Oleh: Mahbub Hamdani
4 Sep 2016
Yang
paling mengganggu perihal Karl Marx buat saya, sebenarnya bukan pada
hujatannya terhadap agama. Karena memang kondisi objektif pada saat itu
agama dipakai untuk mengilusi, kekuatan “proletariat” dalam istilah Karl
Marx. Bukan juga pada teorinya tentang kediktatoran proletariat, walau
harus saya akui ini adalah sesuatu yang menyesakkan untuk bisa
menyepakati klaim Karl Marx bahwa sosialisme dia adalah “sosialisme
ilmiah”.
Tapi bukan itu, bukan. Bukan pula terletak pada poin Karl Marx yang telah disepakati oleh banyak pihak bahwa dunia bisa diubah. “Man makes his own history”, karena pada saat itu Karl Marx katakanlah telah “menemukan” cara membaca sejarah berdasarkan pengetahuan tentang hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat.
Sebagai seorang analis perkembangan sejarah, Karl Marx, harus saya akui, sangat berpengaruh. Sebelum teorinya muncul, sejarah yang terbaca di dunia hanyalah sejarah yang menari dengan ide-ide belaka, yang dipimpin oleh orang-orang besar, para agung dan para tokoh sejarah atau para demagog-demagog.
Tapi yang paling mengganggu buat saya ialah pada pernyataannya kalau “Cinta hanya dapat ditukar dengan cinta.” Kalau cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, hal ini sudah jelas bahwa cinta dalam definisi Karl Marlx tak lebih dari cinta yang material belaka. Subyek yang membutuhkan obyek. Hingga pada titik tertentu, cinta menjadi semacam kalkulus yang akan selalu berbicara untung dan rugi. Atau mungkin Karl Marx sebenarnya sedang merancang materialisme historis cinta, serta mencari tahu apa yang membuat hal itu lucu.
Saya sepakat bahwa pikiran akan lebih cermat dan tangkas bekerja ketika kita jatuh cinta. Terkadang pertanyaan dan duga memberinya satu seremoni personil yang luhur. Walau terkadang hubungan yang melaju dengan segala ikatan, kewajiban, dan kepastian lebih banyak menumpulkan kerja pikiran, membuat manusia lumpuh dan rapuh atau malah kadang (maaf) dungu.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi jika pada akhirnya para marxis ortodoks telah menjadikan materialisme historis sebagai suatu metode yang dogmatis, menjadikannya sebagai “formula pasti” yang mencoba memaksakan segala sesuatu menjadi bentuk-bentuk yang dapat dengan mudah diperkirakan dan diyakini.
Hal inilah yang saya kira justru akan menjadi muara kelemahan manusia ketika berhadapan dengan keabsurdan hidup dan ketidakpastian, manusia pada akhirnya akan terus mencoba nyaman dengan kepastian-kepastian meskipun itu hanya khayalan dan menolak hidup tegar menjalani pilihannya meski tak pernah ada jaminan semuanya berjalan sesuai dengan harapan. Kalau segala sesuatunya sudah pasti betapa tidak “lutju”nya dunia ini.
Mari kita lupakan Karl Marx, karena hemat saya sungguhlah cinta tak meski demikian. Kau dan aku juga harusnya tahu, bahwa genggaman tidak selamanya menyelamatkan apa yang sejatinya retak. Sekali pun engkau dan aku akan mencoba memutuskan urat nadi, tidak akan membuat yang beda menjadi sama, kok. Ia tetap akan menjadi garis di batas keinginanan, percayalah.
Kau dan aku harusnya tahu, kadang kemampuanmu untuk menyayangi dan merindu itu memupuk sejumlah energi yang setimpal untuk terus membenci kemudian. Meskipun kita tidak akan pernah percaya, betapa manusia yang tanpa duga dapat dengan tekun saling menyayangi, dapat pula saling melukai secara keji. Kalau demikian, alangkah lebih arifnya kalau cinta tak harus memiliki (Ecoutez -Percayalah).
