari prosumer tani, dan fungsi-fungsi faal dari
kepulauan perairan Indonesia Indonesia di sepanjang proses perubahan.
Kedua, camera obscura dari zona-zona ruang
waktu dan sikap pikir yang berbeda juga berperan penting dalam mediasi
perubahan.[2]
Masa di antara 1957 dan 1967 dapat disebut sebagai
episoda penentu dalam perubahan politik tani di Indonesia, semacam prelude dari
badai pembongkaran yang terus merambat dan berkecamuk sampai sekarang.
Dimulai dengan nasionalisasi aset-perusahaan perusahaan
perkebunan Belanda pada tahun 1957,[3] kemenangan di atas kertas dari legislasi
UU Pokok Agraria 1960 gagal mengharap pembelaan Negara di lapangan, dan harus
berakhir dengan kekalahan gerakan tani kiri dalam “perang-kelas” terbuka di
garis depannya sendiri. Kekalahan tersebut adalah babak pendahuluan dari plot
Perang-Dingin yang berujung pada perdarahan besar-besaran dalam konteks
pemusnahan paripurna tubuh gerakan kiri di Indonesia lewat kekerasan
terorganisir. Sepuluh tahun yang genting tersebut ditutup dengan
sebuah grand finale yang memutar-balikkan logika-sosial dari
kedaulatan politik tani di awal episoda. Para manajer negara di bawah ayunan
tongkat komando Suharto berhasil meluncurkan tiga ketentuan politik berkekuatan
hukum yaitu UU nomor 1/1967-penanaman modal asing; UU nomor
5/1967-ketentuan-ketentuan pokok kehutanan; dan UU nomor
11/1967-ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Indonesia-1967 menjadi epitaph bagi
subjek dan rejim politik tani yang lama, sekaligus menjadi patok kilometer nol
dari sebuah orde politik-tani baru.[4]
Empat-puluh Lima Tahun Orde Politik Tanu Baru di
Indonesia
Pertanyaan pokok dalam rejim pertanian yang baru adalah
bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ekonomika neoklasik pada produksi tanaman
dan ternak. Petani dan konsumer hasil tani sebagai pribadi-pribadi atomistik
diperlakukan dan diharapkan berprilaku sesuai dengan rasionalitas ekonomika
neoklasik, seperti berangkat dari kepentingan sendiri, bertindak berdasarkan
kecukupan informasi dan pertimbangan ekonomi. Pembelaan negara terhadap
kepentingan kolektif petani sebagai kelas produser kecil dan buruh tani/kebun
maupun koreksi terhadap konsentrasi penguasaan tanah dihapus dari agenda
politik pengurusan publik. Di lain pihak, vitalitas rerantai pasokan pangan
menjadi garis-depan dari penguatan peran negara, lewat investasi dalam industri
petro-kimia, pengenalan varietas padi dengan genetika rakitan, distribusi
pestisida secara besar-besaran, beserta pelaksanaan bimbingan dan intruksi
massal. Hal ini berlaku di sepanjang orde baru politik tani sejak 1967, tanpa
perubahan penting sejak jatuhnya pemerintah Suharto sampai sekarang.
Rasionalisasi produksi tani-pangan terutama padi dalam
konteks pengelolaan ekonomi-makro bukan satu-satunya perubahan penting. Lebih
mendasar lagi, orde politik baru tersebut juga mengenalkan rasionalitas baru
dalam perlakuan atas ruang-waktu di wilayah-kuasa negara, sebagaimana
ditampilkan oleh ketiga Undang-Undang tersebut di atas.
Untuk pertama kalinya, negara membingkai seluruh wilayah
berhutan sebagai ruang yang dikuasai negara lewat UU nomor 5/1967 di atas.
Pasal 2 UU tersebut menegaskan bahwa Hutan Negara mencakup hutan-hutan yang
baik berdasarkan Peraturan Perundangan maupun Hukum Adat dikuasai oleh
Masyarakat Hukum Adat. Dengan kata lain, pengakuan hak atas wilayah-wilayah
menyejarah berdasarkan relasi sosial adati atas tanah dalam UU Pokok Agraria 1960
kehilangan kekuatan atau nilai kedakastralnya. Penjelasan umum dari UU
nomor 5/1967 butir 2 dan 3 menyebutkan dasar pertimbangan dari adanya
instrumen undang-undang tersebut adalah “makin majunya ekspor hasil hutan
serta makin banyaknya permintaan dari luar negeri; serta makin majunya industri
yang menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku.”
UU nomor 11/1967 tentang ketentuan-ketentuan
pokok pertambangan, meniadakan penekanan dalam UU/Perpu nomor 37/1960 pada
kualifikasi yang berhak melakukan penambangan, yaitu “asal kewarga-negaraan
Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang pengurusnya adalah
warga-negara Indonesia seutuhnya”.[5] Sama seperti pembalikan logika politik
dari UUPA/1960 lewat UU nomor 5/1967, UU nomor 11/1967 membalik sikap nasionalisme
ekonomik dalam UU/Perpu nomor 37/1960 yang disusun sejak 1951 untuk
menggantikan Indische Mijnwet.
Dalam konteks valorisasi ulang wilayah-wilayah kepulauan,
penghapusan “lunak”keabsahan ruang berdasar hukum adat dalam UU nomor 5/1967
adalah setara dengan penghapusan pengakuan hukum terhadap relasi sosial atas
tanah yang bersifat “ekso-ekonomik” atau “pra-kapitalis”.
Sementara itu, penghapusan syarat asal-usul “warga
negara” dalam UU nomor 11/1967, pertimbangan permintaan ekspor produk kayu dalam
UU nomor 5/1967, serta fasilitasi investasi asing dalam UU nomor 1/1967
memadukan orde baru alokasi ruang ke dalam rerantai produksi-nilai global.
Dengan logika yang sama, di tahun 1968 rejim Suharto memberikan konsesi
grosiran kepada armada penangkapan ikan tuna Jepang untuk beroperasi di seluruh
Laut Banda.[6]
Perluasan monopoli
kuasa atas situs produksi-nilai dalam sirkuit kapital Bumi
Rejim politik-tani baru tersebut di atas tak sekedar
merupakan pembalikan logika politik tani populis di episoda republik
pasca-kolonial sebelumnya. Beberapa perkembangan berikut ini menunjukkan
beberapa gejala baru dalam evolusi proses kapital yang menyarankan perlunya
dipertimbangkan kembali cakupan dari apa yang hendak dicapai oleh sebuah
gerakan politik-tani progresif.
