Test Footer 2

Minggu, 21 Agustus 2016

Rokok Kretek dan Kedaulatan Bangsa

Oleh: Haris El-mahdi
  illustrasi: rokokindonesia.com

Suatu ketika, dalam sebuah perjamuan di istana Buckingham saat penobatan Elizabeth II sebagai ratu Inggris, KH. Agus Salim mengebal-ngebulkan kreteknya. Aroma khas kretek menyebar di ruang perjamuan. 

"Tuan sedang menghisap apa itu? " tanya seseorang kepada Agus Salim. Agus Salim menjawab :"inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negeri kami ".

Agus Salim tidak salah karena kretek memang berunsur cengkeh (Syzgium Aromaticum), tanaman rempah legendaris yang menjadi awal kolonialisme Eropa atas Asia.

Adalah Haji Djamari dari Kudus yang dipercaya, dalam cerita lokal, sebagai manusia kreatif penemu rokok kretek. Awalnya, Haji Djamari merasa sakit bagian dada (sesak nafas), ia lalu mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Sakitnya pun hilang. 

Djamari lantas merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Kala itu, merokok sudah menjadi tradisi laki-laki. Setelah itu, Djamari rutin menghisap rokok ciptaannya dan berangsur-angsur penyakit sesak nafasnya sembuh. Berita ini pun menyebar luas, permintaan "rokok obat" meningkat. 

Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh yang kemudian dikenal dengan "rokok kretek" karena saat dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek.. Keretek.. Keretek". Mulanya, Kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering, dijual per ikat. Tiap ikat berisi 10 linting rokok, tanpa selubung kemasan. 

Paska Djamari, rokok kretek tumbuh menjadi industri di tangan Nitisemito, melalui usaha dagang bernama "Tjap Bal Tiga". Nitisemito, yang buta huruf, merupakan perintis dan menjadi tonggak sejarah tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia. Namanya disebut Bung Karno saat pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila. 

Pun, rokok kretek menjadi langgam budaya yang di dalamnya roda ekonomi riil bergerak. Perkebunan cengkeh dan tembakau sebagai bahan dasar rokok kretek menghasilkan tenaga kerja melimpah. Hal yang sama dengan pabrik-pabrik rokok yang tersebar di banyak tempat di Indonesia, menyediakan lapangan kerja yang melimpah. Industri rokok dari hulu sampai hilir adalah surga tenaga kerja dan penggerak ekonomi riil Indonesia.

Pada 2015, rokok merupakan penyumbang cukai terbesar dengan kontribusi 96%. Cukai rokok menyumbang 139, 5 Triliun dari total 144,6 Triliun.
Namun, belakangan, kontribusi signifikan rokok kretek dalam kebudayaan dan ekonomi Indonesia itu mendapat hantaman yang dahsyat. Industri rokok Indonesia dihantam oleh dua gajah sekaligus, yaitu oleh industri farmasi global dan industri rokok asing. 

Industri farmasi melakukan kampanye yang massif bahwa rokok adalah biang dari segala penyakit dan perokok diposisikan sebagai "manusia kriminal" yang harus diisolasi. Diserukanlah Bloomberg Initiative untuk kampanye anti tembakau. Sementara itu, dari sisi lain, industri rokok nasional menjadi sasaran empuk perusahaan-perusahaan rokok raksasa asing. Nyaris, perusahaan-perusahaan rokok besar nasional sudah diakuisisi oleh Asing.

Industri rokok kretek sebagai produk kebudayaan Indonesia dipaksa menjadi korban dua raksasa ; industri farmasi global dan industri rokok asing. Dua-duanya mengincar dan menghabisi secara khusyu" sumber daya rokok kretek Indonesia, yang telah menghidupi hajat hidup orang banyak selama 150 tahun lebih. 

Haris el Mahdi 
https://www.facebook.com/haris.elmahdi/posts/10206727714014052

0 komentar:

Posting Komentar