Iya, dalam pembahasan ini saya akan mencoba sepakat dengan Ecoutez (grup musik yang dibentuk pada pertengahan 2002). “Percayalah kasih, cinta tak harus memiliki” adalah kalimat yang saya ambil dari salah satu lirik lagu Ecoutez (terdengar risih mengalun dari kosan sebelah). Benar-benar kalimat yang indah, murni estetika.
Cinta memang tak harus memiliki, karena cinta hanya untuk cinta itu sendiri, bukan untuk dicintai njelimet. Tapi sayang, kalimat yang indah tersebut menjadi terdakwa di hadapan media massa yang terus mengulang pemberitaan mengenai beberapa pembunuhan yang didasari oleh kecemburuan (cinta) sebagai motifnya.
Entah mengapa media massa di negeri kita ini kok tak kunjung belajar untuk menjadi sedikit lebih pintar. Dengan alih-alih mengungkapkan pernyataan “cinta merenggut maut”, mereka sebenarnya sedang membuat relasi kuasa yang timpang dengan stereotipikal yang cacat terhadap cinta.
Kesalahan tidak sepenuhnya ada di media massa, karena yang ada dalam alam bawah sadar komunal, cinta haruslah memiliki. Hal ini berawal dari terlalu banyaknya manusia-manusia yang takut akan kesepian, tak terkecuali Karl Marx.
Maka mereka bawalah modal-modal kebisingan seperti: mulut yang bekerja menaklukkan nalar atau segala kegaduhan yang dipaksakan untuk mengaburkan keheningan dengan menyandangkan status “kekasih” hanya untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
Lucunya, orang-orang juga nampak terlalu bebal untuk belajar, belum-belum memberi contoh pada generasi di bawahnya, bahwa hanya orang-orang menyedihkanlah yang dapat begitu depresi ketika tidak memiliki pasangan. Bagaimana mungkin ketika hanya rasa tidak nyaman yang kita miliki selagi berhadapan dengan diri sendiri, ada orang lain yang kita harap-harapkan dapat merasa nyaman terhadap diri kita ini?
Bukannya kesepian tidak akan menemukan keselamatannya di diri orang lain? Karenanya kedunguan yang tanpa dasar mengisi kemudian, bukan hanya para remaja yang menginjaki usia puber, tapi juga orang-orang berusia dewasa yang tak kunjung beranjak bijaksana. Padahal diri sendiri adalah kekosongan, sehingga setiap manusia lain yang lekat dalam hidup kita harus selalu tunduk dan menjadi milik diri sendiri.
Hanya orang-orang dengan kedunguan tanpa batas yang merasa kecemburuan sebagai pembenaran yang masuk akal untuk merenggut hak orang. Tidak ada yang manis dari posesivitas. Tidak ada yang manis dari kuasa yang timpang. Lucunya, masih banyak orang-orang dungu yang bertemu dengan orang dungu lainnya. bertemuan dan jatuh cinta. saling mengikat dan saling ketergantungan.
Saling kehilangan diri sendiri, karena baginya eksistensi terletak dalam kehadiran pasangannya yang sama kosongnya. Lebih parahnya lagi pasangan-pasangan banal dan dungu itu menikah, tentu dengan pertimbangannya yang dangkal, kemudian berhubungan seksual dengan segala ketimpangan peran dan kuasa di antara keduanya, dan mereka melahirkanlah anak. Anak-anaknya tumbuh dalam didikan yang sama banalnya.
Bayangkanlah berapa banyak orang yang merasa dirinya mulia dengan cinta yang omong kosong dan harus bertanggung jawab atas tumbuhnya para bajingan di kemudian hari. Intinya saya hanya ingin mengingatkan kembali pada satu dan banyak hal ketika kita berhadapan dengan ide-ide lama, dunia lama yang perlu di-redefinisi, tentang tata dunia baru yang memerlukan bentuk-bentuk perlawanan baru.
