Penulis: AS Laksana* | 17 April 2018
Untuk pernyataan tentang kitab suci itu fiksi, saya menaruh hormat pada Rocky Gerung yang berani menyampaikannya secara terbuka.
Sebetulnya sudah sering saya mendengar pendapat serupa, disampaikan sambil lalu dalam percakapan antarteman, dan hanya menjadi gumam dalam semesta percakapan mutakhir kita yang penuh teriakan. Rocky mengangkatnya ke permukaan, dengan sikap tenang dan rasa percaya diri, bahwa ia sanggup mempertanggungjawabkan pernyataannya; ia memang gemar mengusik kepala orang agar tidak merasa nyaman-nyaman saja menjadi "dungu", kosakata kesukaannya.
Lama sebelum ini, saya membaca wawancara seorang wartawan dengan kritikus sastra Harold Bloom. Di bagian-bagian akhir percakapan mereka, si wartawan menanyakan apakah Harold suka membaca dongeng pada waktu kecil dan si narasumber menjawab tidak.
“Tetapi saya membaca kitab suci,” lanjut Harold Bloom, “dan itu sama saja.”Berkat ribut-ribut di media sosial setelah pernyataan Rocky, saya menjadi tahu bahwa delapan tahun lalu, pada 22 Oktober 2010, Guntur Romli rupanya juga menyampaikan pendapat yang kurang lebih sama, dalam pernyataan singkat di Twitter: “Kitab suci: Fiksi yang diyakini.” Saya yakin nanti masih akan ada orang lain yang menyampaikan pendapat serupa.
Pelaporan terhadap Rocky ke polisi sama sekali tidak mengagetkan: itu reaksi khas orang-orang yang tak terlatih berdiskusi. Saya tidak berminat membahas reaksi mereka; saya hanya berminat membicarakan beberapa masalah di dalam argumen yang digunakan Rocky untuk menopang penyataan tentang kefiksian kitab suci.
Terus terang, saya kaget ketika Rocky memperlihatkan gerak menghindar setelah mengajukan tantangan kitab suci itu fiksi atau bukan. “Siapa berani menjawab?” tanyanya. Dan ia menjawab sendiri setelah menunggu beberapa saat: Kitab suci itu fiksi.Pikir saya, ia akan melanjutkan pernyataannya dengan lebih detail untuk menyampaikan karakteristik fiksional kitab suci. Saya menunggu argumentasinya yang kokoh, meskipun agak musykil mengharapkan pembicaraan ilmiah dalam acara hiburan di televisi, tetapi ia menikung dengan pernyataan diplomatis fiksi itu baik, yang buruk itu fiktif. Lalu ia berusaha menjelaskan dan dari sana lahir beberapa masalah.
Masalah 1: Definisi Fiksi, “Kalau saya pakai definisi…”
Ia menyingkirkan definisi yang sudah ada dan memilih definisi bentukannya sendiri, yang saya pikir problematis, tentang apa itu fiksi. Katanya: “Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu menghidupkan imajinasi, maka kitab suci itu fiksi.”
Bagaimanapun, itu definisi yang goyah. Anda tidak bisa mendefinisikan suatu benda dengan berpegang hanya pada salah satu fungsi benda itu atau potensi yang dimilikinya. Tidak mungkin saya mendefinisikan batu sebagai alat pencabut nyawa, semata-mata karena ia memiliki potensi untuk kita hantamkan ke kepala kuda sampai binatang itu mati. Tidak mungkin juga menjawab pertanyaan anak-anak “Tanah itu apa?” dengan seruan definitif: Oh, itu bahan pembuat manusia! — meski menurut ajaran agama-agama Arbahamik, Tuhan menciptakan manusia dari tanah.
Kita bisa menguji definisi Rocky dengan silogisme berikut:
Silogisme di atas melahirkan konklusi yang keliru karena premis pertamanya bermasalah. Orang Jawa Naik Haji adalah buku catatan Danarto tentang pengalamannya pergi berhaji. Sebagai bacaan, ia menghidupkan imajinasi, tetapi dalam kesastraan tidak masuk kategori fiksi.
