Oleh: Windu W. Jusuf
Foto: historia.co.id
LELUCON pahit minggu ini: segerombolan mahasiswa bernama Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM-KM)—dari kampus yang tak pernah sepi dari sanjungan ‘intelek’ lagi ‘merakyat’—berencana mengundang tentara untuk mendiskusikan ‘kebangsaan.’
Hampir dua puluh tahun silam, anak-anak universitas ini punya riwayat yang membanggakan: nekat menggergaji kaki-kaki rejim diktator militer, tak peduli gedung kampusnya diserbu serdadu dan kawan-kawannya diburu intel. Sekarang junior-junior mereka barangkali berpikir seperti ini: ‘Kalau ABRI dulu masuk desa—lalu sekarang dipercaya mengawal peredaran benih dan pupuk—kenapa tidak sekalian sekarang kita bikin program ‘ABRI masuk kampus’? ‘Kan Orde Baru sudah lewat; ‘kan tentara sudah jauh dari politik; ‘kan pelaku pelanggaran HAM sekarang mayoritas dari kepolisian,’ dst dst.
Sudahlah. Mungkin saya gagal memahami jaman. Jangan-jangan yang gemar berkelahi dengan aparat dulu pun, sebelum jagal Kemusuk itu tumbang, adalah minoritas pelajar nekat, seminoritas Soekarno yang dulu memilih belajar teori-teori kiri ketika teman-teman sekampusnya bercita-cita menjadi arsitek orderan.
Tapi Bung dan Nona, ihwal kebangsaan ini sangat tricky. Jutaan orang percaya bahwa Indonesia tak kunjung makmur gara-gara suka konflik, adu mulut, baku pukul. Konflik niscaya buruk karena mengganggu tertib sosial, yang besar faedahnya untuk pembangunan, penggusuran, perampasan tanah, konversi hutan ke kebun sawit dan sebagainya. Konflik membuyarkan harmoni, yang tidak lain merupakan esensi batiniah orang Indonesia yang gampang kesenggol oleh ‘penistaan agama’, ‘propaganda LGBT’, dan ‘Separatis Papua’ sampai-sampai tidak kelihatan lagi di mana harmonisnya.
Jadi intinya, saudara-saudara, kemiskinan suatu bangsa tidaklah disebabkan oleh penghisapan kelas atau proses akumulasi primitif yang mengusir petani dari tanahnya, melainkan oleh tiga kata: Kita. Tidak. Bersatu. Buntut tiga kata ini adalah: ‘Kita butuh nasionalisme, bukan demokrasi pesanan asing yang bikin orang jadi liar; tak usah rajin cari masalah yang membahayakan sendi-sendi persatuan dan kesatuan.’ Yang kira-kira jika diterjemahkan dalam topik yang lain, bunyinya seperti komentar-komentar ignorant di facebook: ‘Korban perkosaan semestinya menerima pinangan pemerkosanya, tidak usah kelamaan ribut, bikin malu keluarga, membahayakan kandungan—sudahlah, nggak usah ke pengadilan,’ dst dst.
Tapi marilah berprasangka baik pada kawan-kawan tercinta kita di BEM-KM. Silaturahmi, dengan siapa saja, dengan politisi dan perwira manapun, baik adanya, harus dijaga karena kita semua bersaudara.
Mungkin kawan-kawan kita ini setia berpedoman pada rumus-rumus dasar profesionalisasi kehidupan yang sudah mereka kenal semenjak wajib memilih jurusan. Ternak lele selayaknya diserahkan kepada peternak lele dan teknik bubut pada insinyur bubut. Gampang toh? Urusan ekonomi serahkan pada ekonom; jangan minta nasihat pada TKW yang hobi curhat disiksa majikan. Urusan politik serahkan pada politikus; jangan lari ke petani fatalis penolak pabrik semen. Urusan budaya tanyakan kepada budayawan sekaliber Taufik Ismail; jangan tanya bencong Wates yang lima tahun lalu masih keliaran saban pagi di kereta ekonomi Jakarta-Jogja.