Bentuk-bentuk yang tidak membiarkan dunia lama mendefinisikan apa yang kita lakukan hari ini. Kita yang harus mendefinisikan dunia. Untuk tidak berhenti di buku-buku “kiri” atau teks-teks “suci” dan marilah kita mulai menjalani hidup yang seutuhnya.
Tapi bukan itu, bukan. Bukan pula terletak pada poin Karl Marx yang telah disepakati oleh banyak pihak bahwa dunia bisa diubah. “Man makes his own history”, karena pada saat itu Karl Marx katakanlah telah “menemukan” cara membaca sejarah berdasarkan pengetahuan tentang hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat.
Sebagai seorang analis perkembangan sejarah, Karl Marx, harus saya akui, sangat berpengaruh. Sebelum teorinya muncul, sejarah yang terbaca di dunia hanyalah sejarah yang menari dengan ide-ide belaka, yang dipimpin oleh orang-orang besar, para agung dan para tokoh sejarah atau para demagog-demagog.
Tapi yang paling mengganggu buat saya ialah pada pernyataannya kalau “Cinta hanya dapat ditukar dengan cinta.” Kalau cinta hanya dapat ditukar dengan cinta, hal ini sudah jelas bahwa cinta dalam definisi Karl Marlx tak lebih dari cinta yang material belaka. Subyek yang membutuhkan obyek. Hingga pada titik tertentu, cinta menjadi semacam kalkulus yang akan selalu berbicara untung dan rugi. Atau mungkin Karl Marx sebenarnya sedang merancang materialisme historis cinta, serta mencari tahu apa yang membuat hal itu lucu.
Saya sepakat bahwa pikiran akan lebih cermat dan tangkas bekerja ketika kita jatuh cinta. Terkadang pertanyaan dan duga memberinya satu seremoni personil yang luhur. Walau terkadang hubungan yang melaju dengan segala ikatan, kewajiban, dan kepastian lebih banyak menumpulkan kerja pikiran, membuat manusia lumpuh dan rapuh atau malah kadang (maaf) dungu.
Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang tidak perlu diperdebatkan lagi jika pada akhirnya para marxis ortodoks telah menjadikan materialisme historis sebagai suatu metode yang dogmatis, menjadikannya sebagai “formula pasti” yang mencoba memaksakan segala sesuatu menjadi bentuk-bentuk yang dapat dengan mudah diperkirakan dan diyakini.
Hal inilah yang saya kira justru akan menjadi muara kelemahan manusia ketika berhadapan dengan keabsurdan hidup dan ketidakpastian, manusia pada akhirnya akan terus mencoba nyaman dengan kepastian-kepastian meskipun itu hanya khayalan dan menolak hidup tegar menjalani pilihannya meski tak pernah ada jaminan semuanya berjalan sesuai dengan harapan. Kalau segala sesuatunya sudah pasti betapa tidak “lutju”nya dunia ini.
Mari kita lupakan Karl Marx, karena hemat saya sungguhlah cinta tak meski demikian. Kau dan aku juga harusnya tahu, bahwa genggaman tidak selamanya menyelamatkan apa yang sejatinya retak. Sekali pun engkau dan aku akan mencoba memutuskan urat nadi, tidak akan membuat yang beda menjadi sama, kok. Ia tetap akan menjadi garis di batas keinginanan, percayalah.
Kau dan aku harusnya tahu, kadang kemampuanmu untuk menyayangi dan merindu itu memupuk sejumlah energi yang setimpal untuk terus membenci kemudian. Meskipun kita tidak akan pernah percaya, betapa manusia yang tanpa duga dapat dengan tekun saling menyayangi, dapat pula saling melukai secara keji. Kalau demikian, alangkah lebih arifnya kalau cinta tak harus memiliki (Ecoutez -Percayalah).
Iya, dalam pembahasan ini saya akan mencoba sepakat dengan Ecoutez (grup musik yang dibentuk pada pertengahan 2002). “Percayalah kasih, cinta tak harus memiliki” adalah kalimat yang saya ambil dari salah satu lirik lagu Ecoutez (terdengar risih mengalun dari kosan sebelah). Benar-benar kalimat yang indah, murni estetika.