Feature jurnalistik tentang satu orang nelayan di daerah terluar Indonesia juga bisa menghidupkan imajinasi pembaca tentang kehidupan para nelayan di semua daerah terluar, tetapi orang tidak akan menyebutnya fiksi. Berita akurat tentang kelaparan di Papua bisa menghidupkan imajinasi di kepala pembaca yang tinggal di Tulungagung tentang situasi mengenaskan di sana dan berita tentang kelaparan itu tidak disebut fiksi.
Artinya, frase “menghidupkan imajinasi” tidak bisa digunakan sebagai karakteristik tunggal untuk mendefinisikan fiksi. Ia gagal karena pikiran manusia memiliki kemampuan kreatif untuk mengubah kata menjadi gambar di dalam benak. Ketika kita membaca kata “kerbau”, yang akan muncul di dalam benak kita bukan susunan huruf-huruf k-e-r-b-a-u, melainkan sosok hewan yang kita namai kerbau atau seseorang yang kita juluki kerbau.
Masalah 2: “Fiksi itu Baik”
Dengan definisi yang ia gunakan, yang dengannya ia memasukkan kitab suci ke dalam kelompok fiksi, maka Rocky mau tidak mau harus menyebut fiksi itu baik. Tidak ada kemungkinan lain. Ia tidak sedang memberikan kuliah umum tentang fiksi kepada mahasiswa fakultas sastra, tetapi hanya menanggapi keberatan beberapa politikus dalam acara hiburan di televisi. Itu keberatan yang sangat mudah ditebak, dan saya pikir “fiksi itu baik” adalah jawaban yang sudah dipersiapkan oleh Rocky.
Ia memang ingin mengatakan fiksi itu baik. Ia sedang melakukan pembelaan terhadap fiksi yang, menurutnya, mengalami pemburukan makna dalam dua bulan belakangan, barangkali setelah Prabowo menggunakan buku fiksi Ghost Fleet sebagai rujukan untuk pidatonya tentang masa depan Indonesia.
Masalahnya, pernyataan fiksi itu baik adalah generalisasi yang di dalam dirinya sendiri bermasalah. Novel Dan Brown, Da Vinci Code, adalah fiksi. Ia menyampaikan informasi, di antaranya, Yesus memiliki keturunan—itu realitas fiksional yang bertentangan dengan iman orang-orang Nasrani dan Islam.
Apakah ini fiksi yang bagus? Ayah teman saya, penganut Katolik, mengatakan itu buku sesat. Sementara khatib Jumat di masjid dekat rumah saya merayakan Da Vinci Code seperti merayakan kemenangan dan menggunakan “fakta” dari novel ini untuk membuktikan sisi-sisi lemah ajaran lain. Pak Khatib lupa bahwa Islam, Kristen, dan Katolik berbagi beberapa keyakinan yang sama soal Yesus: Ia hadir di dunia tanpa ayah biologis, diangkat ke langit oleh Tuhan, dan tidak ada cerita di dalam kitab suci masing-masing bahwa ia punya keturunan.
Buku-buku pergumulan karangan Enny Arrow juga fiksi, dan tentu saja memiliki energi besar untuk mengaktifkan imajinasi para remaja pembacanya. Para pengamat sastra bisa mengatakan bahwa buku-buku Enny Arrow adalah fiksi buruk; selera pembaca bisa mengatakan itu fiksi yang bagus sekali, meskipun kebanyakan para remaja penikmatnya tidak berani membacanya terang-terangan di depan orang tua mereka.
Sebagai pembaca, saya ingin mengatakan bahwa tidak semua fiksi itu baik. Tidak semua pikiran mampu menghasilkan karangan yang baik. Uang itu fiksi yang baik, yang memudahkan orang menjalani kehidupan yang memerlukan transaksi-transaksi yang makin kompleks, dalam skala yang makin besar.
