M.C. Ricklefs*
Sumber-sumber Jawa primer menyingkap di balik julukan menggetarkan yang disandang salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa.
Lukisan Perang Jawa (1741-1743).
Foto: wikipedia.org.
RADEN Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I, pahlawan nasional Indonesia, punya julukan legendaris: Pangeran Samber Nyawa. Dulu, saya membayangkan julukan itu mungkin berasal dari salah satu peristiwa penuh kekuatan gaib. Ternyata tidak.
Di antara tokoh-tokoh Jawa terkemuka pada abad ke-18, ada dua yang legendaris: Pangeran Mangkubumi yang menjadi Sultan Yogyakarta Hamengkubuwana I (bertahta 1749-1792) dan Pangeran Mangkunagara I (1726-1795), pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta pada 1757. Di era penuh konflik dan perang saudara yang sangat berdarah, kedua tokoh itu menonjol sebagai pemimpin yang luar biasa.
Mangkunagara memihak kaum pemberontak sejak 1740 (waktu berumur 14 tahun) dan terus berjuang hingga tahun 1757 (umur 31 tahun). Musuh-musuh utama pada awalnya adalah Susuhunan Pakubuwana II (bertahta 1726-1749) dan Kompeni Belanda (VOC).
Semula Mangkubumi menentang Mangkunagara. Sesudah Mangkubumi sendiri memberontak tahun 1746, mereka bersekutu melawan Keraton Surakarta dan VOC. Mangkubumi adalah pemimpin senior, sedangkan Mangkunagara memainkan peranan sebagai panglima besarnya (senapati). Jelas bahwa Mangkunagara merupakan salah satu pemimpin militer paling berbakat dan berpengalaman sepanjang sejarah Jawa. Pengikut loyal dan pengagumnya sangat banyak.
Dua pangeran bergabung merupakan kekuatan paling besar dan berbahaya yang pernah dihadapi Kompeni Belanda di Jawa. Selama “Perang Suksesi Jawa III”, tanah dan rakyat Jawa sangat dirugikan. Tapi, pada 1752-1753, dua Pangeran itu berpisah dan berperang satu sama lain.
Perpecahan itu melahirkan situasi baru yang menguntungkan VOC. Namun pada akhirnya Kompeni mengakui tak mungkin menang dalam perang saudara yang semakin rumit itu. Taruhannya, dana dan korban jiwa sangat tinggi, baik bagi orang Jawa maupun orang Eropa dalam tentara VOC. Alhasil, pada 1755, dalam Perjanjian Giyanti, pihak Belanda menyetujui tuntutan-tuntuan Mangkubumi untuk membagi kerajaan Jawa menjadi dua: Surakarta dan Yogyakarta.
Sejak itu, Mangkunagara ditinggalkan tanpa sekutu yang berarti dan menghadapi situasi berbahaya. Tapi Sang Pangeran terus berperang.
Dari tahun 1755 sampai 1757, dengan berakhirnya perang antara keraton Surakarta dan Mangkubumi, kerajaan Surakarta mulai menjadi lebih makmur. Tapi Susuhunan Pakubuwana III (baru berumur 25 dan hampir tanpa pengalaman perang) harus mengakui kelemahannya dibandingkan pamannya, Sultan Mangkubumi, di Yogyakarta (yang berumur 40 dan sangat berpengalaman). Jadi, dia mengundang Mangkunagara (berumur 31 dan seorang prawira terkemuka) untuk berdamai dan berdomisili di Surakarta demi memperkuat kerajaannya. Alhasil, Mangkunagara masuk Surakarta, melepaskan kehidupan perang dan menjadi seorang Pangeran Miji –seorang pangeran yang lebih tinggi derajatnya daripada semua pangeran lain.
Kompeni Belanda setuju dengan perdamaian itu: mereka sudah mengakui bahwa tak mungkin mencapai tujuan utamanya, yaitu membunuh Mangkunagara. Sultan Mangkubumi marah atas perdamaian antara keraton Surakarta, Mangkunagara, dan pihak Belanda, tapi dia harus menyesuaikan diri.
Selama hidupnya di Surakarta, Pangeran Mangkunagara –yang boleh kita sekarang namakan Pangeran Mangkunagara I, pendiri pura dan trah (keturunan) Mangkunagaran– menghadapi situasi-situasi baru. Kehidupan damai sangat asing baginya.