Dalam dua setengah dekade setelah paruh kedua 1960an,
perluasan ekstrasi rente dari petak-petak daratan dan perairan kepulauan,
khususnya di kedua cabang produksi nilai utama yaitu pertambangan—termasuk
pertambangan hidrokarbon—dan kehutanan, menjadi salah satu tumpuan pemasukan
kas negara yang terpenting. Dompet negara dikelola dengan parameter kesehatan
moneter yang sedikit sekali kaitannya dengan daur metabolisme sosial dari
penduduk pulau-pulau situs ekstrasi.
Di satu pihak, mekanisme “osmosis” dari situs surplus ke
Jakarta, tanpa disertai dengan mekanisme distribusi surplus yang sesuai dengan
tuntutan metabolisme di masing-masing situs, menyebabkan adagium “tanah bagi
yang mengerjakannya” tak lagi menjamin syarat keadilan bagi si petani. Di lain
pihak, kalkulus redistribusi antar juridiksi untuk pemasukan kas negara, yang
memediasi kontras di antara propinsi kaya dan miskin bahan-mentah, tidak
merepresentasikan seluruh alir surplus di masing-masing wilayah juro-politik.
Di situs-situs ekstraksi bahan mentah utama di propinsi
Atjèh, Riau, Kalimantan Timur, Papua, kombinasi dari redistribusi pemasukan
rente ekspor bahan mentah dan pembesaran volumetrik dari produksi bahan dan
energi bahkan menghasilkan perumitan kemiskinan, krisis kesehatan rakyat, dan stagnasi
atau kemunduran tingkat pelayanan publik.
Jejak ruang-waktu dan identitas genetik dari rerantai
proses sosial-ekologis—seperti siapa yang memetik bagian terbesar dari surplus,
siapa mengkonsumsi bahan mentah di mana, bagaimana produksi bahan mentah di
satu wilayah menciptakan reduksi atau diskonto daya metabolisme sosial di situ
untuk generasi yang belum lahir, bagaimana mengurangi dampak kerusakan
fungsi-fungsi alam dan berapa lama dibutuhkan untuk memperbaikinya—hilang dari
pengamatan publik.
Di satu sisi, rendahnya porsi rente yang dapat dikutip
oleh pengurus negara di kedua sektor produksi nilai utama, yaitu
kehutanan-ekstraktif dan pertambangan menunjukkan pelemahan representasi
kepentingan politik warga masyarakat dalam cakap ekonomi kebangsaan. Di sisi
lain, representasi binèr dari evolusi rerantai operasi kapital vs. pudarnya
negara-bangsa di 1990an (Ohmae, 1995) merèmèhkan pentingnya kendali politik
negara atas penduduk dalam perluasan medan-integrasi produksi-konsumsi. Kasus
regionalisme negara-negara ASEAN, yang sekarang berujung pada “kemitraan
ekonomi menyeluruh Asia timur” (CEPEA), memberikan gambaran yang baik mengenai
awètnya politik kenegaraan.
Politik-Tani Baru Sebagai Subordinat Dari Perluasan
Domain Akumulasi
Domain arena politik tani pra-Orde Baru, yang
berfokus pada relasi-spasial dyadic yang menautkan situs tani dengan lokasi
kontrol penguasaan tanah in-absentia, menjadi terlalu sempit untuk
merepresentasikan difusi spasial yang baru. Perluasan rerantai
produksi-konsumsi bahan dan energi dalam orde politk-tani baru mencakup wilayah
geografis yang jauh lebih luas, serta jejaring situs-situs kontrol
institusional yang jauh lebih rumit. Apa yang dirampas lewat mekanisme keuangan
atau realokasi fungsi ruang bukan saja ruang produksi tani dan wilayah-kuasa
adati, melainkan juga cadangan ruang pendukung reproduksi tani manusia di
daratan dan perairan setiap pulau. Cakupan spasial untuk membalik perambatan
pencaplokan ruang tersebut menjadi lebih besar daripada situs pertanian atau
desa-desa tani saja.
Medan reforma sekarang adalah jejaring
situs-situs produksi nilai yang melahap ruang mukim dan lahan cadangan, serta
meracuni tanah, air dan udara.
Pemusatan penguasaan tanah di Indonesia sejak Suharto
juga berlangsung dalam konteks dominasi kapital keuangan. Jaringan sistem
kredit Bumi mendorong dan melancarkan penyatuan pasar lahan pada skala
regional, lewat perpipaan bank-bank raksasa yang menyatukan pasar kredit
investasi dengan bursa saham, pasar bond , dan perbankan eceran. Alir
keuangan yang jauh lebih cair tersebut membuka jalan ke petak-petak situs
produksi bahan mentah di pedesaan maupun kampung-kampung pinggir kota yang
sebelumnya adalah situs produksi tani-pangan penting.
Jakarta merupakan situs utama dari proses kapital
tersebut. Pengusiran besar-besaran warga kampung-kampung kota di kawasan
“segi-tiga emas” Kuningan di pertengahan 1980an untuk mengakomodasi investasi
asing raksasa di sektor properti memberikan efek percontohan untuk proyek “super-block” sejenis
di Jakarta dan di kota-kota lain. Dalam konteks politik tani, cerita dari
sektor properti kota seperti ini melemahkan logika survival untuk
masuk kota di antara musim tanam dan musim panen—siasat migrasi ulang-alik dari
buruh-tani.
Sejauh menyangkut kapital keuangan, di samping
dominasinya dalam proses perluasan perampasan ruang, logika akumulasi dari
proses perluasannya baik menjadi pertimbangan. Untuk menjaga kelangsungan
akumulasi, dibutuhkan jalan keluar yang tidak ada pada ruang operasinya semula,
yaitu perluasan domain spasial dari operasinya. Untuk bisa merepresentasikan
potensi tersebut, harus dilakukan valorisasi atau re-valorisasi dari sang objek
(lihat Gambar 1).