Masalah 3: “Ia fiksi karena belum terjadi, belum ada…”
Masalah di dalam pernyataan ini mudah ditemukan: persyaratan bagi fiksi bukanlah karena ia belum terjadi atau belum ada. Hanya ramalan yang berurusan dengan segala sesuatu yang belum terjadi. Fiksi adalah cerita rekaan. Ia tidak melulu berurusan dengan masa depan dan genre dalam fiksi tidak hanya fiksi ilmiah, utopia, distopia, atau apokaliptik.
Dengan menyebutkan “belum terjadi” dan “belum ada” sebagai karakteristik fiksi, mungkin Rocky hendak menyampaikan bahwa apa-apa yang ada di dalam kitab suci tidak atau belum bisa diverifikasi, belum bisa diuji kebenarannya. Ia adalah harapan, sebuah pemandu menuju sesuatu untuk diwujudkan.
Rocky hanya membicarakan aspek eskatologis kitab suci dan melupakan bahwa tidak semua cerita di dalam kitab suci hanya bersentuhan dengan hal-hal yang belum terjadi atau belum ada. Dari kitab suci yang saya kenali, peristiwa yang belum terjadi adalah kiamat dan kehidupan kekal kelak di akhirat yang berisi dua kamar—surga dan neraka. Teologi katolik membangun satu kamar tambahan, yakni Limbo, bagian dari neraka minus siksaan fisik dan berfungsi kurang lebih sebagai asrama bagi bayi-bayi yang meninggal sebelum dibaptis, orang-orang baik, para pemikir, dan para pahlawan yang meninggal sebelum Kristus sehingga tak sempat diselamatkan.
Berdasarkan iman katolik ini Dante Alighieri menulis The Divine Comedy yang menceritakan perjalanan wisata fiksionalnya dari neraka ke surga dengan penyair Virgil sebagai pemandu. Di Limbo ia melihat Socrates, Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Para pendahulu Kristus juga ada di sana, ialah Adam, Nuh, Musa, Ibrahim, Jakob dan istrinya, Rachel, serta 12 anak mereka yang menurunkan 12 puak Yahudi, yang kelak akan diselamatkan Yesus. Selain mereka, ada Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Dante menempatkannya di Limbo karena Salahuddin orang baik, namun ia beragama lain.
Di luar urusan akhirat, bagian yang memakan banyak halaman di dalam kitab suci adalah cerita kehidupan manusia, mulai dari penciptaan dunia, asal-usul manusia, kisah nabi-nabi dan orang-orang suci zaman dulu, iblis yang melawan perintah dan minta izin untuk terus menyesatkan manusia, tongkat yang sanggup membelah lautan, orang-orang yang bisa menghidupkan orang mati (selain Yesus, ada Petrus, Elia, Elisa, dan Yehezkiel yang mengumpulkan tulang-tulang para prajurit dan menghidupkan mereka, dan masih ada beberapa lagi), cerita banjir besar, dan juga cerita tentang kaum-kaum yang mendapatkan azab, dan sebagainya.
Dalam forum yang lebih tenang, saya pikir semua keajaiban orang-orang zaman dulu—yang tidak pernah terjadi lagi di waktu sekarang—bisa diperiksa dengan memanfaatkan seluruh sumber daya pengetahuan yang sudah ada. Temuan-temuan terbaru sains dan informasi-informasi yang valid dari sejumlah penelitian, misalnya, bisa digunakan untuk memeriksa benarkah Nabi Adam ada dan tingginya 27 meter, apakah Musa adalah tokoh sejarah atau tokoh fiksi (sudah banyak kajian tentang Musa), apakah dunia ini disangga kura-kura, apakah benar Tuhan membuat bintang-bintang di langit sebagai alat pelempar setan, dan lain-lain.
Beberapa cerita dalam kitab suci memang cocok dipahami dengan nalar fiksi. Misalnya, banjir di masa Nuh. Di luar pendapat para ilmuwan bahwa kisah banjir Nuh adalah jiplakan dari cerita banjir besar dalam puisi wiracarita Gilgamesh dari Mesopotamia kuno, beberapa detail bisa kita bicarakan. Nabi Nuh memasuki bahtera pada usia 600 tahun—sudah tua sekali—dan ia menjadi kapten kapal selama kurang lebih setahun, dengan rincian sebagai berikut: hujan deras turun 40 hari, air terus naik selama 110 hari, menyurut 74 hari berikutnya, 40 hari kemudian Nuh melepaskan burung gagak, 7 hari kemudian Nuh melepaskan merpati, 7 hari kemudian merpati lagi, 7 hari kemudian merpati ketiga dilepaskan, 29 hari kemudian tingkap bahtera dibuka, 57 hari kemudian bumi kering.