Selama hidupnya, sejauh bisa diketahui dari sumber-sumber dari zaman Mangkunagara I sendiri –baik dalam bahasa Jawa maupun Belanda– dia tak pernah dinamakan Pangeran Samber Nyawa. Baru sesudah wafatnya, sebutan itu mulai digunakan. Jadi, dari mana sebutan Pangeran Samber Nyawa itu?
Panji Perang
Berbasis sumber-sumber Jawa primer, sekarang kita bisa menjawab pertanyaan itu. Pertama kita harus mengerti apa arti “samber nyawa”. Kata samber dalam bahasa Jawa sama artinya dengan “sambar” dalam bahasa Indonesia.
Kata nyawa dalam bahasa Jawa sama artinya dengan kata yang sama dalam bahasa Indonesia. Jadi, samber nyawa berarti seorang atau sesuatu yang menyambar dan menangkap sesuatu, seperti burung elang menyambar anak ayam atau seorang nelayan menyambar ikan dengan jala. Namun, dalam kasus ini, yang disambar adalah nyawa.
Istilah samber nyawa muncul dalam dua sumber primer yang luar biasa dari zaman Pangeran Mangkunagara. Yang pertama, otobiografi yang disusun Sang Pangeran sendiri –otobiografi dalam bahasa Jawa paling kuno yang diketahui sampai sekarang. Judulnya Serat Babad Pakunagaran. Judul itu merefleksikan variasi yang lazim mengenai nama-nama Jawa waktu itu: Mangkunagara kadang ditulis Pakunagara, Gunung Merbabu pernah dinamakan Gunung Prababu, dan sebagainya.
Naskah Serat Babad Pakunagaran menyebut secara jelas bahwa Mangkunagara I-lah yang menulis sesudah dia berdamai dan kembali ke Surakarta, yaitu tahun 1757: ingkang murwa carita, Kangjeng Pangeran Dipati, ingkang saking lalana andon ayuda.
Salinan naskah itu masih tersimpan di British Library, London, tapi bukan yang tahun 1757, melainkan salinan yang dibuat untuk merayakan ulang tahun ke-55 Sang Pangeran pada bulan Ruwah tahun Jawa 1705 (17 Augustus 1779). Juga ada fragmen kecil yang tersimpan di Perpustakaan Radyapustaka di Surakarta, tertanggal bulan Sawal, tahun Jawa 1719 (Mei-Juni 1793). Keduanya jelas disalin oleh beberapa prajurit perempuan (prajurit estri) dalam Pura Mangkunagaran. Sumber ini ditulis dalam tembang macapat dan cukup tebal –lebih dari 800 halaman.
Di bagian Serat Babad Pakunagaran yang meriwayatkan tahun 1750, di tengah-tengah perang di Gondang, dekat Surakarta, kita menemukan deskripsi panji perang Mangkunagara: bandera wulung kakasih, pun Samber Nyawa, ciri wulan aputih; sebuah panji perang berwarna wulung, namanya Samber Nyawa, dan berciri bulan berwarna putih (hampir pasti bulan sabit). Jadi, jelaslah nama “Samber Nyawa” berasal dari panji perang Sang Pangeran.
Pada era itu lazim tokoh-tokoh pemimpin punya panji perang yang diberikan nama. Misalnya, panji perang Pangeran Mangkubumi bernama Gula Kalapa. Prawira terkemuka Rongga Prawiradirja punya panji yang namanya Geniroga (api penyakit) dengan gambar seekor monyet yang berwarna wulung.
Dalam sumber primer lain, kita sekali lagi menemukan panji Samber Nyawa. Ini semacam campuran antara buku harian dan babad. Sekali lagi ini merupakan inovasi dalam kesusasteraan Jawa: buku harian paling kuno yang diketahui.
Masih terdapat beberapa naskah yang diberi judul berbeda-beda: Babad Tutur, Babad Nitik Mangkunagaran, dan Babad Nitik Samber Nyawa, yang meliputi tahun 1780 sampai 1793. Naskah-naskah ini disimpan di perpustakaan Leiden, Mangkunagaran, Museum Radyapustaka, dan Museum Sonobudoyo. Penulisnya tak diketahui, tapi jelas buku itu disalin prajurit estridalam Pura Mangkunagaran.