Gambar 1. Evolusi
Cakupan Sumber Surplus dalam Medan Perluasan-Ekonomik Bumi [7]
Dalam empat dekade terakhir, destabilitasi proses-proses
alami telah mendorong pemeriksaan kembali instrumentalisme ekonomik sebagai
gangguan bagi reproduksi masyarakat manusia dan fungsi faal alam. Meskipun
begitu, bangkitnya penolakan dan membanjirinya peringatan dari kalangan
otoritas keilmuan tersebut juga berlangsung pada zaman revolusi instrumentasi
kapital keuangan. Pembesaran aliran dana konsumsi, termasuk transfer
payment dan asuransi di dalam sirkuit perbankan, serta penghapusan sekat di
antara sirkulasi bank investasi dengan sirkulasi simpan-pinjam lokal, mencaplok
mekanisme penunjang kesejahteraan warga-negara menjadi bagian dari sirkulasi
untuk akumulasi.
Satuan luas lahan Cartesian sendiri melemah
maknanya sebagai basis inventory dari ruang produksi tani—salah
satu numeraire vital dalam kritik terhadap politik tani maupun
rumusan geometris dari tuntutan perombakan kuasa atas tanah—karena dua
perkembangan berikut. Pertama, relasi-nilai sepetak lahan dalam rejim orde
politik-tani-baru mencakup sumber rente yang jauh lebih majemuk dan dinamis
dibandingkan imajinasi di balik Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Rente diferensial dari sepetak lahan yang rendah
produktivitas taninya sekarang harus dipertimbangkan di hadapan lapisan-lapisan
peta potensi rente dari kandungan mineral, hidrokarbon, nilai derivatifnya,
atau infrastruktur ekologis yang dibarangkan sebagai “jasa layanan alam”.
Perkembangan kedua yang tak kalah pentingnya, ketiga
Undang-Undang di awal rejim orde baru tersebut di atas menggeser konteks sosial
dari soal rente absolut. Dalam konteks populisme “Narodnik” di awal 1960an,
masalah sentral adalah relasi kelas parasitik dari pemilik tanah dengan petani
gurem dan buruh tani.
Dalam konteks liberalisasi rentier setelahnya,
negara membarui monopoli hak atas ruang untuk mendapatkan rente berlapis atas
petak muka Bumi.
Sementara prinsip eminent domain mengacu pada
pengambilalihan milik pribadi untuk kegunaan umum—dengan bayaran atau
kompensasi, akuan negara atas situs produksi kehutanan, pertambangan,
atau real estate perkotaan berwatak calo.
Reklamasi hak atas sepetak muka Bumi saja, seperti agenda
redistribusi lahan berhutan atau bekas hutan bagi komunitas-komunitas
asli—hanya bersifat semacam transfer payment lewat hak mengutip atau
mengeruk rente komunitas, tanpa mengubah logika perluasan
produksi-konsumsi bahan dan energi. Tidak mengherankan bahwa dalam satu dekade
terakhir setelah Suharto, terus bermunculan label-label apologetik seperti
koperasi penebangan-hutan-untuk-eskpor-oleh-orang-kampung;
pertambangan-emas-yang-baik-atas-nama-kampung-pemilik-hak ulayat;
koperasi-tambang-batu-bara milik-putra-daerah;
perkebunan-monokultur-oleh-kami-sendiri; dan seterusnya. Di lain pihak,
sekarang terjadi pengaliran uang kompensasi pembesaran emisi dari industri
negara utara ke komunitas penjaga hutan di pulau-pulau gemuk-karbon
di Indonesia, sebagai mekanisme-politik atau keuangan dari kapital industri
untuk mengingkari tanggung-jawab penurunan emisi gas rumah-kaca di pabrik
sendiri.
Lebih jauh lagi, pemetaan menyeluruh dari sistem-sistem
ekologis Bumi beserta kunci dari mekanisme reproduksinya telah mendorong (re)valorisasi
ekosfera. Baik gejala krisis maupun perluasan investasi yang mendorong
pendalamannya sekarang menjadi wilayah depan akumulasi nilai. Kerusakan
ekologis tidak serta merta buruk bagi proses akumulasi lewat kapital
keuangan. Domain ke III dalam gambar 1 di atas menunjukkan tahap evolusi
sekarang dalam cakupan domain pembarangan/komodifikasi.
Ketiga perkembangan utama sejak orde politik-tani baru di
akhir 1960an di atas—pembebasan dan transformasi alir kapital untuk perampasan
ruang (a), pengabaian relasi dan nilai non-ekonomik dari rerantai proses sosial
dan alam (b) dan pembesaran ruang integrasi-ekonomik serta domain sumber
surplus (c)—takkan bisa dihadapi hanya dengan transfer aset tanah kepada subjek
tani-kecil/keluarga. Politik-tani tandingan juga akan harus merespon perubahan
dalam moda operasi negara, pengurusan rerantai ekonomik, dan pengurusan publik.
Transformasi
praktek institusional pengurusan alir kapital dalam rejim politik-tani baru
Citra tentang pesatnya perluasan lahan-tani untuk
ekstraksi rente juga memunculkan pertanyaan, apakah selama empat dekade
terakhir ini juga terjadi reorganisasi serta penguatan instrumentasi dalam
operasi dari lembaga-lembaga negara dan internasional, yang berpengaruh pada
dinamika perampasan ruang. Beberapa petunjuk berikut memberikan konfirmasi atas
pertanyaan tersebut.
Fasilitas
Perluasan Pendudukan Ruang
Pada skala Bumi, penguasaan lahan besar-besaran tengah
berlangsung dengan kecepatan penuh. Di antara 2005-2009, 20-50 juta hektar
tanah-ladang di negeri miskin berpindah tangan ke perusahaan. Lebih dari 100
milyar dolar digunakan untuk akuisisi tanah-tani seluas +50 juta
hektar.[8]
Di Indonesia, industri tani-sawit dan industri tambang
memberikan contoh yang jelas mengenai reorganisasi peran negara dalam
melancarkan alir kapital dalam orde tani-baru.
Tabel 1 menunjukkan angka perluasan kebun-industri sawit
di Indonesia.