Lelaki sangat tua, memimpin pelayaran yang mengangkut anggota keluarganya dan hewan-hewan, jinak maupun buas, dari seluruh dunia dalam waktu satu tahun. Alquran menyebutnya beranak empat, yaitu Syam, Ham, Yafith, dan Kan’an—istri dan anak terakhirnya menolak masuk bahtera. Alkitab menyebutnya beranak tiga, tanpa Kan’an, dan semuanya—istri, ketiga anak lelaki, dan ketiga menantunya ikut berlayar. Bagaimana Nuh yang sudah sangat tua itu mengendalikan hewan-hewan itu dan memberi makan dirinya sendiri dan keluarganya dan semua hewan selama setahun di dalam bahtera?
Hanya iman yang bisa menerima kejadian seperti ini faktual dan menganggapnya sebagai peristiwa sejarah. Di luar iman, kejadian begini, dan banyak kejadian ajaib lainnya, hanya bisa didekati dengan nalar fiksi. Memang di dalam fiksi-fiksi petualangan, baik novel maupun film, kita jarang disuguhi adegan makan dan para pembaca fiksi umumnya memang tidak peduli bagaimana tokoh-tokoh cerita itu makan.
Orang bisa melakukan pengujian terhadap peristiwa-peristiwa di dalam kitab suci, dan memang beberapa sudah dilakukan, dan dengan itu mereka dapat menyimpulkan apakah ia fakta atau fiksi. Justru dengan melakukan pengujian terhadap apa-apa yang dipercaya pernah terjadi, kita bisa membuat spekulasi yang lebih meyakinkan mengenai apa-apa yang belum terjadi, misalnya tentang surga dan neraka: apakah ia bakal terjadi atau itu semua hanya fiksi.
Tidak tepat menyatakan sebuah buku sebagai fiksi karena yang disampaikannya belum terjadi dan belum ada. Sebuah fiksi akan selamanya fiksi, meskipun hal-hal yang dilukiskannya tentang masa depan nantinya menjadi kenyataan. Novel Star Trekadalah fiksi meski beberapa khayalan di dalamnya sekarang sudah bisa diwujudkan.
Fiksi, Fakta, dan Realitas
Selain tiga hal di atas, ada satu lagi yang menarik dibahas, yaitu mengenai fiksi dan realitas. Rocky menyebut lawan dari fiksi adalah realitas, bukan fakta. Saya lebih memilih fakta sebagai lawan dari fiksi. Fiksi adalah rekaan atau produk imajinasi, fakta adalah segala sesuatu yang diketahui telah terjadi atau ada dan bisa dibuktikan.
Realitas, yang dalam kamus besar diartikan sebagai kenyataan, sampai sekarang tetap rumit dijelaskan karena manusia menjalani hidup dengan pikiran. Sebagai anggota masyarakat, manusia mengenal realitas kolektif. Sebagai individu, manusia mengenal realitas individual. Sebagai makhluk berpikir, manusia mengenal realitas yang dikonstruksikan oleh pikiran, melalui cerita-cerita—melalui fiksi. Semuanya merupakan realitas subjektif.
Banyak yang kita pahami sebagai realitas bermula dari fiksi. Dalam hal ini, fiksi bisa membentuk realitas atau mengubah cara kita memahami realitas. Yang tidak bisa dilakukan oleh fiksi adalah membentuk atau mengubah fakta.
Gunung Tangkuban Perahu adalah fakta. Ia masih bercokol di tempatnya dan memiliki bentuk yang membuatnya dinamai Tangkuban Perahu. Fiksi Sangkuriang memberi tahu kita bagaimana asal-usul gunung tersebut dan kenapa bentuknya seperti itu, namun ia tidak bisa mengubah fakta-fakta geologis tentang Tangkuban Perahu dan fenomena alam yang membentuknya.