Pada bagian Babad Tutur yang tertanggal 15 Oktober 1791, kita membaca kenang-kenangan (oleh Mangunagara I sendiri?) mengenai kehidupan Sang Pangeran sebelum tahun 1757, saat masih berperang. Panji perang Samber Nyawa dideskripsikan: bandera denarani, pun Samber Nyawa ranipun, mila ran Samber Nyawa, pilih kang tahan nadhani, yen anamber kang mengsah kathah kang pejah /0/ yen langkung ageng kang mengsah, m[a]ring wana ngardi ngo[n]cati, yen sedheng mengsah kapisah, sinamber saking ing wukir, mengsah kagyat keh mati, lamun dengengi kang mungsuh, ngo[n]cati dhateng wana, Jeng Gusti Pangran Dipati, kang bandera mila ran pun Samber Nyawa.
Terjemahannya: Panji perang Samber Nyawa namanya, dinamakan Samber Nyawa karena jarang orang bisa bertahan. Kalau menyambar, banyak musuh yang mati. /0/ Kalau musuh terlalu banyak, [Mangkunagara] melarikan diri ke hutan di gunung. Kalau jumlah musuhnya yang terpisah sedang, mereka disambar dari puncak gunung. Musuh terkejut karena banyak dari mereka yang mati, kalau musuh dijumlahkan. [Mangkunagara] sudah melarikan diri ke hutan di gunung. Karena itulah panji perang Sang Pangeran Adipati [Mangkunagara] dinamakan Samber Nyawa.
Berperang Laksana Macan
Panji perang Samber Nyawa termasyhur di kalangan orang Jawa saat Mangkunagara masih berperang, dan merupakan objek yang bisa bikin keder musuh-musuhnya. Malahan, panji perang itu dianggap punya kekuatan luar biasa.
Salah satu peristiwa yang berhubungan dengan panji perang itu diceritakan dalam sumber Jawa maupun Belanda. Peristiwa itu terjadi pada Oktober 1756. Pada paruh kedua tahun 1756, situasi Mangkunagara semakin memprihatinkan. Bersama sisa pengikutnya yang masih loyal, berjumlah tidak lebih dari 400 prajurit, dan keluarganya, dia siap membela diri di daerah pegunungan di Kaduwang. Para musuhnya –Sultan Mangkubumi, Susuhunan Pakubuwana III, dan Kompeni Belanda– mengepungnya dengan menutup semua jalan. Sultan Mangkubumi, seorang perwira yang juga amat masyur, memimpin tentaranya sendiri.
Dalam kondisi terjepit, nasib Mangkunagara amat suram. Penasehat utamanya, Kudanawarsa, yang sedang terluka, sangat takut akan masa depannya.
Namun Sang Pangeran memilih sebuah jalan yang tak diketahui orang lain (dengan mengikuti burung-burung gagak yang sepertinya menjadi pemimpin gaibnya). Dia pun bisa meloloskan diri dari kepungan musuh tanpa diketahui mereka.
Dari daerah pegunungan, dia bergerak ke Desa Giyanti, tempat persetujuan antara Mangkubumi dan VOC pada 1755, dan membakarnya. Dari sana mereka mendekati daerah Mataram. Kudanawarsa dan para prajurit, yang masih diselimuti ketakutan, menekankan situasinya amat berbahaya dan mendorong Mangkunagara untuk mundur. Namun, dicatat dalam otobiografi Serat Babad Pakunagaran, Sang Pangeran dengan tegas menjawab: “Walaupun saya mati, kalau sudah menemui ajal, jangan jauh dari Mataram, tempat pemakaman para leluhur saya. Mari kita bersama jangan menghitung mati, serahkan diri kepada Allah, mari kita masuk api!” (sanadyan aku matiya, yen wus tumekeng jangji, aja doh Mataram, dagane luhur ingwang, payo padha derah pati, asrah ing Allah, payo alebu gni).
Pada 28 Oktober 1756, dengan 300 pasukan kuda andalannya, Mangkunagara keluar di jalan dari Prambanan ke Yogyakarta. Saat itu, Yogyakarta hanya dijaga sedikit tentara, karena kebanyakan tentara kasultanan yang dipimpin Sri Sultan dan kekuatan VOC masih berada di daerah Kaduwang untuk mencari Mangkunagara.
Mangkunagara dan para pasukannya belum mengibarkan panji perang. Mereka bertemu beberapa remaja dengan kerbau di jalan. Sepuluh kerbau diambil dan digembalakan di depan mereka. Melihat mereka sedang mendekati keraton kasultanan, masyarakat menyangka mereka serdadu Yogyakarta yang pulang dari medan perang dengan rampasannya.