Tabel 1. Perluasan Kebun Sawit, 1967-2007 [9]
1967-1977: + 0.1 juta ha
1977-1987: + 0.5 juta ha
1987-1997: + 2.3 juta ha
1997-2007: + 3.7 juta ha
Sebagian besar dari tanah caplokan tersebut tak segera
digarap, semacam stok lahan perusahaan-perusahaan raksasa. Komisi Sawit
Indonesia memperkirakan bahwa perusahaan-perusahaan swasta telah mengakumulasi + 3.3
juta hektar tanah yang tidak diolah, menunggu saat datangnya keadaan keuangan
dan ekonomi yang tepat. Di Indonesia perusahaan diijinkan memiliki lebih
daripada 100 ribu hektar. Sementara itu tidak ada larangan pendirian
perusahaan-perusahaan baru oleh korporasi keuangan untuk mendapatkan tanah
tambahan.[10]
Contoh dari industri sawit tersebut di atas menunjukkan
dimensi waktu dari perampasan ruang, yang lebih sedikit mendapatkan
perhatian dalam kritik terhadap rejim tani-baru sekarang. Ketentuan politik
orde-tani-baru bukan saja membolehkan, tetapi juga melancarkan pemusatan
pemilikan untuk jangka-waktu yang sangat panjang.
Sektor industri tambang memberikan ilustrasi terbaik
mengenai hilangnya ruang-waktu bagi subjek tani oleh penghibahan hak
monopoli atas ruang-waktu. Gambar 2 di bawah ini menunjukan bagaiman U.U.
nomor 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batu-bara melancarkan perluasan
monopoli ruang untuk operasi industri tambang. Luas kumulatif dari seluruh
situs operasi tambang pada saat ini adalah sekitar 60 juta hektar, lebih
dari 30% luas daratan kepulauan. Menjelang akhir kepresidenan Suharto,
jumlah ijin usaha pertambangan adalah + 1000. Satu dekade setelah
rejim otonomi pengurusan kabupaten/kota berjalan sekarang, telah dikeluarkan
10,235 ijin baru.
Sektor pertambangan minyak dan gas memberikan ilustrasi
dramatis mengenai penciptaan ruang-ruang residual tersebut. Determinasi
pencaplokan ruang lewat hibah hak monopoli penggunaan ruang kepada industri
minyak dan gas sepenuhnya bertumpu pada peta rekonstruksi geologis dari
distribusi cebakan hidrokarbon, yang diproyeksikan pada kartografi muka bumi.
Berkat jasa dari otoritas perpetaan geologis utama seperti Dinas Geologi AS
(USGS), wilayah Asia Tenggara dibagi habis menjadi 63 propinsi geologis dengan
informasi cadangan hidrokarbon, dan wilayah kepulauan Indonesia dibagi habis
menjadi 35 propinsi geologis.
Gambar 2. Hibah
Ruang-Waktu Lewat Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Dalam U.U. no.4/2009 [11]
Penjelasan: Grafik di sebelah kiri menunjukkan
rentang-waktu yang dihibahkan pada perusahaan tambang untuk setiap tahapan.
Grafik di sebelah kanan menunjukkan bentang ruang maksimum yang dihibahkan pada
perusahaan tambang untuk setiap tahapan.
Bencana-industrial peluapan lumpur yang bermula
dengan underground blow-out di sumur Banjarpanji 1 milik PT Lapindo
di kabupaten Sidoarjo, misalnya, berada di dalam bingkai propinsi geologis
nomor 3809.[12] Di dalam propinsi geologis yang
sama, kurang-lebih dua pertiga wilayah propinsi Jawa Timur dibebani
dengan superimposisi blok operasi tambang minyak dan gas. Perairan dan
daratan pulau Madura nyaris seluruhnya menjadi situs operasi tambang minyak dan
gas. Ruang-operasi tani dengan kelengkapan jejaring akuifer dan
sistem-ekologis-tanahnya, dan ruang hidup bagi + 37 juta warga
propinsi, de facto diperlakukan sebagai ruang saja.
Gambar 3 di bawah ini menunjukkan sebaran blok operasi
minyak dan gas untuk propinsi Jawa Timur.
Gambar 3. Cakupan
Blok Situs Operasi Industri Minyak dan Gas di Propinsi Jawa Timur
Sumber: BP Migas.
2010. WKP 2010.
Seperti halnya kasus Jawa Timur, ruang-ruang pendukung
kehidupan manusia di masing-masing pulau di Indonesia dapat disebut
sebagai ruang residual dari situs-situs produksi surplus.
Menjelang krisis ekonomi Asia di paruh kedua 1990an,
perhimpunan ASEAN sendiri telah menjadi mekanisme politik pencaplokan wilayah
pulau-pulau besar di Indonesia sebagai situs produksi “bersama” antar negara
anggota perhimpunan. Rencana pengembangan Wilayah-Pertumbuhan-Asia-Timur yang
melibatkan Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Filipina (BIMP-EAGA)
misalnya, memaparkan dalam dokumen-dokumen perencanaannya, bahwa agar keempat
negara mendapatkan manfaat komparatif optimum, Indonesia harus menyediakan
tanah-tanah berskala besar yang disiapkan sebagai situs investasi bersama,
lewat tiga mekanisme pembiayaan utamanya yaitu foreign direct investment, portofolio
investment dan kredit bank.[13]
Ketika Asia, khususnya Asia timur, masuk ke dalam episoda
krisis sejak 1998, rontoknya nilai tukar mata-uang negara-negara anggota ASEAN menjadi
peluang emas untuk akuisisi aset lahan dan bisnis di negara-negara tersebut.