Sebaliknya, cinta adalah fiksi; ia produk imajinasi manusia. Hewan-hewan tidak mengenal cinta. Mereka melakukan hubungan seks, memikat lawan jenis, tetapi mereka melakukannya secara naluriah dan bukan karena cinta. Tidak ada cinta di dunia hewan sebab mereka tidak membuat karangan.
Dalam kehidupan manusia, apakah cinta itu ada? Bagi kebanyakan orang, ia ada; bagi sebagian orang, karena pengalaman hidup mereka, cinta tidak ada. Secara umum orang akan menganggap Anda bermasalah jika berpandangan cinta tidak ada, dan mereka akan membawa Anda ke terapis untuk menjalani proses penyembuhan.
Namun, jika cinta itu benar-benar ada, seperti apa bentuknya dan mulai kapan manusia mengenalnya? Para arkeolog bisa menemukan artefak-artefak dan menyusun cerita tentang kehidupan dua juta tahun lalu, tetapi tidak pernah mereka menemukan, misalnya, pecahan kapak batu atau cuwilan tulang rahang dan berteriak: “Eureka! Kami berhasil menemukan bukti-bukti tentang asal-usul cinta.”
Tidak ada artefak cinta. Fiksi bisa menciptakan realitas tentang cinta, tetapi tidak menciptakan fakta tentang keberadaannya.
Ada banyak hal lain yang bisa dicontohkan tentang hasil karangan manusia yang kemudian menjadi “ada” di dalam kehidupan manusia, namun tetap tidak ada di dalam kehidupan hewan-hewan. Hak asasi, demokrasi, dan uang tidak pernah ada di dalam dunia hewan, sebab mereka tidak mengarang fiksi tentang itu semua. Mereka juga tidak membuat cerita tentang drakula, hantu pocong, jin, iblis penggoda, ritual korban untuk dewa, surga dan neraka, kehidupan abadi setelah mati, dan sebagainya. Semua itu bukan realitas bagi hewan-hewan.
Hewan-hewan memiliki bahasa (setidaknya saya pernah membaca tulisan tentang bahasa beberapa jenis hewan) dan berkomunikasi dengan bahasa mereka, tetapi mereka tidak bercerita atau bergunjing dan tidak menciptakan fiksi. Manusia yang membuat karangan tentang mereka.
Manusia membuat cerita bahwa hewan-hewan menyembah tuhan. Bukan hanya hewan-hewan, manusia juga mengarang bahwa gunung dan laut dan segala yang ada di langit dan di bumi memuji kebesaran tuhan. Jika fiksi semacam itu diikuti secara konsisten, kita bisa mengatakan bahwa aktivitas manusia merubuhkan gunung-gunung atau menebangi pohon-pohon dan melakukan penggundulan hutan adalah aktivitas yang sangat berdosa dan layak mendapatkan neraka; mereka membasmi makhluk-makhluk dan benda-benda saleh, yang sepanjang hidup hanya memuji kebesaran tuhan.
Homo Sapiens di Antara Fiksi dan Kitab Suci
Ada pernyataan Rocky Gerung dalam forum itu yang saya sangat sepakati, ialah: “Kita hidup lebih banyak di dalam fiksi.” Dan, dengan meminjam gema dan fraseologi kitab suci, saya ingin menambahkan: “Demikianlah disampaikan kepadamu agar kamu mengerti.”
Hanya saja, urusannya di sini bukanlah mengerti atau tidak. Pernyataan bahwa kitab suci adalah fiksi akan berbenturan secara keras dengan iman. Ia mengandung implikasi sangat serius, yang bisa diwakili secara akurat oleh komentar ini: “Lo mau kitab suci lo disebut fiksi?”