Saat itu, seorang bupati senior bernama Cakrakarti (atau Cakrajaya) sedang main kartu dengan orang Belanda di loji Kompeni. Seorang serdadu penjaga Eropa melihat ada kelompok pasukan yang mendekati dan masuk loji untuk bertanya apakah Sri Sultan dan Pangeran Mahkota sudah pulang dari medan perang. Cakrakarti keluar untuk melihat siapa yang memasuki kota.
Sekonyong-konyong Mangkunagara membentangkan panjinya (yang tidak dinamakan dalam sumber-sumber kita, tapi pasti Samber Nyawa). Cakrakarti terkejut begitu mengenali itu bukan panji dari pihak Yogyakarta!
Mangkunagara dan pasukannya langsung menyerang keraton baru Sri Sultan yang terbuat dari kayu. Mereka lalu bergerak ke selatan keraton, ke kediaman Bupati Distrik Mataram Raden Adipati Jayaningrat. Sang Bupati sedang minum teh dengan Tumenggung Sindusastra, kepala para pujangga kasultanan. Pihak Mangkunagara melepaskan tembakan. Kedua tokoh senior itu berusaha meloloskan diri lewat kebun namun gagal; Sindusastra ditangkap dan dibunuh sedangkan Jayaningrat terluka.
Di mana-mana, di keliling keraton, muncul kepanikan. Di gardu alun-alun kidulhanya ada 18 serdadu Kompeni. Mereka melepaskan dua salvo sebelum terpaksa kabur ke dalam keraton dan mengunci pintu selatannya. Mangkunagara mengejar. Menurut salah satu sumber Belanda, Mangkunara dan pasukannya berperang “seperti macan”.
Akhirnya Kompeni menembaki para penyerbu dengan meriam dari dinding loji. Mangkunagara pun memerintahkan mundur melalui jalan ke Prambanan.
Sebagian dari keraton terbakar dan sejumlah orang tewas. Menurut sumber Belanda, Mangkunagara kehilangan 30 prawira dalam serangan itu dan melarikan diri secara panik. Namun menurut Serat Babad Pakunagaran, mereka mundur secara teratur dan Sang Pangeran memandang tembakan meriam dari loji Kompeni sebagai semacam salut terhadapnya.
Sri Sultan Mangkubumi sangat marah. Dia sekali lagi ditipu oleh Mangkunagara, yang berhasil meloloskan diri dari kepungan di Kaduwang, memasuki keraton Yogyakarta tanpa perlawanan, membunuh dan membakar, serta pergi bersama sebagian besar tentaranya –dan tentu saja dengan membawa panji perang Samber Nyawa yang tersohor. Kendati beberapa bulan sesudah itu Sang Pangeran berdamai di Surakarta, Sri Sultan tetap marah kepadanya.
Anumerta
Pada 28 Desember 1795 (atau Senen-Pon, 16 Jumadilakir, windu Adi, wuku Pahang, mongsa Kapitu, tahun Jimakir 1722), Pangeran Mangkunagara I wafat di dalemnya di Surakarta. Dia dimakamkan di Mangadeg, di lereng Gunung Lawu.
Sesudah wafat, raja-raja Jawa dan tokoh-tokoh besar lain diberi sebutan anumerta. Kapan dan bagaimana cara untuk memilih sebutan itu tidaklah jelas. Dalam kasus Mangkunagara I, ada pilihan yang gampang.
Mangkunagara I seorang prawira sejati, yang memiliki karier perang gemilang. Jadi untuk sebutan anumerta dipilih nama objek terkenal, yang mendampinginya dalam perang, dianggap memiliki kekuatan gaib, dan dikenal di seluruh Jawa –baik oleh pengikut-pengikut Sang Pangeran maupun musuh-musuhnya– sebagai tanda pribadi tokoh luar biasa ini. Panji perangnya bernama Samber Nyawa. Dengan demikian, Pangeran Mangkunagara I almarhum menjadi Pangeran Samber Nyawa. Nama itu menjadi legendaris dan tetap termasyur sampai sekarang; 222 tahun sesudah wafatnya Pangeran Mangkunagara I.
*M.C. Ricklefs, Penulis adalah profesor emeritus di Australian National University dan penulis banyak artikel maupun buku mengenai sejarah Indonesia. Buku terbarunya, biografi Pangeran Mangkunagara I berjudul Soul Catcher: Java’s fiery prince Mangkunagara I, 1726-1795 akan diterbitkan tahun 2018. Edisi bahasa Indonesia sedang direncanakan.
Sumber: Historia
0 komentar:
Posting Komentar