Indonesia berada di posisi teratas dalam nilai akuisisi intra-ASEAN
pasca-krisis tersebut, terutama di sektor primer (kebun sawit dan tambang),
1,010 juta dolar.[14]
Penyatuan
Situs-Situs Produksi Surplus Asia Timur
Belajar dari tidak adanya mekanisme kolektif untuk
menghadapi krisis ekonomi Asia di akhir 1990an, episoda perluasan ekonomik Asia
Timur berikutnya ditandai dengan integrasi spasial yang lebih ambisius. Sepuluh
negara anggota ASEAN sekarang berkongsi dengan RRC, Jepang dan Korea Selatan
(ASEAN+3) membentuk fakta dagang Wilayah Perdagang Bebas Asia Timur. Sementara
RRC dan Federasi Rusia menguatkan kendalinya pada wilayah Eurasia dengan
Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), Jepang memimpin Kemitraan Ekonomik
Menyeluruh untuk Asia Timur (CEPEA), beranggotakan tiga-belas negara dalam
ASEAN+3 serta India, Australia dan Selandia Baru.
Basis pemikiran pokok dari gagasan dan turunan model
mengenai integrasi ekonomik untuk Asia, khususnya Asia Tenggara, berpusat pada
teori “Geografi ekonomik baru”/GEB[15] dengan model-model potensi aglomerasi
produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model
“pusat-pinggiran” yang baru, eksternalitas positif, serta berbagai efek maupun
pendorong aglomerasi perluasan ekonomik. Jepang sebagai pemimpin prakarsa CEPEA
juga mendorong kampanye moda bagi-kerja antar negara yang baru dengan
pendekatan yang sama. Di akhir 2011 yang lalu IDE/JETRO—thinktank pemerintah
Jepang—bersama Organisasi Dagang Dunia (WTO) meluncurkan prakarsa “Made in
the World” di Paris. Fragmentasi rantai-pasokan bahan dan barang dalam
produksi industrial sekarang menuntut kesediaan negara-negara untuk mengubah
peran, dari produsen barang menjadi pemasok fungsi dalam proses dan rantai
penciptaan nilai yang berkaki di banyak lokasi.
Meskipun menggunakan istilah “baru”, teori GEB
sesungguhnya tidak mengandung perbedaan mendasar dari pendekatan umum ekonomika
neoklasik, yang menaruh perdagangan sebagai arena utama dari pemeriksaan dan
pengurusan. “Terobosan” dalam aglomerasi dalam hal ini juga bukan sebuah solusi
permanen, tetapi sementara. Demikianlah pula, kerangka konseptual GEB bersandar
pada seperangkat sikap pikir dan asumsi lama mengenai firma, manfaat/utility,
serta daur-bisnis dalam kaitannya dengan perluasan usaha.
Dari titik berangkat yang menaruh seluruh rerantai
ekonomik sebagai subset dari rerantai sosial dan rerantai ekologis, tidak ada
sedikipun pencerahan dalam teori GEB tentang kerangka ruang-waktu diferensial
dari sebuh wilayah hidup.
Dengan kata lain, chronotype dan spatiotype geografi
“baru” tersebut mengacu pada kerangka ruang-waktu rerantai ekonomik semata.
Sumber inspirasi dari GEB memang bukanlah pemburukan krisis yang menuntut pembaruan
sikap pikir tentang penggunaan ruang dan waktu, melainkan peluang yang jauh
lebih besar bagi akumulasi kekayaan lewat pembebasan alir kapital dari
ketentuan-ketentuan pengurusan publik ekso-ekonomik.
Salah satu hambatan utama bagi pendekatan perencanaan
aglomerasi skala raksasa adalah “efek batas juridiksi wilayah pengurusan
publik” (border effect). Dalam model biaya transportasi dari teori GEB,
efek batas negara/teritori/wilayah pengurusan tersebut dapat dikonversi
ke dalam pembesaran jarak dan biaya transportasi antar wilayah. Adanya
beda policy dalam soal perdagangan, investasi industrial, pembiayaan,
moneter, dan fisikal di antara dua wilayah negara dapat menghambat aglomerasi
dan karenanya sebisa-bisanya harus ditiadakan. Pertimbangan ini mendorong
perumusan kesepakatan regional di Asia Timur untuk menghapuskan berbagai
regulasi tapal batas, termasuk regulasi yang melindungi keselamatan dan
keamanan manusia serat keutuhan ekologis jangka panjang. Teori GEB sendiri
menunjukkan kemungkinan munculnya wilayah-wilayah “bayang-bayang aglomerasi” (agglomeration
shadow) di sela-sela pusat produksi-konsumsi hasil aglomerasi, di mana yang
terjadi di sepanjang proses aglomerasi justru penurunan penciptaan nilai dari
kegiatan ekonomi domestik.
Dominasi Lex
Mercatoria
Transformasi rejim tata-guna tanah di Indonesia sejak
paruh kedua 1960an, beserta pengembang-biakan instrumentasi utamanya, yaitu
kartografi ekonomistik berbasis monopoli penggunaan petak-permukaan-Bumi, tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan lex mercatoria, rejim hukum yang
dirintis oleh para saudagar di Eropa abad pertengahan, dalam bentuk protokol
yang mengatur transaksi dagang sesamanya.
Ujud kontemporer lex mercatoria adalah berbagai
traktat, organisasi—khususnya yang menyangkut perdagangan dan arbitrasinya, dan
instrumen regulasi transaksi komersial lain. Rejim tani-pangan global adalah
salah satu medan penguatan lex mercatoria pada tataran
trans-nasional, yang bekerja dengan kombinasi dengan berbagai protokol
regulasi dari dalam keluarga PBB, sindikal komersial, dan pakta-pakta
kesepakatan pada tingkat regional dan nasional.[16]
Pembebasan sekat-sekat antar negara untuk kelancaran alir
barang produk tani dan kapital secara umum, lewat kesepakata seperti pakta
perdagangan bebas Asia Timur, kesepakatan perhimpuan ASEAN, atau kongsi
ekonomii CEPEA, bukan saja melayani pembebasan arus perdagangan, tetapi juga
melemahkan rejim hukum nasional, terutama yang menyangkut proteksi warganegara
dari efek negatif perluasan ekonomik atau infrastrukturnya. Seperti halnya
dengan episoda awal dari perkembangan lex mercatoria menjadi bagian
dari hukum perdata di Eropa, sekarang di Indonesia dan di Asia tenggara kita
bisa memetakan bagaimana ciri-ciri lex mercatoria menjelma lewat
instrumen-instrumen hukum, mekanisme pengurusan, dan institusi kenegaraan.