Jadi, urusannya di sini adalah mau atau tidak. Dan sudah pasti mereka tidak mau, sebab membenarkan pendapat bahwa kitab suci itu fiksi berarti melucuti kesakralan kitab suci. Kitab suci menjadi boleh diperlakukan sebagaimana perlakuan atas bentuk-bentuk fiksi lainnya: boleh dibaca boleh tidak, boleh dipercaya boleh tidak, boleh diikuti boleh tidak, dan klaim kebenarannya boleh pula diragukan.
Iman kepada Tuhan dan hal-hal gaib tiba-tiba kehilangan tempat berpijak dan hidup menjadi tidak sederhana lagi. Jauh lebih sederhana seperti sekarang, meyakini bahwa Tuhan itu ada dan maha segala-galanya dan pasti membalas semua kebajikan—jika tidak di dunia pastilah di akhirat. Karena itu akhirat harus ada. Tuhan juga menghukum pelaku kejahatan, jika tidak di dunia pasti di akhirat. Maka, neraka harus ada; di sana nanti orang-orang jahat akan dibakar dan mendapatkan kepedihan yang kekal.
Jika Anda memilih meyakini Tuhan tidak ada, surga dan neraka hanya karangan, Anda harus memeras pikiran untuk menciptakan landasan baru, cerita-cerita baru, yang mendorong orang berbuat baik meskipun surga dan neraka tak ada dan setelah mati nanti manusia hanya akan menjadi rabuk bagi tumbuh-tumbuhan.
Jadi, sekali lagi: “Lo mau kitab suci lo dianggap fiksi?”
Saya tidak begitu yakin komentar ini ditulis oleh seseorang yang sangat saleh, tetapi saya yakin sekali bahwa orang itu tidak mengerti fiksi. Ia tidak tahu bahwa fiksi adalah kekuatan utama spesies homo sapiens. Homo sapiens mengarang banyak fiksi, di antaranya tentang cita-cita bersama, musuh bersama, bahaya laten, dan sebagainya. Karena itu mereka bisa berhimpun dan bekerjasama, menjadi penguasa di bumi, dan mulai menjelajahi ruang angkasa.
Hewan-hewan tidak bercerita dan tidak menciptakan fiksi; mereka tidak mampu merumuskan cita-cita bersama. Banyak dari mereka sudah punah sekarang, sebagian terancam punah, beberapa menjadi tontonan di bonbin atau menghuni botol di laboratorium. Sebab mereka tidak menciptakan fiksi.
Saya sudah menyampaikan keberatan terhadap beberapa alasan Rocky, juga sudah menyampaikan mana pernyataannya yang saya sepakati, sekarang saya ingin menyinggung sedikit pelaporan terhadapnya ke kepolisian.
Melaporkan pernyataannya sebagai ujaran kebencian adalah tindakan yang keliru dan tidak relevan. Ia adalah pernyataan seseorang, yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang yang ditekuninya, dan bisa diuji kebenaran atau kekeliruannya melalui hukum-hukum ilmu pengetahuan. Ada ilmu yang bisa dijadikan sandaran untuk urusan itu, ada metodologi untuk memeriksanya, ada nalar yang bekerja di belakang pernyataan itu. Dan itu bukan urusan polisi.
Kalaupun polisi tetap menangani perkara ini dan pengadilan nanti memutuskan Rocky bersalah, saya pikir hukuman yang paling tepat adalah memberinya kesempatan untuk membuktikan, dengan metodologi ilmiah, apakah pernyataannya benar atau tidak benar.
Mungkin orang-orang beriman tetap tidak bisa menerima penjelasan saintifik; itu masalah lama dan masih akan lama: sains vs. agama. Keduanya sama-sama berupaya memahami dunia, alam semesta, dan kehidupan, namun mereka menempuh jalan yang berseberangan. Sains bisa keliru dan para ilmuwan bisa mengakui kekeliruan dan terus melakukan revisi dengan berbagai riset dan penelitian. Agama tidak akan pernah membuka diri terhadap kemungkinan keliru. Dari sisi itu, keduanya tidak mungkin kompatibel.
*AS Laksana, Esais dan penulis fiksi, tinggal di Jakarta
*Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera
Sumber: Tirto.Id
0 komentar:
Posting Komentar