(Kecuali mungkin untuk tiga perkara: astronomi—silakan cari ahli falak pembela teori Bumi Datar; Evolusi—bacalah Harun Yahya; Komunisme—tanya Alfian Tanjung)
Maka, Bung dan Nona, berkeluh-kesah di bahu para serdadu Indonesia tentang segala hal yang memprihatinkan dari kehidupan berbangsa adalah suatu kewajaran—kendati ideolog besarnya, jagal proxy dari Kemusuk itu, mati-matian menjaga kesucian UU Penanaman Modal Asing sejak 1967. Tentu lebih sedap lagi jika pilihan bahu untuk mengadu jatuh pada seorang serdadu yang selama setahun belakangan memperkenalkan ulang istilah ‘proxy war‘ di mimbar-mimbar publik dan memperoleh sambutan luar biasa dari Paguyuban Pecinta Berita Sampah.
Bung dan Nona, sia-sia apabila sekarang Anda bicara nasionalisme di Indonesia sebagai corak perjuangan sosial kaum terjajah. Hari ini, rasa cinta tanah air Anda diukur berdasarkan seberapa nyaring Anda teriak ‘ganyang asing dan aseng.’ Tak perlu Anda mengurai sebab-musabab kemalangan bangsa dengan mengkaji Kapital atau menelusuri asal-usul ramuan sila kelima sampai ke pemikir kafir kominis Prancis macam Jean Jaurès; cukuplah Anda membaca Obor Rakyat, Postmetro, VOA-Islam, sambil meneruskan informasi tentang ‘invasi buruh Cina’ dari grup WhatsApp sebelah ke grup WhatsApp lainnya.
Upaya kawan-kawan BEM-KM untuk memperdalam penghayatan mahasiswa akan luhurnya nilai-nilai kebangsaan ini sungguh perlu diapresiasi dan dicontoh. Jika suatu hari Anda berniat menggelar seminar atau training kantoran tentang ‘wawasan kebangsaan’, carilah calon pembicara dari sekumpulan sekte pembenci asing-aseng seperti Rizieq Syihab, dari kartel buzzer bigot yang 24/7 memajang hashtag #NKRIBersyariah, atau dari kalangan perwira jagal yang ‘sudah jadi orang’, yang terbukti sukses berbisnis dan sukses mangkir dari pengadilan HAM.
Yang jelas, tak usah repot-repot menanyakan perihal kebangsaan kepada pensiunan atlet yang jual medali di pasar loak dan bekerja sebagai tukang pukul, kepada warga Tionghoa yang anggota keluarganya disembelih delapan belas tahun silam, kepada anak-anak Papua yang dipaksa menukar tanah dan nyawa dengan peradaban kolonial-adiluhung Melayu-Jawa, kepada ibu-ibu Kendeng yang sedang dikadali gubernurnya dengan kibul-kibul Amdal baru.
Satu saja saran saya untuk kawan-kawan BEM-KM. Mengundang serdadu untuk membicarakan ‘kebangsaan’ bukannya keliru, tapi kurang tepat. Kurang taktis. Anda-Anda ini kan bakal segera lulus dan bekerja kantoran. Di era neo-Dwifungsi yang jahiliyahnya ampun-ampunan ini, semestinya Anda mengundang serdadu untuk membicarakan hal-hal yang lebih berguna untuk karir Anda di masa depan—jangan lupa minta sertifikat begitu seminar selesai—misalnya:
- Bagaimana memindahkan rapat penentuan upah buruh ke markas Kodam.
- Bagaimana mengurus klub olahraga nasional dan menjual tiket pertandingan sepak bola di markas Kostrad.
- (Khusus bagi yang ingin meniti karir sebagai birokrat kampus) Bagaimana mendisplinkan mahasiswa tahun pertama dengan cara mengundang serdadu dalam Ospek.
Bung dan Nona sekalian yang berbahagia, ada saja orang-orang snob di media sosial yang mengatakan bahwa pendidikan kita dewasa ini membuat mahasiswa jarang sekali menggunakan otaknya secara maksimal. Saya tidak sepakat. Tentunya otak tetap dipakai. Dipakai seutuhnya untuk membuktikan apakah bumi itu bulat atau datar.
Oh iya, ngomong-ngomong saya baru saja mendapat kabar kalau tahun depan, setelah Bumi Datar sudah tidak trending lagi, mereka akan sibuk berdebat soal apakah perempuan itu manusia atau bukan.
***
http://indoprogress.com/2016/12/tuntutlah-ilmu-sampai-ke-tangsi-serdadu/
0 komentar:
Posting Komentar