Dalam konteks orde tani-baru pasca 1960an, undang-undang bahkan memberikan hak
pada pengurus negara untuk mengurung warga-negara yang menolak melepaskan tanah
milik pribadi atau kampung untuk menjadi situs investasi kapital—di bawah
ketentuan politik “pengadaan lahan bagi kepentingan pembangunan”.
Lex mercatoria bertumpu pada logika bahwa korporasi
dan proses bisnis mampu mengatur diri-sendiri. Anggapan ini sebagian benar.
Pengelolaan korporasi membela kepentingan perusahaan dengan mendorong
transparansi alir keuangan, mencegah transaksi gelap antara perusahaan dengan
pengurus negara, dan mempromosikan kriteria keberlanjutan usaha dengan
pertimbangan aspek sosial atau ekologis. Cabang produksi nilai yang paling lapar
lahan dan berdaya rusak tinggi seperti pertimbangan pun coba-coba bicara
transparansi dengan melibatkan banyak pihak.
Masalahnya, ketika kriteria kelayakan, parameter
ketaatan, dan cakupan tindakan koreksi ditentukan dari dalam dunia dagang
sendiri, sama-sekali tidak ada jaminan apakah ketiganya selaras dengan logika
keselamatan manusia atau keutuhan fungsi alam. Begitu pula, ketika sistem
regulasi-otonom dari dunia dagang bahkan tidak mampu mendeteksi datangnya
krisis akut seperti krisis Wall Street 2008, yang terjadi bukanlah kegagalan pasar menjalankan
fungsi optimumnya, melainkan bangkrutnya pretensi bahwa kapital industri dan
keuangan sebagai rerantai sosial otonom mampu mengatur tabiatnya sendiri
melawan logika akumulasi dalam denyut jantungnya sendiri.
Perekahan Ekologis
Pembesaran allometrik dari produksi-konsumsi bahan dan
energi metabolik, sekarang dihadapkan pada pembesaran telapak spasial yang
mengikuti logika akumulasi. Uraian di depan menunjukkan bagaimana proses
pembungkaman logika reproduksi beserta representasi spasialnya yang bercorak
allometrik berlangsung dalam empat dekade ini. Kata kunci perekahan
ekologis mengacu pada bentrokan di antara corak adaptasi allometrik dari
daur reproduksi alam beserta masyarakat manusia di satu pihak, dengan corak
pelahapan ruang ad infinitum dari perluasan produksi-konsumsi bahan
dan energi di lain pihak.[17]
Dalam rentang-ruang-waktu yang persis sama dengan usia
rejim-tani-baru pasca 1960an, pembesaran jumlah penduduk telah mendapatkan
“kredit kesalahan” lebih besar daripada yang layak diterimanya. Perekahan
ekologis memberikan bukti tandingan yang sulit dibantah.
Untuk kepulauan Indonesia, cerita rontoknya sistem-sistem
daur air utama sejak awal 1980an sampai akhir kepresidenan Suharto sedikit
sekali berkorelasi dengan percepatan pertumbuhan penduduk di wilayah-wilayah
aliran air tersebut.[18] Bagaimana dengan wilayah daratan pulau di seluruh
Indonesia yang jatuh ke tangan koroporasi raksasa sebagai situs produksi nilai
yang tidak melayani metabolisme manusia dan alam di situ?
Pertimbangan pulau Jawa, kemah-konsentrasi utama penduduk
kepulauan. Di situ, rontoknya daya reproduksi sosial dan kesatuan-kesatuan
sosial ekologis menyejarah yang tadinya mengurus produksi-konsumsi pangan dan
airnya sendiri tidak mungkin diatasi lewat pengurangan pertambangan penduduk
dengan migrasi penduduk ke luar pulau dan atau pembatasan kelahiran. Harus
diperiksa kembali logika pembesaran rerantai produksi-konsumsi bahan dan
energi, dalam ujud urbanisme parasitik yang dipuja-puji sampai sekarang.
Seperti halnya dengan absennya penjelasan mengenai duduk perkara politik dari
gejala involusi ruang-operasi kelas pekerja-tani yang belum dilahirkan
telah didorong oleh vektor-perluasan ekonomik dengan infrastruktur politiknya;
bukan karena terlalu besarnya jumlah penghuni kepulauan.
Pembesaran kegawatan ruang-ruang hidup di Indonesia
mencerminkan keadaan mutakhir dari holarki kesatuan-kesatuan sosial-ekologis
menyejarah Bumi. Krisis berubahnya keajegan klimatik dari ekosfera sekarang,
misalnya, telah dikiaskan sebagai sebuah “badai moral yang sempurna”, di
tengahnya sulit bagi siapapun untuk menentukan arah tujuan.[19] Elemen kunci
dari badai tersebut adalah masalah daya-tindak, godaan untuk
melemparkan masalah ke generasi yang belum dilahirkan, dan ketidak-mungkinan
untuk menerapkan teori-teori politik yang ada.[20]
Pembaruan politik
tani atau rekonsitusi subjek sejarah dan ruang-hidupnya?
Seluruh catatan di depan mencoba menunjukan bahwa sebuah
pemeriksaan yang agak lengkap atas dinamika politik-tani di kepulauan Indonesia
paling tidak harus mencakup status dari fungsi-fungsi reproduksi kemanusiaan
dari prosumer tani, fungsi-fungsi faal dari kepulauan perairan Indonesia, serta
keragaman camera obscura dalam tafsir dan mediasi perubahan.
Pertanyaan di akhir catatan ini menyangkut kelengkapan
syarat-syarat belajar untuk memperbarui dan memperkuat perlawanan terhadap
perusakan. Agenda perombakan agararia macam apa harus tumbuh besar di
Indonesia. Perombakan atau pembaruan agraria sendiri mengundang pertanyaan
mengenai kecukupan dari agenda belajar dan koreksinya, di hadapan domain dan
rentang krisis sosial-ekologis sekarang.
Pentingnya koreksi skala Bumi terhadap vektor pendorong
perekahan ekologis beserta seluruh kontradiksi kemanusiaannya tidak memerlukan
banyak komentar tambahan. Meskipun demikian, kriteria dari apa yang semestinya
tercakup dalam tindakan koreksi tersebut bersifat genting. Fokus pada
redistribusi petak-petak ruang produksi-tani kecil saja jelas tidak berwatak
korektif, karena kemajuan dari sirkuit-sirkuit kapital keuangan sekarang.