Cinta memang tak harus memiliki, karena cinta hanya untuk cinta itu sendiri, bukan untuk dicintai njelimet. Tapi sayang, kalimat yang indah tersebut menjadi terdakwa di hadapan media massa yang terus mengulang pemberitaan mengenai beberapa pembunuhan yang didasari oleh kecemburuan (cinta) sebagai motifnya.
Entah mengapa media massa di negeri kita ini kok tak kunjung belajar untuk menjadi sedikit lebih pintar. Dengan alih-alih mengungkapkan pernyataan “cinta merenggut maut”, mereka sebenarnya sedang membuat relasi kuasa yang timpang dengan stereotipikal yang cacat terhadap cinta.
Kesalahan tidak sepenuhnya ada di media massa, karena yang ada dalam alam bawah sadar komunal, cinta haruslah memiliki. Hal ini berawal dari terlalu banyaknya manusia-manusia yang takut akan kesepian, tak terkecuali Karl Marx.
Maka mereka bawalah modal-modal kebisingan seperti: mulut yang bekerja menaklukkan nalar atau segala kegaduhan yang dipaksakan untuk mengaburkan keheningan dengan menyandangkan status “kekasih” hanya untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
Lucunya, orang-orang juga nampak terlalu bebal untuk belajar, belum-belum memberi contoh pada generasi di bawahnya, bahwa hanya orang-orang menyedihkanlah yang dapat begitu depresi ketika tidak memiliki pasangan. Bagaimana mungkin ketika hanya rasa tidak nyaman yang kita miliki selagi berhadapan dengan diri sendiri, ada orang lain yang kita harap-harapkan dapat merasa nyaman terhadap diri kita ini?
Bukannya kesepian tidak akan menemukan keselamatannya di diri orang lain? Karenanya kedunguan yang tanpa dasar mengisi kemudian, bukan hanya para remaja yang menginjaki usia puber, tapi juga orang-orang berusia dewasa yang tak kunjung beranjak bijaksana. Padahal diri sendiri adalah kekosongan, sehingga setiap manusia lain yang lekat dalam hidup kita harus selalu tunduk dan menjadi milik diri sendiri.
Hanya orang-orang dengan kedunguan tanpa batas yang merasa kecemburuan sebagai pembenaran yang masuk akal untuk merenggut hak orang. Tidak ada yang manis dari posesivitas. Tidak ada yang manis dari kuasa yang timpang. Lucunya, masih banyak orang-orang dungu yang bertemu dengan orang dungu lainnya. bertemuan dan jatuh cinta. saling mengikat dan saling ketergantungan.
Saling kehilangan diri sendiri, karena baginya eksistensi terletak dalam kehadiran pasangannya yang sama kosongnya. Lebih parahnya lagi pasangan-pasangan banal dan dungu itu menikah, tentu dengan pertimbangannya yang dangkal, kemudian berhubungan seksual dengan segala ketimpangan peran dan kuasa di antara keduanya, dan mereka melahirkanlah anak. Anak-anaknya tumbuh dalam didikan yang sama banalnya.
Bayangkanlah berapa banyak orang yang merasa dirinya mulia dengan cinta yang omong kosong dan harus bertanggung jawab atas tumbuhnya para bajingan di kemudian hari. Intinya saya hanya ingin mengingatkan kembali pada satu dan banyak hal ketika kita berhadapan dengan ide-ide lama, dunia lama yang perlu di-redefinisi, tentang tata dunia baru yang memerlukan bentuk-bentuk perlawanan baru.
Bentuk-bentuk yang tidak membiarkan dunia lama mendefinisikan apa yang kita lakukan hari ini. Kita yang harus mendefinisikan dunia. Untuk tidak berhenti di buku-buku “kiri” atau teks-teks “suci” dan marilah kita mulai menjalani hidup yang seutuhnya.
http://www.qureta.com/post/karl-marx-dan-definisi-cinta-yang-centil?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork
0 komentar:
Posting Komentar