Fantasi para pengurus negara di bawah kepresidenan
Yudoyono, bahwa redistribusi macam itu setidaknya akan menjadi lubang katup
pelepas amarah warga-negara di situs perkebunan, pertambangan atau real-estate perkotaan
sesungguhnya tidak masuk akal, karena sebab-sebab yang diuraikan di depan. Hari
ini, redistribusi tanah secara terbatas bagi petani kecil dan rakyat jelata di
sekeliling situs-situs pembongkaran bentang alam terdengar seperti penerapan
yang buruk dari resep Hernando De Soto untuk sertifikasi tanah-tanah pemukiman
liar di negara-negara miskin, menjadikannya bankable dan transferable.
Sebagai pembanding, di tahun 2004 Presiden Filipina
Arroyo menerapkan gagasan De Soto untuk membebaskan nilai lahan permukiman liar
sebesar 100 milyar dolar, dengan sertifikasi tanah pemukiman liar, sekitar 57%
dari penduduk perkotaan Filipina. Dengan tumpang-tindih peraturan dan wewenang
antar badan pengurus publik, dibutuhkan 13 sampai 25 tahun untuk
melaksanakannya.[21] Di sejumlah negara miskin di selatan, dan di halaman
belakang De Soto sendiri di Peru, pemukiman liar yang baru saja dilegalkan
ternyata hanya mendapatkan sedikit manfaat dari sertifikasi. Dari 200 ribu
lebih rumah-tangga di kota Lima yang mendapatkan sertfikasi tanah di tahun
1998-1999, hanya 24 persen yang telah mendapatkan hutang di tahun 2002, itupun
hampir semuanya dari kas negara.[22]
Untuk Indonesia, pertanyaannya adalah apakah sertifikasi
tanah, sebagai hipotek kredit bank, akan mendorong gerakan pembaruan
politik-tani. Agenda belajar yang mendesak sekarang adalah pemeriksaan kriits
atas arah promosi atau advokasi politik-tani tandingan yang menjadi pilihan
dari warga prosumer tani maupun organisasi-organisai partikelir yang gelisah.
Pembelaan kedaulatan atas ruang-hidup sekarang telah
menjadi arena perebutan ruang bagi mayoritas warga-negara. Dalam dua dekade
terakhir, pembesaran tekanan perampasan tanah dan air di kepulauan , yang telah
menciptakan potensi perlawanan balik dari subjek yang terampas ruang-hidupnya,
juga dihadapkan pada ketidak-mampuan kolektif untuk menemukan basis solidaritas
kemanusiaan di tengah kesamaan derita, dan telah berhujung pada serangkaian
perang terbuka atau diam-diam sesama rakyat jelata di berbagai pulau, dengan
atau tanpa provokasi.
Dalam satu dekade ke depan sulit membayangkan perubahan
politik-tani akan datang dari dalam pengurusan negara, karena asal-usul kelas
dari awaknya maupun karena watak dari bangunan politiknya. Tuntutan
pekerja-tani untuk belajar bersama merebut syarat hidupnya sendiri akan terus
membesar, meskipun sangat boleh jadi bukan karena penguatan politik atau
mengecilnya fragmentasi intra-kelas, tetapi karena memburuknya krisis.
Kepustakaan
Althuser,
Louis. 1970. Idéologie et appareils idéologiques d’État. (Notes pour
une recherche)/Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes Towards an
Investigation). La Pensée, no 151, juin.
Bankoff,
Greg; Peter Boomgard. 2007. A History of Natural Resources In Asia.
Barthes,
Roland. 1981 (1967). The Discourse of History. Dalam Shaffer, E.
S. Comparative Critism: A Yearbook Volume 3, pp. 3-20. Cambridge:
Cambridge University Press.
Berman,
Paul S. 2002. The Globalization of Jurisdiction. U. Of Connecticut
School of Law Articles and Working Papers.
Bull,
Malcolm. 2012. What is the rational reponse?. LRB (34:10, 24
Mei 2012)
Carrión,
Jesús et al. 2009. European Union and Transnational Corporation: Trading
Corporate Profits for Peoples’ Right. Enlazando Alternativas.
Chester,
Marvin. 2011. A Law of Nature? Open Journal of Ecology Vol. 1, No. 3,
77-84,
Domhoff,
G. William. 2005. The Death of Autonomy Theory: A Critique of Skocpol’s
Soldiers And Mothers. http://www2.ucsc.edu/whorulesamerica/theory/skocpol.html.
Fairhead,
James, Melissa Leach; Ian Scoones. 2012. Green Grabbing: a new
appropriation of nature? Journal of Peasant Studies, 39: 2. 237-261
Fay,
Chip; Martua Sirait. 2005. Kerangka Hukum Negara dalam Mengatur Agraria
dan Kehutanan Indonesia: Mempertanyakan Sistem Ganda Kewenangan atas
Penggusuran Tanah. ICRAF Southeast Asia Working Paper, No. 2005_3
Foster,
John Bellamy, Brett Clark, and Richard York. 2010. The Ecological Rift:
Capitalism’s War on the Earth. New York: Monthly Riview Press.
Gardiner,
Stephen. 2011. A Perfect Moral Storm: The Ethical Tragedy of Climate
Change. Oxford: Oxford University Press.
Garver,
G. 2011. A Framework for Novel and Adaptive Governance Approaches Based on
Planetary Boundaries. Colorado State University, Colorado Conference
on Earth System Governance, 17-20 May 2011.
Giampietro,
Mario. 2005. Multi-Scale Integrated Analysis of Agroecosystem. Boca
Raton, FL, CRC Press.
Haug,
Wolfgang Fritz. 1984. Die Camera obscura des Bewusstseins. Kritik der
Subjekt/Objekt-Artikulation im Marxismus. Dalam Die Camer obscura der
Ideologie, Philosophie, Ökonomie, Wissenchaft. Drei Bereichstudien von
Stuart Hall, Wolfgang Fritz Haug und Veikko Pietilä.Argument-Sonderband, AS 70,
Berlin/West
Kaur,
Amarjit. 2004. Wage Labour in Southeast Asia since 1840: Globalisation,
the International Division of Labour and Labour Transformations. New
York: Palgrave MacMillan.
Korfman,
Sarah. 1998. Camera Obscura of Ideology. Ithaca, NY, Cornell
University Press.
Krugman,
Paul. Geography and Trade. Cambridge: MIT Press, 1991.
—.”Increasing
Returns and Economic Geography.” Journal of Political Economy.99 (1991):
483-99.
—.”The
New Economic Geography, Now Middle-Aged.” Meeting of the Association of
American Geographers (2010)
Lenin,
V. I. 1901. The Agrarian Question and the “Critics or Marx,
Ch.4. Zarya, Nos. 2-3, Dec. 1901
Lohmann,
Larry. 1997. Cost-Benefit Analisys Whose Interest, Whose Ratonality? Presentation
to the Yale University Program in Agrarian Studies.
Martinez-Alier,
Joan. 2011. The EROI of agriculture and its use by the Via
Campesina. Journal of Peasant Studies, 38:1, 145-160.
Ohmae,
Kenichi. 1995. The End of the Nation-State: The Rise of
Regional Economies. New York: Simon and Schuster Inc.
O’Neill,
D.W., Dietz R., Jones, N. (Editors). 2010. Enough is Enough: Ideas for a
sustainable economy in a world of finite resources. The report or the Steady
State Economy Conference. Center for the Advancement of the Steady State
Economy and Economic Justice for All, Leeds, UK.
Pereira
Machado, Diamantino. 1992. On the Autonomy of the State and the Case of
the Portuguese Estado Novo.
Ross,
Michael L. 2004. Timber Bombs and Institutional Breakdown in Southeast Asia.
Cambridge: Cambridge University Press.
Skocpol,
Theda. 1979. State and social revolutions: A Comparative Analisys of
France, Russia and China. Cambridge: Cambridge University Press.
Sudipto
Roy; Majumdar, Priyadarshi; Ghosh, Subhankar. 2011. A theoritical analysis
of the growth process of an organism and its dependence on various allometric
relations. Natural Science Vol.3, No. 9, 802-811.
Zhao
Chen, Ming Lu dan Zheng Xu. 2006. Core-Periphery Model of Urban Economic
Growth: Empirical Evidence form Chinese City-Level Data (1990-2006)
*)
Tulisan ini pernah dimuat di Sangkoyo, H. (2013). “Politik Tani di Indonesia“.
dalam Jurnal Studi Politik, Vol II, No.2, September 2013, hh.
58-74, Jakarta, Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia.
[1] Pelajar di School of Democratic Economic
[2] Camera Obscura (lit. Kamar gelap), semula digunakan untuk
menunjukkan pembalikan imaji dalam konteks fotogtafi, dipakai sebagai kiasana
dari pembentukan kesadaran-terbalik dalam telaah ideologi. Lihat, MECW 5, 36
(1975); Haug, W.F. (1984); Kofman (1999).
[3] Undang-Undang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 10 Tahun 1954
Tentang Nasionalisasi Bataviasche Verkeers Matschappij N. V. (b.v.m.)
(lembaran-negara Tahun 1954 No. 67 (UU 71 thn 1957).
[4] UU nomor 5/1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan
digantikan oleh UU nomor 4/1999, yang mengenalkan “jasa pelayanan lingkungan”
sebagai “fungsi produksi” hutan, yang dapat diusahakan oleh pribadi, koperasi, badan-badan
swasta atau milik negara. Desakan dari industri tambang menghasilkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU nomor 1/2004, yang menegaskan hak
beroperasi bagi perusahaan-perusahaan tambang yang sudah ada sebelum UU no
41/1999.
[5] UU/Perpu nomor 37/1960, penjelasan Umum butir 3.d.
[6] FAO. (tanpa tahun). The History of Industrial Marine
Fisheries in Southeast Asia.
[7] Sumber: SDE, 2012
[8] Institute for Food and Development Policy.(tanpa tahun). Fact
Sheet.
[9] Komisi Sawit Indonesia, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan,
2009.
[10] USDA. 2009. Commodity Intelligence Report.
[11] Sumber: SDE. 2011
[12] USG. (2009). Open File Report 97-470F.
[13] Situs BIMP-EAGA seluas 1,6 juta km persegi, dengan jumlah
penduduk 57.5 juta, mencakup seluruh kesultanan Brunei Darussalam,
propinsi-propinsi pulau Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua Barat dan Papua di
Indonesia, Negara Bagian Sabah dan Sarawak serta Teritori Federal Labuan di
Malaysia, dan pulau Mindanao serta propinsi Palawan di Filipina. Lihat
[14] Bartels, Frank L. 2004.
[15] Krugman (1991).
[16] Untuk uraian yang cukup luas pertimbangannya, lihat, mis. Berman,
Paul S. The Globalization of Jurisdiction, U. Of Connecticus School of Law
Articles and Working Papers, (2002). Untuk kajian yahg lebih kritis mengenal
bagaimana rerantai transnaional memperkuat kedudukannya di depan hukum, lihat,
Jesús Carrión et al. European Union and Transnational Corporation: Trading Corporate
Profits for Peoples’ Right. Enlazando Alternativas, 2009.
[17] Lihat Foster, J.B. et al (2010).
[18] Dari 89 satuan wilayah (pengurusan) sungai di seluruh kepulauan
Indonesia, angka satuan wilayah sungai utama berstatus rusak untuk tahun 1984,
1992, dan 1997 adalah 29/89, 39/89 dan 59/89 (DPU, berbagai
tahun). Laju pertumbuhan penduduk per annum untuk tahun-tahun
yang sama (%) adalah 2.12, 1.62, dan 1.38 (www.indexmundi.com/facts/indonesia/population-growth)
[19] Gardiner, S. (2011).
[20] Bull, M. (2012).
[21]Gil C. Cabacungan Jr. 2004.arroyo launches urban land reform. Inqurier
News Service,29/20/2004.
[22] Gravois, J. The De Soto Delusion. Slate, 29/01/2005.
Sumber: LPIK.Org
0 komentar:
Posting Komentar